Mata bayu
terasa berat, tidak seperti biasanya, kali ini tidak terdengar gangguan dari
kamar sebelah di jam empat pagi, entah karena memang Santi tidak melakukan
kegiatan hariannya, atau karena tubuh Bayu terlalu lelah sehingga gangguan itu
tidak terdengar. Bayu mengambil smartphone yang telah dicasnya semalaman. Di zaman
sekarang, hal pertama yang dilakukan manusia saat bangun tidur adalah mencari
smartphonenya. Tampak beberapa pesan masuk sejak subuh, dan satu panggilan tak
terjawab. Rupanya dari winda, pasti dia mencoba membangunkanku pikir bayu. Kini
dia mengecek kotak pesan, Senyum Bayu mengembang.
“pagi
sayaaang.... ayo bangun, nanti kamu terlambat”
“ih.. dasar
tukang tidur.... ditelponin gak bangun-bangun.”
Jari bayu
menari di layar touchscreen smartphonenya.
“ini baru
bangun cinta... makasih ya udah bangunin”
Kini bayu
bersemangat menyambut paginya, dia segera mengambil handuk dan menuju kamar
mandi. Gading rupanya telah berada di dalam kamar mandi, menunggu gading
selesai mandi sama seperti menunggu bus transjakarta, sangat lama dan
menyebalkan. Bahkan gading yang laki-laki mandi lebih lama dari santi, bayu
memutuskan untuk memakai kamar mandi bawah yang biasa dipakai pembantu.
Biasanya,
mbo Iyem sudah sibuk membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan jam segini, tapi
tidak sedikitpun terlihat batang hidungnya. Mbo Iyem tidak tinggal di rumah
itu, setiap pagi jam lima biasanya dia datang dan pulang sekitar jam empat
sore, kalau tidak salah dia tinggal di dekat Situ Gintung, tapi sudah beberapa
hari ini dia memang terlambat, katanya dia sekarang tinggal bersama anak
pertamanya di pasar jumat, dekat dengan Lebak Bulus. Mungkin hari ini pun dia
terlambat pikir bayu.
BRAKK!!
Terdengar suara pintu dibanting, bayu menoleh, Santi berlari ke arah gudang
mencari sesuatu, kini dia kembali dengan sebuah gembok besar di tangan, dia
segera keluar. Bayu penasaran, apa yang sedang dilakukannya. Dia mengintip
santi dari balik jendela, Santi sedang menggembok pagar depan. Apa yang dia
lakukan? Pikir Bayu. Begitu kembali ke dalam rumah Santi segera mengunci semua
pintu, pintu depan, belakang, bahkan jendela, semua dia kunci rapat-rapat. Bayu
tahu peraturan nomor dua tentang santi, jangan pernah menegurnya langsung, tapi
saat ini tante Mira sedang tidak ada, dan kelakuan Santi bisa jadi masalah,
sebaiknya dia berbicara dengan Santi, batin Bayu.
“em...
kenapa semua pintu dikunci san?” Tanya bayu datar, mencoba tidak
menyinggungnya. Setahu Bayu, orang tidak waras mudah tersinggung.
“jangan ada
yang keluar..!” Santi duduk di sofa sambil menatap lantai. Tatapannya kosong.
Semua kunci pintu dan gembok dipegangnya erat-erat.
“Maksudnya?”
Bayu melihat percikan darah di tangan Santi, di kaos putihnya yang basah oleh
peluh, dan di wajahnya.
“kau harus
dengar bayu, tidak ada yang keluar, disana berbahaya...” kini matanya mendelik
Bayu.
Waduh,
repot ini urusannya, gumam Bayu. Sepertinya Santi sedang kambuh, semenjak bayu
tinggal disana, belum pernah ada kejadian seperti ini. Terakhir kali dia
kambuh, menurut tante mira, tiga tahun yang lalu, dia memukuli tukang kebun
tante Mira sampai babak belur, tanpa alasan yang jelas. Bayu hanya menatap
Santi yang kembali menundukan kepala memandang lantai, kali ini tampak tubuhnya
menggigil, Bayu tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Terdengar
siulan Gading yang baru keluar dari kamar mandi, Bayu segera beranjak
mendekatinya. Wajahnya yang ceria berubah kusut mendengar cerita Bayu tentang
kelakuan Santi. Gading memutuskan untuk berbicara dengan Santi.
“Santi... aku dan bayu harus berangkat jam
setengah delapan, boleh kan kita pinjem kuncinya sebentar.”
“jangan ada yang keluar, di sana
berbahaya,” jawab santi lirih.
“san... aku harus bekerja, bayu ada
pelatihan, jadi kita harus keluar.”
“di sana berbahaya..!” suaranya
meninggi.
“Bahaya apa sih?”
“kau bisa mati kalau keluar,
Gading!” Santi menatap Gading.
Gading,
bayu, dan santi terdiam beberapa saat. “kita ikat saja cewe gak waras ini”
bisik gading kepada Bayu.
“kita pake
cara kekerasan?”
“ya aku sih
menyebutnya pemaksaan” Bayu menelan ludah, setahu dia Santi pasti lebih kuat
kalau masalah fisik, bisa-bisa dia yang benjol kena gebuk santi.
“aku
dengar...” santi mendelik Gading.
“eh...”
“kau pikir
aku tidak dengar apa yang kau bilang barusan” dia berdiri. Sepertinya dia
tersinggung. Bayu merasa bulu kuduknya berdiri, dan jantungnya berdetak lebih
cepat, melihat santi berdiri sambil mengepalkan tangannya, seakan ingin
menghajar Gading, Bayu serasa beku karena keadaan.
“kau bilang
aku cewe apa?” santi menunjuk Gading, tidak sempat dia melanjutkan kata-katanya.
Terdengar suara dari luar berteriak.
“Den
Bayu... Den Gading... Tolong bukain gerbang....” itu suara Mbo iyem. Ada
sesuatu yang tidak biasa dari suaranya, seperti suara orang yang menangis.
Santi segera menuju jendela untuk mengintip, dan segera melemparkan kunci
kepada Bayu.
“cepat
bukakan!”
Tanpa
protes bayu segera menuju gerbang, dan terkejut melihat mbo iyem terduduk depan
gerbang sambil menangis, kakinya bersimbah darah, motor bebek jadul andalannya
digeletakan begitu saja di tengah jalan. Dengan sigap Bayu yang dibantu Gading
menggotong mbo iyem ke dalam rumah,
santi segera mengunci kembali gerbang dan pintu.
“mbo apa
yang terjadi?” tanya Bayu. Mbo Iyem, hanya menangis menahan sakit.
“Gading
ambilkan air, kain bersih, alkohol, dan perban!” Komando Santi, Gading segera
bergerak menuju tempat P3K dekat gudang.
“Mbo... apa
yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Bayu kembali bertanya, namun kini
erangan sakit mbo Iyem berhenti, hanya ada kesunyian yang keluar dari mulutnya.
Santi segera memegang urat nadi di leher Mbo iyem.
“dia masih
hidup...” Bayu dan santi lega, ternyata Mbo iyem belum meninggal, dia hanya
kehilangan kesadaran. Mereka mendudukan mbo Iyem di sofa. Kini Gading telah
kembali, Santi segera membasuh luka di betis kanan Mbo iyem, dan memperbannya,
tidak rapi, santi bahkan tidak tahu cara merawat luka seperti itu, yang
terpenting darahnya berhenti mengalir.
“daging di
betisnya dikoyak.... seperti bekas digigit.” Gumam Santi.
“apa
mungkin dia digigit anjing? Setahuku tidak ada anjing liar di dekat sini.
Sebaiknya kita segera bawa dia ke dokter.” Saran Gading.
“tidak....
itu bukan anjing, dan sudah kubilang, tidak ada satu pun yang keluar dari
rumah, kecuali dia mau bernasib sama seperti mbo Iyem!”
“memangnya
ada apa di luar sana? Apa yang membuat mbo Iyem menjadi seperti ini?” teriak
Gading.
“aku tidak
tahu... tapi yang pasti di luar sana berbahaya!” santi balas berteriak.
Gading dan
bayu sadar, berdebat dengan santi sepertinya tidak akan menyelesaikan masalah. Mencapai
kesepakatan tentang sesuatu dengan orang waras tapi penuh kepentingan saja
sudah sangat sulit, apalagi jika yang dihadapi adalah orang yang kurang waras
model santi. Bayu segera menarik gading ke dapur.
“kita harus
melakukan sesuatu, aku takut mbo iyem kenapa-napa kalau tidak segera dibawa ke
dokter.” Bisik Bayu.
“benar..
tapi kau tidak lihat tadi, santi tidak bisa dibujuk, lalu apa yang harus kita
lakukan? Mencoba memberinya pengertian itu bagai menabur garam di lautan.”
“biar
kupikir dulu.” Bayu duduk di kursi meja makan, sambil berpikir ia memperhatikan
santi yang mondar-mandir di ruang tengah, mbo iyem terduduk di sofa
membelakangi bayu. Tiba-tiba bayu melihat kepala mbo iyem bergerak. Perlahan, mbo iyem bangkit dari sofa. Santi mematung,
menatap mbo iyem, pandangannya dipenuhi kengerian. Sementara itu bayu segera
menghampiri mbo iyem.
“mbo... mbo
tidak apa-apa?”
“jangan
Bayu!!” teriak santi.
“kenapa?”
Terlambat,
mbo iyem berbalik, dan langsung menerkam bayu yang berada di belakangnya. Bayu
tidak sadar dengan apa yang terjadi, yang dia tahu kini dia terlentang dan mbo
iyem mencoba untuk menggigit lehernya, reflek dia menahan leher mbo iyem sekuat
tenaga, wajahnya tepat terhenti di depan wajah bayu. Air liur bercampur darah
menetes dari mulut mbo iyem yang terus mencoba mencapai leher bayu, matanya
kuning menjijikan.
“AAAARRGH....”
bayu sekuat tenaga menahan mbo iyem, tenaganya sangat besar, mbo iyem yang
sudah tua, memiliki tenaga sebesar kuli bangunan berumur 20an, tidak mungkin.
Batin bayu. Kini gigi mbo iyem telah menyentuh kulit leher bayu, tangan bayu
sudah tidak bertenaga, dan akhirnya... BUKK!!!!
Mbo iyem
terlempar ke samping menabrak sofa karena ditendang santi tepat di perutnya.
Mbo iyem seperti tidak merasakan sakit, dia kembali berdiri dan kini balik
menerjang santi. tapi, santi lebih cepat, dia tangkap tangan mbo iyem, lalu
membantingnya ke lantai. Mbo iyem terjatuh tepat di atas meja kaca depan
televisi. Meja tersebut pecah menimbulkan suara gaduh, banyak pecahan kaca terlempar
ke berbagai sudut ruangan.
“anjriiit....”
Gading berteriak. “mbo sadar mbo!!!” dia bersembunyi di balik sofa. Mbo iyem
mengerang, sepertinya dia belum selesai, dia berdiri kembali, sebilah pecahan
kaca besar menancap di punggungnnya, tapi mbo iyem seperti tidak merasakannya
sedikitpun. Berbeda dengan mbo iyem yang tadi merintih kesakitan karena kakinya
terluka.
“seharusnya
dia tidak bisa bangkit lagi..” gumam santi.
“kenapa
dengan mbo iyem?” tanya bayu. Mbo iyem berlari ke arah santi, gerakannya masih
sama, mencoba menerkam, santi kembali menangkap tangannya dan membantingnya
kembali ke lantai, tapi kali ini santi tidak melepaskan cengkramannya, dia
memutar tangan mbo iyem dan menginjak sikunya sekuat tenaga. Bunyi tulang patah
terdengar. Santi telah menghancurkan sendi siku kanan mbo iyem.
“Apa yang
kau lakukan santi? kau bisa membunuhnya!” gading lagi-lagi berteriak.
“berisik
sekali kau!” santi geram.
Mbo iyem
masih mampu berdiri, walau tangan kananya menggantung-gantung setelah dipatahkan
santi, dia nampak tidak merasakan itu sedikitpun. Air liur terus menetes dari
mulutnya seperti anjing kelaparan yang baru menemukan seonggok daging. Dia mengerang
dan hanya berdiri nampak menunggu sesuatu. Bayu, gading dan santi terbengong
melihatnya, ketiganya diam membatu menunggu gerakan mbo iyem. Tapi sepertinya dia
sedang tidak ingin bergerak, dia hanya berdiri terdiam.
“mbo...”
bayu memanggil. Seketika mbo iyem menoleh dan menerjang bayu, beruntung bayu
berhasil menghindar, tapi mbo iyem masih mengejarnya. Santi segera menghadang
dan menendang perut mbo iyem, ia hanya mundur beberapa langkah dan kembali
menerjang.
“sialan..”
batin santi. Dengan sangat lincah santi berkelit dan berhasil menangkap mbo
iyem dari belakang, kedua tangannya melingkar mengunci leher mbo iyem, dan
dalam sekali gerakan dia mematahkan lehernya.
“dengan
begini dia tidak akan mampu berdiri lagi.”
“aaah.... kau
membunuh mbo iyem?” teriak gading.
“diam kau!
Dari tadi hanya berteriak saja, memangnya apa yang harus kulakukan?” balas
Santi.
Hening
terjadi beberapa saat, semuanya kacau, kepala bayu pening tak mampu memahami
semuanya, kini mbo iyem teronggok menjadi mayat di sudut rumah ini, dan santi
lah pelakunya. Bayu duduk di sofa, tak mampu bicara, Gading duduk di
sampingnya, begitu pun santi. dia duduk di sofa sebelah bayu. Mereka bertiga
menggigil, bukan karena dingin, tapi karena takut. Gading menyalakan televisi
dengan maksud menghilangkan suasana tidak nyaman itu, tapi ternyata di
televisi, mereka melihat hal yang lebih menyeramkan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar