Minggu, 26 April 2015

Renungan Part 36 (Darurat Prostitusi Online)


Senin 27 April, aku sedang menonton berita di salah satu stasiun televisi milik bakri, acara yang setiap pagi membawakan diskusi tentang isu tertentu tersebut kali itu mengangkat isu prositusi online, dengan tagline "Darurat Prostitusi Online". Video pembuka menayangkan kasus Deudeuh, PSK yang dibunuh pelanggannya di kamar kosannya sendiri, sampai ke penangkapan jaringan prostitusi di sebuah apartemen yang cukup terkenal di Jakarta. Seorang Sosiolog dan Moamar Emka menjadi narasumber diskusi Acara itu.

"apakah bangsa ini sakit?" sebuah pertanyaan menggelitik dari salah satu pembawa acara. Siapa yang dimaksud dia sakit? para PSK? atau para pelanggannya?

Prostitusi memang isu yang sangat menarik, di satu sisi dia sangat dibenci dan dan dianggap hina. itu adalah dosa besar yang hukumannya sangat keras di beberapa agama. Para PSK dianggap sebagai sampah masyarakat, keberadaannya menggusarkan sebagian masyarakat relijius dan sok relijius karena akan mendatangkan murka Tuhan yang katanya maha pengasih lagi maha penyayang. Oleh karena itu, Dolly ditutup, lokalisasi yang resmi seperti itu menandakan persetujuan masyarakat akan dosa tersebut. Di samping itu, dampak sosial bagi anak-anak dan pemuda di wilayah itu pun sangat buruk. Tak terbayang para penerus bangsa itu sudah mengenal seks bebas, entah bagaimana moral mereka di masa depan.

Di sisi lain, bisnis prostitusi itu akan tetap ada. Resmi atau tidak, mereka akan selalu ada. Dari jaman Yunani kuno, sampai sekarang dia tetap ada. Kenapa? Karena mereka bekerja dengan sistem ekonomi paling mendasar, supply and demand. Ketika demand tetap ada, supply akan selalu mengikuti. para PSK hanyalah supply yang mengikuti demand. Maka, menurutku agak kurang bijak ketika kita hanya menghina, membenci, dan menyalahkan mereka. Justru yang paling besar perannya adalah para pelanggan mereka, itu yang membuat bisnis ini subur. Sekejam apapun kita memberangus prostitusi, dia akan tetap ada jika demand tersebut tetap terpelihara.

Menurut sang Sosiolog di acara tersebut, faktor penyebab maraknya prostitusi selain ekonomi adalah pendidikan. Rendahnya pendidikan para gadis desa yang lugu membuat mereka bisa terjerat iming-iming bekerja di kota dengan gaji besar yang ternyata dipekerjakan sebagai PSK. bagaimana dengan yang sukarela seperti deudeuh? Mungkin karena rendahnya pendidikan membuat dia tidak merasa bersalah bekerja sebagai PSK, toh penghasilannya besar. Menurutku, pendidikan telah gagal dalam hal ini. Karena justru pelanggan prostitusi datang dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang katanya terdidik. Bolehlah kalau kita berpikir pelanggan PSK pinggir jalan cuma supir truk, kuli pasar, atau buruh pabrik yang biasanya berpendidikan rendah. Bagaimana dengan PSK kelas atas? yang beroperasi di apartemen, hotel, tempat spa dan pijat, prostitusi yang menawarkan berbagai jenis variasi jasa? pelanggan mereka tentu kalangan berkocek tebal, seperti manager perusahaan, pemilik perusahaan, atau bahkan pejabat. Mereka tentu kalangan terdidik, karena pendidikan di jaman sekarang dapat membawa kita menuju kesuksesan finansial. Justru itu yang menjadi tujuan pendidikan sekarang, sekolah untuk mendapatkan pekerjaan bagus.

Demand prostitusi muncul dari fitrah manusia yang memiliki nafsu, kurasa itu yang membuat prostitusi sulit dihilangkan sepenuhnya dari muka bumi, untuk menghilangkannya kita harus memberangus nafsu seksual kita. Tapi seperti orang yang menyalahkan korban pemerkosaan karena pakaiannya kurang tertutup tanpa sedikitpun mempermasalahkan otak pemerkosa yang ngeres, kita lebih berkonsentrasi dengan para PSK daripada para pelanggannya. Karena itu lebih mudah.




      

Renungan Part 35 (piye kabare? enakan jamanku toh?)

  

        "Harga BBM mau naik lagi, nanti harga-harga sembako juga naik, hidup jaman sekarang susah banget." Keluh Mang Nur, penjual baso langgananku sejak kecil.
        "Dulu waktu jaman Pa Harto apa-apa murah, beras murah, BBM murah, enak deh pokoknya..." Tambahnya. "kalau begini mah mending pa harto aja yang jadi presiden lagi."

Itu adalah keluhan Mang Nur ketika beberapa waktu lalu aku pulang ke kampung halaman. Saat itu memang sedang ada isu kenaikan harga BBM. Bagi rakyat kecil seperti dirinya, kenaikan harga BBM sangat sensitif, karena akan berpengaruh pada kenaikan harga-harga bahan pokok. Ia pun bernostalgia dengan keaadan di jaman orde baru, dimana harga-harga terasa sangat murah. Mang Nur bukan satu-satunya orang yang berpikir demikian, ketika aku berselancar di internet mencari-cari pendapat tentang isu ini, ada banyak yang berpikiran seperti halnya Mang Nur. 

Argumen mereka umumnya seputar harga murah, nilai tukar rupiah dengan dollar yang kecil (cuma Rp 2500 kalau tidak salah), tidak pernah ada demo-demo yang mengganggu, negara kita punya wibawa di hadapan negara tetangga, hidup rasanya tenang dan damai. Hingga dianggap bahwa jaman itu adalah jaman keemasan bangsa Indonesia. sementara pemerintah sekarang itu antek kapitalis, yang tidak berpihak pada rakyat kecil, berbeda dengan soeharto yang memperhatikan rakyat kecil. 

Benarkah? harga-harga memang sangat murah, bahkan termasuk nyawa kita, entah berapa orang yang hilang dibunuh oleh rezim orde baru. Tidak pernah ada demo justru indikasi bahwa kebebasan berpendapat dibungkam, entah berapa kantor media yang diberendel dan dilarang beroperasi di jaman orde baru. Kita pasti setuju bahwa tidak ada gading yang tak retak, begitu pula orde baru, tapi jangan pernah berani berbicara tentang kejelekan pemerintah di masa itu, kalau tidak mau nyawa melayang. Daya kritis masyarakat terhadap pemerintahan benar-benar dibungkam. Ah... apalah arti pemberedelan itu, yang penting perut kenyang, lagipula siapa yang peduli dengan politik atau pemerintahan selama harga untuk mengenyangkan perut sangat murah. kita cuma rakyat kecil, gak ngerti apa-apa, yang penting buat kita, dapur tetap mengepul. Selama kita tidak mengusik pemerintah, yang tidak kupedulikan, hidup kita tenang.

Tapi, di awal tahun 97 krisis menyerang, dan ini pula yang membuat rakyat bergejolak, mahasiswa turun ke jalan, dan banyak aktivis hilang, hingga akhirnya MPR diduduki dan Orde Baru runtuh di tahun 98 meninggalkan hutang negara yang sepertinya tidak habis tujuh turunan. Reformasi terjadi, dengannya tidak ada monopoli pemerintahan oleh satu keluarga saja, pendapat bebas dikatakan, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Keadaan yang dicita-citakan para pejuang di tahun 98.

Apa yang berubah? korupsi masih terjadi, bedanya sekarang tidak hanya orang-orang dekat keluarga presiden saja yang kebagian, siapapun bisa dengan usaha. Politik sering ricuh karena masing-masing partai tidak perlu takut untuk tidak patuh, atau bahkan mengusili pak presiden dengan dalih atas nama rakyat (entah terkadang rakyat mana yang dibelanya aku tak tahu). Dan yang terpenting bagi rakyat, hidup makin sulit karena harga harga naik terus, sementara taraf hidup layak semakin bertambah. Hei... setidaknya kau bebas berpendapat mengkritik pemerintah, bahkan menghina pihak-pihak tertentu kalau perlu dengan foto atau fitnah berbau sara. Entah diniatkan ikhlas memperbaiki atau sebagai pasukan bayaran pihak tertentu. kau tak perlu takut diciduk aparat dengan tuduhan anggota PKI.

Jaman Orde Baru mirip dengan dunia impian Madara dalam komik Naruto, dimana dia ingin menyelimuti seluruh penduduk dunia dengan tsukuyomi, membuat mereka terlelap dalam mimpi yang dikontrol oleh satu orang, semuanya hidup tenang dan damai, karena semuanya dikontrol. Kemudian jaman reformasi adalah Jaman kebebasan, bebas berpendapat hingga yang pandir pun akan merasa pendapatnya hebat dan layak dipertahankan, padahal pengetahuannya cuma sejengkal. Bebas bertindak, walau terkadang tindakannya anarkis dan merugikan beberapa pihak, dan itu tak dipedulikannya karena mereka bertindak dengan ijin langsung dari tuhan. Kita bebas sebebas-bebasnya, hanya akal sehat dan nurani yang menjadi pengontrol di Jaman ini. Tapi terkadang, akal dimanfaatkan untuk mengakali sistem demi nafsu dunia, dan nurani tertutup egoisme.

Mana yang lebih baik? adakah jalan tengah? atau jalan lain?
       

  

Selasa, 21 April 2015

Renungan Part 34 (Bumi Manusia: rasisme dan Inferioritas Inlander)

“Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, 
  bukan batu dari langit.”

(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)





Bumi Manusia merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, pertama kali terbit di tahun 1980. Pada Tahun 1981, buku ini dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan mempropagandakan aliran marxisme-leninisme dan komunisme (benarkah? sejauh yang saya ketahui, tidak ada propaganda tentang hal itu di novel ini, mungkin pemahaman saya sendiri tentang komunisme yang masih terbatas sehingga tidak tahu, tapi sepertinya tuduhan itu hanya karena Pram adalah dulunya anggota Lekra, organisasi kebudayaan sayap kiri di masa orde lama, menurut saya keputusan itu murni politik). Sampai sekarang, novel tersebut telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, dan telah mendapatkan berbagai macam penghargaan. Novel yang bersettingkan masa kolonialisme pada tahun 1898 sampai 1918 ini bercerita tentang seorang Pribumi bernama Minke (unik? memang... bahkan sejarah nama itu lebih unik lagi). Minke adalah seorang pelajar HBS (singkatan dari Hoogere Burgerschool, sekolah setingkat SMP sampai SMA), pada masa itu yang diperbolehkan sekolah hanyalah anak-anak keturuan Eropa, dan pribumi keturunan pejabat atau bangsawan. Perkenalannya dengan seorang nyai (wanita pribumi yang menjadi gundik orang eropa) membawanya pada pengalaman-pengalaman yang menantang semua yang telah dipelajarinya tentang kebudayaan eropa yang sangat ia banggakan, sebagai seorang yang terpelajar.

Dalam novel ini digambarkan bagaimana rasisme para orang belanda yang memandang rendah orang pribumi, yang bahkan disamakan dengan monyet. semua yang berasal dari eropa adalah bagus dan maju, mereka adalah manusia modern. sementara pribumi adalah kumpulan monyet yang terbelakang, berotak udang, sungguh tidak berharga, bahkan hukum belanda pun tidak mengakui seorang nyai sebagai ibu dari anaknya sendiri yang memiliki darah eropa dari ayahnya, dan tidak pula mengakui seorang suami, yang merupakan pribumi, dari istrinya yang keturunan eropa. semua yang berkulit putih, mancung, dan memiliki darah eropa di tubuhnya diperlakukan spesial, dilindungi hukum, diberi hak lebih dari para pribumi. Begitulah keadaan di zaman itu, dan pemikiran itu cukup tertenam kuat di kepala pribumi. Buktinya, bukan rahasia umum sekarang kita lebih menyukai hal-hal yang berbau luar negeri, jalan-jalan ke luar negeri, belanja di luar negeri, wanita cantik itu putih (warna kulit asli orang indonesia bukan putih), sekolah di luar negeri, guru bule itu lebih baik dari guru lokal, sedih ternyata kita masih terjajah oleh pandangan bangsa terjajah (atau memang kita sebenarnya masih terjajah?).

Tapi Minke mengajarkan bahwa penajajahan harus dilawan, walau kau tahu tidak mungkin menang, karena "dengan melawan kita tidak sepenuhnya kalah" (Pramoedya Ananta Toer). Sebagai seorang terpelajar, minke memiliki kewajiban untuk menjadi adil dalam pikiran dan perbuatan. Seorang terpelajar harus bersetia pada hati nurani. Keadilan dan hati nuraninya terusik oleh perampasan hak-hak pribumi oleh para orang Eropa yang mengajarkan dia tentang keadilan dan peradaban manusia maju. Ironis, seironis manusia terpelajar di zaman sekarang yang tidak adil dalam pikiran dan perbuatan, hakim yang disuap sehingga memutuskan dengan tidak adil contohnya. seironis manusia terpelajar zaman sekarang yang tidak setia pada hati nuraninya, para koruptor yang telah kehilangan nurani contohnya. 

Bagiku, novel ini seharusnya menjadi bacaan wajib anak sekolah  dalam mata pelajaran sejarah, walau ini fiksi, setidaknya menggambarkan keadaan masyarakat zaman kolonial yang sedari dulu tidak pernah bisa kubayangkan dengan membaca buku sejarah yang hanya menceritakan tanggal dan nama. ah... kemana saja aku sejak dulu sehingga baru membaca buku ini sekarang? 

Minggu, 19 April 2015

Renungan Part 33 (Cantik Itu Luka: Cerita Cinta Di Atas Logika)


"Lantas siapa lelaki yang kau sukai dan kau inginkan jadi suamimu?"
"Aku tak menyukai siapapun," kata si Cantik. "Jika aku harus kawin, maka aku kawin dengan pemerkosaku."
"Katakan padaku, Siapa?" Tanya ibunya lagi.
"Aku akan kawin dengan anjing."  

(Cantik Itu Luka, hal. 396)




Cantik Itu Luka adalah novel karya penulis Eka Setiawan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2002, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Malaysia. Mengisahkan perjalanan hidup seorang Gadis keturunan Belanda yang sangat Cantik Jelita bernama Dewi Ayu, yang dipaksa menjadi pelacur ketika Jepang merebut Indonesia dari Belanda. Di akhir masa kolonialisme, Dewi Ayu memutuskan untuk tetap menjadi pelacur hingga melahirkan tiga anak yang kesemuanya cantik jelita. Anak pertama adalah Alamanda, walau tidak jelas siapa bapaknya, matanya yang sipit menandakan bahwa jelas ia terlahir dari benih salah satu tentara Jepang yang menidurinya. Anak kedua adalah Adinda, yang sangat mirip dengan ibunya. Sedangkan yang ketiga, merupakan yang paling cantik dari semuanya, bernama Maya Dewi. Tragedi yang dialami ketiga anaknya meyakinkan Dewi Ayu bahwa kutukan dari dosa leluhurnya masih setia mengikuti dirinya dan keturunannya. Hingga ketika Dewi Ayu hamil untuk keempat kalinya, dan setelah segala cara dilakukan untuk menggugurkannya tidak berhasil, dia berdoa agar anak keempatnya memiliki wajah buruk rupa. Itulah yang terjadi, meski secara ironik, dinamai Cantik.

Membaca Cantik Itu Luka seakan dibawa berputar-putar, karena plotnya yang maju mundur dengan banyak tokoh yang menjadi pusat perhatian, Tapi disitulah keunikannya menurutku, plotnya menjadi daya tarik sendiri karena tidak membosankan. Penulis menutup cerita dengan sebuah twist yang sangat mengejutkan, dan berbeda dari karyanya "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", yang menurutku tidak memberikan kesan mendalam di akhir cerita, kalimat terakhir di "Cantik itu Luka" tertanam begitu dalam dalam kepala, dan terus berkembang memberikan imajinasi, pemahaman, dan tafsiran baru akan makna, dan pesannya. Meminjam gaya bercerita Eka Kurniawan: "buku tersebut seakan memberikan kenikmatan orgasme berkelanjutan, dan semakin lama semakin terasa nikmat, walau persetubuhan telah selesai beberapa jam yang lalu." 

Setelah membaca beberapa komentar di internet tentang buku ini, ada beberapa yang merasa risih dengan gaya bercerita Eka, karena begitu vulgar walau bukan porno. Dan beberapa merasa tidak kuat mental membacanya. Menurutku memang benar, jadi pembaca harus menyiapkan mentalnya sebelum mulai membaca. Di samping itu, menurutku Eka berhasil mengajariku apa itu komunisme lewat tokohnya Kamerad Kliwon, dan dengan cermatnya menggabungkan pesan-pesan sosial dengan kisah percintaan para tokoh utama.  Bagi penyuka cerita yang logis, mungkin novel ini bukan untuk mereka. Ini adalah novel surealis yang dipenuhi takhayul serta legenda. Sebuah cerita fantasi tapi dibalut sejarah dan memiliki pesan nilai yang mendalam. 

Menurutku, novel ini adalah novel yang sangat patut untuk dibaca, ia bagai sebuah oase dari tema novel tentang keberhasilan seseorang mencapai kesuksesan dari nol, novel tentang pejuang agama, atau novel tentang kehidupan remaja yang begitu-begitu saja.