Semua
stasiun televisi memberitakan kekacauan di beberapa tempat di jakarta, lebak
bulus salah satunya, kekacauan yang disebabkan oleh ratusan orang mengamuk
tanpa sebab dan mulai melukai warga sekitarnya dengan cara menggigit mereka!
jangan-jangan luka di kaki mbo iyem adalah gigitan warga yang mengamuk itu,
pikir Bayu.
Tampak di
layar televisi, seorang reporter laki-laki melaporkan langsung dari tempat
kejadian, tiba-tiba seorang warga yang mengamuk berlari menubruknya dari
belakang, dan menggigit pundak si reporter, darah bercucuran, dan semua itu
terekam oleh kamera, live disaksikan seluruh penduduk yang menonton acara
tersebut. Pihak stasiun tv segera memutus sambungan kamera tersebut.
“gilaaaa....
apa yang baru saja terjadi??” Gading
panik.
“itu yang
aku maksud, kita tidak boleh ada yang keluar, saat aku joging ke lebak bulus,
aku bertemu dengan beberapa orang gila itu, tapi aku berhasil kabur setelah aku
menghajarnya. Tak kusangka ini terjadi hampir di seluruh kota.”
“jadi...
darah di badanmu itu...” bayu tidak dapat meneruskan kata-katanya.
“ini milik
mereka,... mbo iyem pasti diserang oleh mereka, dan entah bagaimana dia berubah
menjadi seperti mereka.”
“kegilaan
mereka menular?”
“sepertinya...”
angguk Santi.
“Lalu kita
harus gimana?” Gading berteriak dengan
panik.
***
Bayu
terbangun, mata kuning mbo iyem yang mencoba menyerangnya tadi terbayang di
mimpi. Dia tertidur di sofa sejak sore karena lelah memblokir semua akses masuk
ke dalam rumah. Kini sebatang lilin di atas meja menerangi ruangan utama rumah
itu. Semua furnitur besar di rumah ini seperti lemari telah dipindahkan untuk
menghalangi pintu agar tidak bisa didobrak dari luar. Sejak siang, para manusia
rabies, begitu Gading menyebutnya, telah berkeliaran di perumahan ini. Mereka
selalu mencoba mendobrak masuk ke rumah, itu sebabnya tidak ada lampu yang
menyala, hanya lilin menerangi ruangan besar itu.
Mayat mbo
iyem masih tergeletak di tempat yang sama, tergolek dengan mata melotot dan
mulut mengeluarkan semacam busa berwarna putih, ketika mata bayu tak sengaja
melihatnya, rasa mual menyerang, pening di kepalanya masih belum hilang, dan
jawaban operator yang sama masih didengarnya ketika dia mencoba menelpon Winda.
Entah
bagaimana perasaan gading tapi yang jelas nafsu makannya tidak berkurang
sedikitpun. Kini dia telah menghabiskan piring mie instan keduanya, saat dia
senang seperti saat berhasil mendapatkan pacar, dia merayakannya dengan banyak
makan, saat dia sedih ketika sering ditolak perempuan, dia pun menghibur
hatinya dengan banyak makan, dalam kondisi ketakutan seperti sekarang pun dia
tetap banyak makan. Bayu kembali melirik mayat mbo iyem, dia yakin sekali,
tidak akan ada makanan yang bisa ditelannya saat ini.
“kita harus
membuang mayat itu,” santi datang membawa sepiring mie instan dari dapur.
“baunya mulai menusuk hidung.” Dia menyuapkan sesendok mie. Gading masih sibuk
dengan mienya, sementara bayu hanya merubah posisi duduknya di sofa.
“oh
tuhan... tidak adakah cara lain, aku tidak berani menyentuh makhluk itu.”
Rengek gading. Bayu setuju dengan gading, tapi mayat itu harus dienyahkan jika
bayu ingin mualnya hilang.
“biar
kubantu...” bayu berinisiatif. Dia segera memegang kedua kaki mbo iyem,
sementera santi memegang kedua ketiaknya. Bayu menahan nafas tidak ingin
sedikitpun mencium baunya, ketika dia mulai kehabisan udara, dia memaksa
bernafas lewat mulut, tidak nyaman, tapi lebih baik daripada menghirup udara
yang berbau mayat mbo iyem. Kini mereka berdua menaiki tangga menuju balkon.
“apakah
mayat biasa mulai berbau setelah enam jam meninggal?”
“kurasa
tidak, ada yang aneh dengan mayat ini. Dia membusuk lebih cepat.”
“apakah
karena penyakit yang membuat mereka menjadi gila?”
“mungkin..”
santi hanya mengangkat kedua bahunya. Dia tidak menunjukan sedikitpun rasa
jijik, setelah yang dilakukannya pada mbo iyem, atau makhluk yang dulunya mbo
iyem ini, dia tetap terlihat biasa saja. Kini mereka berada di balkon. Tempat
tersebut merupakan favorit bayu di sore hari, karena dengan duduk di balkon
rumah ini, kau dapat melihat matahari ketika ia terbenam, sungguh indah. Tepat
dibawahnya adalah jalanan komplek, santi memperhatikan keadaan sekitar
memastikan tidak ada makhluk gila itu di jalanan. Hanya ada satu, dia sedang
menabrak-nabrakan dirinya ke tembok pagar rumah ini, mereka sepertinya menjadi
bodoh dan tidak berakal, mereka bahkan tidak tahu cara membuka pintu.
BUKKK....
mayat mbo iyem menabrak aspal. Si manusia gila dekat pagar mendengar suara itu,
dia berlari mendekati mayat mbo iyem, mengendus-endusnya seperti seekor kucing
yang menemukan makanan dan memastikan bahwa itu layak dimakan, kemudian kembali
menabrak-nabrakan diri ke tembok yang tadi, mayat mbo iyem tidak layak dia
makan.
“sungguh
bodoh...” gumam santi.
“apa dia
bisa melihat kita?”
“kurasa
tidak. Kurasa kita bisa menyalakan lampu sekarang.” Santi berbalik menuju kamarnya.
bayu kembali ke ruang tengah, gading terkapar di sofa memegangi perut.
Sepertinya roti bakar dapat membuat perut bayu lebih baik. Dia segera menuju
dapur, dan kembali duduk di sofa dengan dua potong roti bakar hangat.
“semua ini
terasa seperti mimpi...” gading benar, tapi bayu tidak pernah memimpikan hal
yang sangat buruk seperti ini. “di film-film... ini adalah bencana zombie, kau
tahu, mereka adalah mayat hidup yang bangkit kembali dengan rasa lapar akan
daging manusia.” Bayu teringat film zombie yang ditonton terkhir kali beberapa
bulan yang lalu dengan winda di bintaro plaza, ah... bagaimana keadaan winda
saat ini, bayu segera mengambil hape mencoba menelponnya, tapi lagi-lagi
operator yang menjawab.
“alat
komunikasi lumpuh, listrik padam, dan akhirnya peradaban musnah. Itu yang
terjadi berikutnya.”
“makhluk
itu terlihat sangat bodoh, aku tidak yakin mereka mampu mengalahkan manusia,”
“mungkin,
tapi sejak sore semua stasiun tv mati, adakah polisi yang datang menyisir
tempat ini mencari korban selamat? Mereka mungkin sibuk menyelamatkan diri.”
“aku yakin
pemerintah sedang melakukan sesuatu. Mereka pasti punya rencana..” ada keraguan
di kalimatnya sendiri. Tidak, itu adalah harapannya, bahwa semua akan baik-baik
saja. Kini gading dan bayu sama-sama terdiam, mereka berdua tenggelam dalam
lamunannya masing-masing. Dunia bayu akan indah jika semua ini tidak terjadi,
karir, percintaan, dan kehidupan sosialnya begitu sempurna jika saja ini tidak
terjadi, jika oh.. jika...., apakah semua itu dapat kembali seperti semula
ketika semua ini berakhir? Kapan ini akan berakhir?
Gading
bukanlah seorang pejuang, dia jenis orang yang terbiasa melarikan diri dari
masalah, dan juga orang yang pesimis. Dalam keadaan seperti ini, pikirannya
hanya dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi, dan solusi
terbaik yang ada di otaknya ini adalah bunuh diri, dia tidak ingin mati
pelan-pelan dicabik-cabik oleh makhluk itu seperti pak septo tetangga sebelah
tadi siang.
“hey...
jika ini adalah hari terakhirmu hidup, apa yang ingin kau lakukan?”
“apa yang
kau bicarakan?” bayu tidak nyaman dengan pertanyaan gading. “kita tidak akan
mati besok!”
“Kau benar,
mungkin lusa kita akan mati.”
“Gading...
Cukup!”
“setiap
manusia pasti akan mati..”
“ya.. tapi
aku tidak akan mati oleh makhluk itu, aku sudah memutuskan untuk mati di
pelukan winda!”
“aku yakin
sekali pernah mendengar bahwa kapan kita mati sudah diputuskan oleh tuhan jauh
hari sebelum kita bahkan lahir...” bayu diam tak dapat menjawab. “jika kau
dapat selamat sampai bencana ini berakhir, apa kau yakin winda selamat? Dari
tadi kau tidak dapat menghubunginya kan?” bayu segera beranjak dan menarik baju
gading dengan kasar.
“bajingan...
berani sekali kau bilang begitu?!”
“aku hanya
bilang bahwa kematian tidak ada yang tahu kapan akan datang” wajah gading datar
penuh keputusasaan. “jika ini hari terakhirmu, apa yang ingin kau lakukan?”
bayu melepas baju gading, dia terduduk, air mata membasahi pipinya.
“aku hanya
ingin memeluk winda...” bayu menyeka air matanya. “dengar gading, aku tahu kita
sama-sama putus asa, tapi aku yakin jika kita berjuang, kita dapat mengatasi
bencana ini.” Itu adalah kata-kata yang terlahir dari pengalaman bayu yang
berjuang untuk sekolah dari kecil. Pengalaman itu telah memberikan bukti
bagaimana kerja kerasnya membuahkan hasil. Walau harus bayu akui, tidak ada
masalah di pengalamannya sebesar masalah yang mereka hadapi sekarang.
“aku sangat
takut bayu... tapi ini membuatku berpikir, apa yang kutakutkan sebenarnya? Para
makhluk rabies itu? Atau kenyataan bahwa aku bisa mati dalam waktu dekat ini?
Dan kusadari bahwa aku takut mati!” bayu pun takut, dia takut tidak bisa
melihat dan menyentuh winda lagi.
“hey...
kalian berdua bisa tenang tidak?” Santi datang sambil menyeruput kopi, sepasang
headset menggantung di telinganya, dia kini mengenakan piyama berwarna biru
muda dengan corak tokoh kartun yang bayu tidak kenal. Bau shampoo tercium dari
rambutnya yang masih basah terurai, sepertinya dia baru saja mandi. Wajahnya
tenang, tidak seperti santi di siang hari yang gemetar melihat mbo iyem bangkit
dengan sebilah kaca menancap di punggungnya.
“kau?
Bagaimana kau bisa setenang itu dalam situasi seperti ini?” bayu heran.
“tenanglah...
kita aman di dalam rumah ini, asalkan kalian tidak membuat kegaduhan seperti
barusan. Asal kalian tahu, mereka sangat tertarik dengan suara.” Jawabnya
tenang.
“apa kau yakin?” gading tidak percaya.
Terdengar kegaduhan dari arah gerbang depan, seseorang memanjat pagar, dan
menggedor-gedor pintu depan.
“tolong....
tolong... buka pintunya...”
ketiganya
kini saling menatap. Jika dibiarkan, dia akan menarik perhatian makhluk itu.
Santi memiliki ide, dia segera menuju jendela, dari sela-sela besi tralis
jendela, dia melihat seorang laki-laki terus saja menggedor pintu. Beberapa
manusia rabies mencoba mendobrak pagar tertarik dengan si laki-laki. Pagar itu
terlalu kuat untuk mereka robohkan.
“hey...
Sssst...” santi memanggil. Si lelaki menoleh.
“tolonglah
mba.. tolong biarkan aku masuk.”
“oke...
tapi kau jangan berisik. Sekarang kau masuklah ke garasi!” santi dibantu bayu,
memindahkan furnitur yang menghalangi pintu penghubung rumah dan garasi. Kini
mereka semua berada di ruang tengah. Rupanya si lelaki melihat lampu menyala di
kamar santi, dan mengira bahwa di rumah itu ada manusia. Santi segera menyadari
kesalahannya, lampu mungkin tidak menarik para manusia rabies, tapi dapat
menarik perhatian manusia lain yang selamat. Dia segera mematikannya, para
manusia yang datang dapat menarik perhatian manusia rabies, santi tidak mau itu
terjadi.
“aku
sungguh berterima kasih...” si lelaki yang mengaku bernama Sandi itu mengenakan
kemeja lengan panjang yang sudah kotor, bahkan lengan kirinya berlumuran darah,
celana hitam yang bayu yakin berharga mahal yang dia kenakan pun terlihat sobek
di lutut dan ujungnya. Sepertinya dia berjuang melawan para manusia rabies
sampai seperti itu.
“ini...
obati lukamu dengan ini,” bayu memberikan sebotol antiseptik dan perban. Sandi
tidak berhenti bercerita bagaimana dia terjebak di mobil ketika semua itu
terjadi. dia hendak pergi ke kantornya di sudirman, tapi mobilnya terjebak
macet di rempoa, saat itulah dia melihat segerombolan orang menyerbu para
pengemudi mobil dan motor dari arah pasar jumat. Saat siang dia berlindung
dengan beberapa orang lainnya di alfamart. Namun akhirnya dia harus melarikan
diri karena orang-orang gila itu dapat memecahkan kaca pintu alfmart. Menurut
sandi, orang-orang gila itu memiliki kekuatan yang tidak biasa. Bayu setuju,
dia sendiri pernah beradu tenaga dengan mbo iyem.
“apa yang
menyebabkan luka di lenganmu?” santi menyelidik.
“oh ini...
sepertinya karena aku terjatuh.” Sandi tersenyum. Santi tidak tenang dengan
luka itu. Guratan kecemasan nampak di wajahnya, guratan yang bayu tidak lihat
sebelum lelaki ini muncul. Setelah sekitar sepuluh menit, sandi tertidur di
sofa, gading dan bayu terduduk di sofa di depannya. Santi segera menuju gudang
dan kembali dengan tali. Dia mengikat sandi yang sepertinya tertidur sangat
pulas, tidak terganggu dengan santi yang sedang mengikat tubuhnya. Sementara
itu, bayu dan gading hanya melongo menyaksikannya.
“kalian
diam.. jangan berkomentar.” Santi seakan tahu apa yang ada di pikiran mereka
berdua. “kalian ingat apa yang terjadi dengan mbo iyem?” keduanya mengangguk.
“aku yakin orang ini telah digigit, dan tinggal menunggu waktu dia berubah
menjadi seperti manusia rabies itu.” Santi menyelesaikan simpul terakhir di
ikatannya, kini si lelaki telah terikat sepenuhnya, tangan dan kakinya tidak
akan dapat bergerak bebas. “aku mengikatnya dengan tujuan khusus.”
“tujuan
apa?” bayu tak tahan untuk berkomentar. Si lelaki mulai mengerang, dia membuka
matanya yang kini telah berubah menjadi kuning. Mulutnya mengeluarkan liur seperti
anjing. Dia berontak mencoba melepaskan diri. Ketika dia berhasil duduk, santi
menendangnya hingga jatuh ke lantai. Dia menginjak perutnya, membuat sandi
makin mengerang. Santi menduduki dadanya, dan menempelkan lakban hitam di
mulutnya.
“begini lebih
baik” santi menghunus sebuah belati. Bayu dan gading berpandangan ngeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar