Minggu, 31 Agustus 2014

Renungan Part 23 (Bahagia itu Sederhana)



Bulan Agustus ini kembali media dihebohkan dengan kematian seorang aktor kawakan hollywood  Robin William. Kematiannya, yang berbagai media laporkan, disebabkan oleh bunuh diri karena depresi yang berkepanjangan selama dua tahun terakhir. Opini pun berkembang, dari bagaimana depresi bisa menyebabkan keinginan bunuh diri, hingga bagaimana orang sukses secara karir seperti Robin william bisa depresi sehingga akhirnya bunuh diri. Opini yang terakhir memang cukup menarik perhatianku. 

Dalam pandangan masyarakat umum Indonesia, sebagaimana yang kupahami selama ini, kunci kebahagiaan hidup ini adalah kemapanan hidup secara finansial (baca: banyak uang). Karena mapan secara finansial menghilangkan rasa takut akan masa depan. Takut tidak bisa makan, tidak punya tempat tinggal, tidak bisa memenuhi keinginan orang yang kita cintai, takut tidak bisa berobat ketika sakit, takut tidak bisa membesarkan anak, dan takut - takut lainnya. Tak aneh jika salah satu syarat dari calon mertua atau calon istri pada setiap pria adalah kemapanan, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai syarat utama. Semua demi menjamin kebahagiaan hidup. Selain itu, kemapanan dapat memberikan prestis tersendiri. Dengan menjadi mapan, orang lain akan hormat pada kita, dan pada akhirnya memberikan kita kebahagiaan karena bangga dengan apa yang telah kita capai, bangga dapat membanggakan orang tua, bangga menjadi salah satu manusia dari sekian banyak manusia yang mampu "menang" dalam kompetisi hidup untuk mengumpulkan harta.

Atas dasar asumsi itulah, banyak orang bekerja keras banting tulang untuk mengejar kunci kebahagiaan itu. Mereka bekerja dari pagi sampai pagi, para orang tua membibit anak mereka dengan belajar dari pagi sampai malam demi memuluskan jalan mereka di masa depan dalam mencapai kunci kebahagiaan itu. Bekerja, bekerja dan bekerja untuk mengumpulkan harta sampai melupakan banyak hal yang penting. Lalu, apa yang terjadi? 

"Manusia, Karena dia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang; Lalu dia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Lalu dia sangat khawatir dengan masa depannya, sampai-sampai dia tidak menikmati masa kini; Akhirnya dia tidak hidup di masa depan atau pun di masa kini; Dia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu dia mati tanpa benar-benar menikmati apa itu hidup"

Quote menarik dari Dalai Lama di atas mungkin cukup menggambarkan apa yang terjadi. lalu, apakah kemapanan finansial merupakan tiket pasti menuju kebahagiaan seperti yang kita kira? Sepertinya kita harus cukup kecewa dengan faktanya.  Menurut artikel di huffingtonpost.co.uk, negara maju seperti Amerika yang kaya justru memiliki masyarakat yang cenderung lebih depressi alias tidak bahagia, terutama para anak muda mereka. Bukankah dengan menjadi negara kaya seharusnya dapat menjamin warganya bahagia karena kekayaan dan kesejahteraan itu? Sayang, tidak begitu kenyataannya. Apakah alasannya? tidak lain tidak bukan karena mereka dicekoki bahwa kebahagiaan di dapat dari Fame and Fortune, yaitu memiliki banyak uang untuk melakukan hal yang kita inginkan. Memenuhi keinginan memang bisa memberikan kebahagiaan, namun kebahagiaan yang semu. Sejarah membuktikan bahwa Fame and Fortune tidak membuat seorang Kurt Cobain bahagia. Dia mengalami depressi di penghujung hidupnya. 

Lalu, apa yang sebenarnya dapat membuat kita bahagia jika memenuhi keinginan (baca: hawa nafsu) cuma memberikan kebahagiaan semu? Mari kita coba memahami apa itu kebahagiaan hakiki dan bagaimana cara mendapatkannya.



Menurut seorang psikolog, Sonja Lyubomirsky, dalam bukunya The How of Happiness: a scientific approach to getting the life you want, kebahagiaan adalah pengalaman sukacita, kepuasan, atau sejahtera, dikombinasikan dengan rasa bahwa hidupnya itu baik, bermakna, dan bermanfaat. Artinnya, kebahagiaan adalah kumpulan rasa positif dalam diri bersama dengan pemahaman mendalam akan makna dan tujuan hidup. Hm... pernahkan kita mempertanyakan secara serius pertanyaan filosofis makna hidup kita sebenarnya? siapa kita? untuk apa kita hidup? Ok semua itu ada dalam ajaran agama kita, muncul pertanyaan berikutnya, apakah kita pernah merenungkan ajaran agama kita ini, atau hanya ikut-ikutan kata orang lain? kurasa dengan menulis ini aku sudah mulai satu langkah dalam perenungan itu, dan perjalanan perenungan ini masih panjang.  

Disamping itu, Sonja pun memberikan delapan tips bagaimana kebahagiaan itu dapat diraih. Pertama, kita dianjurkan membangun hubungan dengan orang lain, berhubungan sosial dengan teman, tetangga, saudara atau kekasih terbukti secara ilmiah dapat memberikan rasa kebahagiaan.  

Kedua, berterima kasih atau bersyukur. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Michael McCullough, Robbert Emmons, Lyubomirsky, dan lainnya menunjukan bahwa dengan sering bersyukur dapat memberikan perasaan optimis dan tingkat kepuasan diri yang lebih tinggi akan hidup. Maka sangatlah benar, ketika Allah berfirman dalam Al Quran surat Ibrahim ayat 7,  menyuruh hamba-Nya bersukur. Karena dengan bersyukur, kita akan mendapatkan tambahan nikmat, yaitu berupa kebahagiaan. Sudahkah kita, yang merasa suka membaca Al-Quran, memahami dan mempraktekan hikmah ayat ini?    

Ketiga, melakukan kebaikan. Penilitian yang dilakukan oleh Elizabeth Dunn melaporkan bahwa orang yang berderma (bersedekah) merasa lebih bahagia daripada orang yang menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri. Sebuah penelitian tentang otak pun menunjukan bahwa ketika seseorang melakukan hal baik pada orang lain, bagian otak yang mengontrol perasaan senang akan lebih aktif. Pernahkah anda menolong seseorang yang kesulitan? bagaimana perasaan kita saat melihat senyum bahagia mereka yang anda tolong? bahagia... ya itu pasti. Jika tidak, aku yakin kita tidak atau kurang ikhlas menolong mereka. Itulah salah satu alasan menurutku kenapa kita sebagai muslim dianjurkan saling tolong menolong, berzakat, dan bersedekah, karena dengan melakukan kebaikan hati kita akan tentram dan bahagia. Hanya memang terkadang kita lebih mementingkan ego kita, merasa kita saja belum mampu mencukupi kebutuhan (baca: hawa nafsu) kita, sehingga enggan memberi.   

Keempat, tidak mendendam. Menurut penelitian Everett Worthington dan Michael McCullough, ketika kita memaafkan orang yang berbuat salah pada kita, kita akan merasakan emosi yang lebih positif dan merasa lebih dekat dengan orang lain. Menyimpan dendam hanya akan membuat hati ini semakin sakit, oleh karena itu Al Quran mengajarkan bahwa memaafkan kesalahan orang lain lebih mulia daripada membalas dengan perbuatan yang setimpal walau dibolehkan. Selain membuat hati kita menjadi lebih bahagia, memaafkan dapat memiliki efek luar biasa apalagi jika dibarengi dengan pembalasan yang lebih baik. 

Saat kecil dulu, guru mengajiku pernah bercerita tentang masuk islamnya seorang penduduk mekkah yang selalu melempar Rasulullah dengan kotoran setiap saat Beliau melintas depan rumahnya. Namun, suatu saat Si pelempar ini jatuh sakit, Rasulullah yang tahu perihal sakitnya itu segera menengok dia sambil membawakan makanan, dan akhirnya  dengan berurai air mata si pelempar ini masuk islam saat itu juga. Jika kita ada di posisi Rasulullah, kira-kira apa yang akan kita lakukan? biasanya kita akan mensykurinya bukan? maksudku kita akan dengan lantang berkata "syukurin lu.... makanya jangan songong jadi orang.....". hm... Dijamin kebahagiaan akan sulit hingga di hati kita.

Kelima, olahraga. Banyak penelitian yang menjelaskan keuntungan olahraga selain kebugaran, antara lain, meningkatkan kepercayaan diri, mengurangi kecemasan dan stress.  Di zaman yang super sibuk ini, manusia hampir tidak punya waktu untuk berolahraga, padahal aktifitas ini cukup penting karena dapat mereda stress. Keenam, istirahat yang cukup. sebuah penelitian mencengangkan oleh seorang psikolog pemenang nobel bernama Daniel Kahneman melaporkan bahwa satu jam tambahan untuk istirahat dapat memberikan efek pada kebahagiaan lebih besar daripada kenaikan gaji sebesar 60.000 dollar. Ketujuh, lebih peka. orang orang yang melatih kepekaan - menyadari akan pikiran, perasaan dan lingkung sekitar - cenderung lebih bahagia dan merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi. 

Kedelapan, tidak berfokus pada kekayaan materi. Asalkan kebutuhan dasar kita terpenuhi, penelitian menunjukan bahwa semakin banyak uang tidak memberikan kebahagiaan lebih. Penelitian Richard Easterlin menunjukan bahwa sebuah negara tidak makin bahagia ketika negara itu makin kaya. Mungkin itu alasan kenapa orang yang lebih mengutamakan materi daripada nilai lain tidak bahagia, atau terlalu membanding-bandingkan diri dengan orang yang lebih dari kita adalah sumber ketidakbahagiaan.

Kesimpulanku atas pertanyaan apa yang memberikan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan itu sederhana dan tidak mahal, mungkin selama ini kita terlalu silau dengan gemerlap dunia sehingga menganggap kebahagiaan itu terletak di luar sana, di tempat hiburan seperti mall dan taman bermain, di dalam restoran mahal, di sebuah gadget mahal, di kendaraan mewah, di dalam rumah mentereng, di saldo tabungan diatas 1 milyar, di pasangan yang cantik atau tampan, di anak-anak yang menjadi apa yang kita inginkan, dia sebenarnya dekat dengan kita. Kebahagiaan terletak di hubungan harmonis dengan orang di sekitar kita, dia terletak dalam rasa syukur kita, dia terletak setiap kebaikan yang kita lakukan, dia terletak dalam kerelaan memaafkan kesalahan orang lain, dia terletak dalam keseimbangan aktifitas antara bekerja, olahraga dan istirahat, dia terletak dalam hidup sederhana dimana harta hanyalah alat penyambung hidup semata.

wallahu a'lam bishowab.



 



 




Kamis, 28 Agustus 2014

Renungan Part 22 (money shouldn't buy anything)



 
"Orang Jogja b*****t. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus gak dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku gak bsia bayar apa. Huk. KZL," 

Itu adalah celoteh the most wanted woman di Jogja akhir-akhir ini dalam akun sosmed path miliknya. Wanita yang bernama Florence Sihombing ini memang jadi terkenal karena hinaannya pada orang Jogja. Tak pelak, seluruh warga jogja mecemoohnya di dunia maya. Asal muasal kekesalan Florence sehingga menulis seperti itu adalah karena penolakan petugas SPBU untuk mengisi bensin motornya, dan keengganannya itu dikarenakan Florence menyela pelanggan lain dan menyerobot jalur antrean mobil. (sumber)

Yang menarik perhatianku adalah kata kata Florence "Emangnya aku gak bisa bayar apa", dan jika dihubungkan dengan pemberitaan tentang insiden ini bahwa Florence menyerobot antrian, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa menurut dia menyerobot antrian itu tidak apa-apa asalkan bisa bayar. (Sebelum dilanjutkan mungkin akan lebih baik kalau dipahami bahwa kesimpulan di atas merupakan murni pendapat pribadi penulis dari sudut pandang pribadi.)

Maka permasalahan yang menarik bagiku disini adalah pemikiran bahwa dengan uang kita bisa melakukan atau mendapatkan apa saja. Contoh, sistem fast track di konser konser atau di taman bermain, dimana para pengunjung bisa mendapat hak istimewa menyela antrian dengan membayar lebih dari orang lain. Maka menyerobot antrian asal bayar lebih pun boleh toh? Sekilas, sistem ini nampak tidak bermasalah, dan kita akan bergumam "itu mah biasa... ya kalau punya uang kita bisa mendapat pelayanan lebih" memangnya apa yang salah dengan sistem ini?

 
Menurut Michel J. Sandel seorang ahli filsafat dari Amerika, dalam bukunya, What Money Can't Buy, uang memiliki kekuatan untuk merusak nilai-nilai baik suatu benda/hal ketika hal itu dijadikan komoditas bisnis. Dalam kasus membayar lebih untuk menyerobot antrian, uang telah mencederai nilai keadilan yang tak pandang bulu. Dalam mengantri, orang yang datang pertama yang dilayani terlebih dahulu entah itu kaya atau miskin, cantik atau jelek, dan setiap orang harus patuh pada aturan itu. walaupun tentunya bisa saja seseorang merelakan antriannya diserobot atas dasar solidaritas atau tolong menolong karena mungkin orang yang ditolongnya lebih membutuhkan sehingga harus didahulukan, tapi tentunya harus dengan kerelaan orang yang mengantri terlebih dahulu. Itulah nilai keadilan universal yang terkandung dalam antrian, dan kehadiran sistem fast track ini telah mencederai nilai keadilan dalam sistem antrian.

Kesimpulannya, pola pikir uang dapat membeli segalanya adalah salah, karena pada dasarnya uang memiliki kekuatan untuk merusak nilai nilai yang ada. Seperti halnya uang merusak nilai keadilan dalam sistem antrian. Jadi, berpikir bahwa membayar lebih untuk mendapatkan sesuatu dengan mencederai hak orang lain adalah sebuah masalah yang serius.