psychcentral.com
Kebahagiaan adalah sesuatu yang
paling diinginkan di dunia ini, tak seorang pun manusia yang mau hidup dalam
penderitaan dan kesedihan. Kebahagiaan memberikan rasa senang, aman, nyaman,
dan gembira dalam hati. Kebahagiaan adalah sesuatu yang abstrak, tapi
setidaknya aku bisa memberi contoh keadaan yang dapat memberikan perasaan
bahagia. Aku merasa bahagia ketika: ayahku membelikan sepeda idamanku saat masih kecil; aku mendapat ranking pertama di sekolah dan
membuat ibuku bangga; aku diterima di Universitas negeri; aku mendapat IPK yang cukup tinggi; perempuan yang kusukai akhirnya menerima
cintaku; aku mendapat uang beasiswa dan mampu membeli
laptop tanpa meminta kepada orang tua.
Itu adalah beberapa contoh
keadaan yang telah membuatku merasa bahagia, dan berikut ini adalah keadaan
yang kurasa akan membuatku bahagia. Aku akan merasa bahagia ketika: dapat melanjutkan studi ke luar negeri; mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar; dapat menikahi seorang wanita cantik; dapat membeli sebuah rumah yang besar, sebuah
mobil, dan beberapa barang lainnya yang membuat orang lain kagum denganku.
Ketika kupikir kembali, semua
keadaan yang kuanggap dapat membuatku bahagia dan yang sudah kurasa membuatku
bahagia, berpusat pada mendapatkan apa
yang kuinginkan. Aku seringkali
merasa sedih ketika ada hal-hal yang kunginkan tidak kudapatkan. Dalam beberapa
kasus, ada orang-orang tertentu yang mengalami depresi ketika hal yang mereka
inginkan tak kunjung didapat, atau mereka sudah mendapatkannya tapi kemudian
tiba-tiba hilang terenggut oleh suatu hal. Tak sedikit yang menjadi gila
karenanya, dan aku harus bersyukur walau banyak keinginan tak terpenuhi aku tak
kunjung gila. Aku berpikir, inikah kebahagiaan sejati? Aku ragu, karena daftar
keadaan yang telah membuatku merasakan kebahagiaan hanya mampu membuatku
bahagia dalam waktu yang relatif singkat. Setelah seminggu, atau satu bulan,
rasa bahagia itu lenyap, dan aku pun berfokus pada keinginanku selanjutnya
untuk bisa merasa bahagia kembali.
Mendapatkan apa yang kita inginkan adalah definisi dari natural happiness atau kebahagiaan
alami. Itulah yang dikatakan seorang ilmuwan Amerika bernama Dan Gilbert dalam
pidatonya di TED (bisa dilihat di Youtube, channel TED, link terlampir). Ini
adalah jenis kebahagiaan yang sangat umum orang pahami. Iya kan? Tapi, tidak
mendapatkan yang kita inginkan, ataupun mendapat hal yang sangat kita tidak
inginkan, kedua-duanya dapat membuat seseorang bahagia. Benarkah itu? Dan
Gilbert membuktikannya dengan data dari sebuah penelitian.
Ada dua kelompok orang, yang
pertama adalah kelompok orang yang memenangkan lotere sebesar 314 juta dolar,
dan yang kedua adalah kelompok orang yang menjadi lumpuh, tidak bisa berjalan
selama-lamanya. Mari berpikir, manakah yang bahagia dan mana yang sedih bahkan
depresi? Tak perlu waktu lama, kita biasanya langsung menjawab (dengan
keyakinan) bahwa kelompok pertama pasti bahagia, dan kelompok kedua pasti sedih
dan depresi. Orang gila mana yang tidak bahagia ketika tiba-tiba menjadi
milyuner dadakan? Dan siapa pula yang tidak sedih setelah kehilangan
kemampuannya untuk berjalan? Untuk sesaat jawaban itu tepat, tapi setelah kurun
waktu satu tahun, penelitian menunjukan bahwa kedua kelompok itu sama – sama
bahagia. Loh... bagaimana mungkin?
Ini adalah jenis kebahagiaan yang
kedua. Seorang penulis dan motivator, Gobind Vashdev, mengatakan bahwa
kebahagiaan itu datangnya dari dalam hati, bukan dari benda atau hal yang kita
dapat. Happiness from the inside. Bahkan
situasi terburuk yang kita alami pun bisa menjadi sumber kebahagiaan, yang
perlu dilakukan adalah hanya merubah sudut pandang kita akan suatu kejadian.
Kalau dalam ajaran zen yang pernah kubaca, sebuah kejadian itu netral adanya,
tidak baik ataupun buruk, pikiran kitalah yang menjadikan itu baik atau buruk.
Bayangkan seseorang membuang ludah tepat di depan kaki kita, apa yang kita
rasakan? Marah? Tersinggung? Kenapa kita merasa begitu? Karena dalam pikiran
kita meludahi adalah tanda menghina. Tapi di sebuah suku pedalaman afrika,
meludahi adalah tanda salam seperti halnya berjabat tangan ketika bertemu.
Mereka tidak akan marah diludahi, justru mereka tersenyum. Apa yang berbeda
antara kita dan mereka? cara memaknai sebuah tindakan meludah. Ludah itu netral
tidak baik atau buruk, pikiran kitalah yang memberikan label itu.
Dari kecil, guru mengajiku selalu
mengajarkan untuk mengambil hikmah dari segala musibah. Ini adalah cara lain
untuk merubah sudut pandang dari negatif ke positif. Ada sebuah kisah terkenal
yang menggambarkan bagaimana suatu musibah sebenarnya akan memiliki hikmah yang
baik. Pada zaman dahulu kala, ada
seorang raja yang senang berburu. Setiap kali ia berburu ia pasti ditemani oleh
penasihatnya. Suatu hari terjadilah sebuah kecelakaan ketika sedang berburu dan dia kehilangan jari kelingkingnya, sang raja sedih luar biasa, tapi si penasihat berkata "janganlah bersedih tuan raja, kejadian ini pasti ada hikmahnya." mendengar kata-kata itu sang raja marah dan menjebloskan dia ke penjara. Beberapa waktu kemudian, Raja kembali berburu, namun sialnya, hari itu dia dan rombongan ditangkap oleh sebuah suku pedalaman yang masih primitif. Para tawanan akan dijadikan persembahan dewa dengan cara direbus hidup-hidup, namun ketika sang kepala suku melihat bahwa raja tidak punya kelingking dia pun dibebaskan karena persembahan haruslah manusia sempurna tanpa cacat. Akhirnya sang raja kembali ke istana dan menemui penasihatnya di penjara. "kau benar wahai penasihat, jika saja aku masih punya kelingking, aku pasti sudah mati direbus suku pedalaman itu. aku sangat menyesal dan meminta maaf telah memenjarakanmu" sang penasihat pun tersenyum dan berkata. "aku senang tuan raja akhirnya mendapatkan hikmahnya, dan aku pun senang tuan raja memenjarakan aku." Sang raja kaget. "kenapa kau malah senang kupenjarakan?" si penasihat menjawab. "jika tidak dipenjarakan, aku pasti menemani anda berburu, dan sudah dipastikan aku akan mati direbus suku pedalaman itu."
Dan Gilbert menyebut jenis kebahagiaan ini dengan isttilah synthesized happiness, atau kebahagiaan yang dibuat pikiran dengan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda atau dengan mengambil hikmah suatu kejadian yang tidak kita suka. Jadi tak perduli situasi apapun yang kita alami, kita tetap bisa bahagia. Alat ini sebenarnya sudah ada dalam tubuh manusia, hanya saja kebanyakan manusia tidak menyadarinya sehingga tidak mengoptimalkan fungsinya.
Lalu mana yang lebih baik? natural happiness ataukah synthesized happiness? mana yang merupakan kebahagiaan sejati?
Sebagian orang melihat bahwa synthesized happiness adalah sebuah bentuk pelarian atas kegagalan mendapatkan natural happiness. Itu hanya usaha menghibur diri bahwa sebenarnya kita gagal dan tidak berhasil. Secara pribadi, aku sangat tidak setuju dengan anggapan ini, karena pandangan ini menurutku dipengaruhi kuat oleh cara pandang bahwa materi mendatangkan kebahagiaan. Bayangkan sebuah masyarakat yang selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang mereka punya, maka iklan tidak akan berguna, mall tidak akan ramai, dan para perusahaan besar akan bangkrut. Karena sadar atau tidak, para perusahaan besar menggunakan natural happiness untuk mendongkrak penjualan. Ini sangat terlihat di iklan. "Anda tidak akan bahagia jika tidak berkulit putih, karena orang-orang tidak suka yang berkulit hitam, belilah produk pemutih kami". Natural happiness sangat menguntungkan gaya hidup konsumtif, yang kemudian menguntungkan pengusaha rakus.
Sedangkan synthesized happiness dianjurkan oleh para sufi. Mencari kebahagiaan dari dalam hati kita, hati yang merupakan kuil Tuhan. Di sanalah tempat kebahagiaan sejati, karena kita diajarkan untuk bersyukur, berprasangka baik, dan tetap bersikap positif dalam keadaan seburuk apapun. Satu hal yang pasti di dunia ini adalah keburukan atau musibah tidak akan pernah hilang di dunia, itu adalah hukum alam yang pasti dialami setiap manusia, jadi cara terbaik untuk bahagia bukanlah menghindarinya, tapi menerimanya dengan tangan terbuka dan pikiran positif. Menurutku, itulah kebahagiaan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar