Apa yang membuat dunia ini lebih
baik? Santi selalu memikirkan hal tersebut sejak kecil. Seseorang pernah
berkata padanya bahwa cinta membuat dunia ini indah. Tapi sudah lama sekali dia
tidak percaya akan cinta, orang yang seharusnya mencintainya adalah orang yang
paling ia benci. Sang ayah tiri mungkin punya cara sendiri dalam menunjukan
cinta kepada Santi, atau mungkin memang dia tidak pernah mencintai Santi.
bagaimanapun, dia lah penyebab penderitaan Santi. Pada intinya, Santi kecil
tidak pernah mengecap kasih sayang orang tua sebagaimana anak lain. Terutama
setelah sang ibu meninggal saat Santi berumur 7 tahun, cinta seakan tidak mau
mendekatinya.
Mencari kehangatan cinta dari
lawan jenis juga merupakan sebuah kesalahan. Ketika SMA, Santi pernah dekat
dengan seorang teman laki-lakinya, dia sangat manis, sangat perhatian, dan
selalu ada untuk Santi, setidaknya sampai ia mengutarakan keinginannya untuk
bercinta dengan Santi dan ditolak. Memang sudah menjadi sifat kebanyakan
manusia untuk melakukan sesuatu atas dasar keuntungan yang didapat. Dan menurut
Santi, itu bukan cinta, itu adalah bisnis, jual beli, atau barter. Kita
melakukan sesuatu untuk orang lain dengan harapan akan menerima imbalan atas
tindakan kita. Menurut Santi mereka adalah sampah.
Santi terduduk merenung, ini
adalah hari ke-20 ia dan Bayu bertahan hidup. Mereka telah berjalan jauh dari
rempoa menuju Bogor, sepanjang jalan yang mereka temui hanyalah manusia rabies,
tidak ada satupun manusia yang mereka temui. Santi tidak percaya mereka masih
mampu bertahan selama ini. Strategi utama untuk dapat bertahan adalah dengan
tidak menghadapi para manusia rabies itu dalam jumlah banyak, sehebat apapun
dirimu, dikeroyok manusia rabies adalah akhir hidupmu. Untungnya mereka tak
berakal, Santi dan Bayu dapat dengan mudah memanfaatkan kelemahan mereka itu.
“Bayu... Kenapa kau begitu
mencintai kekasihmu itu?” Santi melempar kayu kering ke perapian untuk menambah
kayu bakar.
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Aku hanya tidak mengerti apa itu
cinta, apa yang membuat orang lain rela melakukan banyak hal demi orang lain,
apa yang membuat seseorang depressi karena kehilangannya.”
“Maksudmu aku depressi sekarang?”
Bayu memicingkan matanya.
“orang waras mana yang tahan
bergaul denganku?”
“Orang waras yang terjebak di
dunia gila seperti ini.” Bayu menghela nafas, memandang langit yang ditaburi
bintang, tanda malam itu sepertinya tidak akan turun hujan. Bayu lebih senang
tidak hujan, dengan begitu dia bisa tidur dekat perapian seperti ini, hangat...
mengingatkan dirinya akan pelukan winda.
“Cinta adalah perasaan kasih
sayang, ketika kau mencintai seseorang, kau tidak ingin dia terluka, kau hanya
ingin dia bahagia.”
“hm... lalu kenapa kau mencintai
winda?”
“entahlah... aku tidak tahu..”
“bukan karena kecantikannya?
Laki-laki biasanya melihat fisik kan?”
“awalnya... tapi semakin kupikir
semakin aku tidak tahu, kenapa aku mencintainya.” Bayu merebahkan dirinya,
menggunakan ransel sebagai penyangga kepala. “bisakah kita tidak membicarakan
ini?”
“maaf... aku tidak bermaksud
mengingatkanmu.” Santi beranjak dari duduknya menuju sebuah sungai kecil yang
terletak beberapa meter dari perapian mereka. Saat air mineral mereka habis,
air dari sungai adalah pilihan terbaik. Belum ada keluhan sakit perut yang
dirasakan, sepertinya air sungai memang tidak sekotor yang orang pikirkan, atau
mungkin karena para manusia yang mengotori air sungai kini sudah hampir punah?
“jangan bergerak!” sebuah moncong
senjata menempel di dahi santi. seorang laki-laki muda menodongkan senapan AK-47
di samping Santi. “ikuti kata-kataku maka kau akan selamat!” si lelaki
membentak.
“berapa umurmu nak?! Sudah berani
memegang senjata!” Santi balas membentak. Si pemuda nampak kaget.
“Jangan banyak bicara! Kalau
tidak kau akan kutembak!”
“oh.. ya? Pernah menembakan
senjata sebelumnya?” Santi memandang tajam, si pemuda nampak ragu dan gugup.
Dengan cepat santi memegang moncong senapan itu dan menariknya, membuat si
pemuda terhuyung ke arah santi yang segera melayangkan sikut ke dagu si pemuda.
Ia jatuh tak sadarkan diri. Santi segera berlari ke perapian, namun terlambat,
beberapa lelaki yang juga memegang senapan AK-47 telah mengepung perapian,
mereka membuat bayu berlutut sambil mengangkat tangannya. Setelah berhari-hari
tidak bertemu manusia, ini adalah keadaan yang benar-benar tidak santi
harapkan.
“Apa yang kalian inginkan?” Tanya
Santi.
“Kami ingin makanan yang kalian
miliki.” Jawab seorang laki-laki gondrong bertubuh ceking yang berdiri di
belakang bayu. “dan dirimu....” Ia menyunggingkan senyum memperlihatkan giginya
yang kuning karena terlalu banyak merokok.
“Apa?”
“Kami sudah lama tidak menemui
wanita secantik dirimu, apalagi sejak semua manusia berubah menjadi monster,
rasanya dunia ini membosankan. Jika kau mau menghibur kami, kau dan kekasihmu
ini kami biarkan hidup, bagaimana?”
Santi memandang sekeliling, ada
lima laki-laki bertubuh besar mengepung mereka, empat orang menenteng senapan
sementara satu lagi hanya memegang sebilah golok panjang yang dipenuhi darah,
sepertinya darah para manusia rabies. Mereka semua mengenakan baju yang sama,
apakah mereka... Santi mengenal baju itu.
“membiarkan kami hidup? Memangnya
kalian bisa membunuhku?” ejek santi.
“wanita sialan, kau pikir siapa
dirimu? Baiklah jika tak bisa dengan jalan halus, Sentot, Paijo, pegangi dia!”
dua laki-laki segera mendekati santi mencoba menangkap tangannya, tapi santi
segera mengelak dan menendang laki-laki di sebelah kanan hingga ia terlempar.
Lelaki lainnya mencoba memukul wajahnya, tapi santi menangkis dengan tangan
kiri, sementara tangan kanannya mengambil karambit yang tersembunyi di pinggang
dan langsung merobek leher si lelaki dalam kecepatan tinggi, ia rubuh tanpa
tahu apa yang terjadi dan darah terus mengalir dari lehernya. Ia menggelepar
dan bersuara seperti orang tersedak bak ayam yang baru saja disembelih. Melihat
itu, keempat temannya segera menjauh dan menodongkan senjata mereka, tangan
mereka gemetar melihat kejadian tersebut. Karambit memang senjata efektif dalam
pertarungan jarak dekat, karena musuh yang tidak jeli tidak akan melihatnya dan
mengurangi kewaspadaannya. Selain itu, daya rusaknya pun besar, terutama jika
mengenai bagian vital seperti urat nadi. Dengan ketajaman yang luar biasa,
karambit Santi adalah senjata mematikan yang tersembunyi.
“bajingan! Apa yang kau
lakukan!!?” teriak si lelaki gondrong.
“kau mau mati!?”
“mati? Kalian mengacungkan
senjata yang tidak ada pelurunya kepadaku, kurasa kalian yang mau mati!” Santi
memasang kuda-kuda.
“kenapa dia bisa tahu?” bisik
seorang laki-laki kepada temannya. Kini keraguan nampak di wajah mereka. “bagaimana
dia bisa melakukan itu?” bisik laki-laki lain.
“kalian hanya cecunguk kecil,
penjahat kelas teri, nyali kalian hanya sejauh menggertak dan menindas orang
lemah. Kalian adalah sampah yang harus kubersihkan.” Santi segera menerjang dua
orang yang berada di dekatnya, tanpa perlu waktu lama, kedua orang tersebut
rubuh dengan leher dan tangan bersimbah darah. Sadar bahwa senjata mereka tidak
berpeluru, bayu segera menghajar lelaki gondrong di belakangnya. Sementara dua
lelaki lain akhirnya meregang nyawa di tangan Santi.
“Tolong berhenti!! Aku menyerah!”
si lelaki gondrong yang telah babak belur bersujud di depan Bayu yang langsung
menghentikan tendangannya. “tolong jangan bunuh aku, kami hanya mencoba
bertahan hidup... tolong mengerti..” Bayu terdiam.
“habisi dia bayu! Kata-kata
mereka hanyalah kebohongan! Mereka adalah narapidana, sampah masyarakat, mereka
tidak berhak untuk hidup!” Santi memprovokasi.
“Tolong.. ampuni aku..” Si lelaki
gondrong menatap mata bayu, air mata nampak menetes dari sudut matanya. Tatapan
mata itu mengingatkan bayu akan mimpi buruk yang membuat tidurnya tidak nyenyak
selama ini. “Pergilah...” ujar bayu pelan.
“te.. terima kasih...” si lelaki
gondrong dengan susah payah berdiri dan lalu berbalik untuk pergi. CRASS!!
Tubuh si lelaki gondrong rubuh dengan
sebilah golok tertancap di kepalanya, golok yang beberapa hari ini
menyelamatkan bayu dari gigitan manusia rabies. “Apa yang kau lakukan?!” Teriak
Bayu.
“Kau Salah... Mereka tidak pantas
hidup. Mereka adalah penjahat, sampah masyarakat, mereka berbuat jahat bukan
karena terpaksa, tapi karena mereka suka! mereka seperti Adi yang kau bunuh
tempo hari!”
“Adi?” Bayu memejamkan matanya. “Apa
kau pernah dihantui rasa bersalah Santi? Setelah merenggut nyawa seseorang, di
setiap tidurmu, mereka selalu datang lalu tanpa kau sadari ketika melihat
mereka kau mulai merasakan sakit di hatimu, kau mulai berpikir, kenapa aku
melakukan itu?”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Adi memang manusia jahanam! Tapi
membunuhnya adalah kesalahan, karena Winda tidak akan bisa kembali walau dia
kutusuk beratus-ratus kali, apa yang tersisa setelah itu? Hanya rasa sakit, dan
menyesal.”
“Menyesal? Kau harusnya bangga
mereka adalah orang yang hatinya busuk, keberadaan mereka adalah ancaman bagi
masyarakat, melenyapkan mereka adalah tindakan mulia!” santi menaikan nada
bicaranya.
“kau tahu orang yang melakukan
sodomi? Ketika ditelusuri, umumnya mereka adalah korban ketika mereka kecil.”
“apa hubungannya?”
“manusia tidak menjadi busuk
tanpa alasan, ketika aku melihat bahwa sebenarnya setiap manusia memiliki sisi
baik dan buruk, aku merasa tidak pantas merenggut nyawa orang lain karena dasar
penghakimanku yang subjektif terhadap orang lain. Aku merasa sakit. Tidak kah
kau merasakan itu?” bayu menyentuh pundak Santi.
“Aku sangat tidak setuju denganmu.” Santi menggelengkan kepala seraya berjalan menjauh dari bayu.
“kurasa inilah kenapa kau tidak
dapat memahami cinta, santi.” Bagi bayu, memahami orang lain adalah kunci dari mencintai, karena cinta bukan tentang diri sendiri, seseorang harus mampu melakukan empati, melihat dan merasa dari sudut orang lain untuk dapat memahami cinta yang tulus.
Kini, ia merasakan kerongkongannya sangat kering, dengan botol minum kosong, ia berjalan ke arah sungai untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti karena ia melihat sesosok manusia bergerak di pinggir sungai, seorang remaja yang
nampaknya baru sadar dari pingsan. Melihat bayu mendekat, si pemuda segera mengambil
AK-47 yang tergeletak dan menodongkannya pada bayu.
“Jangan bodoh, kami tahu senapan
itu tidak berpeluru.” Bentak santi yang kini berada di belakang bayu. Si remaja,
nampak gugup ketakutan, ia menurunkan senapannya, air mata mengalir deras. “aku...
minta maaf....” kata-katanya meluncur dibalik tangisan.
“hey.. Santi, bagaimana kau tahu
senapan mereka tidak berpeluru?”
“kliwon yang memberitahuku,”
jawab santi sambil berjalan mendekati si remaja meninggalkan bayu yang
mengerutkan dahinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar