Oke, Jadi orang Swiss menemukan kebahagiaan mereka dalam kebersihan, kemakmuran, kedekatan dengan alam, kepercayaan, serta pembenaman rasa iri. Kebersihan merupakan isu yang menarik di negara kita, negara yang mayoritas muslim, yang dalam agamanya diajarkan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, tapi banyak dari kita tidak sadar akan kebersihan, justru negara sekuler yang bukan muslim lebih mengamalkan nilai itu. Ajaran tetap menjadi ajaran tanpa praktik nyata. Kemakmuran sudah jelas belum terwujud, terlalu kompleks rasanya membicarakan itu. Kurasa alam merupakan satu satunya hal yang masih kita punya, masalahnya adalah apakah kita menghargainya seperti orang swiss? kemudian, apakah kita saling percaya? hm.. sulit dijawab, adakah toko yang berdasarkan kepercayaan selain warung kejujuran kpk? belum ada. Rasa iri masih menjadi teman dekat kita, pamer masih menjadi hobi kita. Sepertinya untuk menjadi bahagia seperti Swiss sulit.
Bendera nasional Bhutan
Bhutan
Kali ini Weiner mengunjungi negara yang menurutnya dekat dengan penggambaran Shangrila (surga) dalam novel Lost Horizon karya James Hilton. Bhutan terletak dekat Nepal, sebuah negara di pegunungan Himalaya. Tenang, aku pun baru mendengar namanya lewat buku ini. Lalu, apa yang menarik dari negara yang tak pernah kita dengar ini? Selain fakta bahwa negara ini tidak memiliki lampu lalu lintas, dipimpin oleh seorang raja, dan selain karena Eric Weiner memiliki ikatan emosional dengan negara ini (entah apa itu). Bhutan adalah satu-satunya negara yang tidak memakai Gross Domestic Product sebagai indikator kemajuan negara dan pedoman pengambilan kebijakannya. Apa itu Gross Domestic Product? menurut bang Wiki dia adalah:
"Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor."
GDP ini dipakai untuk menghitung pendapatan suatu negara, dan GDP ini penting karena menjadi acuan pendapatan yang menjadi ukuran kemakmuran dan kesejahteraan sebuah negara. Pemerintah senang jika pendapatan negara surplus, artinya negara ini memliki ekonomi yang bagus, artinya negara akan makmur, rakyat akan bahagia. To be happy, it's all about the money, money, money.
Ketika semua negara memakai acuan ekonomi, Bhutan alih-alih memakai standar lain, yaitu Gross National Happiness, GNH. bukan ekonomi yang jadi acuan, tapi kebahagiaan. Oke, bagaimana anda mengukur kebahagiaan? absurd. Tapi faktanya mereka melakukan itu, contoh kebijakan pemerintah Bhutan berdasarkan GNH adalah: konservasi lingkungan menjadi agenda politik utama pemerintah, 60% wilayah mereka harus tetap hijau alias tetap menjadi hutan, pemerintah melarang tas plastik, dan pemerintahnya berencana menjadi negara yang 100 persen melaksanakan pertanian organik (sumber). Wow.... terdengar seperti salah satu faktor kebahagiaan swiss, dekat dengan alam.
Kebanyakan negara pastinya akan lebih memilih uang daripada konservasi lingkungan, oke di depan media mereka bilang konservasi lingkungan penting, tapi uang milyaran masuk rekening mereka dari para penebang pohon ilegal, atau perusahaan tambang perusak lingkungan. Bhutan menolak menjual kayu berharga mahal mereka demi pelestarian lingkungan. Negara ini, menurut Weiner, melakukan berbagai hal yang tidak masuk akal secara ekonomi. Contoh, mereka mengabaikan kemungkinan jutaan dolar dari penghasilan pariwisata dengan menerapkan regulasi yang sulit dalam bidang tersebut. Mereka lebih memilih melindungi kearifan lokal daripada pundi-pundi uang yang dibawa turis asing, tidak seperti Kute yang lama-kelamaan berubah mengikuti selera para pelancong bule.
Oke, pola pikir ekonomis sepertinya tidak dimiliki oleh rakyat Bhutan. Salah satu temanku pernah berkata "dari tadi gak ngapa-ngapain, gak produktif banget hidup gua." Saat itu, aku dan temanku ini sedang tiduran di kamar sambil mengobrol menikmati hari dalam udara dingin karena hujan tidak berhenti dari pagi. Kenapa hidup harus produktif? apakah menikmati waktu sambil mengobrol itu salah? Hidup harus produktif karena jika tidak, kita tidak akan makmur, menikmati waktu sambil mengobrol itu salah karena itu tidak produktif. Weiner berkata bahwa dalam masyarakat industri yang makmur, yang di dalamnya kita seharusnya menikmati banyak waktu senggang, kita dihalangi melakukan apa pun yang tidak produktif. Sebaliknya, warga Bhutan akan dengan senang hati menghabiskan hari dengan bermain melemparkan anak panah atau tidak melakukan apa pun. Rakyat Bhutan, yang memang miskin, tidak menyembah dewa efisiensi dan produktivitas.
Itulah akibatnya jika kau terlalu sombong tidak mau menjual kayu berhargamu, dan melakukan kegiatan yang tidak produktif, kau menjadi miskin, rasakan itu! kau akan menderita di dunia ini! Kau tidak akan bahagia!
Apakah uang dapat membeli kebahagiaan? Richard Layard, seorang Profesor dari London School of Economics berkata "Mereka telah menjadi lebih kaya, mereka bekerja jauh lebih sedikit, mereka lebih sering mengadakan perjalanan, mereka hidup lebih lama, dan mereka lebih sehat. Namun, mereka tidak lebih bahagia." Coba cek di Internet, banyak riset yang mengungkapkan bahwa uang memang dapat membeli kebahagiaan, tapi tidak lama. Seorang pemilik hotel di Bhutan berkata pada Weiner bahwa Gross National Happiness berarti mengetahui berbagai keterbatasan anda, mengetahui seberapa banyak adalah cukup. Dalam ekonomi tidak ada yang namanya cukup, seperti yang dikatakan oleh Ahli ekonomi nonkonvensional E.F. Schumacher bahwa banyak orang selalu mengeluh mereka miskin, terlalu banyak kemiskinan, mereka mengeluh tidak punya uang untuk ini dan itu, mereka selalu merasa kurang, tapi dimanakah orang yang berkata cukup! hentikan eksploitasi ini, ini sudah cukup! aku memiliki harta lebih dari yang kubutuhkan! Tidak ada. Yang dibutuhkan adalah sejumput rasa syukur atas yang kita punya untuk menjadi bahagia.
Apakah uang dapat membeli kebahagiaan? Karma Ura, seorang cendikiawan di Bhutan, berkata pada Weiner bahwa uang terkadang membeli kebahagiaan. Tapi harus diingat bahwa uang adalah sarana mencapai tujuan, akan menjadi masalah ketika anda berpikir bawa uang itu sendiri merupakan tujuan. Ajaran Budha. Karma memberi contoh, kebahagiaan adalah hubungan, seperti menikah, di barat atau mungkin juga di indonesia, orang berpikir bahwa uang dibutuhkan dalam hubungan. Namun, tidak demikian halnya, hubungan berkaitan dengan sifat dapat dipercaya. Eh... terdengar seperti faktor kebahagiaan swiss? kepercayaan adalah prasyarat kebahagiaan.
Raja Bhutan Jigme Khesar Namgyel Wangchuck dan istrinya Jetsun Pema