Minggu, 14 Juni 2015

Renungan Part 39 (Kenikmatan Masturbasi)

Malam itu di sudut pelataran Aula SC, aku dan tiga temanku sedang asyik berbincang. Tema yang diangkat cukup menarik, yaitu filsafat seks. Temanku Didit, yang merupakan seniorku di FLAT, seorang mahasiswa S2 di Paramadina dan yang mukanya mirip dengan Soleh Solihun, berkata bahwa mayoritas manusia terlalu terpaku pada masturbasi dalam hubungan seksual. Yang dia maksud dengan masturbasi adalah perangsangan yang dilakukan pada organ kelamin demi mencapai orgasme, penetrasi pun termasuk masturbasi dalam pandangannya itu. Pada intinya, manusia terlalu berfokus pada kenikmatan ragawi sebagaimana halnya ketika manusia melakukan masturbasi.

Lalu, adakah kenikmatan lain selain kenikmatan ragawi dalam hubungan seksual? Jika dilihat lagi, entah menurut teori filsafatnya siapa aku lupa, hal yang substansial dari hubungan seks adalah ekspresi cinta. Dua insan yang saling mencintai bergumul untuk mendapatkan kenikmatan bersama. Jadi, yang lebih penting dari kenikmatan ragawi itu adalah kenikmatan cinta itu sendiri, mungkin itu kenapa itu disebut make love atau bercinta karena itulah intinya, cinta.

Apa yang akan terjadi dalam ranah ragawi ketika yang substantif itu menjadi fokus perhatian? Maka sang suami tidak akan egois, ia tak akan lupa memuaskan sang istri. Istri tidak dipandangnya sebagai alat pemuas ketika dirinya bernafsu tanpa memperhatikan mood sang istri. Untuk membangun cinta, maka diperlukan suasana, oleh karena itu foreplay tidak pernah tertinggal untuk membangun suasana bercinta yang indah bersama pasangan. Bagaimana dampaknya pada kehidupan rumah tangga? sepertinya sudah banyak studi yang menyebutkan bahwa seks yang berkualitas meningkatkan kualitas rumah tangga pula.

Memandang hal yang substantif dari suatu hal, menurut Caknun, itu sangat penting. Contoh di atas hanyalah satu aplikasi dari bagaimana kita melihat mana yang materi (ragawi) dan mana yang hakiki (substansif). Namun sayangnya, memang mayoritas manusia terlalu terpaku pada yang materi. Tak perlu jauh mencari, coba lihat kita sendiri, bagaimana kita memandang puasa Ramadhan? Menahan lapar dan haus dari terbit fajar sampai terbenam matahari? Itu yang materi, lalu apa makna hakikinya? sepertinya ada di ayat tentang kewajiban berpuasa, yaitu agar kita bertakwa. Apa pengertian takwa? memlihara diri dari yang dilarang-Nya, melaksanakan perintah-Nya, yah.. pada intinya menjadi orang yang lebih baik. Bagaimana realitanya? Apakah orang bertakwa berlomba - lomba memakai baju baru di Hari Raya? Melakukan kegiatan konsumtif berlebihan untuk membeli makanan buka puasa? Menahan lapar dan haus, tapi tidak menahan lidah dari ghibah dan fitnah, dari menyakiti orang lain, dari berbohong? Tidak menahan diri dari mendzalimi orang lain demi kepentingan pribadi?

Seringkali kita lebih risau dengan baju lebaran daripada puasa kita yang tidak sebulan penuh, lebih risau dengan nanti buka dengan apa daripada introspeksi diri apakah puasa kita hari ini sudah bermakna, dan banyak hal lainnya. Kita terlalu sibuk dengan yang nampak daripada yang hakiki. Menurut Caknun, sampai level materi saja tidaklah cukup, kita harus meningkatkan diri sampai ke level hakiki. Walau memang ada yang berpendapat dalam hal tadarrus al-Quran misalnya, bahwa membacanya saja tanpa mencoba memahami maknanya itu sudah dapat pahala, jadi tidak apa-apa, yang salah itu tidak membaca sama sekali. Tapi membaca saja itu cuma materi, yang hakikinya adalah memahami maknanya. Karena kita sudah puas pada yang materi, kita kehilangan makna sebenarnya dari kegiatan itu.

Melihat mana yang materi dan mana yang hakiki dari suatu kegiatan itu sangat penting, karena itulah inti dari kegiatan tersebut. Dengan begitu, kita tidak terjebak dalam kenikmatan masturbasi (materi), kita tidak dangkal memahami sesuatu, dan kita bisa lebih tercerahkan akan makna dari apa yang kita lakukan.





Sabtu, 13 Juni 2015

Renungan Part 38 (Keindahanmu Tak Berarti Apa - Apa Tanpa Keburukanku)




Malam itu dalam pengajian bulanan Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki, seorang jemaah bertanya pada Cak Nun, "Perdamaian seperti apakah yang kita butuhkan? bukankah yang buruk itu akan selalu ada seperti dalam konsep yin dan yang?" ah.... sebuah pertanyaan yang menarik.

Saat kecil, aku sangat suka film Power Ranger, tak pernah rasanya aku melewatkan satupun episode yang tayang tiap minggu pagi itu. Terkadang aku sering membayangkan diriku sebagai pahlawan layaknya Power Ranger, mengalahkan kejahatan di dunia ini. Mungkin, pikiran itu terbawa sampai dewasa, aku cenderung idealis, tidak suka dengan yang salah, dan buruk, dan selalu memimpikan dunia yang lebih baik tanpa keburukan. Dunia yang penuh keadilan dan perdamaian. Tidak kah kau memimpikannya? Misalnya sebuah masyarakat yang penuh keimanan, setiap individu menjalankan syariat islam yang begitu indah, sehingga terciptalah sebuah masyarakat madani, atau masyarakat islami, atau apalah istilahnya.

Itu pula yang menjadi judul makalahku di semester dua pada mata kuliah Metodologi Studi Islam. Masyarakat ideal dalam pandangan islam, yaitu masyarakat yang semuanya menjalankan syariat islam dengan baik. Tak ada cela di dalamnya karena semua dibimbing oleh ajaran islam yang indah. Profesor Suwito, sang pengampu mata kuliah, dengan tegas mengomentari makalahku sebagai "ngawang-ngawang". Ketika berbicara ideal, itu semua hanya terjadi di alam ide, di dalam kepalamu, di dalam mimpimu! Sakit... kenapa aku tidak boleh bermimpi akan hal itu? karena realita memang tidak pernah seideal yang diimpikan. 

Mungkin kau sama seperti diriku, menganggap bahwa untuk negeri ini berkeadilan, maju, dan sejahtera, maka setiap keburukan manusia di dalamnya harus dihapuskan. Segala jenis maksiat, dan hal - hal yang kita pandang negatif dalam sistem moral kita harus dienyahkan! Tapi lagi - lagi kenyataan mengecewakanku, semua itu tidak pernah sepenuhnya hilang dari muka bumi, lantas kapankah mimpi itu akan terjadi? Kenapa tuhan tidak membuat itu terjadi saja? aku pun menjadi pesimis, kalau begitu, untuk apa kita memperjuangkannya? pantas para pejuang - pejuang itu hidupnya menderita, karena semakin hari mereka semakin sadar, kejahatan yang mereka perangi tidak pernah mati, semua usaha terasa sia-sia dan omong kosong belaka. Satu koruptor mati, koruptor lainnya terlahir, begitulah siklus itu terjadi berulang - ulang.

Mungkin kau pernah mendengarnya dari guru mengaji, bahwa jika Allah ingin, semua manusia di bumi ini dibuatnya menjadi islam, menjadi orang beriman, menjadi orang baik, hore.... tidak akan ada koruptor. Tapi Allah tidak melakukannya. Kenapa? mungkin.... ini hanya pendapatku... kebaikan itu tidak berarti tanpa adanya kejahatan. Itulah kenapa ada malaikat dan iblis, ada surga dan neraka, ada baik dan buruk, ada cantik dan jelek, ada kaya dan miskin, ada yin dan yang. Kau pasti pernah menonton film Megamind kan? seorang penjahat super yang kehilangan arti hidup ketika pahlawan super yang menjadi rival abadinya tidak ada. 


Maka sangatlah tidak pantas yang kaya menghina yang miskin, yang pandai menghina yang bodoh, dan yang saleh menghina yang suka maksiat. Kita disebut kaya karena ada pembandingnya yaitu miskin, kita dapat rangking teratas karena pandai, dan harus ada yang bodoh untuk mengisi rangking terbawah. Kita dihormati kesalehannya karena ada orang yang suka maksiat yang dibenci. Kedua kutub itu saling membutuhkan. Oleh karenanya, kita harus berterimakasih kepada iblis, atas jasanya orang-orang yang beriman dapat sertifikasi akan keimanannya, apalah arti iman jika tidak pernah dites kan? 

Pada akhirnya, aku berkesimpulan bahwa sebenarnya, dunia ini sudah indah apa adanya, tanpa kita usahakan untuk merubahnya, tapi memang untuk merubah pola pikir untuk menjadi seperti itu. tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita terlalu lama didoktrin untuk tidak menerima kekurangan, atau kejelekan. 


   




Minggu, 07 Juni 2015

The Last of Us (Part 7): Book of Madness


Santi memutar kaki kanannya, dan setelah memeriksa pergelangan kaki yang tidak lagi terasa sakit, dia yakin bahwa kini dia telah sembuh, dan bisa bergerak bebas kembali. Seperti kemarin, hari ini awan hitam masih memayungi langit rempoa, hujan seakan tidak ingin berhenti sejak malam. Jam menunjukan pukul sembilan pagi, dan perut santi berbunyi minta diisi, dengan malas dia bangkit dari tempat tidur, darah bekas mayat Adi dan Gading telah kering di lantai kamarnya. Sejak kemarin, setelah membuang kedua mayat itu, bayu tidak keluar dari kamarnya, tidak bahkan untuk makan, hal itu memaksa santi menyeret kakinya yang sakit untuk berjalan dan memasak sendiri di dapur, lalu membawakan makanan untuk bayu. Percuma, dia tidak menyahut ketika dipanggil, dan kamarnya terkunci dari dalam. Santi meletakan piring berisi mie instan itu di depan pintunya, mungkin suatu saat dia lapar dan akan keluar juga, tapi ternyata tidak. Piring itu kini masih tergeletak di depan pintu kamarnya, dengan mie yang telah membesar.

“jangan – jangan dia mati bunuh diri di dalam kamarnya...” gumam santi. Ia tak ambil pusing, perut keroncongannya lebih penting saat ini. Setelah menyantap sekaleng ikan kalengan dan mie instan, ia duduk di balkon sambil menikmati sebotol jus jeruk. “ah... sial, minuman ini pasti lebih nikmat kalau dingin.” Santi melemparkan botol jus jeruk yang telah habis diteguknya ke tempat sampah di pojok balkon. “setelah ini apa yang harus kulakukan?” matanya menerawang ke langit, memperhatikan awan hitam yang enggan pergi.

Kenapa kau gundah gulana?

Santi menoleh, dan mendapati sesosok makhluk bertubuh besar berdiri di sampingnya. Karena hanya memakai sebuah celana pendek, semua otot di tubuhnya yang menonjol seperti binaragawan terekspos. Rambutnya gondrong sebahu tidak beraturan, hampir menutupi kedua telinganya yang runcing. Rahangnya kotak ditumbuhi bulu – bulu halus, dan dua buah gigi taring menyembul dari senyumnya. Kedua mata makhluk tersebut merah menyala menatap santi lekat.

“Kliwon!” santi terpekik.

Aku tidak suka melihatmu gundah seperti itu

“huh... darimana saja kau?! Sudah seminggu kau tidak muncul dan menemaniku. Tak tahukah kau bahwa dunia sekarang sedang kacau didera sebuah bencana misterius. Kemarin aku hampir saja mati.” Santi mendengus.

Aku ada urusan di langit, tenanglah.... dunia ini memang sudah kacau sejak dihuni oleh para manusia jahanam. Karena sejak dulu manusia sudah saling memangsa satu sama lain, tapi dalam bentuk yang berbeda. 

Oh... santi mana mungkin aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, bukankah sudah kubilang aku akan selalu ada untukmu? Janganlah kau meragukanku, pertolonganku kuberikan lewat bocah lelaki itu.

Santi tersenyum mendengarnya, pertama kali dia bertemu kliwon adalah saat dia dikurung di gudang oleh ayah tirinya. Hanya karena kesalahan kecil, sang ayah yang memiliki latar belakang militer itu sangat mudah marah pada dirinya. Hukuman fisik sudah menjadi makanan sehari – hari, tapi saat itu, sang ayah memikirkan hal lain, santi telah kebal dengan pukulan dan tendangan, anak nakal itu perlu yang lain. Maka Sang ayah memasukan santi ke dalam gudang gelap di bawah tanah, teriakan santi tidak digubris. Saat itulah santi bertemu kliwon, suara besarnya menjadi penenang dalam kegelapan gudang, dan ketika santi dapat melihat wajahnya yang menyeramkan di luar gudang, santi tetap merasa tenang berada di sampingnya. Sejak itu, dia selalu ada kapanpun santi dihukum dan dalam kesulitan, kliwon bahkan dengan senang hati melatih santi berkelahi untuk membalas orang – orang yang jahat kepadanya. Kliwon adalah satu – satunya teman dan pelindung santi.

Ketika santi menghajar kaka kelasnya, kliwon ada di sana, dan ketika untuk pertama kalinya santi melawan sang ayah, kliwon pun ada disana. Tatapan mata merah itu seakan memberikan kekuatan bagi santi untuk melawan semua manusia yang telah menyakitinya. Manusia adalah makhluk yang lemah hatinya, mudah terpengaruh oleh nafsu untuk menguasai dan nafsu untuk dihormati. Mereka pikir karena kau seorang perempuan yang lemah, mereka bisa melakukan seenaknya kepadamu. Buktikanlah temanku! Bahwa selama ini merekalah yang lemah, hancurkan mereka! Maka dengan tangan terkepal santi menghajar siapapun yang menghina dan menginjak – injak manusia lainnya.

Semenjak itu santi ringan tangan kepada siapapun yang menurutnya melakukan hal yang tidak pantas. Seperti si ajo, tukang kebun tante Mira yang dia hajar beberapa tahun lalu. Secara tidak sengaja santi melihat si Ajo sedang mengintip tante mira yang sedang mandi. Kamar mandi tante mira berada di samping kamarnya, dan terdapat sebuah lubang ventilasi di dalam kamar mandi yang menghadap ke sebuah gang kecil antara rumah tante mira dan pagar yang menempel dengan rumah tetangga. Disitulah tempat peralatan si Ajo disimpan. Rupanya dia sering melakukan itu, bahkan terakhir kali santi melihatnya mengintip sambil memuaskan dirinya sendiri. Sungguh menjijikan, saat itu pula santi menghajarnya habis – habisan.

“apa yang harus kulakukan sekarang kliwon?”

Itukah alasan gundah gulanamu? Bukankah keadaan ini cocok dengan hal yang paling kau sukai? Sebelum ini terjadi, satu-satunya cara kau merasa hidup adalah dengan menghajar orang di klub kumpulan orang dungu itu.

Semenjak santi menghajar kaka kelasnya saat SMP, santi merasa bahwa dengan berkelahi hidupnya terasa lebih memiliki arti. Sudah beberapa kali santi mencoba bunuh diri akibat derita yang diberikan oleh siksaan sang ayah, tapi santi tidak pernah berani. Rasa dingin pisau yang menempel di urat nadi, saat santi hendak mengirisnya, membuat nyali ciut. atau  panasnya tali yang melingkar di leher selalu membuat santi cemas, pada akhirnya dia selalu mengurungkan semua niat untuk bunuh diri, melakukannya sendiri terlalu menakutkan. Lalu kliwon hadir dan mengajarinya berkelahi, memberikan dirinya sebuah alat perlawanan. Sekaligus membuat hidupnya terasa lebih berarti, karena di setiap perkelahian, hidupnya yang penuh derita menjadi lebih menarik.

“kau benar...”

Lalu kau bisa melakukan hal yang selalu kau impikan, hal yang baru kau lakukan sekali, tidak kah kau rindu?

Santi menatap kliwon, ingatannya terbang ke beberapa tahun yang lalu, santi yang baru dikeluarkan dari SMA tidak dapat pulang karena sang ayah telah mengusirnya dari rumah. Ia hidup di jalanan, selama beberapa hari mimpinya dilalui dari satu emper toko ke emper lainnya di sebuah pasar, untuk makan dia harus mencuci piring di warung, terkadang dia pun harus mengemis. Tapi dia tidak sedih, kliwon selalu di sana menemani. Di saat seperti itu, ia bertemu maman sang preman pasar. Ia tergoda dengan kecantikan santi, setelah beberapa kali rayuan murahannya ditolak, maman kehabisan kesabaran dan berniat mengambil paksa apa yang diinginkannya.

Malam itu maman menghampiri santi yang tertidur di sebuah gang gelap dekat pasar, dengan paksa maman menarik tubuh santi dan menyeretnya ke tempat yang lebih sepi, sebuah tanah terbengkalai di belakang pasar. Tidak ada yang berani mendekati tempat itu di malam hari, menurut kabar, itu adalah tempat sebuah kerajaan jin. Dulu developer pasar pernah hendak membabat tanaman yang ada di sana dan membangun kios – kios baru, tapi para pekerja tidak ada yang berani meneruskan, karena di hari pertama saja, dua orang meninggal dalam kecelakaan kerja, dan beberapa lainnya kesurupan, mereka berteriak – teriak menuntut semua orang pergi dari tempat itu. Ke sanalah maman membawanya, ia tidak pernah takut dengan jin, justru jin adalah sahabat baiknya. Tapi itu adalah sebuah kesalahan besar, dengan bantuan kliwon santi menghabisi maman, mencekik leher besarnya dengan seutas tali rafia yang ia temukan di sana. Tubuh besar maman terkapar tak bernyawa.

Santi puas, itu adalah pembunuhan pertama baginya, dan hatinya merasa senang. Tapi kemudian ia dirisaukan dengan mayat maman, akan ada orang yang menemukannya, dan dia bisa saja jadi tersangka karena  ada lebih dari tiga orang melihat dirinya diseret maman. Ini bisa merepotkan. Lalu kliwon memberikan sebuah golok yang sangat tajam. Dengan bersemangat, santi mencincang tubuh maman, dipotongnya sedikit demi sedikit bahkan sampai tulang belulangnya. Santi melakukan itu ditemani kliwon sambil terus bergumam “bajingan... kau pantas mendapatkannya, tanpa dirimu, dunia akan menjadi lebih baik!”. santi memasukan potongan-potongan itu ke banyak kantong plastik, dan membuang mereka di berbagai tempat, sementara kepalanya ia masukan ke sebuah septic tank. 

Santi mengendus tangannya, merasakan bau amis darah yang melumuri tangan itu beberapa tahun yang lalu, ia tidak pernah menyesali itu, justru ia bangga telah menghilangkan satu sampah pengganggu dari muka bumi. tapi semenjak itu, ia tidak pernah lagi melakukannya, terlalu merepotkan untuk menghilangkan bukti agar tetap bisa lepas dari polisi. Tapi kini, tidak ada polisi, kliwon benar, ini lebih baik. Santi bisa leluasa membunuh para sampah yang sering ia temui atau yang akan ia temui.

“kurasa sudah saatnya aku mewujudkan mimpiku.” Santi berjalan mendekati pagar balkon. Angin mempermainkan rambutnya yang tergerai sebahu. Percikan air hujan mulai membasahi sebagian badannya. “dengan bantuanmu kliwon, sejak saat ini, kita akan membersihkan tiap sampah yang akan kita temui!”  kliwon menyunggingkan senyum sambil mengangguk setuju. Aku akan selalu ada untukmu temanku.

“santi.... dengan siapa kau bercakap – cakap?” Bayu mematung di pintu. Santi dan kliwon menoleh, mata merahnya kembali menatap santi kepalanya bergoyang ke kiri memberikan tanda pada santi.

“bukan... dia bukan sampah.”   

Kamis, 04 Juni 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 6)


“sayang menurutku ini kata-kata yang cocok untuk di kalung itu.” Winda menunjukan layar smartphonenya pada bayu.

“hm... keren juga.”

“iya dong....” winda bersandar di bahu bayu.

“nanti... aku tidak akan pernah melepaskan kalung itu, akan selalu aku pakai.”

“kamu lebay deh yang..”

“tidak apa-apa... aku kan memang lebay...” kini winda memeluk tangan bayu. “kamu tidak suka?” bayu tertegun sejenak.

“aku suka....”

“bohong.... kemarin kamu bilang kamu tidak suka dengan cewe lebay..”

“kapan?”

“sewaktu aku cerita soal Rini, temanku yang kamu bilang lebay...”

“hahaha.... masa? Itu kan Rini... aku memang tidak suka padanya kan...”

“jadi kalau aku lebay, kamu suka?”

“hm... iya... aku suka kamu lebay, aku suka kamu kalau tidur ileran, aku suka kamu yang tidak suka beres-beres.”

“ih... itu kan kejelekan aku semua....” protes winda.

“aku suka kebaikan dan kejelekan kamu.” Bayu mengelus rambut winda, kini Winda memeluk tangan bayu lebih erat.

“itu jujur?”

“menurutmu?”

“kalau boleh jujur, bagiku kamu memang orang paling pengertian di dunia.... terkadang, aku tidak sabar dengan diriku sendiri, aku merasa aku tidak sempurna, dan terkadang aku tidak pantas mendapatkan ini dari kamu.”

“jika aku mencari kesempurnaan, maka seharusnya aku berpacaran dengan malaikat. Lagipula, aku juga tidak sempurna, apa hakku meminta kesempurnaan darimu..”

“aku sayang kamu....”

“aku juga...”

Bayu membuka mata menyadari itu adalah mimpi, tidak, itu adalah kenangannya akan winda. Percakapan itu terjadi sebelum mereka membeli kalung tersebut, kalung yang kini ada di dalam tas Adi. Bayu memperhatikan sekelilingnya, dia kini berada di dalam gudang, dia mencoba bangkit tapi sia-sia, rupanya tangan dan kakinya diikat sangat kuat, dia berguling dan menemukan gading juga dalam keadaan yang sama sepertinya.

“sial.. hey gading! Bangun!” bayu menendang tubuh gading dengan kedua kakinya yang terikat.

“ughh...” gading menggeliat. “hey apa-apaan ini?”

“ada yang mengikat kita disini.”

“kau tak perlu bilang pun aku tahu...” gerutu gading.

“siapa yang melakukan ini?” bayu terus berusaha melepaskan diri.

“kemana yang lain? Disini hanya ada kita berdua.”

“santi tidak mungkin melakukan ini pada kita... apa mungkin adi?”

“untuk apa dia melakukan ini?”

“aku tidak tahu... tapi jika iya aku punya firasat buruk tentang hal ini..”

“tunggu... bagaimana kita bisa ada di sini?”

“aku jatuh pingsan setelah makan malam... sesaat setelah aku menemukan kalung winda di tas adi.”

“tidak... tepatnya setelah minum sirup itu! Ya.. aku tidak sadarkan diri setelah minum itu!” gading berteriak.

“oh tuhan... apakah adi yang melakukan ini?” mereka saling berpandangan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan santi dari lantai dua.

“itu santi...”

“kurasa dia akan baik-baik saja....”

“tapi kakinya sedang terkilir...”

“sial.... kita harus menolongnya!”

“apa kau ada ide untuk membuka ikatan ini?”

“kalau tidak salah di balik ban bekas itu ada kotak perkakas dan di dalamnya terdapat gergaji...”

“oke... kita coba.”

***
“bajingan...” santi meludahi wajah adi.

“SSsssst.... diam kau manis!” adi membekap mulutnya dengan lakban hitam. “kau punya bibir yang indah, tapi sayang kau tidak mau menurut padaku, ini yang akan terjadi kalau kau tidak menurut.” Santi meronta-ronta berusaha melawan, tapi sia-sia kedua tangan dan kakinya diikat ke tiap ujung ranjang, tubuhnya masih lemas, entah apa yang dimasukan adi ke dalam minuman itu. Adi membelai wajah santi dan kemudian mengeluarkan sebuah pisau kecil, pisau yang biasa dipakai oleh seorang dokter bedah. Dengan hati-hati, dia merobek kaus yang dipakai santi meninggalkan hanya bra yang menutupi kedua payudaranya.

“ah.... sejak aku melihatmu tadi pagi, aku tahu kau wanita yang spesial, dan aku tidak ingin membuang  buang waktu lagi untuk menikmatimu.” adi mengelus perut santi. “otot perut yang sangat indah...”

“Aarrghh.... Aaarrghh..” santi terus berontak, tapi sia-sia. Kakinya yang masih terkilir terasa sakit.

Adi mengeluarkan sebuah cincin dari tasnya. “ini adalah souvenir dari wanita pertamaku, dia seorang pramugari keturunan padang, kau tahu wanita padang sungguh menarik, mereka memiliki kulit putih yang sangat indah.” Dia mengeluarkan sebuah gelang berwarna perak. “ini dari wanita keduaku, hm... dia adalah seorang instruktur senam, tapi badannya tidak seperti kau, dia memiliki badan yang semok, berisi, bukan berotot. Saat-saat bersamanya sungguh menyenangkan.” Dia mengeluarkan beberapa akesesoris lainnya, termasuk kalung milik winda. “diantara semua wanitaku, kurasa souvenir darimu akan menjadi yang paling unik, aku pikir aku akan mengambil pisau karambit itu.” Adi tersenyum.

“semua wanitaku adalah orang yang menyenangkan, aku yakin kau pasti bertemu mereka nanti setelah aku selesai denganmu.” Adi kini mengelus paha santi, dia menarik celana pendek yang dipakai santi dan merobeknya, kini tubuh santi hanya ditutupi dengan bra dan celana dalam saja.

“oh... kau tidak memiliki selera yang bagus dalam memilih pakaian dalam.” Adi berdiri, matanya menyapu setiap senti tubuh santi. “kau akan terlihat lebih indah jika memakai g-string, dan bra yang lebih seksi. Itu akan memperlihatkan setiap lekuk otot mu yang indah ini.” Adi tersenyum. Dia duduk di samping santi, dan menciumi perut santi, memainkan lidahnya di atas kulit santi. Dari perut dia beranjak ke dada dan sampai di leher. Santi menggeliat mencoba mendorongnya dengan tubuhnya, tapi sia-sia, tangan dan kaki yang terikat tidak dapat membantunya.

“ayolah... kau pasti menyukainya kan? Jangan munafik begitu.”

“argh.... argh....”

“maaf, aku tidak mengerti... tapi pasti artinya tolong lanjutkan...” tangan adi masuk ke balik celana dalam santi, badannya menggeliat lebih keras. “Sssst.... akui kalau kau menyukainya... hm.... ayo katakan..” adi mendekatkan telinganya ke wajah santi.

BUUKKK!!! Adi terhempas menabrak meja dan rak senjata santi. Rupanya bayu dan gading telah berhasil lolos, kini bayu memasang kuda-kuda sambil memegang pemukul basebal yang dipenuhi darah kering.

“bajingan...” adi bangkit.

“dasar binatang! Kenapa kau memiliki kalung Winda?! Apa ini yang kau lakukan pada winda?!!” bentak bayu.

“kau ingin tahu? Ayo sini maju!” bayu menerjangnya, sambil melompati ranjang Santi, mengayunkan pemukul basebalnya. Tapi adi rupanya lebih terlatih daripada bayu, dia mengelak dengan mudah , menangkap pemukul basebal yang diayunkan ke arahnya. Kini bayu yang dilemparnya menabrak dinding.

“seginikah kemampuanmu? Dasar tidak berguna!” adi menginjak injak bayu yang belum sempat berdiri. Darah segar keluar dari mulutnya. “kau mau juga hah?!!” adi menunjuk gading yang berdiri mematung di pintu.

“dasar pengecut! Kalau kau takut, diam di situ!”

“babi... aku bukan pengecut!” gading lari menerjang, adi mengayunkan pemukul basebal ke kepala gading, darah bercucuran, gading terlempar ke lantai dan tidak bergerak lagi. “dasar sampah!”

“bajingan kau...!” bayu mencoba berdiri terhuyng-huyung. Adi segera menendang dadanya, bayu terlempar kembali, punggungnya mendarat di dinding. Kini dia terduduk di lantai, darah masih keluar dari mulutnya, paru-parunya sesak akibat tendangan itu.

“harusnya tadi kalian berdua kubunuh.... sungguh mengganggu!” adi duduk di ranjang, Santi sedari tadi hanya dapat menonton, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“kenapa kau memiliki kalung winda?” kata-kata tersebut masih keluar dari mulut bayu, walau terdengar lebih lemah.

“kau sungguh menyebalkan... sekarang moodku hilang... gara-gara kau! Tapi aku akan berbaik hati padamu sebelum kau mati, biar kuberitahu darimana kudapat benda itu.” Adi menghampiri bayu, dia berjongkok lalu menarik dagunya, kini wajah mereka berhadapan.

“aku mengambil kalung itu dari leher kekasihmu dua hari yang lalu, leher yang sungguh indah... harus kuakui dia memiliki kulit tereksotis yang pernah kulihat, lalu bibirnya... sungguh manis, semanis strawberry...”

“arggh.. bajingan kau...” bayu mencoba memukulnya, tapi pukulannya lemah, dengan mudah adi menangkapnya.

“apa kau ingin tahu bagaimana erangannya ketika aku menggagahinya?”

“bajingan...!!” bayu menendang alat kemaluan adi, dia terhuyung tidak menyangka dengan serangan itu. Bayu bangkit dan menendangnya sekuat mungkin, adi berguling, bayu segera mendudukinya, lalu memukuli wajahnya, tapi adi lebih berpengalaman dalam perkelahian, dengan mudah dia membalikkan keadaan, kini bayulah yang berada di bawah, ditindih oleh Adi, dan melancarkan beberapa pukulan ke wajah bayu, kepalanya pusing, pandangannya kabur. Walau masih sadar, tubuh bayu terasa lemas, dia bahkan tidak bisa lagi mengangkat kedua tanganya.

“sialan... kau harus bersyukur, karena sekarang kau akan menemuinya di akhirat!!” adi mengangkat pemukul basebalnya, hendak menghancurkan batok kepala bayu.

“Inikah akhirnya?” Bayu membatin, “maafkan kekasihmu ini winda, aku tidak hanya tak mampu membalaskan dendammu, tapi juga aku akan mati oleh orang yang membunuhmu.” Selama hidupnya, ini adalah saat pertama bayu merasakan putus asa, tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, tidak ada harapan. Sekelebat, ia melihat sebuah bayangan bergerak di belakang Adi. 

CRASSS!!

Darah bercucuran di punggung adi, rupanya gading merangkak diam - diam  untuk mengambil salah satu belati koleksi santi, dan berhasil menancapkan belati tersebut tepat waktu. “aarghhh....” adi segera berbalik dan menghantamkan pemukul basebal ke kepala Gading berkali-kali, gading rubuh... tapi Adi terus menghantam kepalanya. “sampah... beraninya kau melakukan ini padaku!!”

“hiyaa...!!!” dengan segenap kekuatan terakhirnya, bayu menendang punggung adi, dia tersungkur menabrak kaki ranjang. Bayu segera mencabut belati di punggung adi dan segera menancapkannya di kepala adi, sekali... dua kali.... tiga kali.... “bajingan... bajingan.. bajingan.....” bayu berhenti. Dia menunduk dengan tangan masih memegang belati yang penuh dengan darah adi. Tangan dan wajahnya dipenuhi dengan darah. Bayu memandang santi yang sedari tadi hanya mampu menonton, air mata membasahi pipinya.

***
Ini adalah hari kelima sejak bencana itu terjadi, dan ini adalah pagi pertama dimana tidak ada matahari sedikitpun terlihat. Awan hitam menaungi langit Rempoa sejak dini hari, hujan kecil tidak berhenti sejak pukul 3 tadi. Bayu terduduk di satu sisi ranjang Santi, sementara santi duduk di sisi lainnya. Mayat adi dan gading masih tergeletak di lantai, darah mereka membasahi sebagian besar lantai kamar tersebut.

“listrik sudah padam...” santi melingkarkan tangannya di lutut. Bayu bangkit, berjalan menuju balkon, hujan bertambah besar, suara halilintar menggelegar bersahutan, angin bertiup kencang membuat beberapa pohon mulai meliuk-liuk. Bayu teringat percakapannya dengan susi beberapa bulan yang lalu. Saat itu minggu pagi, tidak terlalu cerah, karena semalam baru saja terjadi hujan besar disertai badai. Beberapa pohon tumbang, dedaunan berserakan di taman tempat bayu dan susi duduk saat itu.

“kaka dengar, ada seorang anak kecil yang meninggal tertimpa pohon tumbang semalam?”

“benarkah? Aku tidak tahu, kenapa tidak ada pengumumannya?”

“sudah tadi, kaka pasti belum bangun...”

“mungkin...” bayu tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

“kaka tahu apa yang kupikirkan ketika aku melihat dedauanan itu?” tanya susi.

“hm.... fotosintesis...” jawab bayu sekenanya.

“hahaha... bukan ka....  aku teringat akan sebuah cerita...”

“cerita apa?”

“begini ceritanya ka.... dahulu kala ada seorang biksu yang sederhana tengah bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut malam, terjadilah badai yang hebat, mungkin seperti badai tadi malam. Di pagi hari ketika badai telah berlalu, sang biksu keluar dari pondoknya untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. banyak dahan besar dan dua pohon berukuran lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa sangat beruntung masih hidup. Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan dahan-dahan patah yang berserakan, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar menutupi tanah.”

“kenapa?”

“banyak dedaunan yang berguguran adalah daun daun yang berwarna coklat tua yang telah memenuhi umur kehidupannya, seperti itu.” Susi menunjuk. “tapi diantara dedaunan itu, terdapat banyak daun berwarna kuning. Bahkan terdapat pula daun yang berwarna hijau yang masih cerah.”

“ya... tepat seperti keadaan dedaunan di taman ini..” bayu mengangguk. “lalu apa menariknya?”

“saat itu si biksu memahami makna kematian.”

“maksudmu?”

“kematian adalah hal yang lumrah, hal yang alami, dan pasti terjadi, seperti halnya badai. Ia tidak pilih-pilih daun yang akan dijatuhkannya, entah itu yang muda atau yang tua. Kematian pasti mendatangi siapapun. Jadi ketika orang yang kita sayangi mati, ingatlah hal ini ka. Dengan berpikir seperti itu, aku merasa lebih baik dan dapat menerima kematian adiku dua tahun yang lalu.”

Bayu hanya termenung memandangi dedaunan di taman. Seperti sekarang, dia termenung memandangi dedaunan yang mulai berjatuhan diterpa angin.