http://blog.unnes.ac.id
Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
شَكَوْت
إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى
لِعَاصِي
Itu adalah salah satu mahfudzat wajib (semacam mata pelajaran peribahasa dalam bahasa arab) bagi santri di pondok pesantren tempatku belajar bertahun - tahun silam. Dan karena mahfudzat itu pula, aku berkeyakinan bahwa, menurut pengalaman Imam Syafi'i yang sejak belia sudah hafal Al-Quran, cara untuk mendapatkan ilmu (pintar) adalah dengan meninggalkan segala jenis maksiat, dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah.
Ternyata bukan hanya aku yang berkeyakinan seperti itu, tentunya semua santri telah mempelajari mahfudzat itu dan sebuah pemandangan yang lazim melihat banyak santri yang lebih "relijius" ketika ujian akhir semester mulai mendekat. Atau mungkin juga anda salah satunya? yang berpikir bahwa untuk menjadi pintar maka kuantitas dan kualitas ibadah kita harus ditingkatkan? Sebagaimana nasehat Guru Imam Syafi'i bahwa ilmu adalah cahaya dan cahay allah tidak mungkin diberikan kepada ahli maksiat, maka tidaklah salah ketika kita menyimpulkan bahwa untuk menjadi pintar (berilmu), kita harus menjauhi maksiat. Aku sangat yakin itu, hingga kenyataan seakan menohok keyakinanku itu.
Bukankah orang-orang barat adalah ahli maksiat dalam pandangan kita? mereka senang mabuk-mabukan, berzina, dan lainnya. Tapi kenapa ilmu pengetahuan sangat berkembang di Barat, mereka menjadi kiblat inovasi teknologi dan kebudayaan. Apakah ada yang salah dengan semua ini? Kenapa aku yang muslim dan selalu berusaha menjauhi maksiat tidak bisa sepintar dan berilmu seperti mereka? mengapa negara-negara mayoritas muslim terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi? Pertanyaank itu terus menggangguku sampai aku menemukan buku karya Harun Nasution, Salah satu mantan rektor almamaterku.
Menurut beliau dalam bukunya yang berjudul Islam Rasional, semua ibadah yang kita lakukan tidak memberikan efek sedikitpun kepada kepintaran intelektual. Apa yang membuat kepintaran intelektual ini bisa bertambah sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi mampu berkembang? ini adalah ranah otak, ranah kognitif, dan menurut beliau satu-satunya cara meningkatkan daya kognitif adalah dengan belajar, bukan ibadah atau menjauhi maksiat. Setidaknya itu menjawab pertanyaan Andrea Hirata di salah satu novelnya "kenapa orang barat yang senang clubbing dan mabuk mabukan setiap malam minggu, tapi mendapat nilai hampir sempurna di perkuliahan?" Mereka mungkin bermaksiat, tapi mereka belajar untuk mendapatkan nilai tinggi itu. Lesson learned, kemaksiatan tidak berpengaruh pada daya kognitif kita.
Lalu apa dampak dari ibadah kita? Menurut Harun Nasution, ia tidak berdampak pada daya kognitif, namun justru pada spiritualitas seseorang. Ya... ibadah membuat seseorang memiliki spiritualitas tinggi. Artinya, ibadah yang berkualitas akan melahirkan manusia yang bermoral dan bernurani. Ilmu yang dimaksud guru Imam Syafi'i bukanlah cahaya ilmu kognitif, melainkan cahaya hati. Ilmu yang membuka hati yang menjadi kuil Tuhan, dan ilmu ini adalah milik orang-orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan.
Daya kognitif tanpa nurani adalah bencana. Lihatlah para koruptor, para ilmuwan yang memakai penemuan mereka untuk hal yang tidak baik, orang-orang yang memobodohi orang lain dengan kepintaran mereka. Dan pendidikan yang hanya menitikberatkan pada daya kognitif dan mengesampingkan pendidikan hati adalah sumber bencana. Pendidikan model itu memiliki ciri antara lain: nilai lebih penting daripada sikap, murid hanya diajari untuk tahu bukan mempraktekan dan memaknai pengetahuan mereka, dan belajar diniatkan untuk mencapai kesuksesan duniawi bukan untuk ibadah.
Maka alangkah lebih baik kita melihat bahwa cahaya hati adalah hal utama yang harus dibangun sebagai fondasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar