“namaku
Adi....” pria paruh baya berbadan kekar tersebut memperkenalkan dirinya. Santi
memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala, memastikan tidak ada
bekas gigitan di tubuhnya. Dia memakai kaos ketat berwarna ungu yang membentuk
badan berototnya, dan celana jeans belel berwarna hitam tanpa ada noda darah
terlihat. Kulitnya putih bersih, tidak ada luka sedikitpun hanya peluh yang
membanjiri badannya. Bayu menjabat
tangannya.
“aku bayu,
ini santi, dan itu gading..” bayu menunjuk gading yang sedang sibuk membereskan
persediaan di dapur. “kami sangat berterimakasih atas pertolonganmu tadi...”
“aku hanya
kebetulan lewat....”
“tapi demi
menolong kami, kendaraanmu rusak... kemana tujuanmu? Mungkin kami bisa
memberikan sedikit bantuan.”
“uh... aku
sedang menuju bintaro, aku mendapat kabar bahwa di sana ada tempat evakuasi,
dijaga oleh tentara nasional kita, disana tempat yang aman dari para manusia
gila itu...”
“benarkah?”
“ya.. aku
mendengarnya lewat radio... sebuah pengumuman resmi dari pemerintah!”
Gading yang
mendengarnya dari dapur segera bergabung di ruang utama, dia tampak senang
mengetahui ada secercah harapan untuk bisa selamat dari bencana ini. Sementara
Santi mengerutkan dahi, sedang memikirkan sesuatu.
“Kita harus
berangkat kesana!” gading bersemangat.
“benar..
dan aku yakin jika kita bekerja sama kita bisa selamat sampai di sana...” Adi
menambahkan. Bayu merasa senang sekaligus resah, tentu itu adalah kabar gembira
mengetahui bahwa ada lingkungan yang aman di dekat sini, tapi bayu resah jika
harus menyelamatkan diri tanpa winda.
“bagaimana
menurutmu bayu?” santi menangkap rasa gelisah bayu.
“entahlah...
aku mencemaskan winda...”
“apa
maksudmu? Lalu apa yang ingin kau lakukan? Menunggu winda muncul?” gading
berteriak.
“mungkin...
aku harus mencarinya... ” jawab bayu bimbang.
“kau
carilah kekasihmu itu, tapi aku tetap pergi ke bintaro! Bagaimana denganmu
santi?”
“Bayu...
mungkin winda pun menuju ke sana, atau sudah berada di sana.” Santi tidak
mengacuhkan gading.
“apa
buktinya? Apakah kau punya bukti bahwa dia berhasil menyelamatkan diri? Mungkin
saja dia seperti kita, berlindung di suatu tempat! Oleh karena itu, aku akan
pergi mencarinya!”
“lalu
kemana kau akan mencari!?”
“aku tidak
tahu, mungkin aku mulai dari tempat kerjanya, RS Fatmawati.”
“bodoh...
kau tidak akan bertahan sendirian di luar sana! Lihat apa yang terjadi tadi!”
bayu terdiam, kata-kata santi benar, tidak mungkin dia dapat sampai ke
fatmawati sendirian, bahkan bertiga pun belum tentu.
“maaf...
kekasihmu bekerja di RS Fatmawati?” Tanya Adi.
“iya...
kenapa?”
“aku pun
bekerja di sana.. aku seorang dokter.”
“apa?
Benarkah? Kau dari sana? Apa kau mengenal Winda? Ini fotonya... ” bayu
menyerahkan sebuah foto dari dompetnya kepada Adi.
“maaf aku
tidak mengenalnya..” jawab adi sambil tetap memandangi foto tersebut. “tapi
satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang selamat di sana, aku sempat
bertahan di tempat itu sejak bencana ini berawal, menurutmu, apa yang membuatku
mencoba pergi ke bintaro jika di sana aman?” Bayu hanya terdiam, dia mengambil
kembali foto winda dari tangan adi, dengan langkah gontai, tanpa mengatakan
apapun, dia berjalan ke lantai dua menuju kamar. Santi dan gading
membiarkannya, mungkin bayu butuh waktu sendiri beberapa saat.
“bagaimana
denganmu Santi?” gading kembali bertanya.
“aku harus
mempertimbangkannya... saat ini kita istirahat saja dulu, dengan persediaan
yang kita punya, setidaknya kita masih bertahan selama tiga hari di sini. Kita
tidak perlu buru-buru.” Santi berjalan terpincang-pincang menuju kamarnya di
lantai dua.
“apa yang
ada dalam kepala mereka?!” gading menggerutu. Baginya pergi ke bintaro
secepatnya adalah keputusan yang paling tepat. Tidak ada sedikitpun yang bisa
membuatnya merasa aman selama masih di rumah ini. Bayu benar-benar bodoh, untuk
apa dia membahayakan nyawanya sendiri demi mencari winda. Jika winda mati, dia
toh bisa mencari wanita lain. Yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya
sendiri terlebih dahulu. Lalu santi, dia pun bodoh, mungkin karena dia setengah
gila makanya dia tidak cemas dengan semua keadaan ini, dia tampak menikmatinya.
Dengan santainya dia bilang untuk mempertimbangkannya dulu, apa yang harus
dipertimbangkan? Ini adalah solusi satu-satunya untuk dapat selamat.
“kita
membutuhkan kedua temanmu untuk ikut, kita tidak bisa mencapai bintaro hanya
berdua... dan terlebih lagi, kurasa kita tidak bisa memaksa santi pergi dengan
kaki yang masih terluka.” Adi memecah lamunan gading.
“ya kau
benar...” gading sadar, setidaknya santi berguna ketika mereka terjepit dalam
keadaan bahaya seperti tadi.
***
Sebuah
elusan hangat membangunkan Santi dari tidur lelapnya, dia membuka mata dan
terkejut mendapati Adi duduk di sampingnya.
“apa yang
kau lakukan disini?” santi menatapnya tajam penuh curiga. Ia bangkit dan
menjauhkan kakinya dari adi.
“Ssst..
tenanglah, aku hanya memeriksa pergelangan kakimu...” adi kembali menarik kaki
santi, dia mengambil sebuah bungkusan kain yang berisi es batu dan
menempelkannya pada pergelangan kaki santi.
“ini... peganglah...” santi
memegang bungkusan itu, sebuah elusan di tangan kembali santi rasakan ketika
adi melepaskan bungkusan itu. “untung ini hanya cedera ringan... dengan
istirahat dua hari saja, kau bisa sembuh...” kini adi berdiri, dia
memperhatikan beberapa jenis senjata yang dipajang santi di temboknya. Dua buah
machete atau golok yang berkilau indah dipajang berhimpitan di satu sudut
dinding, beberapa buah nunchaku, dan belati militer disusun di sekelilingnya.
Sementara itu sebuah rak dibawahnya menampung senjata lain, beberapa jenis
brass knuckle disusun rapi dalam sebuah kotak berwarna hitam, kemudian berbagai
jenis pisau lipat, dan pisau karambit dipajang dalam kotak kaca. “wow... kau
orang yang sangat berbahaya sepertinya.”
Santi terus
menatap Adi, dia yakin sekali adi mengelus-elus kakinya sebelum dia terbangun
tadi, dan elusan di tangannya barusan, santi sangat tidak menyukainya. Selama
dia tinggal di kosan ini, tidak pernah ada satu orang pun yang berani masuk
kamarnya tanpa ijin. Bahkan tante maya pun tidak. Adi adalah orang pertama yang
melakukannya, santi sangat kesal, tapi mungkin adi tidak tahu apapun tentang
dirinya, dan aturan di kosan ini, lagipula dalam situasi seperti ini, aturan
sudah tidak lagi diperhatikan.
“terimakasih
atas esnya...”
“sudah
menjadi tugasku sebagai dokter.... kau punya hobi yang sangat.... tidak
biasa...” adi menunjuk kumpulan senjata tadi.
“ya.... aku memang tidak biasa...”
“senjata-senjata
itu berbahaya dan dapat melukai seseorang.... pernah mencoba salah satunya
selain pada manusia gila di luar sana?” Adi berkelakar.
“ya... aku
pernah merobek leher seseorang dengan karambit itu...” Jawab santi.
“hahaha...
sepertinya aku harus jauh-jauh darimu..” Adi tersenyum.
“ya... kau
harus...” Santi balas tersenyum.
“oh.. aku
harus membantu gading menyiapkan makan malam, kau istirahatlah lagi... jangan
lupa ketika kau tidur taruh bantal di atas kakimu itu, agar lebih tinggi dari
jantungmu...”
“kau
dokternya....” mata santi mengekor adi sampai dia keluar kamar. Santi tidak
suka dengannya. Santi beranjak dari kasurnya ke meja dan rak dimana
senjata-senjatanya disimpan. Dia memeriksa satu persatu benda kesayangannya,
dia memang berbeda batin Santi, karena saat dirinya mulai puber,
senjata-senjata inilah yang menjadi idamannya. Bukan kaka senior ganteng, bukan
penyanyi asia yang wajahnya telah ditambal plastik, juga bukan laki-laki
gondrong yang pandai memainkan gitar. Saat para gadis abg seusianya sibuk
belajar mempercantik diri dan menggaet pacar seperti halnya piala, santi lebih
tertarik menghajar para cowo yang mendekatinya.
“kau selalu
menjadi cinta pertamaku..” santi mengambil sebuah brass knuckle berwarna perak
yang berkilau dari rak paling bawah. Itu adalah brass knuckle pertamanya saat
dia berusia empat belas tahun, dia membelinya dari sebuah toko di alat-alat
bela diri. Santi masih ingat betul wajah bingung penjaga toko ketika dia mendengar
jawaban santi perihal alasan ia membelinya.
Saat itu
dia hanyalah gadis kurus penyendiri, karena suatu hal, dia dijauhi dan tidak
disukai oleh banyak teman-temannya. Tak ayal, dia menjadi sasaran bully
teman-temannya, baik laki-laki ataupun perempuan. Tapi ada satu pembully yang
paling santi benci, yaitu Reno, kaka kelasnya. Karena dia satu-satunya pembully
yang berani menyentuh tubuhnya, terutama bagian pribadinya. Santi tidak suka siapapun
menyentuh tubuhnya, dan reno akan mendapatkan balasan atas yang dia perbuat.
Santi
belajar bela diri secara otodidak, dan dia tidak pernah sekalipun
mempraktekannya dengan siapapun. Dia takut, tapi menghajar reno adalah
keharusan, dia bertubuh lebih besar darinya, Santi pasti tidak bisa menjatuhkan
reno dengan beberapa pukulan, kemungkinan besarnya dia yang babak belur. Kenapa
perempuan ditakdirkan begitu lemah? Gerutu santi. Saat itulah Santi membaca
tentang Brass Knuckle di internet, dan membelinya. “aku ingin menghajar seorang
lelaki.” Jawab santi kepada si penjaga toko. Beberapa hari kemudian, Reno dan
dua temannya masuk rumah sakit dengan wajah robek, dan santi dikeluarkan dari
sekolah.
Santi
tersenyum mengingat kejadian itu, pengalaman pertamanya menghajar orang, ada
perasaan nikmat ketika dia melakukannya. Perasaan yang sama yang didapat ketika
seseorang bermain game, atau berhubungan seks. Baginya menghajar orang adalah
sumber kesenangan. Semenjak saat itulah dia mulai mengoleksi senjata-senjata
itu. Semenjak itu pula santi sudah tidak ingat berapa orang yang telah dia
hajar.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“santi..
makan malam sudah siap.” Gading berteriak dari balik pintu.
“ya... aku
turun.” Santi segera menyimpan kembali brass knuckelnya dan berjalan
terpincang-pincang ke ruang makan. Gading tengah sibuk menyendok satu-satunya
lauk yang tersedia, Sarden. Kini mereka berkumpul di ruang tengah.
“mungkin
kita masih bisa bertahan tiga hari ke depan, tapi beras kita sudah habis, aku
tidak yakin aku bisa bertahan tanpa nasi...” gading membuka pembicaraan.
“seriously...??”
bayu nampak tidak senang. “di saat seperti ini yang kau khawatirkan adalah
nasi?”
“makanan
adalah hal yang sangat penting untuk bertahan hidup, setahuku tidak ada orang
mati karena ditinggal mati kekasihnya, yang ada orang mati karena kelaparan!”
“babi kau!”
bayu segera menarik baju gading yang duduk di seberangnya. Tangannya terangkat
bersiap meninju wajah gading.
“kau yang
babi!”gading mendorong bayu, melepaskan diri dari cengkramannya. Pukulan bayu
tidak mengenai sasaran.
“hentikan!”
santi berteriak.
“dasar
laki-laki bodoh dan super lebay!” gading mengambil sebuah tas coklat yang
berada di dekatnya dan melemparkannya ke arah bayu. Tapi bayu dapat menghindar,
dan dengan cepat menendang perut gading sampai dia tersungkur di lantai, bayu
segera menindihnya dari atas, bersiap memukulinya.
PRANG!!
pintu kaca sebuah lemari di samping televisi pecah dilempar asbak oleh Santi,
suara tersebut menghentikan Bayu. “aku bilang berhenti!” santi berteriak lebih
keras. Suaranya menggema di ruang tengah yang besar itu. Adi hanya terbengong
menyaksikan itu semua dari dapur. “apa yang kalian lakukan?” bentak santi, bayu
bangkit dan duduk kembali di sofa, begitu pula gading, sambil memegangi
perutnya yang ditendang bayu tadi.
“kita
memerlukan kerja sama untuk bisa bertahan hidup! Saat ini kita perlu
mendiskusikan prioritas kita, dan kita tidak dapat memutuskannya dengan kepala
yang dipenuhi emosi.”
“maaf...”
lirih bayu. Gading hanya terdiam.
“kita harus
memutuskan langkah kita berikutnya, aku telah memutuskan untuk pergi ke bintaro
setelah kakiku sembuh, gading dan adi tentunya ikut denganku, bagaimana
denganmu bayu?”
“aku...
tidak tahu...”
“lagi-lagi
itu....” gerutu gading.
“gading
diamlah..!”
“aku lelah
dengan sikapmu santi! Sok-sok mengatur, sejak kapan kau diangkat jadi ketua
kelompok ini?”
“oh ya...
seingatku, karena akulah kalian berdua masih bernafas saat ini, idekulah yang
membuat perut kalian kenyang saat ini! Kalau kau memang tidak mau menerima
aturanku, kau bebas pergi!” gading terdiam.
“hei...
hei... mari kita mendinginkan kepala kita dengan minuman ini...” adi datang
membawa baki yang dipenuhi empat gelas sirup buah dingin. “kita harus menikmati
kenyamanan es batu sebelum listrik padam.”
Adi membagikan gelas-gelas tersebut.
“beri aku
waktu sampai besok... aku akan memberikan keputusanku besok,” bayu meneguk
sirup buah tersebut sedikit. Sementara gading telah menghabiskan miliknya.
“aku harap
kau membuat keputusan yang bijak bayu....” santi meneguk sirupnya. “minuman ini
sungguh menyegarkan...”
“tentu
saja...” adi tersenyum lebar. Bayu beranjak dari sofa berniat menuju kamarnya
kembali di lantai dua, dia butuh waktu sendiri untuk memikirkan semuanya.
Sebelum menaiki tangga bayu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, sebuah
benda yang tercecer dari tas coklat yang dilempar gading tadi. Sebuah kalung
yang biasa dipakai anggota militer yang biasanya berisi data pribadi si pemakai.
Kalung model seperti itu banyak dijual di beberapa tempat wisata sebagai
souvenir dan kita dapat memesan tulisan sendiri. Bayu ingat membeli sepasang
kalung tersebut untuknya dan winda beberapa bulan yang lalu, sampai saat ini
kalung miliknya tergantung di kamarnya, jarang dia pakai, karena lelaki memang
tidak terlihat pantas memakai kalung. Tapi winda senang sekali memakai kalung
tersebut.
Till
death do us part
B & W
Begitulah
kata-kata yang terukir di kalung tersebut, ditambah dengan inisial dari nama
bayu dan winda. Di dunia ini, kalung yang bertuliskan seperti itu hanya ada
dua, milik bayu dan milik winda. Milik bayu tentunya masih berada di kamarnya,
dan winda tidak pernah menanggalkan kalung tersebut. Lalu, kenapa kalung itu
sekarang tercecer dari tas coklat, yang dilempar gading tadi? Tas siapa itu?
Bukankah itu tas milik Adi? Kepalanya beredenyut, dunia di sekitarnya terasa
berputar. Gading segera mengambil kalung tersebut dan berbalik.
“adi...
darimana kau dapatkan ini?” kepalanya semakin pusing, matanya sungguh berat,
bayu dapat melihat adi mengucapkan beberapa kata dari gerakan bibirnya, tapi
dia tidak dapat mendengar apapun, tubuhnya lemas, hal terakhir yang diingatnya
adalah senyuman adi sebelum semuanya berubah menjadi gelap.