Selasa, 22 April 2014

Renungan part 21 (Dinda dan ibu hamil)

    


       Hari ini saat membuka situs kompasiana, aku menemukan satu tulisan yang membahas tentang seorang gadis ABG yang curhat di sosmed PATH tentang kejengkelannya pada ibu hamil yang minta tempat duduk di kereta. Sebagaimana diberitakan di www.kabar24.com, gadis ABG yang bernama Dinda ini merasa kesal dengan ibu hamil di kereta yang meminta tempat duduk karena menurutnya ibu itu malas tidak mau berusaha untuk mendapatkan tempat duduk dengan naik lebih dulu seperti yang dia lakukan. Dia merasa bahwa ibu hamil itu egois dan ingin enak sendiri; dia tidak memikirkan kesulitan dan pengorbanan Dinda untuk mendapatkan tempat duduk di kereta itu. Yang lebih menarik adalah ada beberapa akun yang berkomentar dan setuju dengan curhat Dinda, bahkan sampai ada yang memberikan tips supaya tempat duduk kita tidak terambil oleh para ibu hamil. Walaupun begitu, tak sedikit pula yang mengecam Dinda.

       Ternyata, tidak satu akun kompasiana yang menulis tentang hal ini, aku menemukan beberapa penulis lain mengangkat isu yang sama dari sudut pandang masing-masing. banyak yang menghujat ketidakempatian Dinda, dan ada pula yang mencoba memberi pandangan objektif, tapi tidak ada satu akunpun yang benar-benar  membelanya karena setuju dengan curhatan Dinda. Rupanya Dinda sekarang menjadi trending article di kompasiana. Setelah membaca beberapa tulisan dan berita tentang isu ini, aku menyimpulkan beberapa hal.

        Pertama, kasus Dinda menandakan kita seringkali tidak mampu menekan ego kita. Kekesalan Dinda merupakan bukti bahwa dia tidak bisa menekan egonya untuk memberikan miliknya, yaitu tempat duduk yang dia susah payah usahakan, untuk diberikan kepada orang lain. Apalagi kepada orang yang menurut kita tidak pantas kita bantu. Ego selalu mendorong kita hanya berkorban untuk sesuatu yang ada untungnya bagi kita. "apa untungnya bagiku?", "kenapa aku harus bersusah payah demi orang yang tidak kukenal?", "memangnya dia pernah membantuku di saat susah?", "kalau kubantu dia, akankah dia membantuku nanti ketika aku membutuhkan bantuan?", "boro-boro bantu dia, aku saja masih kekurangan" itu adalah beberapa pertanyaan yang muncul dalam kepala ketika kita akan mempertimbangkan untuk menolong seseorang yang mana seringkali membuat kita mengurungkan niat untuk membantu apalagi sampai berkorban.

         Kedua, ketidakmampuan kita menekan ego menandakan keberagamaan kita yang masih kerdil. Sikap rela menelong orang lain adalah sikap yang sangat terpuji, dan merupakan sebuah tanda dari iman dan takwa yang sungguh luhur. Aku ingat dulu ketika masih kecil, guru mengajiku berkata bahwa tindakan menyingkirkan paku, atau benda berbahaya lain di jalan agar tidak melukai dan merugikan orang lain, merupakan sebuah ibadah. Apalagi dengan memberikan tempat duduk kita kepada ibu hamil, aku rasa itu merupakan sebuah ibadah yang mulia. Mungkin pikiran kita terlalu sempit hanya berpikir bahwa ibadah adalah ritual seperti solat, zakat, puasa. Padahal ibadah-ibadah tersebut memiliki substansi dalam yang terwujud dalam tindakan sosial yang nyata.Puasa mengajarkan kita menjadi insan yang mampu menahan ego atau nafsu, kemudian Zakat mengajarkan kita untuk mau berkorban memberikan apa yang  telah susah payah kita usahakan untuk diri kita kepada orang lain yang membutuhkan, maka sudahkah kita yang tiap tahun berzakat dan puasa mampu menerapkan hikmah itu di kehidupan sehari-hari? Salah satu dosenku dulu, yang sering disebut agak nyeleneh pemahaman agamanya, pernah berkata bahwa kita tidak boleh anggap ibadah dari sudut pandang yang sempit karena setiap tindakan kita dapat menjadi ibadah.

       Kasus Dinda seakan mengingatkan kita untuk melihat dalam diri kita sendiri, apakah kita sudah mampu menekan ego demi kemaslahatan orang lain? apakah ibadah kita memiliki dampak pada perilaku kita sehari-hari? Terima kasih Dinda, engkau insan yang jujur yang mengingatkan kita semua.