Lebaran kemarin nenekku bertanya pada salah satu pamanku.
“Lebaran ini mau
ngasih apa ke amih?” amih panggilan nenek di keluargaku. Salah satu pamanku
yang lain membelikan dia cincin dan gelang emas, seharga jutaan. Bibiku
membelikan pakaian baru untuknya walaupun sambil mengeluh karena salah
memberikan model baju.
“Amih mah
pengennya bukan yang kayak gini, coba nanti liat di mesjid pasti tahu”
Aku tertawa
ketika mendengar apih (kakek) meledek amih dengan sebutan Mak Enok (tokoh di
sinetron tukang haji naik bubur yang suka pamer) karena kelakuannya itu. Kurasa
hal seperti itu tidak hanya terjadi di keluargaku, tapi juga di
keluarga-keluarga lainnya, walaupun berbeda-beda tingkahnya. Hanya satu hal
yang pasti, pada hari raya idul fitri atau lebaran kita harus memakai pakaian
baru dan kalau perlu embel-embel lainnya juga baru. Ada perasaan dalam hati
kita, sadar ataupun tidak sadar, berkata “Masa lebaran gak pake baju baru?”
Bahkan untuk
memenuhi hasrat akan sesuatu yang baru ini seringkali orang bertindak kejahatan,
pernah aku lihat berita tentang tersangka penipuan yang berkata bahwa motifnya
adalah mencari dana untuk lebaran. Yang lebih lucu lagi, ada sebagian orang di
kampungku yang tidak puasa ramadhan tapi ikut ribet membeli pakaian baru dan
merayakan lebaran. Bukankah idul fitri adalah hari kemenangan bagi yang
berpuasa? Aku merasa bahwa tradisi idul
fitri tersebut telah membuat sebagian orang lupa akan esensi dari idul fitri
itu sendiri. Pernahkah kita berpikir apa maksud hari kemenangan itu
sendiri? Menang atas apa? Menang sebulan penuh puasa? Atau jangan-jangan kita
bergembira karena justru bulan ramadhan telah selesai, tak ada lagi belenggu
untuk makan di siang hari, oleh karena itu kita menghidangkan banyak makanan di
hari itu?
“Laisal id
liman libasuhu jadid walakinnal id liman tho’atuhu tajid”
Itu adalah
hadits yang dibacakan seorang ustaz dalam kultum sebelum shalat idul fitri di
kampung halamanku. Arti hadits tersebut kira-kira seperti ini (kalau salah
tolong dikoreksi) “idul fitri itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru,
tapi bagi orang yang ketaatannya bertambah”. Dalam pemahamanku, dari hadits
tersebut, orang yang berhak bersuka cita merayakan idul fitri adalah
orang-orang yang telah berhasil setelah satu bulan puasa menambah ketaatannya pada
Allah. Kira-kira contohnya seperti orang yang dulu sebelum ramadhan suka
bohongin orang lain, setelah ramadhan menjadi orang yang lebih jujur. Orang
yang suka marah-marah setelah ramadhan menjadi lebih sabar. Orang yang senang
riya, jadi lebih tawadhu.
Sejalan dengan
keterangan yang terdapat dalam al-Quran bahwa tujuan berpuasa adalah membuat
kita menjadi lebih bertakwa. Perubahan sikap dan perilakulah yang menjadi
indikator keberhasilan berpuasa dan berhak bersuka cita menyambut idul fitri,
bukan pakaian baru. Jadi dalam pemahamanku arti dari kemenangan itu adalah
lewat puasa kita berhasil menaklukan nafsu (entah itu cuma satu, atau beberapa
sekaligus) dengan begitu kita bisa memperbaiki sikap kita menjadi lebih baik,
lebih diridhoi oleh Allah.
Dengan demikian,
bagiku, berpuasa adalah latihan diri, latihan mengendalikan hawa nafsu. Jika
akal disimbolkan dengan otak dalam kepala, kemudian spiritual/kesalehan
disimbolkan dengan hati/qalbu di dalam dada, maka menurutku hawa nafsu
disimbolkan dengan perut dan yang di bawah perut. Oleh karena ketika berpuasa
dua tempat tadi dikekang. Dengan melatih diri tidak makan berlebih (yang buka
puasa makannya banyak seakan-akan balas dendam berarti belum lulus pendidikan
puasanya…) kita dilatih untuk mengontrol hawa nafsu, hingga akhirnya kita dapat
mengontrol hawa nafsu yang lebih besar seperti nafsu untuk sombong, pamer,
ingin dipuji, dan penyakit hati lainnya.
Jadi, Apakah
kita termasuk orang-orang yang memang berhak bersuka cita menyambut idul fitri?
Tanyakanlah pada diri sendiri, perubahan apa yang kita alami selama setelah
Ramadhan? Kesadaran apa yang muncul setelah tarawih selama sebulan? Pelajaran
apa yang kita petik dengan mengosongkan perut seharian? Hikmah apa yang kita
dapat setelah bertadarus sampai khatam dalam satu bulan? Sifat jelek apa yang
berkurang setelah melewati ramadhan? Hanya masing-masing diri kita yang dapat
menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar