“sayang
menurutku ini kata-kata yang cocok untuk di kalung itu.” Winda menunjukan layar
smartphonenya pada bayu.
“hm...
keren juga.”
“iya
dong....” winda bersandar di bahu bayu.
“nanti...
aku tidak akan pernah melepaskan kalung itu, akan selalu aku pakai.”
“kamu lebay
deh yang..”
“tidak
apa-apa... aku kan memang lebay...” kini winda memeluk tangan bayu. “kamu tidak
suka?” bayu tertegun sejenak.
“aku
suka....”
“bohong....
kemarin kamu bilang kamu tidak suka dengan cewe lebay..”
“kapan?”
“sewaktu
aku cerita soal Rini, temanku yang kamu bilang lebay...”
“hahaha....
masa? Itu kan Rini... aku memang tidak suka padanya kan...”
“jadi kalau
aku lebay, kamu suka?”
“hm...
iya... aku suka kamu lebay, aku suka kamu kalau tidur ileran, aku suka kamu
yang tidak suka beres-beres.”
“ih... itu
kan kejelekan aku semua....” protes winda.
“aku suka
kebaikan dan kejelekan kamu.” Bayu mengelus rambut winda, kini Winda memeluk
tangan bayu lebih erat.
“itu
jujur?”
“menurutmu?”
“kalau
boleh jujur, bagiku kamu memang orang paling pengertian di dunia.... terkadang,
aku tidak sabar dengan diriku sendiri, aku merasa aku tidak sempurna, dan
terkadang aku tidak pantas mendapatkan ini dari kamu.”
“jika aku
mencari kesempurnaan, maka seharusnya aku berpacaran dengan malaikat. Lagipula,
aku juga tidak sempurna, apa hakku meminta kesempurnaan darimu..”
“aku sayang
kamu....”
“aku
juga...”
Bayu
membuka mata menyadari itu adalah mimpi, tidak, itu adalah kenangannya akan
winda. Percakapan itu terjadi sebelum mereka membeli kalung tersebut, kalung
yang kini ada di dalam tas Adi. Bayu memperhatikan sekelilingnya, dia kini
berada di dalam gudang, dia mencoba bangkit tapi sia-sia, rupanya tangan dan
kakinya diikat sangat kuat, dia berguling dan menemukan gading juga dalam keadaan
yang sama sepertinya.
“sial.. hey
gading! Bangun!” bayu menendang tubuh gading dengan kedua kakinya yang terikat.
“ughh...”
gading menggeliat. “hey apa-apaan ini?”
“ada yang
mengikat kita disini.”
“kau tak
perlu bilang pun aku tahu...” gerutu gading.
“siapa yang
melakukan ini?” bayu terus berusaha melepaskan diri.
“kemana
yang lain? Disini hanya ada kita berdua.”
“santi
tidak mungkin melakukan ini pada kita... apa mungkin adi?”
“untuk apa
dia melakukan ini?”
“aku tidak
tahu... tapi jika iya aku punya firasat buruk tentang hal ini..”
“tunggu...
bagaimana kita bisa ada di sini?”
“aku jatuh
pingsan setelah makan malam... sesaat setelah aku menemukan kalung winda di tas
adi.”
“tidak...
tepatnya setelah minum sirup itu! Ya.. aku tidak sadarkan diri setelah minum
itu!” gading berteriak.
“oh
tuhan... apakah adi yang melakukan ini?” mereka saling berpandangan. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan santi dari lantai dua.
“itu
santi...”
“kurasa dia
akan baik-baik saja....”
“tapi
kakinya sedang terkilir...”
“sial....
kita harus menolongnya!”
“apa kau
ada ide untuk membuka ikatan ini?”
“kalau
tidak salah di balik ban bekas itu ada kotak perkakas dan di dalamnya terdapat
gergaji...”
“oke...
kita coba.”
***
“bajingan...”
santi meludahi wajah adi.
“SSsssst....
diam kau manis!” adi membekap mulutnya dengan lakban hitam. “kau punya bibir
yang indah, tapi sayang kau tidak mau menurut padaku, ini yang akan terjadi
kalau kau tidak menurut.” Santi meronta-ronta berusaha melawan, tapi sia-sia
kedua tangan dan kakinya diikat ke tiap ujung ranjang, tubuhnya masih lemas,
entah apa yang dimasukan adi ke dalam minuman itu. Adi membelai wajah santi dan
kemudian mengeluarkan sebuah pisau kecil, pisau yang biasa dipakai oleh seorang
dokter bedah. Dengan hati-hati, dia merobek kaus yang dipakai santi
meninggalkan hanya bra yang menutupi kedua payudaranya.
“ah....
sejak aku melihatmu tadi pagi, aku tahu kau wanita yang spesial, dan aku tidak
ingin membuang buang waktu lagi untuk menikmatimu.” adi mengelus perut santi.
“otot perut yang sangat indah...”
“Aarrghh....
Aaarrghh..” santi terus berontak, tapi sia-sia. Kakinya yang masih terkilir
terasa sakit.
Adi
mengeluarkan sebuah cincin dari tasnya. “ini adalah souvenir dari wanita
pertamaku, dia seorang pramugari keturunan padang, kau tahu wanita padang
sungguh menarik, mereka memiliki kulit putih yang sangat indah.” Dia
mengeluarkan sebuah gelang berwarna perak. “ini dari wanita keduaku, hm... dia
adalah seorang instruktur senam, tapi badannya tidak seperti kau, dia memiliki
badan yang semok, berisi, bukan berotot. Saat-saat bersamanya sungguh
menyenangkan.” Dia mengeluarkan beberapa akesesoris lainnya, termasuk kalung
milik winda. “diantara semua wanitaku, kurasa souvenir darimu akan menjadi yang
paling unik, aku pikir aku akan mengambil pisau karambit itu.” Adi tersenyum.
“semua
wanitaku adalah orang yang menyenangkan, aku yakin kau pasti bertemu mereka nanti
setelah aku selesai denganmu.” Adi kini mengelus paha santi, dia menarik celana
pendek yang dipakai santi dan merobeknya, kini tubuh santi hanya ditutupi
dengan bra dan celana dalam saja.
“oh... kau
tidak memiliki selera yang bagus dalam memilih pakaian dalam.” Adi berdiri,
matanya menyapu setiap senti tubuh santi. “kau akan terlihat lebih indah jika
memakai g-string, dan bra yang lebih seksi. Itu akan memperlihatkan setiap
lekuk otot mu yang indah ini.” Adi tersenyum. Dia duduk di samping santi, dan menciumi
perut santi, memainkan lidahnya di atas kulit santi. Dari perut dia beranjak ke
dada dan sampai di leher. Santi menggeliat mencoba mendorongnya dengan tubuhnya,
tapi sia-sia, tangan dan kaki yang terikat tidak dapat membantunya.
“ayolah...
kau pasti menyukainya kan? Jangan munafik begitu.”
“argh....
argh....”
“maaf, aku
tidak mengerti... tapi pasti artinya tolong lanjutkan...” tangan adi masuk ke
balik celana dalam santi, badannya menggeliat lebih keras. “Sssst.... akui
kalau kau menyukainya... hm.... ayo katakan..” adi mendekatkan telinganya ke
wajah santi.
BUUKKK!!!
Adi terhempas menabrak meja dan rak senjata santi. Rupanya bayu dan gading
telah berhasil lolos, kini bayu memasang kuda-kuda sambil memegang pemukul
basebal yang dipenuhi darah kering.
“bajingan...”
adi bangkit.
“dasar
binatang! Kenapa kau memiliki kalung Winda?! Apa ini yang kau lakukan pada
winda?!!” bentak bayu.
“kau ingin
tahu? Ayo sini maju!” bayu menerjangnya, sambil melompati ranjang Santi,
mengayunkan pemukul basebalnya. Tapi adi rupanya lebih terlatih daripada bayu,
dia mengelak dengan mudah , menangkap pemukul basebal yang diayunkan ke
arahnya. Kini bayu yang dilemparnya menabrak dinding.
“seginikah
kemampuanmu? Dasar tidak berguna!” adi menginjak injak bayu yang belum sempat
berdiri. Darah segar keluar dari mulutnya. “kau mau juga hah?!!” adi menunjuk
gading yang berdiri mematung di pintu.
“dasar
pengecut! Kalau kau takut, diam di situ!”
“babi...
aku bukan pengecut!” gading lari menerjang, adi mengayunkan pemukul basebal ke
kepala gading, darah bercucuran, gading terlempar ke lantai dan tidak bergerak
lagi. “dasar sampah!”
“bajingan
kau...!” bayu mencoba berdiri terhuyng-huyung. Adi segera menendang dadanya, bayu
terlempar kembali, punggungnya mendarat di dinding. Kini dia terduduk di
lantai, darah masih keluar dari mulutnya, paru-parunya sesak akibat tendangan
itu.
“harusnya
tadi kalian berdua kubunuh.... sungguh mengganggu!” adi duduk di ranjang, Santi
sedari tadi hanya dapat menonton, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“kenapa kau
memiliki kalung winda?” kata-kata tersebut masih keluar dari mulut bayu, walau
terdengar lebih lemah.
“kau
sungguh menyebalkan... sekarang moodku hilang... gara-gara kau! Tapi aku akan
berbaik hati padamu sebelum kau mati, biar kuberitahu darimana kudapat benda
itu.” Adi menghampiri bayu, dia berjongkok lalu menarik dagunya, kini wajah
mereka berhadapan.
“aku
mengambil kalung itu dari leher kekasihmu dua hari yang lalu, leher yang
sungguh indah... harus kuakui dia memiliki kulit tereksotis yang pernah
kulihat, lalu bibirnya... sungguh manis, semanis strawberry...”
“arggh..
bajingan kau...” bayu mencoba memukulnya, tapi pukulannya lemah, dengan mudah
adi menangkapnya.
“apa kau
ingin tahu bagaimana erangannya ketika aku menggagahinya?”
“bajingan...!!”
bayu menendang alat kemaluan adi, dia terhuyung tidak menyangka dengan serangan
itu. Bayu bangkit dan menendangnya sekuat mungkin, adi berguling, bayu segera
mendudukinya, lalu memukuli wajahnya, tapi adi lebih berpengalaman dalam
perkelahian, dengan mudah dia membalikkan keadaan, kini bayulah yang berada di
bawah, ditindih oleh Adi, dan melancarkan beberapa pukulan ke wajah bayu,
kepalanya pusing, pandangannya kabur. Walau masih sadar, tubuh bayu terasa
lemas, dia bahkan tidak bisa lagi mengangkat kedua tanganya.
“sialan...
kau harus bersyukur, karena sekarang kau akan menemuinya di akhirat!!” adi
mengangkat pemukul basebalnya, hendak menghancurkan batok kepala bayu.
“Inikah
akhirnya?” Bayu membatin, “maafkan kekasihmu ini winda, aku tidak hanya tak
mampu membalaskan dendammu, tapi juga aku akan mati oleh orang yang
membunuhmu.” Selama hidupnya, ini adalah saat pertama bayu merasakan putus asa,
tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, tidak ada harapan. Sekelebat, ia melihat
sebuah bayangan bergerak di belakang Adi.
CRASSS!!
Darah
bercucuran di punggung adi, rupanya gading merangkak diam - diam untuk mengambil salah satu belati koleksi
santi, dan berhasil menancapkan belati tersebut tepat waktu. “aarghhh....” adi segera
berbalik dan menghantamkan pemukul basebal ke kepala Gading berkali-kali,
gading rubuh... tapi Adi terus menghantam kepalanya. “sampah... beraninya kau
melakukan ini padaku!!”
“hiyaa...!!!”
dengan segenap kekuatan terakhirnya, bayu menendang punggung adi, dia
tersungkur menabrak kaki ranjang. Bayu segera mencabut belati di punggung adi
dan segera menancapkannya di kepala adi, sekali... dua kali.... tiga kali....
“bajingan... bajingan.. bajingan.....” bayu berhenti. Dia menunduk dengan
tangan masih memegang belati yang penuh dengan darah adi. Tangan dan wajahnya
dipenuhi dengan darah. Bayu memandang santi yang sedari tadi hanya mampu
menonton, air mata membasahi pipinya.
***
Ini adalah
hari kelima sejak bencana itu terjadi, dan ini adalah pagi pertama dimana tidak
ada matahari sedikitpun terlihat. Awan hitam menaungi langit Rempoa sejak dini
hari, hujan kecil tidak berhenti sejak pukul 3 tadi. Bayu terduduk di satu sisi
ranjang Santi, sementara santi duduk di sisi lainnya. Mayat adi dan gading
masih tergeletak di lantai, darah mereka membasahi sebagian besar lantai kamar
tersebut.
“listrik
sudah padam...” santi melingkarkan tangannya di lutut. Bayu bangkit, berjalan
menuju balkon, hujan bertambah besar, suara halilintar menggelegar bersahutan,
angin bertiup kencang membuat beberapa pohon mulai meliuk-liuk. Bayu teringat
percakapannya dengan susi beberapa bulan yang lalu. Saat itu minggu pagi, tidak
terlalu cerah, karena semalam baru saja terjadi hujan besar disertai badai.
Beberapa pohon tumbang, dedaunan berserakan di taman tempat bayu dan susi duduk
saat itu.
“kaka
dengar, ada seorang anak kecil yang meninggal tertimpa pohon tumbang semalam?”
“benarkah?
Aku tidak tahu, kenapa tidak ada pengumumannya?”
“sudah
tadi, kaka pasti belum bangun...”
“mungkin...”
bayu tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
“kaka tahu
apa yang kupikirkan ketika aku melihat dedauanan itu?” tanya susi.
“hm....
fotosintesis...” jawab bayu sekenanya.
“hahaha...
bukan ka.... aku teringat akan sebuah
cerita...”
“cerita
apa?”
“begini
ceritanya ka.... dahulu kala ada seorang biksu yang sederhana tengah
bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut
malam, terjadilah badai yang hebat, mungkin seperti badai tadi malam. Di pagi
hari ketika badai telah berlalu, sang biksu keluar dari pondoknya untuk
memeriksa kerusakan yang terjadi. banyak dahan besar dan dua pohon berukuran
lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa sangat beruntung masih hidup.
Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan
dahan-dahan patah yang berserakan, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar
menutupi tanah.”
“kenapa?”
“banyak
dedaunan yang berguguran adalah daun daun yang berwarna coklat tua yang telah
memenuhi umur kehidupannya, seperti itu.” Susi menunjuk. “tapi diantara
dedaunan itu, terdapat banyak daun berwarna kuning. Bahkan terdapat pula daun
yang berwarna hijau yang masih cerah.”
“ya...
tepat seperti keadaan dedaunan di taman ini..” bayu mengangguk. “lalu apa
menariknya?”
“saat itu
si biksu memahami makna kematian.”
“maksudmu?”
“kematian
adalah hal yang lumrah, hal yang alami, dan pasti terjadi, seperti halnya
badai. Ia tidak pilih-pilih daun yang akan dijatuhkannya, entah itu yang muda
atau yang tua. Kematian pasti mendatangi siapapun. Jadi ketika orang yang kita
sayangi mati, ingatlah hal ini ka. Dengan berpikir seperti itu, aku merasa
lebih baik dan dapat menerima kematian adiku dua tahun yang lalu.”
Bayu hanya
termenung memandangi dedaunan di taman. Seperti sekarang, dia termenung
memandangi dedaunan yang mulai berjatuhan diterpa angin.