Minggu, 26 April 2015

Renungan Part 35 (piye kabare? enakan jamanku toh?)

  

        "Harga BBM mau naik lagi, nanti harga-harga sembako juga naik, hidup jaman sekarang susah banget." Keluh Mang Nur, penjual baso langgananku sejak kecil.
        "Dulu waktu jaman Pa Harto apa-apa murah, beras murah, BBM murah, enak deh pokoknya..." Tambahnya. "kalau begini mah mending pa harto aja yang jadi presiden lagi."

Itu adalah keluhan Mang Nur ketika beberapa waktu lalu aku pulang ke kampung halaman. Saat itu memang sedang ada isu kenaikan harga BBM. Bagi rakyat kecil seperti dirinya, kenaikan harga BBM sangat sensitif, karena akan berpengaruh pada kenaikan harga-harga bahan pokok. Ia pun bernostalgia dengan keaadan di jaman orde baru, dimana harga-harga terasa sangat murah. Mang Nur bukan satu-satunya orang yang berpikir demikian, ketika aku berselancar di internet mencari-cari pendapat tentang isu ini, ada banyak yang berpikiran seperti halnya Mang Nur. 

Argumen mereka umumnya seputar harga murah, nilai tukar rupiah dengan dollar yang kecil (cuma Rp 2500 kalau tidak salah), tidak pernah ada demo-demo yang mengganggu, negara kita punya wibawa di hadapan negara tetangga, hidup rasanya tenang dan damai. Hingga dianggap bahwa jaman itu adalah jaman keemasan bangsa Indonesia. sementara pemerintah sekarang itu antek kapitalis, yang tidak berpihak pada rakyat kecil, berbeda dengan soeharto yang memperhatikan rakyat kecil. 

Benarkah? harga-harga memang sangat murah, bahkan termasuk nyawa kita, entah berapa orang yang hilang dibunuh oleh rezim orde baru. Tidak pernah ada demo justru indikasi bahwa kebebasan berpendapat dibungkam, entah berapa kantor media yang diberendel dan dilarang beroperasi di jaman orde baru. Kita pasti setuju bahwa tidak ada gading yang tak retak, begitu pula orde baru, tapi jangan pernah berani berbicara tentang kejelekan pemerintah di masa itu, kalau tidak mau nyawa melayang. Daya kritis masyarakat terhadap pemerintahan benar-benar dibungkam. Ah... apalah arti pemberedelan itu, yang penting perut kenyang, lagipula siapa yang peduli dengan politik atau pemerintahan selama harga untuk mengenyangkan perut sangat murah. kita cuma rakyat kecil, gak ngerti apa-apa, yang penting buat kita, dapur tetap mengepul. Selama kita tidak mengusik pemerintah, yang tidak kupedulikan, hidup kita tenang.

Tapi, di awal tahun 97 krisis menyerang, dan ini pula yang membuat rakyat bergejolak, mahasiswa turun ke jalan, dan banyak aktivis hilang, hingga akhirnya MPR diduduki dan Orde Baru runtuh di tahun 98 meninggalkan hutang negara yang sepertinya tidak habis tujuh turunan. Reformasi terjadi, dengannya tidak ada monopoli pemerintahan oleh satu keluarga saja, pendapat bebas dikatakan, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Keadaan yang dicita-citakan para pejuang di tahun 98.

Apa yang berubah? korupsi masih terjadi, bedanya sekarang tidak hanya orang-orang dekat keluarga presiden saja yang kebagian, siapapun bisa dengan usaha. Politik sering ricuh karena masing-masing partai tidak perlu takut untuk tidak patuh, atau bahkan mengusili pak presiden dengan dalih atas nama rakyat (entah terkadang rakyat mana yang dibelanya aku tak tahu). Dan yang terpenting bagi rakyat, hidup makin sulit karena harga harga naik terus, sementara taraf hidup layak semakin bertambah. Hei... setidaknya kau bebas berpendapat mengkritik pemerintah, bahkan menghina pihak-pihak tertentu kalau perlu dengan foto atau fitnah berbau sara. Entah diniatkan ikhlas memperbaiki atau sebagai pasukan bayaran pihak tertentu. kau tak perlu takut diciduk aparat dengan tuduhan anggota PKI.

Jaman Orde Baru mirip dengan dunia impian Madara dalam komik Naruto, dimana dia ingin menyelimuti seluruh penduduk dunia dengan tsukuyomi, membuat mereka terlelap dalam mimpi yang dikontrol oleh satu orang, semuanya hidup tenang dan damai, karena semuanya dikontrol. Kemudian jaman reformasi adalah Jaman kebebasan, bebas berpendapat hingga yang pandir pun akan merasa pendapatnya hebat dan layak dipertahankan, padahal pengetahuannya cuma sejengkal. Bebas bertindak, walau terkadang tindakannya anarkis dan merugikan beberapa pihak, dan itu tak dipedulikannya karena mereka bertindak dengan ijin langsung dari tuhan. Kita bebas sebebas-bebasnya, hanya akal sehat dan nurani yang menjadi pengontrol di Jaman ini. Tapi terkadang, akal dimanfaatkan untuk mengakali sistem demi nafsu dunia, dan nurani tertutup egoisme.

Mana yang lebih baik? adakah jalan tengah? atau jalan lain?
       

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar