Beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di semester lima, aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba debat bahasa Inggris antar UIN/PTAIN/IAIN seluruh indonesia di kota Watampone, kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Sebuah acara tingkat nasional yang mempertandingkan berbagai macam olahraga dan keilmuan yang disebut PIONIR. Singkat cerita, aku dan teman satu timku pun lolos sampai semifinal, di babak ini tak disangka kami mendapat motion (tema dalam lomba debat) yang cukup kontroversial yang intinya adalah orang muslim itu tidak boleh disalahkan atas semua citra buruk islam di dunia. Biasanya hal-hal berbau agama tidak di jadikan motion debat, karena akan muncul perasaan seperti mempertanyakan kebenaran agama itu sendiri bagi pihak mendapat posisi yang merugikan (dalam lomba debat ada dua posisi yang diundi untuk peserta, yaitu affirmative, kelompok yang harus setuju dengan motion, dan negative, kelompok yang harus tidak setuju dengan motion, terlepas dari pendapat hati nurani kita. Jadi kita tidak bisa memilih posisi.).
Timku mendapat posisi negative, yang otomatis aku harus menolak motion itu, terjadilah kebingungan, karena memang ada perasaan mengganjal untuk menyerang agama sendiri, walaupun disitu jelas-jelas kata muslim yang dipakai bukan islam, artinya yang memang boleh disalahkan adalah orangnya bukan ajarannya. Dengan keterbatasan pengetahuan, akhirnya kami hanya mampu berbicara sedikit dan kalah di babak itu. Walaupun dalam hati nurani ku berkata bahwa memang orang islam sebenarnya patut disalahkan, tapi aku tidak memiliki cukup pengetahuan yang bisa kujadikan argumen saat itu.
Sekarang, aku pun masih berpikir, kenapa kita seakan-akan tidak mau mencari borok diri kita sendiri? Mungkin kita takut mengakui kelemahan, karena kita akan terlihat lemah, dan memang manusia tidak mau terlihat lemah. Apalagi masyarakat yang mengaku sebagai penganut agama yang katanya penyempurna agama sebelumnya. Apa kata dunia kalau mereka mengaku ada borok di dalam diri mereka. Atau mungkin kita terlalu apatis pada keberagamaan kita sendiri sehingga tidak mau memusingkan hal itu, yang penting dapur tetap mengepul, dan semua hal lain menjadi tak berarti. Atau mungkin kita memang tidak pernah serius beragama dari awal, yang penting memenuhi ritual ibadah wajib, dan selesai sudah urusan agama. Apapun itu alasannya, aku telah memutuskan untuk mencari apa yang salah dari praktik keberagamaanku khususnya dan masyarakatku umumnya sehingga ada rasa yang mengganjal di hati.
Pencarian itu mulai terjawab ketika Karya M. Qurasih Shihab yang berjudul "Membumikan Al-quran jilid 2" menghiasi rak bukuku. Ada satu bagian khusus yang membahas isu yang mengganjal hati ini. "Apa yang salah dalam beragama kita?". Menurut beliau untuk bisa disebut beragama, setidaknya ada tiga hal yang harus terpenuhi.
Pertama, Merasakan dalam jiwa kita kehadiran Allah secara berkesinambungan. Lalu apakah ada yang salah dengan hal ini? ya, kita seringkali tidak mengenal-Nya sehingga tidak mampu meneladani sifat-sifat-Nya yang agung, dan terkadang Kehadiran-Nya hanya terasa di tempat-tempat peribadatan saja. Menurut beliau, hal pertama yang harus diluruskan adalah kita harus mengenal-Nya agar kita mau meneladani-Nya.
Kedua, ada kemauan untuk melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang sering dilupakan adalah ketika kita melakukannya, kita sering lupa bahwa itu adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Contoh salah satu ketentuan-Nya adalah solat. Semua ketentuan-Nya, termasuk solat memiliki sisi formal (seperti rukun, syarat sah, bacaan, dan lainnya) yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama juga memiliki sisi substansi yang harus selalu menyertainya. Kita seringkali terlalu memeperhatikan sisi formal dan melupakan substansinya. Makanya, tak aneh banyak orang solat tapi tetap korupsi, banyak orang berhaji tapi tetap mencaci tetangganya, atau malah menjadi orang sombong setelah punya titel haji. Itu semua karena mereka telah melupakan substansinya.
Ketiga, mempercayai bahwa Allah yang Maha adil pasti memberikan balasan dan ganjaran sempurna atas apa yang dilakukan manusia di dunia. Kurasa mudah saja kita bilang kita percaya hari pembalasan itu, tapi terkadang perbuatan kita tidak mencerminkan itu. Kita berbohong, menzalimi orang lain, dan mengambil hak orang lain tanpa sadar bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan suatu saat nanti.
Berkaca pada keadaan masyarakat kita sekarang, aku pun berkseimpulan, kita masih jauh dari kata relijius, termasuk diriku sendiri. Mari kita mulai bermuhasabah apakah kita sudah beragama dengan baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar