Siang ini (18 februari, 2014), untuk mengisi kekosongan waktu, aku sengaja membuka internet. Kuketikan salah satu website favoritku yaitu republika.co.id dan segera mengklik kolom hikmah, aku pun mencari judul yang menarik. Namun, tak ada yang menarik hati, akhirnya kuputuskan mencari tulisan karya KH Ali Mustafa Yakub, dan aku menemukan salah satu tulisannya yang berjudul "Nasihat Habib al-Najar".
Nasihat itu berbunyi "ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Q.S. Yasin ayat 21)
Konteks ayat tersebut adalah ketika diceritakan dalam al-Quran kisah dimana tiga orang utusan Allah yang ditolak oleh suatu kaum, dan kaum tersebut hendak mencederai mereka, maka datanglah seorang laki-laki bernama habib al-Najar, dan dia menasehati kaum tersebut untuk mengikuti para utusan tersebut yang tiada meminta imbalan kepada mereka. Menurut KH Ali Mustafa Yakub, ayat al-Quran ini tepat menjadi petunjuk dalam menyikapi fenomena dai yang memasang tarif pada jemaah yang mengundangnya. Menurut beliau, mafhum mukhalafah* dari ayat tersebut adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan. Sebab, mereka merupakan orang-orang yang sesat.
Kurasa fenomena ustaz memasang tarif di masyarakat Indonesia sekarang ini sudah menjadi rahasia umum. cobalah ketik keyword itu di google, daftar testimoni dari bermacam kalangan tentang pengalaman mereka sehubungan hal ini sungguh banyak. Istilah ustaz seleb (ustaz yang mirip seleb karena sering masuk infotainment) sudah dikenal banyak kalangan. Pasti kita tak lupa dengan satu kejadian satu ustaz yang bertikai dengan TKI indonesia di luar negeri yang ingin mengundangnya karena masalah tarif yang dinilai kurang. Setelah merenungi hal tersebut, aku menyimpulkan dua hal.
Pertama, tentu sejalan dengan ayat al-Quran tadi, sangatlah tidak sepatutnya seorang pendakwah meminta bayaran atas dakwahnya. Namun, itu tidak terelakan, karena zaman sekarang, ustaz atau dai sudah menjadi jenis pekerjaan. Artinya, itu adalah ladang mata pencaharian bagi pendakwah. Aku pun teringat percakapanku dengan temanku semasa di pesantren, dia adalah orang yang pandai berpidato. Saat itu kami sedang membicarakan masa depan, kira-kira mau kerja apa ya nanti, dengan polosnya aku bilang "kamu jadi dai saja, kan kamu jago pidato tuh"..... Saat itu aku masih berpikir dai adalah sejenis pekerjaan. Bila kupikir kembali, dulu Nabi Muhammad tidak menjadikan dakwahnya sebagai pekerjaan, dia adalah seorang pedagang, kadang menggembala kambing, lalu kenapa kita sekarang menjadikan dakwah menjadi pekerjaan? apakah ulama-ulama dulu seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Ibnu Rusydi, Ibnu Syina, dan ulama besar lainnya menjadikan dakwah sebagai sebuah mata pencaharian? patut dikaji, dan hipotesis awalku, adalah tidak.
Kedua, kita tidak adil jika hanya memojokan para ustaz yang meminta bayaran itu, karena kurasa itu semua adalah efek dari pandangan materialistis. Justru ini yang lebih kukhawatirkan. Keadaan dimana kita lebih mementingkan harta daripada hal lainnya. Kesuksesan seseorang seringkali diukur dari seberapa banyak harta benda yang dia kumpulkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mungkin fenomena ustaz yang meminta tarif adalah hasil dari pola pikir materialistis itu yang berhasil masuk ke kepala sang ustaz. Jadi lebih baik kita segera bermuhasabah, apakah kita termasuk manusia yang materialsitis juga? hanya menggugat tapi tak melihat diri sendiri sungguh tidak bijak.
Jadi kesimpulanku kali ini adalah berdakwah bukanlah sebuah pekerjaan dan kita harus menjauhkan diri dari pandangan materialistis. Manusia memang hanya ingin menjadi yang terbaik, tapi di mata Allah manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakwa. (Q.S. al-Hujurat: 13)
*mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syariat Islam
link artkel nasihat habib al-Najjah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar