Selasa, 25 Agustus 2015

Renungan Part 48 (Synthesized Happiness vs Natural Happiness)

psychcentral.com


Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling diinginkan di dunia ini, tak seorang pun manusia yang mau hidup dalam penderitaan dan kesedihan. Kebahagiaan memberikan rasa senang, aman, nyaman, dan gembira dalam hati. Kebahagiaan adalah sesuatu yang abstrak, tapi setidaknya aku bisa memberi contoh keadaan yang dapat memberikan perasaan bahagia. Aku merasa bahagia ketika: ayahku membelikan sepeda idamanku saat masih kecil; aku mendapat ranking pertama di sekolah dan membuat ibuku bangga; aku diterima di Universitas negeri; aku mendapat IPK yang cukup tinggi; perempuan yang kusukai akhirnya menerima cintaku; aku mendapat uang beasiswa dan mampu membeli laptop tanpa meminta kepada orang tua.

Itu adalah beberapa contoh keadaan yang telah membuatku merasa bahagia, dan berikut ini adalah keadaan yang kurasa akan membuatku bahagia. Aku akan merasa bahagia ketika: dapat melanjutkan studi ke luar negeri; mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar; dapat menikahi seorang wanita cantik; dapat membeli sebuah rumah yang besar, sebuah mobil, dan beberapa barang lainnya yang membuat orang lain kagum denganku.

Ketika kupikir kembali, semua keadaan yang kuanggap dapat membuatku bahagia dan yang sudah kurasa membuatku bahagia, berpusat pada mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku seringkali merasa sedih ketika ada hal-hal yang kunginkan tidak kudapatkan. Dalam beberapa kasus, ada orang-orang tertentu yang mengalami depresi ketika hal yang mereka inginkan tak kunjung didapat, atau mereka sudah mendapatkannya tapi kemudian tiba-tiba hilang terenggut oleh suatu hal. Tak sedikit yang menjadi gila karenanya, dan aku harus bersyukur walau banyak keinginan tak terpenuhi aku tak kunjung gila. Aku berpikir, inikah kebahagiaan sejati? Aku ragu, karena daftar keadaan yang telah membuatku merasakan kebahagiaan hanya mampu membuatku bahagia dalam waktu yang relatif singkat. Setelah seminggu, atau satu bulan, rasa bahagia itu lenyap, dan aku pun berfokus pada keinginanku selanjutnya untuk bisa merasa bahagia kembali.

Mendapatkan apa yang kita inginkan adalah definisi dari natural happiness atau kebahagiaan alami. Itulah yang dikatakan seorang ilmuwan Amerika bernama Dan Gilbert dalam pidatonya di TED (bisa dilihat di Youtube, channel TED, link terlampir). Ini adalah jenis kebahagiaan yang sangat umum orang pahami. Iya kan? Tapi, tidak mendapatkan yang kita inginkan, ataupun mendapat hal yang sangat kita tidak inginkan, kedua-duanya dapat membuat seseorang bahagia. Benarkah itu? Dan Gilbert membuktikannya dengan data dari sebuah penelitian.  

Ada dua kelompok orang, yang pertama adalah kelompok orang yang memenangkan lotere sebesar 314 juta dolar, dan yang kedua adalah kelompok orang yang menjadi lumpuh, tidak bisa berjalan selama-lamanya. Mari berpikir, manakah yang bahagia dan mana yang sedih bahkan depresi? Tak perlu waktu lama, kita biasanya langsung menjawab (dengan keyakinan) bahwa kelompok pertama pasti bahagia, dan kelompok kedua pasti sedih dan depresi. Orang gila mana yang tidak bahagia ketika tiba-tiba menjadi milyuner dadakan? Dan siapa pula yang tidak sedih setelah kehilangan kemampuannya untuk berjalan? Untuk sesaat jawaban itu tepat, tapi setelah kurun waktu satu tahun, penelitian menunjukan bahwa kedua kelompok itu sama – sama bahagia. Loh... bagaimana mungkin?

Ini adalah jenis kebahagiaan yang kedua. Seorang penulis dan motivator, Gobind Vashdev, mengatakan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari dalam hati, bukan dari benda atau hal yang kita dapat. Happiness from the inside. Bahkan situasi terburuk yang kita alami pun bisa menjadi sumber kebahagiaan, yang perlu dilakukan adalah hanya merubah sudut pandang kita akan suatu kejadian. Kalau dalam ajaran zen yang pernah kubaca, sebuah kejadian itu netral adanya, tidak baik ataupun buruk, pikiran kitalah yang menjadikan itu baik atau buruk. Bayangkan seseorang membuang ludah tepat di depan kaki kita, apa yang kita rasakan? Marah? Tersinggung? Kenapa kita merasa begitu? Karena dalam pikiran kita meludahi adalah tanda menghina. Tapi di sebuah suku pedalaman afrika, meludahi adalah tanda salam seperti halnya berjabat tangan ketika bertemu. Mereka tidak akan marah diludahi, justru mereka tersenyum. Apa yang berbeda antara kita dan mereka? cara memaknai sebuah tindakan meludah. Ludah itu netral tidak baik atau buruk, pikiran kitalah yang memberikan label itu.

Dari kecil, guru mengajiku selalu mengajarkan untuk mengambil hikmah dari segala musibah. Ini adalah cara lain untuk merubah sudut pandang dari negatif ke positif. Ada sebuah kisah terkenal yang menggambarkan bagaimana suatu musibah sebenarnya akan memiliki hikmah yang baik. Pada zaman dahulu kala, ada seorang raja yang senang berburu. Setiap kali ia berburu ia pasti ditemani oleh penasihatnya. Suatu hari terjadilah sebuah kecelakaan ketika sedang berburu dan dia kehilangan jari kelingkingnya, sang raja sedih luar biasa, tapi si penasihat berkata "janganlah bersedih tuan raja, kejadian ini pasti ada hikmahnya." mendengar kata-kata itu sang raja marah dan menjebloskan dia ke penjara. Beberapa waktu kemudian, Raja kembali berburu, namun sialnya, hari itu dia dan rombongan ditangkap oleh sebuah suku pedalaman yang masih primitif. Para tawanan akan dijadikan persembahan dewa dengan cara direbus hidup-hidup, namun ketika sang kepala suku melihat bahwa raja tidak punya kelingking dia pun dibebaskan karena persembahan haruslah manusia sempurna tanpa cacat. Akhirnya sang raja kembali ke istana dan menemui penasihatnya di penjara. "kau benar wahai penasihat, jika saja aku masih punya kelingking, aku pasti sudah mati direbus suku pedalaman itu. aku sangat menyesal dan meminta maaf telah memenjarakanmu" sang penasihat pun tersenyum dan berkata. "aku senang tuan raja akhirnya mendapatkan hikmahnya, dan aku pun senang tuan raja memenjarakan aku." Sang raja kaget. "kenapa kau malah senang kupenjarakan?" si penasihat menjawab. "jika tidak dipenjarakan, aku pasti menemani anda berburu, dan sudah dipastikan aku akan mati direbus suku pedalaman itu."

Dan Gilbert menyebut jenis kebahagiaan ini dengan isttilah synthesized happiness, atau kebahagiaan yang dibuat pikiran dengan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda atau dengan mengambil hikmah suatu kejadian yang tidak kita suka. Jadi tak perduli situasi apapun yang kita alami, kita tetap bisa bahagia. Alat ini sebenarnya sudah ada dalam tubuh manusia, hanya saja kebanyakan manusia tidak menyadarinya sehingga tidak mengoptimalkan fungsinya.

Lalu mana yang lebih baik? natural happiness  ataukah  synthesized happiness? mana yang merupakan kebahagiaan sejati? 

Sebagian orang melihat bahwa synthesized happiness adalah sebuah bentuk pelarian atas kegagalan mendapatkan natural happiness. Itu hanya usaha menghibur diri bahwa sebenarnya kita gagal dan tidak berhasil. Secara pribadi, aku sangat tidak setuju dengan anggapan ini, karena pandangan ini menurutku dipengaruhi kuat oleh cara pandang bahwa materi mendatangkan kebahagiaan. Bayangkan sebuah masyarakat yang selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang mereka punya, maka iklan tidak akan berguna, mall tidak akan ramai, dan para perusahaan besar akan bangkrut. Karena sadar atau tidak, para perusahaan besar menggunakan natural happiness untuk mendongkrak penjualan. Ini sangat terlihat di iklan. "Anda tidak akan bahagia jika tidak berkulit putih, karena orang-orang tidak suka yang berkulit hitam, belilah produk pemutih kami". Natural happiness sangat menguntungkan gaya hidup konsumtif, yang kemudian menguntungkan pengusaha rakus. 

Sedangkan synthesized happiness dianjurkan oleh para sufi. Mencari kebahagiaan dari dalam hati kita, hati yang merupakan kuil Tuhan. Di sanalah tempat kebahagiaan sejati, karena kita diajarkan untuk bersyukur, berprasangka baik, dan tetap bersikap positif dalam keadaan seburuk apapun. Satu hal yang pasti di dunia ini adalah keburukan atau musibah tidak akan pernah hilang di dunia, itu adalah hukum alam yang pasti dialami setiap manusia, jadi cara terbaik untuk bahagia bukanlah menghindarinya, tapi menerimanya dengan tangan terbuka dan pikiran positif. Menurutku, itulah kebahagiaan sejati.      

link Channel TED Dan Gilbert di youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=4q1dgn_C0AU

Minggu, 23 Agustus 2015

Renungan Part 47 (Food Bank: Skandal Negara Kaya Raya?)

cmsimg.coloradoan.com

Pernahkah mendengar istilah food bank? Istilah ini memang sepertinya tidak atau mungkin belum populer di Indonesia. Food bank adalah organisasi amal non profit yang membagikan makanan pada orang-orang yang kesulitan membeli makanan agar tidak kelaparan. Dari yang kubaca, fenomena food bank ini semakin populer di Inggris dan Amerika Serikat sejak tahun 2000an, terutama setelah krisis melanda dua negara kaya tersebut. Bahkan di Inggris, food bank menjadi sebuah kontroversi karena semakin banyak muncul dan mulai dipolitisasi oleh oposisi untuk menunjukan gagalnya pemerintah Inggris mensejahterakan rakyatnya.

Oke, Inggris dan Amerika adalah negara kaya raya dalam pandangan kita. Bagi kita yang tak pernah menginjakan kaki ke sana, yang kita tahu tentang mereka adalah sebuah negara makmur sentosa. Kehidupan mereka lebih baik dari kita dalam hal ekonomi dan banyak aspek lainnya. Kelaparan di kedua negara tersebut adalah sesuatu yang tak masuk akal. Tapi kenapa food bank menjamur? Dan katanya, semakin banyak orang datang ke food bank, walaupun mereka harus menahan rasa malu (siapa yang tidak malu dengan meminta-minta seperti itu, oh... sepertinya orang indonesia tidak malu). Kelaparan mereka tentunya bukan seperti busung lapar yang pernah terjadi di Indonesia, mereka hanya tidak punya uang untuk membeli makanan, dan tidak ada orang atau keluarga yang dapat membantu, maka food bank adalah solusinya. Menjamurnya food bank, bisa menjadi tanda bahwa orang-orang seperti itu makin banyak di sana.

Aku penasaran, warga negara kaya raya seperti apakah yang terpaksa harus datang ke food bank? Sangat beragam, salah satu artikel di guardian.com menyebutkan ada seorang wanita yang ditinggalkan suami dan menanggung dua anaknya, dia baru dapat pekerjaan, tapi dia baru dapat gaji sebulan kemudian, jadi selama 30 hari itu dia tidak punya uang untuk makanan. Food bank adalah solusinya. Kemudian, ada mantan tentara yang sakit-sakitan karena obat yang dia minum seharusnya diminum setelah makan, tapi dia tidak punya uang untuk membeli makan. Lalu, seorang wanita yang mendapat kdrt di rumahnya, sehingga dia harus kabur dari rumah, depresi yang dialaminya membuatnya sakit-sakitan, dan memaksanya berhenti bekerja. Akhirnya dia harus ke food bank karena tidak punya uang sedikitpun, bahkan dia tinggal di tempat penampungan orang tak punya rumah. Dan masih banyak alasan lainnya orang-orang pergi ke food bank, untuk tetap bertahan hidup.

Miris, di negara yang kaya raya hal seperti ini dapat terjadi. Kebijakan pemerintah mensejahterakan rakyat mereka pun dipertanyakan, tentu ada yang salah di situ sehingga fenomena ini terjadi. Mungkin mereka bukan negara kaya, tapi negara yang sebagian kecil penduduknya kaya raya, tapi sebagian lainnya sama saja dengan kita, untuk makan saja susah. Kesenjangan ekonomi sungguh besar. Kelaparan yang terjadi bukan karena tidak ada makanan, justru banyak makanan terbuang begitu saja dari industri makanan. Masalahnya adalah masyarakat tidak punya uang untuk membeli makanan itu. Menurut Robin Aitken, salah satu pendiri Oxford Food Bank, solusi masalah kelaparan ini adalah membuat sistem yang memanfaatkan surplus makanan untuk menambal kekurangan makanan. Robin menambahkan bahwa di banyak supermarket, pelanggan diajak membeli lebih banyak untuk disumbangkan ke food bank, ketika banyak pelanggan melakukan itu maka supermarket mendapatkan banyak untung. Ironisnya, pelanggan tidak tahu bahwa supermarket membuang makanan yang tak terjual. Jika supermarket memang serius ingin bersama-sama menanggulangi kekurangan makanan, kenapa mereka melakukan itu? Karena mereka sebenarnya tidak perduli dengan kelaparan, mereka hanya perduli dengan keuntungan. Biasalah... Kapitalis. Ya... jika kita perhatikan, Inggris dan Amerika adalah dedengkotnya negara kapitalisme, dan food bank mungkin muncul sebagai salah satu efek dari efek buruk kapitalisme: Kesenjangan Pendapatan.

Miris lainnya adalah orang-orang datang ke food bank karena tak ada orang terdekat yang membantu mereka. Di tatanan masyarakat barat yang mandiri dan individualis, bahkan keluarga pun tidak selalu ada bagi semua orang ketika dalam kesusahan. Bisa jadi karena memang keluarga mereka tidak bisa diharapkan, atau memang mereka tidak punya keluarga. Kurasa ini efek negatif menurunnya kesakralan pernikahan dan membangun keluarga. Mereka bisa saja punya anak tanpa ada pernikahan. Di Indonesia, Masyarakat betawi khususnya, keluarga terbiasa tinggal saling berdekatan. Sehingga ketika mendapat masalah, ada sanak famili yang dapat membantu. Di Barat, kemandirian mereka, dan sistem keluarga inti, biasanya membuat keluarga tinggal saling berjauhan, bahkan mungkin ada saja orang yang tidak kenal nenek, paman, atau bibinya. Ketika mereka kesulitan, siapa yang dapat membantu?

Lalu kemana tetangga mereka? mungkin ini juga ekses negatif dari individualistis masyarakat modern. Kebersamaan sepertinya jauh dari kenyataan, karena tiap orang hanya mengurusi urusan masing-masing, sibuk dengan masalah masing-masing. Aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz yang berkata bahwa muslim yang baik tidak akan berkenyang-kenyang sementara tetangga terdekatnya tidak bisa makan sama sekali. Mereka kan bukan muslim... tidak kah kita mulai merasakan hal yang sama mulai terjadi di lingkungan kita yang muslim? Barat adalah kiblat kemajuan, kita mengikuti mereka termasuk ke hal yang negatif sekalipun. Jangan suudzon.... mungkin tetangga mereka pun sama-sama susah makan dan pergi ke food bank.

Menonton video dokumenter dari channel VICE di Youtube tentang salah satu food bank di Newcastle, Inggris, membuatku bersyukur bahwa sampai hari ini aku tidak pernah meminta makan pada badan amal seperti itu (di Indonesia kan memang belum ada food bank). Melihat orang inggris hidup tanpa listrik, bukan karena pemadaman tapi karena tidak mampu membayar, membuatku bersyukur aku masih mampu membayar dan menikmati listrik walau beberapa waktu terjadi pemadaman oleh PLN. Nun jauh disana, di negara kaya raya, kemiskinan pun tetap ada, mereka miskin bukan karena tidak ada sumber daya yang tersedia untuk mereka nikmati, tapi karena mereka tidak punya uang untuk membeli sumber daya itu. Akankah  keadaan ini terjadi di Indonesia?


Sumber bacaan
http://www.theguardian.com/commentisfree/2015/apr/23/food-bank-poverty-benefits

http://www.telegraph.co.uk/foodanddrink/10517718/Food-banks-the-unpalatable-truth.html

http://www.theguardian.com/society/2015/aug/20/food-bank-users-suffer-more-from-shame-than-from-hunger

http://www.mirror.co.uk/news/uk-news/one-five-doctors-sending-patients-6302670

Channel VICE di Youtube tentang food bank

https://www.youtube.com/watch?v=OIWARrp_A68

Jumat, 21 Agustus 2015

Renungan Part 46 (Awas Bahaya Laten Komunisme!!)

static.pulsk.com

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar PKI? umumnya yang muncul dalam benak kita adalah kekejaman, pembunuhan, pemberontakan dan ateisme. Orang-orang PKI itu kejam, mereka membunuh para ulama, mereka ateis, dan mereka pemberontak. Yang kutahu, kelompok komunis di indonesia sudah melakukan tiga kali pemberontakan, yakni di tahun 1926 (pada zaman ini Indonesia belum terbentuk, jadi kelompok komunis ini memberontak pada pemerintahan Hindia Belanda. Jadi, aku bingung, mereka seharusnya dilabeli pejuang kemerdekaan kan ya? kenapa pemberontak?), di tahun 1948, dan yang terakhir sekaligus yang menjadi akhir kehidupan kelompok ini di Indonesia yaitu di tahun 1965, yang kita kenal dengan nama G 30 S PKI. Aku tidang ingin membahas sejarah dari versi manapun, aku hanya ingin mengenal komunisme yang menjadi dasar PKI.

Baru - baru ini berita tentang PKI sering terdengar karena beberapa insiden. contohnya, isu presiden akan meminta maaf pada keluarga PKI. Banyak sekali yang menentang, terlihat sekali bagaimana masyarakat sepertinya sangat membenci sekaligus takut dengan partai dan ideologi komunis. Tak aneh, dari kecil aku saja sudah dicekoki video pembantaian jenderal oleh PKI, di pelajaran sejarah pun aku belajar itu. Kata mereka, generasi penerus harus tahu bagaimana kejinya mereka, dan oleh karena itu Komunisme tidak akan pernah muncul lagi di Indonesia, haram hukumnya! PKI memang menyeramkan, melihat benderanyan saja aku takut, Palu dan Arit, jangan-jangan itu lambang kekerasan mereka. Yang tak suka ditebas lehernya dengan arit, dan yang tak setuju dipalu otaknya.

Tapi kita seringkali tidak kritis dalam memahami suatu hal, menelan begitu saja apa kata orang. Kita tidak meluangkan waktu membaca, dan mencari tahu akan suatu hal secara objektif, dari berbagai sudut pandang, tapi kita berkoar-koar, bahkan mencaci yang tidak sependapat seakan-akan kita ini yang paling benar. Padahal pengetahuan secetek kubangan air. Karena aku tidak mau termasuk pada orang - orang seperti itu, maka kuputuskan untuk mencari tahu lebih tentang komunisme.

Komunisme
Apa itu komunisme? gampangnya begini, komunisme berasal dari kata communal, artinya bersama-sama, dibagi bersama, jadi komunisme ya paham untuk saling berbagi. Kalau kamu senang berbagi sesuatu yang merupakan milikmu dengan orang lain, berarti kamu komunis. Serius? Lah iya... komunisme itu adalah hasil pemikiran Karl Marx, seorang filosof eropa yang lahir di Jerman pada tahun 1818. Komunisme lahir karena Marx melihat penindasan kaum berduit (borjuis) terhadap para buruh (Proletar) di zaman itu. Dia melihat bahwa para kapitalis, pemilik perusahaan, hanya mengeksploitasi tenaga buruh, sehingga ada kesenjangan yang besar antara kaya dan miskin. Komunis hanya ingin membuat semua orang itu sejahtera, tanpa ada kesenjangan seperti itu dengan saling berbagi. Makanya di salah satu mantan negara komunis kepemilikan pribadi itu tidak diakui, semuanya milik pemerintah, dengan begitu ego individu dapat ditekan dan pemerintah dapat membagikan kesejahteraan secara merata.

Dari situ kita bisa melihat bahwa sebenarnya Komunis itu pada dasarnya tidak menyeramkan, justru membela kaum yang lemah. Tapi kenapa sepanjang sejarah komunis itu selalu diwarnai pemberontakan dan darah? menurutku, ini karena komunis percaya untuk mencapai utopia kesejahteraan merata itu lewat pergantian sistem pemerintahan secara radikal. Sistem demokrasi kita sekarang contohnya, hanya kaum borjuislah yang pasti akan berkuasa, kenapa? kita memang melakukan pemilihan langsung, rakyat yang memilih langsung, tapi kita semua tahu bahwa uang dapat membeli apapun, termasuk suara rakyat. Siapa yang memiliki uang segitu banyak? ya para kapitalis.... sementara itu pejuang komunis umumnya tidak memiliki banyak uang (karena senang berbagi... hehe). Jadi, perjuangan lewat jalan pemilu itu sia-sia, para kapitalis yang pasti menang, dan kemudian pemerintah dapat dengan mudah dipelintir kapitalis demi keuntungan mereka. Jauhlah mimpi kesejahteraan bersama itu dapat terwujud, karena para kapitalis tidak suka ide itu, mereka egois dan hanya ingin untung sendiri. Jadi bagaimana solusinya? Berontak!! Gulingkan pemerintahan secara paksa!!

Komunis itu Ateis
Aku melihat bahwa keparnoan beberapa kalangan umat islam terhadap komunisme itu karena mereka anti tuhan. Benarkah? hm... bisa saja, kalau kita sangat mengagumi Karl Marx, tanpa mau mengkritisi. Karl Marx sendiri berkata bahwa agama itu candu, jelaslah bagi kita bahwa dia adalah seorang ateis, kafir jahanam! Eits... bagiku jelas pula dia ateis, dia hidup di Eropa pada zaman dimana ilmu pengetahuan dijunjung melebihi tuhan, berapa banyak filosof atau ilmuwan barat yang tidak percaya tuhan? banyak sepertinya... coba kalau Karl Marx besar di jombang, kemudian pesantren di Tebu Ireng dan kuliah di IAIN Ciputat, pasti yang lahir dari pemikirannya bukan agama itu candu, tapi agama itu obat segala penyakit. Bukan pula komunisme yang dia dengungkan tapi Islam Liberal, atau jihad fi sabilillah. Dari latar belakangnya saja, sudah jelas dia tidak punya hubungan mesra dengan agama. Selain itu, alasan lain dia bilang agama itu candu adalah karena menurutnya agama mengajarkan untuk bersabar dan menerima takdir baik buruknya. Semua itu dari Tuhan, jadi kita terima dan bersabar saja. Ini adalah mental yang tidak baik, seorang komunis harus tidak mau menerima perlakuan buruk si kapitalis yang mengeksploitasinya, komunis harus melawan! Ajaran menerima takdir ini seringkali disalahgunakan oleh para kapitalis untuk mempertahankan ketundukan para buruh, dan sangat ampuh. Oleh karena itu, ada beberapa pemerintah dunia yang dengan sengaja menggandeng pemuka agama untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan adanya pemuka agama di pihak mereka, rakyat yang tertindas tidak berani melawan, karena melawan sama saja dengan melawan agama, melawan tuhan, kafir jahanam! Pantas dibunuh! Oleh karena itu, agama bisa saja menjadi rintangan dalam membentuk masyarakat komunis.

Dari hasil bacaan yang sedikit ini, saat ini aku menyimpulkan bahwa membenci komunisme karena tindakan PKI itu sama seperti masyarakat Barat membenci islam karena tindakan Teroris. Kita sebagai umat islam akan berteriak "itu bukan islam yang sebenarnya! kau tidak tahu apa itu islam jangan asal tuduh!". Mungkin tindakan PKI, dan Komunis di negara lain hanya mencerminkan sisi buruk komunisme, atau mencerminkan salah tafsir akan ajaran komunisme (namanya juga konsep bikinan manusia, tak ada yang sempurna, Islam saja yang konsepnya dibuat langsung oleh Tuhan bisa disalahartikan menjadi terorisme). Kurasa ada hal-hal baik yang bisa kita pelajari dari faham komunisme asal kita mau berpikiran terbuka.    
   
Sumber bacaan:


Malaka, Tan, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi-Politik,Tangerang: Marjin Kiri.

Rahman, Arif dan Adi Prabowo, Das Kapital for Beginners,Yogyakarta: Narasi.





Senin, 17 Agustus 2015

Renungan Part 45 (Sarjana)

gerardusseptiankalis.files.wordpress.com

Gelar sarjana merupakan sesuatu yang cukup wah, karena mendapatkannya tidaklah mudah, oleh karena itu ada orang yang bisa marah jika gelarnya tidak ditulis dalam kartu undangan atau dalam acara-acara tertentu. Titel Sarjana adalah tanda intelektualitas, karena hanya orang-orang yang memang pintar yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus. Di samping itu, Sarjana adalah simbol kebijkasanaan, seorang sarjana adalah orang yang pintar dan mengerti banyak hal, tak aneh dia dianggap sebagai seorang bijak. Mungkin yang paling beken saat ini adalah sarjana menjadi kunci perubahan nasib. Sebagaimana slogan yang sering kudengar dari barat, bahwa kita bisa memperbaiki nasib (keadaan ekonomi) dari masyarakat kelas bawah (miskin) menjadi masyarakat kelas atas (kaya) dengan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. 

Mari kita merefleksi diri sejenak. Ketika SMA, aku mulai diperkenalkan dengan pilihan akan universitas yang ingin kuambil, selain itu lingkunganku mulai memberikan contoh dan nasihat tentang bagaimana pentingnya kuliah demi masa depan. Kesimpulan dari semua itu adalah sukses bisa dicapai dengan pendidikan tinggi dan menjadi pintar tentunya. Sukses dalam pikiranku berarti aku punya pekerjaan bonafit dengan gaji besar sehingga aku bisa memperbaiki hidup. Loh... memangnya aku miskin? tidak, cuma kurang bersyukur. Rasanya tidak salah kan kita ingin hidup sejahtera.... hidup lebih dari cukup. Intinya dalam kepalaku (atau mungkin kita semua) kita semangat kuliah demi mendapat kesuksesan itu. Kuliah demi mendapatkan kerja dengan penghasilan tinggi setelah lulus nanti. Memang banyak kasus seperti itu, from zero to hero karena pendidikan, mereka banyak diekspos di media, dan menjadi inspirasi. 

Karena kuliah dapat membuat kita sukses, maka permintaan masyarakat untuk bisa kuliah menjadi sangat tinggi. Dalam kacamata kapitalisme, ini adalah pasar yang sangat menguntungkan, oleh karena itulah kenapa biaya kuliah di Amerika itu mahal. Dia kan negara kapitalis... apa-apa di lihat dalam sudut pandang untung rugi. Jadilah pendidikan sebagai bisnis. Untuk membantu masyarakat yang kurang mampu maka dihadirkanlah pinjaman mahasiswa, kita dibayari uang kuliah yang nantinya harus kita bayar, dengan bunga sepertinya. Tak apa-apa.... pendidikan itu kan investasi masa depan, kita berhutang sekarang nanti kita bisa mendapat penghasilan lebih dari cukup untuk membayarnya. 

Atas dasar asumsi itu pula, bahwa sarjana memberikan pekerjaan berpenghasilan besar, banyak yang merasa miris membaca berita tentang banyaknya sarjana melamar jadi driver gojek beberapa waktu lalu. Menjadi tukang gojek tak perlu sekolah tinggi, cukup punya motor dan modal. bahkan lulusan SMA pun dapat melakukannya. Buat apa kuliah kalau akhir-akhirnya jadi tukang ojek juga, buat apa ilmu yang selama ini dipelajari dengan susah payah? ah... rasanya tak relevan... banyak temanku, dan mungkin juga temanmu yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Seorang lulusan Sastra bekerja sebagai teller bank misalnya. Lalu banyak pula perusahaan yang mencamtukan "lulusan S1 semua jurusan". Apa artinya itu? jadi kelimuanmu tak penting, dan yang penting adalah titelmu, begitu?

Dalam sudut pandang ekonomi, Titel Sarjana adalah nilai plus yang membuat kita memiliki nilai lebih sehingga kerja kita pantas dibayar lebih tinggi dari yang bukan sarjana. Jika non sarjana adalah kuli biasa, maka sarjana adalah kuli bersertifikat yang memiliki beberapa skill yang lebih baik dari kuli biasa. Tak aneh beberapa rekan guru yang pastinya sarjana kesal dengan tuntutan buruh yang umumnya bukan sarjana untuk menaikan gaji mereka. Masalahnya, gaji buruh itu sudah lebih besar dari gaji beberapa kalangan guru, seperti guru honorer dan guru di sekolah kecil atau sekolah pedalaman.      

Salah satu adik temanku pernah bertanya, "buat apa mahal-mahal kuliah ternyata dapet gajinya cuma segitu?"  Hm.... sedih... terutama ketika kita meniatkan kuliah demi pekerjaan dan penghasilan tinggi. Pada akhirnya para sarjana berkualitas akan berkumpul di tempat yang memberikan gaji besar. Dan yang tidak berkualitas, tahulah pada kemana... Sekolah di kampung sulit berkembang karena tidak mampu menggaji sarjana berkualitas. Sekolah di kota besar makin maju karena ada modal. Akhirnya.... yang miskin makin miskin, yang kaya tambah kaya. Dasar kapitalis!

Tak pentinglah... kaya miskin... Tuhan hanya melihat ketakwaan kan?

Lalu apa sebenarnya makna hakiki menjadi sarjana? Bagiku, sarjana adalah tanda bertambahnya pengetahuan akal dan kebijaksanaan hati. Seorang sarjana tidak hanya tahu dasar-dasar ilmu untuk menjadi kuli, atau menciptakan lapangan kuli, tapi juga untuk memahami hakikat diri dan dunia. Lebay memang, bisakah itu tercapai dalam lima tahun? batas masa studi mahasiswa sekarang? sepertinya tidak. Jadi yang besok mau diwisuda, sebenarnya belajarnya belum tuntas ya......


Senin, 10 Agustus 2015

Renungan Part 44 (Mencintai yang Mahacinta)

Beberapa saat yang lalu aku menonton drama korea yang sangat menarik yang berjudul "School: 2015 Who Are You?". Drama yang cukup berbeda dari drama yang pernah kutonton ini menceritakan kehidupan remaja korea dalam menggapai kebahagiaan dalam menjalani hidup, dan dalam menggapai kebahagiaan itu cinta lah hal yang terpenting. Bukan cinta antar lawan jenis seperti drama korea yang pernah kutonton umumnya, tapi cinta dalam arti umum. Cinta orang tua pada anak, cinta guru pada murid, cinta antar teman, cinta antar manusia.

Menurut para ahli sufi, cinta dalam arti umum adalah sumber kebahagiaan. Sementara Harta hanyalah sarana mencapai Kebahagiaan itu, akan tetapi manusia sering salah memahami yang mana tujuan dan yang mana sarana. Banyak dari kita berpikir bahwa kita tidak bisa bahagia tanpa uang, karena tanpa uang kita tidak dapat mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita menaruh kebahagiaan kita dalam kegiatan mengkonsumsi, pada apa yang kita dapat (yang di zaman ini umumnya harus dibeli). Mana yang lebih membahagiakan? sebuah rumah sederhana tapi diisi dengan keluarga yang rukun, istri, suami, dan anak yang saling mencintai, ataukah sebuah rumah mewah yang besar tapi tak ada cinta di dalamnya, suami dan istri selalu bertengkar, si anak frustasi dan kurang kasih sayang. (Kalau dalam hati anda memilih opsi tiga, menurut saya anda masih berpikir bahwa uang yang membawa kebahagiaan LoL)

Tapi... kita sering  kecewa karena cinta. Ketika mencintai secara tulus, tapi orang lain ternyata mengkhianati? kita melakukan banyak hal demi suami, istri, sahabat, dan keluarga, tetapi mereka tidak membantu kita ketika kita dalam kesulitan. Atau seperti salah satu temanku yang bertanya tentang ketulusan cinta, Siapakah yang memiliki ketulusan cinta? jika teman berbuat baik karena ingin dibalas kebaikannya ketika butuh, jika suami berhenti mencintai karena istri tidak bisa menjadi yang dia mau, dan jika orang tua menuntut anak untuk membalas semua yang telah mereka berikan untuk membesarkannya. Pada akhirnya, kita terpuruk dan kecewa dengan semua balasan yang kita tidak dapatkan atas cinta yang kita berikan.

Kurasa disinilah masalahnya, Lagi-lagi kita berfokus pada apa yang kita dapat. Itu bukanlah cinta sejati, itu artinya kita hanya mementingkan diri kita sendiri. Cinta sejati tidaklah seperti itu, Jalaludin Rumi pernah berkata: "Cinta itu tak berhitung, bukan nalar. Nalar mengejar untung. Setelah pamrih tiada, cinta pertaruhkan semua, dan tak tuntut sesuatu apa." Mungkin yang selama ini kita rasakan bukanlah cinta, tapi nalar. Kita menghitung untung rugi dalam sesuatu yang kita sebut cinta. Oleh karena itu, rasanya benar pula Sujiwo Tejo ketika ia berkata bahwa cinta tak butuh pengorbanan, ketika kita merasa berkorban maka lunturlah esensi cinta itu, karena rasa pengorbanan adalah hasil kalkulasi untung rugi, bukan cinta.  

Mungkin dalam lubuk hati, kita bertanya adakah sesuatu yang begitu sempurna yang berhak mendapatkan cinta sejati itu? karena manusia penuh kerapuhan dan kelemahan, ketika kita memberikan cinta sejati kepadanya, rasanya hanya kekecewaan yang akan didapatkan. Maka dari itu para sufi mengajarkan untuk mencintai yang Mahacinta, yaitu zat yang memiliki cinta itu, Tuhan. Dia lah soulmate sejati manusia, yang tidak akan memberikan kekecewaan.

Dulu, aku tidak percaya dengan slogan "Mencintaimu karena Allah", tapi sekarang, aku melihat bahwa itulah jalan terbaik mencintai manusia. Apa yang akan anda lakukan pada benda milik orang yang anda cintai? menjaganya atau mungkin juga menyayanginya kan? Manusia adalah salah satu ciptaan-Nya, jika kita mencintai-Nya maka kita pun mencintai ciptaan-Nya. Disamping itu, Dengan mencintai karena Allah, kita terlepas dari pamrih. Kita tidak meminta balasan atas perbuatan baik kita pada orang lain, karena tujuan kita adalah Allah, bukan balasan. Itulah kenapa kita disunahkan mengawali segala sesuatu dengan bismillah, untuk meneguhkan hati kita bahwa yang akan kita lakukan adalah semata-mata untuk Allah, bukan yang lainnya. Tapi sayang... selama ini aku selalu berpikir bahwa bismillah adalah sarana untuk menggapai keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Aku berfokus pada apa yang kudapat dan basmallah dapat membantuku, sungguh miris.

Aku berpikir, jika kita mampu mencintai karena Allah apa yang akan terjadi? Kita bisa menebar kebaikan, mencintai manusia tanpa pandang bulu, entah ia baik atau buruk. Karena seperti konsep yin dan yang, dalam kebaikan bisa saja ada keburukan dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang murni putih dan hitam. Bukankah setiap manusia itu memiliki percikan ilahi dalam hati mereka? Lalu, kita pun mencintai lingkungan kita, karena esensinya semua hal di dunia adalah ciptaan-Nya.

Dapatkah kita melakukannya? mencintai karena Allah? mungkin pertanyaannya bukan "dapatkah" tapi maukah kita berusaha mencapai tingkat itu?