Selasa,
30 Juli 2013, saat itu di kosan aku bersama seorang tamu bernama mas abdul
karim, beliau adalah teman dari saudaranya teman kosanku….. (agak complicated
memang). Dia berniat numpang di kosan bersama saudaranya teman kosanku itu
karena harus melakukan serangkaian tes untuk daftar studi S3 di pasca sarjana
UIN. Kami pun sedikit berbincang sekedar untuk mencairkan suasana, dan
sampailah pada percakapan berikut.
“semester
berapa mas toni?” Tanya mas karim.
“sekarang…
berarti semester 10 mas hehe…”aku cengengesan.
“wah
betah yah di kampus…” sindirnya
“haha
iya…. Soalnya lagi seneng dapet ilmu baru…”
“memangnya
kalau semakin lama, mata kuliahnya semakin dalem ya mas?”
“oh
bukan gitu, kalau kuliah sih dari semester 8 juga udah kelar” jawabku “dapet
ilmu barunya dari oranisasi mas…”
“oh…
menarik ini” katanya sambil tersenyum, tapi tidak meneruskan kata-katanya.
Kata
menarik yang diucapkan beliau memiliki dampak yang sangat besar dalam benakku.
Aku pun mulai merenungi jawabanku itu tadi. Beberapa bulan yang lalu ketika
orang tuaku pun bertanya kenapa belum lulus aku menjawab
“iya
ma… sekarang masih pengen ngegali pengalaman dulu”
beliapun
menjawab “ya cari pengalamannya pas udah lulus aja”
“ya
gak bisa, kalau udah lulus mah fokus kerja, mana bisa ngegali pengalaman lagi,
soalnya cuma ada di kampus”
Yang
kumaksud cuma ada di kampus adalah sebuah UKM di kampus UIN.
Kenapa
itu dijadikan alibi olehku? aku mulai merenung…………., tapi ternyata, selain
karena kemalasan ngerjain skripsi, pemikiran kaku otakku kalau nulis ide harus
sudah clear, dan sikap perfeksionis, “pengalaman” atau “ilmu baru” yang
kumaksud tadi bukanlah sekedar alibi saja. Ini adalah hasil renunganku atas hal
tersebut:
Aku
dilahirkan dari keluarga yang tidak terlalu terbuka dalam hal komunikasi. Tidak
pernah terjadi sesi curhat di keluargaku, bukti nyata dari semua itu adalah
kakunya hubunganku dengan kakakku sendiri. Ketidakpekaanku akan lingkungan
sekitar mungkin jadi salah satu bentuk negative dari hubungan yang tidak
terbuka dalam keluarga. Aku tidak pernah ditegur karena tidak peka.
Ketidakpekaan ini membuatku sulit menempatkan diri pada posisi orang lain,
egois, dan sulit memahami perasaan orang lain.
Di
sini aku tidak bermaksud menyalahkan orang tua atas kejelakan diriku, sekali
lagi kutekankan TIDAK, cuma menggambarkan bahwa sebenarnya sikap seseorang ya
bawaan dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Kalau ada yang pernah merasa
nada suaraku tinggi ketika bicara dan
tersinggung (padahal tidak ada maksudku menyinggung), itu karena secara tidak
sadar aku terpengaruh oleh gaya bicara orang tuaku yang seperti itu (akupun
baru sadar setelah di bangku kuliah, tepatnya setelah belajar mata kuliah
perkembangan peserta didik). Toh orang tuaku tidak pernah kuliah, wajar kalau
mereka tidak paham, dan aku sangat memakluminya.
Anehnya,
pengetahuanku akan hal seperti itu, masih belum cukup membuatku bersikap lebih
bijak (tetep tidak peka, egois). Aku merasa setelah sekolah dari tk sampai
kuliah semester 6 tidak ada kemajuan berarti dalam masalah sikap. Semua itu
berubah setelah aku diberi amanah besar di UKM tersebut. Sejak masuk UKM aku
sering didoktrin tentang kekeluargaan,
dan trust. Tapi tak pernah
kurenungkan dalam-dalam sampai amanah itu datang, dan lebih menyesalnya lagi,
kesadaran itu muncul justru setelah amanah itu selesai.
Entah
bagaimana pendapat orang lain tentang kekeluargaan, tapi dari yang kupahami
dengan hatiku, kekeluargaan berarti keadaan dimana saling mengerti. Mengerti dalam hal yang sangat dalam dan
tercermin dalam tindakan. Sementara trust
bagiku berarti mempercayakan kelemahan
kita pada keluarga kita karna kita tahu dia tidak akan menggunakannya untuk
menjatuhkan kita tapi justru untuk melengkapi kita. Ada unsur husnuzon
dalam pengertian trust yang kupahami. Yang berimplikasi bahwa setiap tindakan keluarga kita, walaupun
menyakiti hati kita, adalah murni bermaksud baik, hanya mungkin caranya yang
salah, atau kita tidak bisa melihat niat baik itu karena ketidakbijaksanaan
kita sendiri, atau ketidakpahaman kita yang mendalam akan dirinya yang berarti
belum sepenuhnya kita anggap sebagai keluarga.
Bicara
teori memang membingungkan, biar aku berikan contoh sebuah kejadian seminggu
yang lalu. Saat itu aku sedang pulang ke sukabumi, aku dan ibuku terlibat
perdebatan tentang sepatu. Beliau menanyakan sepatu bekas kakakku yang kubawa
ke ciputat, apakah masih ada, aku yang sudah lupa menyangkal pernah bawa sepatu
(ternyata sepatunya sudah hilang lama sekali digondol maling di kosan lama).
Aku emosi karena aku mengganggap ibuku sepertinya lebih mementingkan sepatu.
Akhirnya kami pun bertengkar, ibu pergi ke dapur dan aku termenung di depan tv
sambil bersama adikku yang sedang menyetrika (dia juga kena semprot ibuku
karena malas menyetrika bajunya sendiri).
Beberapa
saat kemudian ibuku lewat seperti kebiasaannya sambil melayangkan komen pedas
menyakitkan hati, aku pun membalas “mama tuh kebiasaan, suka ngasih komen
sambil lewat gitu, itu tuh salah mah buat ngedidik anak, gak ngefek buat
anaknya malah bikin sakit hati” JLEBB!!! Seketika itu aku sadar, aku dapat
mengeluarkan kata-kata itu karena aku setidaknya telah kuliah empat tahun, aku
sedikitnya paham bagaimana mendidik anak dari teori-teori pendidikan sehingga
berkesimpulan bahwa cara ibuku itu salah, tapi bagaimana dengan ibuku? Dia
tidak pernah kuliah, pendidikan tertingginya adalah esemka. Sehari-hari
kerjanya Cuma mengurus rumah, tidak pernah berkutat dengan buku-buku pendidikan.
Mana paham dia masalah psikologi anak, cara mendidik humanis dan lain
sebagainya. Aku memiliki posisi sebagai orang yang paham, sedangkan dia tidak.
Akupun merasa bersalah. Bagiku ini bentuk konkret memahami keluarga kita.
Aku
pun mulai berpikir, sebenarnya apa maksud ibuku mengungkit sepatu itu, aku
tidak tahu, tapi aku Cuma bisa berhusnuzon saja, karena dia ibuku dan dia
keluargaku yang pastinya paling menyayangiku. Biasanya pertengkaran seperti ini
akan berakhir dalam kedongkolan dan tidak pernah ada penyelesaian kecuali oleh
waktu, walaupun pemikiran diatas terjadi dalam benakku. Perasaan bersalah pasti
muncul tapi cukup disimpan dalam hati saja. Tapi, sebagaimana yang kupahami
dari kehidupan di UKM bahwa keharmonisan tidak akan dicapai dengan cukup
“diem-dieman saja, menyimpan perasaan dongkol” maka untuk pertama kalinya dalam
hidupku sejak aku bisa berpikir sampai saat itu, aku mendatangi ibuku memeluk
tangannya dan meminta maaf atas kejadian tadi, aku mencurahkan isi hatiku bahwa
aku tadi emosi makanya berkata-kata yang tidak enak hati, dan ternyata alasan
dia menanyakan sepatu itu, gara-gara dia melihat sepatuku yang sudah bisa
dibilang usang dan merasa prihatin denganku. Dampaknya sungguh luar biasa, dia
menangis. Akupun merasa lega karena pertama kalinya aku bisa mematahkan
kebekuan komunikasi di keluarga ini.
Kesimpulan
dari cerita itu adalah bahwa tindakanku meminta maaf bukanlah hasil belajar ku
di sekolah formal. Itu adalah satu perubahan sikap yang menurutku cukup
signifikan yang tidak akan pernah dicapai dengan hanya menghafal teori atau
rumus suatu ilmu pengetahuan. Itu merupakan hasil dari pendidikan karakter yang
kuserap secara tidak langsung dari kehidupanku di UKM. Jadi yang kumaksud
dengan ilmu baru atau pengalaman baru adalah perubahan sikap itu. Aku mendapat
banyak hal yang berkaitan dengan cara berpikir, cara bersikap, pengambilan
keputusan, idealisme, rela berkorban, keberanian, dan lainnya dari UKM, bukan
di kelas kuliah. Dan hal-hal seperti ini harus mendapat perhatian lebih besar
dalam pendidikan, bukankah esensi pendidikan itu sendiri adalah perubahab
sikap? Bukan seberapa tinggi kepintaranmu yang dipresentasikan dengan angka?
Jadi dalam pikiranku, seorang mahasiswa yang sukses bukanlah mahasiswa yang
cepat lulus, dapet kerja bagus, gaji tinggi, dan setahun kemudian udah bawa
mobil. Tapi orang yang setelah lulus telah mengalami perubahan sikap ke arah
lebih baik, beridealisme, menginternalisasi nilai-nilai baik yang universal
lainnya dan mereka berguna bagi masyarakat sekitarnya.
Jadi
jawabanku pada mas karim bukan cuma nyari alesan atau kambing hitam kenapa
belum lulus, karena toh aku melakukan hal yang sangat positif dalam waktu
perampungan skripsiku ini….. setidaknya renungan ini menjawab pertanyaan orang
yang mungkin suatu saat mewawancaraiku “kuliah S1 sampe 5 tahun setengah?
Ngapain aja mas?” :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar