Selasa, 01 November 2016

Renungan Part 73 (Rahasia Bahagia 1: Mengapresiasi Hal Yang Sederhana)

i.quoteaddicts.com

Apakah kita sering merasa bahwa apa yang kita punya saat ini tidak memberikan kebahagiaan pada diri kita? Lalu, kita menginginkan hal yang dimiliki oleh orang lain dimana kita berpikir "jika aku punya dan bisa seperti dia, aku pasti akan lebih bahagia". Atau kita ingin barang yang lebih bagus, Smartphone yang lebih mahal, pakaian yang bermerk internasional; kita tidak puas dan tidak merasakan kebahagiaan dengan barang kw yang kita miliki, atau barang murah yang terjangkau harganya oleh kantong kita. Kenapa kita tidak menghargai barang murah yang kita punya?
 
Pada dasarnya, kita berpikir bahwa murah adalah tanda barang tersebut tidak bernilai. Tas yang harganya milyaran, dibuat dari bahan pilihan, dirajut oleh ahlinya dan diperhatikan setiap detilnya, sehingga kualitas tas tersebut sangat terjaga. Lagipula benar pula bahwa barang yang jelek tidak akan menjadi baik, hanya dengan menaikan harganya, justru orang akan merasa pantas dengan harga yang mahal karena kualitasnya pun setara. Tapi ada satu hal yang kita tidak sadari di sini. Mari kuperkenalkan dengan Tuan Nanas, buah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita yang sangat mudah kita temui di lingkungan kita.
 
Ketika Colombus pertama kali mendarat di Benua Amerika, Tuan Nanas tidak dikenal oleh masyarakat Eropa. Tentunya karena dia buah asli Amerika Selatan, Lalu ketika para penjelajah Eropa pulang dari benua Amerika dan membawa serta Tuan Nanas, buah ini menjadi sangat populer. Dia menjadi makanan primadona para bangsawan, dan memakan buah nanas menjadi budaya khas orang-orang kaya dan bangsawan, Tuan Nanas menjadi simbol gaya hidup kelas atas pada saat itu. Itu bisa terjadi karena Tuan Nanas sangat sulit didapat dan harganya mahal. Saking digemarinya Tuan Nanas, sampai The Fourth Earl of Dunmore, John Murray membangun sebuah villa peristirahatan dengan bentuk nanas di atapnya di tahun 1761. 
 
www.scotlandnow.com

Bisa kita bilang, nanas adalah tas hermesnya jaman dahulu, barang yang hanya dikonsumsi oleh golongan tertentu dan mengkonsumsinya memberikan perasaan yang luar biasa daripada mengkonsumsi barang yang harganya murah. Tapi, semua itu berubah ketika mesin uap ditemukan, dan nanas ditanam dalam skala besar di Hawaii, kuantitas supply yang banyak dan murahnya biaya transport membuat nanas bukan barang eksklusif, dan dapat dijangkau oleh banyak kalangan. Alhasil, seperti yang kita tahu sekarang, nanas kita anggap biasa saja, ada perubahan sikap kita terhadap Tuan Nanas dibandingkan beberapa abad sebelumnya. Padahal, rasa nanas di tahun 1700an dengan sekarang tetaplah sama. Ini adalah contoh bahwa ketika suatu barang sebenarnya memang memiliki kualitas bagus tertentu, tapi harganya murah dan melimpah, cenderung dilupakan keistimewaannya oleh orang.
 
Yang ingin aku ungkapkan adalah bahwa kita tidak pandai mengapresiasi hal-hal kecil di sekeliling kita, yang kita miliki. Seperti halnya Tuan Nanas, mungkin banyak hal lain yang kita miliki dan memiliki kualitas bagus tapi kita tidak sadari karena kita tidak mengapresiasinya dengan baik. Revolusi industri berhasil membuat barang-barang yang dulunya mahal dan tidak terjangkau oleh khalayak ramai menjadi lebih murah dan dapat dinikmati oleh banyak kalangan, tapi seiring dengan itu, ia juga mengikis rasa apresiasi kita terhadap barang tersebut. 
 
Dalam urusan mengapresiasi, kita harus belajar pada seniman, karena mereka adalah orang yang hidupnya dibaktikan dalam mengapresiasi hal-hal sederhana dan mengubahnya menjadi sesuatu yang sangat indah. Seorang pelukis perancis Paul Cezanne menghabiskan berhari-hari di studionya melukis sekumpulan apel. Kita mungkin berpikir, apa indahnya sekumpulan apel yang bertumpuk di meja? Inilah kekurangan kita, kombinasi warna merah dan kuning si apel, bentuknya, dan tata letaknya, menghadirkan keindahan tersendiri bagi Paul hingga memunculkan inspirasi baginya. Dia pandai mengapresiasi, dia bisa melihat keindahan pada sesuatu yang kita anggap biasa dan tidak indah. Padahal, untuk menjadi bahagia, kita perlu melihat keindahan dari semua hal di sekitar kita, hingga kita tidak akan bilang "aku akan bahagia jika bisa bersantai di pantai di Lombok". Tidak ada salahnya berwisata ke Lombok, yang salah adalah kita tidak bisa mengapresiasi keindahan lingkungan rumah kita sehingga kita bermimpi mendatangi Lombok yang indah dalam pikiran kita.
 
Maka pertanyaannya adalah bisakah kita melihat keindahan dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita? segala sesuatu yang kita anggap biasa saja?

 
 
Tulisan ini terisnpirasi dari video Channel School of Life di Youtube berjudul "Why We Hate Cheap Things"

Selasa, 18 Oktober 2016

Renungan Part 72 (Bijak Meng-update Status)

makeawebsitehub.com

Media sosial seakan telah menjadi barang kebutuhan primer bagi masyarakat sekarang. Jika kita mau jujur, hati kita merasa cemas ketika ponsel kita tidak memiliki paket data untuk terhubung dengan internet dan media sosial, seakan ada sesuatu yang hilang dalam hidup ini. Ini adalah salah satu bukti bagaimana koneksi internet dan media sosial telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakan. Hanya sedikit manusia saat ini yang bisa hidup tanpa ponsel pintar dan koneksi internet, terutama para generasi muda.

Media Sosial yang paling digandrungi generasi muda saat ini adalah Facebook. Berdasarkan data dari JakPat, facebook merupakan media sosial yang paling populer di negara kita, dengan jumlah pengguna  di tahun 2016 saja sekitar 77, 58 juta pengguna. Dengan jumlah sebesar ini, negara kita berada di urutan keempat pengguna facebook terbesar di dunia setelah Amerika, India, dan Brazil. Lalu apa artinya ini? Menurutku ini berarti banyak update status dan postingan-postingan yang menjengkelkan, karena kita belum bijak dalam mengupdate status.

Raditya Dika bilang, "Alay adalah sebuah fase kehidupan setiap orang", dan harus aku akui bahwa aku setuju, kita pasti pernah merasakan fase itu, terutama terkait kegiatan kita di facebook. Merujuk pada pendapatnya Tim Urban, dengan beberapa perubahan yang kurasa cocok di negeri kita, ada tujuh jenis postingan atau update status di facebook yang bisa dikategorikan "alay", maksudku adalah menjengkelkan, yang mana menjadi bukti ketidakbijakan kita dalam mengupdate status. Dan perlu diingat, ini adalah dosa kita semua, kita semua pasti pernah melakukan ini, termasuk aku sendiri. Ini hanyalah sebuah renungan betapa alaynya aku ini... Huft..... Oke, mari kita mulai mengupas kealayan diri ini:
  
1. Status Sesumbar
Status macam ini sepertinya yang paling umum kita dapat di facebook, dan status ini bisa kita bagi menjadi tiga jenis:

1a. Sesumbar "Hidup Gua Keren"
Ini adalah postingan yang berisi tentang bagaimana kerennya hidup kita, seperti diterima di fakultas kedokteran di universitas terkenal, atau sekedar baru melakukan perjalanan luar biasa dan lainnya. Biasanya postingan ini disertai dengan foto tertentu yang menjadi bukti status kita, dan tautan lokasi yang kita anggap "keren". Alasan kita memposting ini adalah pencitraan diri (gue sukses loh..., hidup gue bahagia loh..., temen-temen gue keren loh....) atau untuk menarik iri hati orang lain.

Okelah kita merasakan kebahagiaan tertentu dan ingin berbagi, kita husnuzon saja bahwa orang yang update status seperti ini memang cuma ingin tahadus binnimah, bukan ingin membuat orang lain iri atau merasa menderita karena hidupnya lebih buruk. Tapi, berbagi kebahagiaan seperti ini cocok bagi teman dekat, keluarga, dan orang-orang tertentu saja. Sementara orang yang tidak dekat dengan kita, tidak butuh ini, bahkan mereka akan merasa jengkel. Mungkin kalau mau berbagi kebahagiaan karena diterima di universitas terkenal sebaiknya kita membuat syukuran nasi kuning, tidak perlu foto surat diterimanya kita lalu diposting di FB.


1b. Sesumbar "Anak Hebat"
Ini adalah postingan khas negara kita yang masih mensakralkan pernikahan dan keluarga, biasanya berisi headline news anak kita sudah bisa apa, sedang apa, atau mau apa, lalu disertai dengan foto tertentu. Alasan kita para orang tua memposting ini adalah tentunya pencitraan diri bahwa kita adalah orang tua yang sukses mendidik anak, atau beruntung mendapat anak hebat, juga bisa jadi untuk menarik iri hati orang lain.

1c. Sesumbar "Hubungan Luar Biasa" 
Ini sama dengan sesumbar jenis kedua, hanya beda objek saja. Kalau yang ini, kita memposting betapa luar biasa romantisnya hubungan kasih yang kita jalani bersama pacar, atau pasangan sah kita. Alasan kita memposting ini sudah pasti pencitraan diri atau untuk menarik iri hati orang lain.

Inti dari poin sesumbar ini adalah kita merasa senang ketika tahu bahwa kehidupan kita lebih baik dari orang lain, dan orang lain mendambakan kehidupan yang kita miliki dengan me-like postingan kita atau memberikan komentar tertentu. Sejujurnya, postingan sesumbar seperti ini sungguh menjengkelkan kan?

2. Status Kabar Menggantung
Ini adalah status yang menjelaskan bahwa sesuatu yang baik atau buruk terjadi pada kita tapi tidak mencantumkan detil kejadian tersebut. Jenis status ini pun sangat umum ditemui di timeline kita, biasanya berisi potongan ucapan rasa syukur, rasa senang atau umpatan tertentu tanpa ada konteks yang menyertainya.

Alasan kita membuat status seperti ini adalah tidak lain tidak bukan, mencari perhatian. Kita akan senang ketika muncul banyak komen bertanya "kenapa? ada apa?" dan lainnya yang meminta penjelasan lebih lanjut tentang konteks status kita. Dan bagian yang menarik adalah bagaimana kita merespon pertanyaan tersebut. Dan dari cara kita meresponnya, kita bisa kategorikan menjadi empat tipe berikut:

Tipe Selebriti: si penulis status tetap diam tak menjawab, memperlakukan orang yang komentar bagai fans yang tidak penting
Tipe Ibu Arisan: si penulis menjelaskan semuanya di komen seperti ibu arisan yang sedang bergosip. Sebenarnya dia ingin mengungkapkan itu secara publik tapi dia tidak ingin memberitahu begitu saja, dia ingin ada yang kepo bertanya dulu.
Tipe Makhluk Tersiksa: si penulis menuliskan status tentang kabar buruk, dan dia merespon semua komentar tapi tetap menyisakan misteri tentang apa yang sebenarnya terjadi
Tipe Tuan Putri: si penulis menuliskan status tentang kabar baik, dia merespon komentar tapi tetap menyisakan misteri seakan-akan ingin berkata "liat saja nanti, pasti tahu sendiri kok!" Dia ingin membuat semua "fansnya" menunggu-nunggu kabar baik tersebut terungkap. Tipe ini sangat spesial, karena ia juga memiliki rasa narsisme, ingin menyulut rasa cemburu orang lain, dan senang melakukan pencitraan diri.

3. Update Status Yang Harfiah
Ini adalah update status tentang kegiatan kita sehari-hari yang biasa saja, tidak spesial, tidak penting untuk disiarkan di facebook. Salah satu contohnya adalah "OTW ke kantor nih" atau "Akhirnya tugas kelar... saatnya santai..." dan status-status lain yang sejenis dengan itu. Alasan kita membuat status semacam ini adalah karena kita kesepian, narsis, atau kita berpikir bahwa update status haruslah benar-benar update dari kegiatan kita sehari-hari.

Kita harus sadar bahwa tidak semua kegiatan sehari-hari kita menarik bagi semua "teman" facebook kita yang jumlahnya ribuan itu. Ada hal-hal tertentu yang menarik bagi lingkaran kenalan kita tertentu, dan ada yang tidak. Misalnya, kekasih atau pasangan tentu sangat tertarik dengan update kegiatan pasangannya, sudah makankah, atau sedang apakah, tapi tidak dengan yang hanya kenal, apalagi hanya kenal di facebook dan tidak pernah benar-benar berkomunikasi.

4. Pesan Pribadi Yang Dipublikasikan
Ini adalah status yang berisi pesan dari satu orang ke orang tertentu yang sebenarnya tidak perlu dipublikasikan kepada masyarakat facebook yang tidak berkepentingan. Misalnya "kangen deh... kapan kita ngumpul bareng lagi?" atau "malam luar biasa bersama Budi dan Susi, kalian memang teman terbaik!!" Alasan kita membuat postingan seperti ini adalah pencitraan diri, ingin menyulut kecemburuan orang lain, narsisme, atau terlalu bodoh untuk bisa membedakan mana pesan pribadi mana yang bukan.

Menurut Tim, tidak ada satupun alasan baik untuk membuat status seperti ini, justru kita bisa membuat daftar tujuan menjengkelkan orang mempost ini:
- untuk membuat diri kita dan kehidupan sosial kita terlihat keren
- untuk pamer kepada orang bahwa kita adalah teman yang baik, dan juga teman kita yang disebut pun teman yang baik
- untuk membuat orang lain merasa iri hati dan merasa hidupnya buruk

Postingan seperti ini bisa saja ditumpangi tujuan yang terakhir karena kita memang ingin orang tertentu membaca status ini, dan membuat mereka merasa buruk dan iri, karena kita membenci mereka.

5. Pidato Oscar Gak Jelas
Isi status ini biasanya adalah luapan rasa cinta atau terimakasih tanpa alasan yang jelas kepada orang yang tidak jelas disebutkan. Tidaklah salah jika kita ingin mengekspresikan kasih sayang atau terima kasih kita, tapi mengupdatenya di facebook? itu kurang tepat. Toh jika kita menyebutkan orang tertentu di status tersebut, tetap itu kurang tepat karena ratusan teman facebook lainnya yang tidak berkepentingan melihat itu. Bukankah akan lebih bijak jika kita menghubungi orang tersebut secara pribadi dan mengekspresikannya langsung? kenapa harus lewat FB? jelas kan? kita hanya cari perhatian.

6. Status Pencerah
Harus aku akui, status jenis ini adalah dosa terbesarku, status yang isinya adalah sebongkah kata-kata kebajikan entah dari orang bijak, pemuka agama, atau kitab suci agama tertentu, tanpa ada yang meminta. Kita hanya menuliskannya begitu saja. Dan alasan kita memposting ini tidak lain tidak bukan untuk pencitraan diri serta karena narsisme (Tobat.... Tobat....)

Oke, tidak ada salahnya ketika kita mulai menapaki jalan pencerahan mencari makna kehidupan lewat kebijaksanaan orang-orang terdahulu atau pemuka agama, tapi memposting quote seperti itu terkesan kita ingin berkata "halo teman-teman Facebook, aku tahu rahasia kehidupan, dan biar aku mengajari sesuatu kepada kalian agar kalian juga tercerahkan." Jujur saja, itu menjijikan. (sambil menunjuk diri sendiri....)

Masalahnya adalah kita tidak bisa menginspirasi orang lain hanya lewat kata-kata. Tindakan kita lah yang menginspirasi orang lain, untuk dapat menginspirasi hanya lewat kata-kata, kita harus sekelas Om Mario Teguh dulu.... Dan dengan menganggap bahwa diri kita yang hina ini mampu menginspirasi orang lewat sepotong ayat atau ajaran tertentu, artinya kita itu narsis.  Selanjutnya, mari kita jujur dengan hati kita, bahwa kita mempost hal seperti ini adalah untuk pencitraan diri. Kita ingin orang lain melihat betapa tercerahkannya hidup kita.

7. Tukang Share Hate Speech
Status jenis ini mungkin yang paling khas aku temui di timeline ku setelah status sesumbar. Mengingat dan meninmbang kejadian pilpres terakhir yang sangat keras sekali black campaign berbau agama dan sara, maka status jenis ini mulai terlahir dan belum hilang sampai sekarang. Biasanya isinya adalah pengungkapan aib tokoh tertentu atau kelompok orang tertentu, atau juga konspirasi tokoh atau kelompok orang tertentu. Biasanya lagi, selalu dihubungkan dengan agama.

Oke mungkin para peng-ngeshare postingan seperti ini berniat baik, yaitu mengingatkan saudara seagamanya atau dakwah, tapi jujur saja, dakwah ini hanya menyulut kebencian dan amarah. Aku rasa, motif orang-orang ini yang sebenarnya adalah kebencian dan narsisme, mereka adalah pemuja ego yang terluka. Apa ini yang disebut dakwah agama penyebar kasih sayang? Ko kabar yang bisa saja belum tentu benar main share-share saja? fitnah dong?

Solusi
Lalu, bagaimana update status yang bijak itu? Masih menurut Tim Urban, pada dasarnya status yang bijak itu adalah status yang memberikan dampak positif bagi pembacanya. Jadi karakter status yang baik adalah ia informatif atau menarik bagi khalayak ramai, atau juga status yang lucu dan menghibur. Kita tahu status tersebut tidak menjengkelkan, karena ada dampak baik yang terasa pada si pembaca, bukan hanya pada si penulis saja. Memang agak sulit menarik garis tegas dalam menilai mana yang informatif, menarik, lucu, dan menghibur, tapi setidaknya kita memiliki panduan dalam menulis status, tidak hanya menulis begitu saja dan tanpa sadar, motif-motif seperti pencitraan diri, narsisme, ingin membuat orang lain iri hati, atau membuat orang lain sedih dengan hidupnya, cari perhatian, dan kesepian mengambil alih. Semoga kita semua bisa lebih bijak dalam meng-update status. 




 
  


 

Senin, 10 Oktober 2016

Renungan Part 71 (Mencari Rahasia Makan Enak)

drscdn.500px.org

Salah satu hobiku dalam mengisi waktu luang adalah menonton, entah film, serial Tv ataupun dokumenter, yang penting tontonan tersebut memiliki konten yang bisa memberikan inspirisai.  Kali ini, inspirasi renunganku datang dari sebuah Drama Korea berjudul Let's Eat. Cerita nya sih... masih seputar cinta-cintaan, dan dibumbui dengan sedikit misteri. Tapi yang menarik adalah bagaimana drama ini memfokuskan adegan makan para tokoh dengan sedikit berbeda dari drama-drama yang biasa aku tonton. Apapun makanan yang mereka makan akan sangat tampak lezat! Aku harus benar-benar memuji si sutradara, karena aku yakin setiap adegan itu pasti menggugah selera siapapun yang menontonnya!

Aku pun berpikir bahwa aku ingin seperti tokoh di drama itu, dimana setiap makanan yang kumakan harus lezat seperti di drama tersebut. Mungkinkah itu terjadi? Bagaimana langkah mewujudkan itu? Kemungkinan pertama, aku seringkali membedakan makanan menjadi makanan enak, biasa saja, dan tidak enak. Makanan tidak enak ya makanan yang dimasak dengan tidak benar, bisa jadi kebanyakan garam, atau bumbu lainnya. Lalu makanan biasa saja umumnya adalah makanan rumahan, dan makanan warteg, dimana aku bereaksi biasa saja ketika menyantapnya. Lalu makanan enak itu adalah makanan yang penyajiannya menarik, makanan dalam dan luar negeri yang biasanya ada di restoran-restoran agak mahal sampai mahal, dimana ada peraaan wah ketika menatap dan menyantapnya. Lalu, jika aku ingin selalu makan enak, artinya aku harus selalu membeli makanan kategori enak itu, yang pastinya akan menguras kantong yang sudah cekak ini. Sangat tidak mungkin.

Kemungkinan kedua, mungkin aku salah mempersepsikan apa itu makanan enak. Soal rasa makanan adalah masalah yang subjektif, ada yang senang asin, manis, atau keduanya. Makanan Asia Tenggara biasanya sangat kuat dengan bumbunya, sedangkan makanan barat sangat minim bumbu, lebih plain. Tapi menurut masing-masing orang, makanan mereka enak kok. Jadi jelas yang salah adalah cara aku mempersepsi makanan itu sendiri. Setiap makanan, memiliki rasa khasnya masing-masing, dan ketidakenakan itu hanya soal selera, dan selera berasal dari pola pikir saja, dan pola pikir masih bisa aku rubah.

Jadi, dalam misi mencari rahasia makan enak, aku merangkum satu hal penting yang akan aku ujicobakan selama beberapa pekan ke depan:
Belajar dari drama Korea tadi, aku ingat satu prinsip yang kubaca dari sebuah buku yaitu, "berada pada saat ini" artinya aku fokus 100 persen pada apa yang aku lakukan saat tertentu, yang katanya akan sangat mempengaruhi rasa makanan. Praktiknya sederhana, yaitu ketika aku hendak makan, aku harus menatap dan memperhatikan makanan itu secara detil, mencium baunya, dan di setiap gigitan, aku menggigitnya dengan perlahan, merasakan sensasi rasa dan tekstur dari makanan yang sedang aku kunyah. Persis seperti yang ditampilkan dalam drama korea itu. Fokus 100 persen berarti aku tidak makan sambil melakukan hal lain, seperti menonton TV misalnya, atau mungkin melakukan kegiatan-kegiatan lain yang akan memecah konsentrasiku menikmati makanan.
Oke.... saatnya ujicoba....     

 

 

Selasa, 04 Oktober 2016

Renungan Part 70 (Untuk Apa Menikah?)

michelephoenix.com
Di umur yang sudah mencapai di atas 25, tekanan sosial untuk melaksanakan pernikahan sangat kuat. Bagi wanita tekanan ini mungkin bisa sangat meresahkan jiwa, karena ketika umur mencapai 30 atau lebih stigma negatif seperti "perawan tua" di beberapa budaya dan masyarakat mulai menempel. Sampai-sampai ada anekdot bahwa ketika umur segitu, wanita sudah tidak akan pilih-pilih lagi pria yang melamar mereka, ada yang melamar saja sudah syukur. Bagi pria, mungkin agak lebih ringan, karena tidak ada stigma negatif seperti itu, tapi bagaimanapun, tekanan sosial dan keluarga khususnya bisa sangat meresahkan, terlebih lagi jika ditambah kesiapan yang mungkin belum matang. Kesiapan yang aku maksud adalah kesiapan finansial. Sepertinya kita sudah paham, bahwa menikah itu mahal. Mungkin kurang tepat, bukan menikahnya yang mahal, tapi pesta resepsinya yang mahal, karena disitu adalah ajang pertarungan ego dan prestise bagi pengantin dan/atau kedua orang tua mereka.

Pernikahan menjadi sangat penting bagi kalangan umat islam karena ia dianjurkan oleh agama, dikatakan bahwa menikah adalah sebagian dari agama, menikah adalah ibadah. Disamping itu, menikah juga menjadi jalan satu-satunya penyaluran hasrat biologis yang disahkan agama islam. Jadi sederhananya, sebagai muslim kita menikah karenta itu anjuran agama, kita meniatkan menikah sebagai ibadah. Tapi aku tidak pernah sesederhana itu, bagi orang yang terlalu banyak merenung sepertiku, itu tidak cukup. Seperti tidak cukupnya bahwa ibadah sholat dan puasa adalah sarana untuk menumpuk pahala, sehingga nanti kita akan masuk surga, itu tidak cukup aku ingin lebih.
 
"The purpose of our relationship is to live our lives to the highest potential, and at the same time, nurturing the spiritual growth of another"

Sebuah kutipan yang kudapat dari IG Gobind Vashdev, penulis buku  Happiness Inside, seakan memberiku inspirasi apa yang aku inginkan dalam pernikahan. Jika menikah adalah ibadah, maka pasangan suami istri berkewajiban saling bahu membahu merawat spiritualisme dalam diri, yang dikatakan kadang meningkat dan menurun. Kedua belah pihak saling mengingatkan dalam kebaikan, karena walau membina keluarga itu ibadah, pasangan dan anak pun bisa menjadi fitnah bagi diri kita ketika mereka justru mematikan spiritualisme dalam diri. 

Terkadang bagi sebagian orang, menikah adalah meninggalkan potensi diri mereka demi pasangan, tapi bagiku justru pasangan adalah orang pertama yang harus mendukung potensi kita, dan sebaliknya. Terlepas dari fungsi suami dan istri dalam kerangka budaya kita, pasangan tidaklah harus berpikir sempit, tapi justru membebaskan dan bahu membahu demi mencapai potensi diri tertinggi yang bisa dicapai dalam hidup yang singkat ini. 

Perasaan senang terhadap pasangan yang biasa kita sebut cinta seringkali justru membatasi mereka, memangkas potensi mereka hanya demi menyenangkan diri kita. Lalu kita bersembunyi di balik cinta dan peduli, padahal yang benar-benar kita pedulikan adalah perasaan nyaman kita sendiri melihat pasangan menjadi seperti yang kita mau. Aku tidak ingin menjadi seperti itu.

Untuk saat ini, bagiku menikah itu seharusnya bukan karena tekanan sosial, bukan karena merasa tertinggal dari teman, bukan karena dipaksa orang tua, bukan karena sudah tidak tahan ingin menyalurkan kebutuhan biologis atau alasan egois lainnya. Menikah itu harus diniatkan untuk ibadah, untuk mencapai potensi tertinggi dalam hidup, untuk saling merawat spiritualisme dalam diri pasangan.
  
 



Kamis, 29 September 2016

Renungan Part 69 (Yang Tengah-Tengah Itu Baik)


www.activateyourstrengths.com


Isu rokok memang bukan isu baru, gerakan menentang rokok sudah ada dari zaman aku melek keadaan lingkungan. Kemudian, pemerintah pun turut serta berusaha menurunkan jumlah perokok antara lain merubah tulisan di rokok yang dulunya "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin" menjadi tulisan yang lebih keras "merokok membunuhmu" ditambah gambar yang menyeramkan. Niatnya sih... biar para perokok tidak lagi beli rokok karena takut dengan semua ancaman itu. Katanya, menurut penelitian, merokok aktif dan pasif itu memang bisa menimbulkan penyakit-penyakit tadi, dan akhirnya menyebabkan kematian, tapi apakah itu efektif menurunkan jumlah perokok?

Ayahku adalah seorang perokok, dan banyak pria lainnya di lingkungan rumahku, begitupula kakekku yang telah meninggal pada umur 70 tahun (perokok yang panjang umur). Dan banyak kesaksian lainnya dari perokok yang telah merokok berpuluh-puluh tahun tapi tidak merasakan penyakit tadi. Walau aku tidak pernah mendengar penelitian tentang kelompok orang ini, dan aku tidak tahu berapa jumlah mereka, tapi mereka benar benar ada, perokok yang tidak sakit. Setelah kuperhatikan, ternyata ada satu perbedaan antara perokok yang sakit dan tidak, yaitu kuantitas rokok yang mereka hisap. Kakekku, si perokok yang panjang umur, biasanya hanya merokok satu batang rokok kretek setelah makan, begitu pula ayahku. Artinya, merokok dalam jumlah yang wajar sebenarnya mungkin tidak beresiko menyebabkan penyakit. 

Terkadang aku berpikir, masyarakat kita ini aneh, sangat membenci rokok seakan-akan hanya dialah penyebab masalah kesehatan manusia. Jika kita mau jujur, ada penyakit lain yang disebabkan bukan karena rokok, misalnya diabetes, lalu apakah jantung hanya disebabkan oleh rokok? adakah sebab lain? faktor obesitas pun bisa menyebabkan jantung, dan mengkonsumsi makanan tidak sehat seperti makanan cepat saji dan mengandung MSG secara berlebih pun bisa menyebabkan penyakit. Kesimpulannya penyakit kita datang dari berbagai banyak faktor. Anehnya lagi, dari sekian banyak faktor, kenapa hanya rokok yang memiliki kampanye khusus?

Jika kita tarik satu benang merah, maka semua penyakit itu berasal dari sesuatu yang kita konsumsi secara berlebihan. Gula berlebih menyebabkan diabetes, rokok berlebih menyebabkan penyakit paru-paru, bahkan makan berlebih pun menyebabkan obesitas yang pada akhirnya memicu berbagai macam penyakit. Pada dasarnya aku percaya bahwa apapun itu, jika berlebihan, akan memberikan dampak negatif. Suka berlebihan, menghasilkan fanatisme buta. Benci berlebihan menghasilkan klaim selalu benar dan yang dibenci pasti selalu salah. 

Yang terbaik adalah seimbang dalam segala hal, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Seperti bunyi sebuah mahfudzat yang kupelajari di pesantren dulu. khairul umuri ausatuha. Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah. Jika kita perokok, maka merokoklah secukupnya, lalu makanlah secukupnya, minumlah secukupnya, suka dan bencilah secukupnya.



Senin, 22 Agustus 2016

Renungan Part 68 (Hidup Yang Terjamin?)

www.lifehack.org

Ingatan beberapa tahun yang lalu itu seakan masih baru, ribuan orang berjejalan dalam antrian yang meliuk bak seekor ular raksasa. Peluh bergelantung di dagu dan sesekali diusap oleh tisu, pegal memaksa beberapa orang menggerakan kaki, tak lupa untuk tetap memegang erat map yang dibawa. Beberapa mengobrol dan bercanda, tertawa lepas, menandakan mereka adalah teman akrab, mungkin mereka berasal dari sekolah yang sama, dan sama-sama mencoba peruntungan untuk kehidupan yang terjamin. Seperti diriku.... Sekolah milik pemerintah itu memang terkenal karena memiliki ikatan dinas, menjamin lulusannya pasti bekerja di instansi pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Bisa masuk ke sekolah itu adalah kunci menuju hidup yang terjamin, tidak perlu khawatir mencari pekerjaan, takut gaji kecil, dan takut tak mendapat uang pensiunan. Bahkan salah satu kenalanku, mendapat lebih dari sekedar hidup terjamin, ia bisa membeli mobil hanya setelah setahun lulus dari sana. Sungguh menggiurkan.
 
Kita hidup dihantui oleh kecemasan akan masa depan, membuat kita berusaha sekuat mungkin mencari penjamin hidup kita agar tetap bahagia. Jika dulu kita merasa terjamin ketika besok kita sudah tahu pasti bisa makan, zaman sekarang kita merasa terjamin ketika besok sudah tahu pasti bisa makan, punya calon pasangan, punya uang tabungan untuk berlibur, membiayai sekolah anak, dan biaya pengobatan kala sakit. Semakin hari, daftar syarat hidup terjamin sepertinya semakin bertambah, dan bertambah pula daftar hal yang harus dicemaskan tiap harinya. 
 
Aku teringat dua bulan lalu, di sebuah reuni, temanku berkomentar bahwa aku sangat gemuk berbeda dengan dulu yang kurus. Kujawab dengan bercanda bahwa aku bahagia menikmati hidup, makanya aku gemuk. Lalu teman lainnya berkomentar "memangnya nanti tua sudah pasti terjamin hidupnya? berani sekali bilang bahagia dan menikmati hidup." aku hanya tersenyum kepadanya. Kenapa kita harus menunggu hidup terjamin untuk bahagia? hatiku bertanya. Apakah benar hidup kita sekarang belum terjamin? dan apakah yang hidupnya terjamin pasti bahagia?
 
Masalah kebahagiaan sepertinya sudah kuputuskan bahwa ia adalah sesuatu yang datang dari dalam diri kita, bukan keadaan di luar yang mampu membuat kita bahagia, namun bagaimana respon kita terhadap dunialah yang membuat kita bahagia. Bahagia itu pilihan. Lalu bagaimana kekhawatiran akan hidup di masa depan? Sungguh aku malu... sebagai orang muslim yang mengakunya percaya pada Allah dan Al-Quran, aku merasa kekhawatiran apakah besok hidupku terjamin atau tidak adalah sebuah kemusyrikan. Gus Mus dengan lembut mengingatkanku, bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah telah menjamin rezeki setiap makhluknya. Lalu kenapa aku masih takut dan khawatir, ketika Allah sudah menjanjikan itu di al-Quran?      

“…… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya” (Surah Hud, ayat 6). 

Renungan Part 67 (Sudah Merdeka kah Kita?)

http://67.media.tumblr.com

Menjelang 17 Agustus, hampir semua bangunan semarak dengan umbul-umbul dan atribut bernuansa merah putih. Semua orang menyambut hari kemerdekaan bangsa Indonesia, hari dimana bangsa ini terbebas dari belenggu penjajah yang menyengsarakan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Setelah puluhan tahun mengecap kemerdekaan, apa yang kita pahami tentang kemerdekaan ini? apakah kita memang sudah benar-benar terbebas dari belenggu yang menyengsarakan hidup kita?

Kata merdeka sangat identik dengan kebebasan, dan negara Amerika adalah kiblat dari negara bebas, demokrasi dan merdeka. Tapi sayang, kita biasanya terjebak dengan makna kebebasan impor yang semu ini. Kita berpikir bebas adalah tidak banyak aturan yang menjengkelkan, bebas adalah kita bisa melakukan semua yang diinginkan, dan mendapatkan semua yang diinginkan; seperti halnya "American Dream". Tapi sayang, kebebasan tidak ditandai oleh hilangnya sekat aturan yang mengekang, juga bukan oleh runtuhnya dinding pembatas di sekitar kita.

Biksu terkenal Ajahn Brahm, dalam bukunya cacing dan kotoran kesayangannya bercerita tentang makna kebebasan. Suatu waktu ia menjadi penasihat spiritual bagi narapidana di sebuah penjara, lalu ia terlibat percakapan dengan beberapa narapidana yang mengeluhkan betapa tidak enaknya hidup di penjara. Kemudian Ajahn bertanya. "berapa kali kalian makan di sini?" para narapidana menjawab 3 kali, ajahn lalu bertanya kembali "apakah kalian tidur memakai kasur?" para narapidana mengangguk. Kemudian Ajahn berkata "kalian tahu... para biksu di biara kami, hanya makan sekali sehari, dan tidur hanya beralaskan tikar." seorang narapidana pun menyahut. "wah kalau begitu kamu tinggal saja dengan kami di sini, di penjara lebih baik." Ajahn menjawab "Itulah perbedaannya, walau penjara lebih enak dari biara, tapi tidak ada biksu yang mengeluh dan ingin segera keluar dari biara, tidak seperti kalian."

Nilai yang tersirat dari pengalaman Ajahn adalah kebebasan itu soal hati dan pikiran, bukan tempatnya yang membuat kita merasa terkurung, tapi karena hati dan pikiran kita tidak ingin berada di situ karena merasa kita tidak bisa melakukan apa yang kita mau. Kebebasan bukanlah terwujudnya keadaan di mana kita bisa melakukan semua yang diinginkan. Seorang teman bercerita padaku bahwa menurut Heidegger, seorang filsuf asal Jerman, kebebasan itu adalah keadaan dimana seseorang tidak lagi diperbudak oleh keinginan. Penjajah manusia yang paling utama dan tak pernah pergi adalah hawa nafsunya sendiri, bukan Belanda atau negara-negara imperialis lainnya, itulah kenapa ketika kembali dari peperangan Nabi Muhammad berkata bahwa kita pulang dari perang kecil ke perang yang besar; perang melawan hawa nafsu. Sebagai muslim, sepatutnya kita sadar bahwa ibadah wajib tahunan kita, yaitu Puasa Ramadhan, pun sebenarnya adalah pelatihan untuk mampu mengendalikan hawa nafsu. Sayangnya memang kita seringkali tidak memaknainya seperti itu. 

Peringatan 17 Agustus akan lebih baik dimaknai dengan tafakkur, apakah kita sudah terbebas dari penjajah ini? Jajahan hawa nafsu kita sendiri? ataukah justru kita tidak sadar bahwa hawa nafsu adalah penjajah yang sebenarnya?








Rabu, 03 Agustus 2016

Renungan Part 66 (Belajar Meneladani Nabi)

sholawat.co

Siang itu seperti biasa, seorang siswa maju ke atas mimbar untuk menunaikan tugasnya menyampaikan kultum siang. Kegiatan ini memang dilakukan untuk melatih siswa di sekolah kami agar mereka siap secara mental untuk berbicara di depan umum dalam berdakwah. Siswa itu adalah siswa yang pintar dan penuh semangat, dan ia mengutip sebuah kisah dari buku yang dibacanya.

Begini kira-kira ringkasan kisah tersebut:

Di zaman kekhalifana Umar bin Khatab, ada sekelompok anak muda yang sedang bermain bola, lalu tanpa sengaja bola itu tertendang dan mengenai seorang pastur yang sudah tua. Ketika para anak muda tersebut meminta bola itu kembali, si pastur marah dan tidak mau mengembalikan bola tersebut. Para anak muda pun memohon sambil menyebut nama Nabi Muhammad dengan harapan si pastur akan luluh hatinya. Tapi ternyata si pastur malah makin marah dan menghina Nabi Muhammad, tersulutlah amarah para anak muda itu mendengar nabi besar mereka dihina oleh seorang pastur kristen, lalu mereka mengambil sebuah tongkat dan memukuli si pastur sampai meninggal dunia. Ketika kabar ini sampai di telinga sang khalifah, ia merasa bangga bahwa ternyata anak muda muslim memiliki cinta yang begitu besar pada Nabi Muhammad, sehingga mereka membela nama baik nabi sedemikian rupa.

Bagaimana pendapat anda tentang cerita di atas? Apakah anda setuju dengan sang Khalifah? Terlepas kevalidan cerita di atas, benar atau tidaknya cerita itu terjadi atau hanya fiksi, dalam pandanganku, cerita ini sangat bermasalah.

Cerita ini menjustifikasi tindakan kriminal (membunuh orang lain) atas nama kebaikan (membela nama baik Nabi). Seakan-akan membunuh orang lain itu boleh asal punya alasan yang mulia. Kurasa ini adalah motivasi para pelaku bom dan teror di seluruh dunia, dan kita semua tidak ada yang setuju dengan para pelaku bom dan teror itu kan? bagaimana bisa membunuh orang lain jadi tindakan hebat hanya karena orang yang kita junjung dihina? secara pribadi aku sangat tidak setuju itu.

Mari kita meneladani Nabi, apa yang beliau lakukan ketika ada yang menghinanya? Ingat ketika nabi dilempari batu dan Malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk menghukum mereka tapi Baginda Nabi menolak? Ingat cerita seorang yahudi yang selalu melempar Nabi dengan tai, tapi justru masuk islam karena ketika ia sakit, Nabi Muhammad justru menjenguk dan membawakannya makanan? Ingatkah perlakuan penduduk Mekkah yang kejam terhadap Nabi dan pengikutnya, tapi ketika peristiwa Futuh Mekkah, apakah Nabi membalas dendam dengan membunuh mereka yang telah berlaku kejam padanya? ataukah justru ia mengampuni dan menjamin keselamatan mereka asal mereka menyerah?

Dari ketiga kejadian tadi, aku menyimpulkan bahwa Nabi tidak pernah membalas penghinaan, perlakuan kasar dengan sesuatu yang lebih buruk, tapi justru ia memaafkan, bahkan memberikan kasih sayang pada mereka. Aku sangat yakin Nabi Muhammad yang sangat kita junjung tidak menyarankan jalan kekerasan, terutama membunuh si pastur yang telah menghina nabi. Ia pasti akan menyarankan jalan yang lemah lembut dan kasih sayang, jalan cinta.

Seringkali kita tidak menyadari bahwa tindakan yang kita sebut membela kehormatan Nabi Muhammad itu sebenarnya adalah membela ego kita sendiri yang terluka, ego kita yang beridentitas muslim terluka dengan penghinaan orang lain akan tokoh terbesar islam, dan kita ingin membalasnya demi kesembuhan ego ini. Bukan demi Nabi kita! Pembuktian cinta kita pada Nabi Muhammad memang sangat perlu, terutama dalam kondisi ketika Nabi kita dipojokan atau dihina, tapi cara yang salah memberikan hasil yang lebih buruk. Jika ego yang didahulukan, bukan akal sehat dan hati, yang senantiasa meneladani Nabi sendiri, maka keadaan justru akan semakin memburuk, bukan simpati yang didapat islam dari dunia, tapi antipati!
 


 

Rabu, 29 Juni 2016

Renungan Part 65 (Less Is More)

images.fastcompany.com
Sejak kecil kita didoktrin bahwa lebih banyak itu lebih baik. Uang yang lebih banyak, rumah yang lebih besar, mobil yang lebih banyak, dan lebih lebih lainnya. Disamping itu, masyarakat kita sekarang adalah pemuja barang, kita meletakan kebahagiaan dalam kegiatan konsumsi barang. Smartphone keluaran terbaru harus dibeli demi alasan tren, mobil atau motor terbaru pun sama, dan banyak barang lainnya yang kita konsumsi bukan karena kebutuhan, tapi karena gaya. Lalu, apakah dua hal tadi memang membantu kita mendapatkan kebahagiaan?
Ada sebuah gerakan di Amerika yang sedang berkembang saat ini, yaitu gerakan rumah mungil atau Tiny Home. Gerakan ini melawan arus utama perumahan Amerika yang mana memiliki luas yang besar dan dipenuhi furnitur serta barang-barang lainnya. Bahkan lemari penyimpanan pakaian saja bisa berupa satu kamar, ya.... kamar yang berfungsi sebagai lemari. Bisa dibayangkan berapa banyak pakaiannya. Tiny Home ini berupa kebalikannya, biasanya dibangun di atas trailer, sehingga rumah ini bisa ditarik truk dan dipindahkan sesuka hati pemiliknya.






Beberapa contoh rumah mungil
                                                                                                       

                     







interior rumah mungil

Seperti bisa dilihat di gambar, rumah mungil bukan berarti rumah yang jelek, karena umumnya interiornya sangat modern, bahkan banyak yang memakai pembangkit tenaga surya demi kemandirian listrik. Lalu toilet yang umum digunakan adalah composting toilet, dimana kotoran kita diolah menjadi kompos. Dan walau mungil, banyak yang tinggal di rumah tersebut sebagai keluarga; suami, istri, dan satu anak tentunya. Gerakan ini makin disukai terutama karena biaya pembuatannya yang terbilang murah, lebih murah dari DP kredit rumah yang makin mahal di Amerika. Tapi ternyata, hidup di rumah mungil memiliki filosofi lebih dalam dari sekedar biaya murah.

Pertama, rumah mungil meningkatkan komunikasi antar penghuninya. Ruang yang terbatas membuat privasi diri semakin kecil, dan komunikasi antar penghuni semakin intens. Berbeda dengan rumah besar dimana penghuni bisa tidak saling bertemu, dan kualitas komunikasi semakin buruk. Maka keharmonisan pasangan bisa terjalin kuat dalam sebuah rumah mungil.
Kemudian, pelajaran yang paling utama adalah rumah mungil mengajarkan penghuninya untuk memiliki sesuatu secukupnya dan seperlunya. Ruang yang terbatas, membuat penghuni tidak bisa sembarang membeli barang karena tidak ada tempat untuk menyimpannya. Hal ini mengajarkan kesederhanaan, yang telah lama hilang dalam masyarakat Amerika yang senang mengkonsumsi barang, bahkan mereka sampai menyewa jasa penyimpanan untuk menaruh barang-barang mereka yang tidak muat di rumah yang sudah besar itu. Dalam rumah mungil kita diajarkan untuk berkata cukup, mensyukuri benda yang sudah kita miliki dan hanya membeli seperlunya, sebuah kebiasaan yang kini mulai pudar.

Berdasarkan pengalaman mereka yang tinggal di rumah mungil (bisa dilihat di sini salah satunya), hidup dalam kesederhanaan rumah mungil justru memberikan kebahagiaan yang tidak didapat dari gaya hidup Amerika pada umumnya yang selalu ingin lebih dan mengumpulkan benda sebanyak-banyaknya. Bagaimanapun, nafsu untuk lebih dan lebih tidak akan terpuaskan, justru dengan bersyukur hati menjadi tenang dan bahagia. Bukankah itu yang Al-Quran ajarkan? Aku rasa sebagai muslim, rumah mungil adalah rumah syar'i karena dapat membuat penghuninya bersyukur, hemat, dan hidup dalam kesederhanaan sebagaimana dianjurkan oleh Islam. 




Senin, 27 Juni 2016

Renungan Part 64 (Puasa Ego)

triplecrownleadership.com

Salah satu iklan di TV yang sering kulihat saat bulan ramadhan ini adalah bagaimana seseorang sangat tergoda dengan lingkungannya yang dengan gamblang makan dan minum. Bagiku, ini mengisyaratkan bahwa godaan terbesar dalam berpuasa adalah melihat orang lain makan dan minum saat kita lapar dan haus. Kurasa ini kurang tepat. Jika kita melihat puasa sebagai pendidikan diri dalam mengontrol hawa nafsu, maka cobaan terbesar berpuasa adalah mengontrol ego kita. 

Beberapa bulan terakhir ini misalnya, aku sangat malas membuka facebook. Kalaupun buka, paling hanya mengecek notification dan melihat status orang-orang tertentu. Salah satu alasannya adalah seringkali seringkali aku mendapati status yang membuat darah ini mendidih. Bisa karena isinya mengandung fitnah tertentu, atau pemikiran yang aku anggap bodoh dan menyesatkan. Seperti beberapa waktu lalu, aku mendapati status semacam itu tentang agama, dan jari ini gatal sekali ingin mendebat dan mematahkan argumennya, aku menganggap bahwa dia salah dan aku harus meluruskannya. Setelah saling melempar argumen, ternyata aku menang. Aku bangga dan serasa menjadi pahlawan pembela agama, karena berhasil memberikan pencerahan pada orang bodoh itu.

Ketika dipikir kembali, apa yang aku bela bukanlah agama, boro-boro Tuhan yang kupercaya. Apa yang aku bela adalah egoku sendiri yang menyatakan pendapatku benar dan dia salah. Aku seringkali bingung membedakan mana kepentingan Ego dan mana yang memang kepentingan Tuhan (loh?? siapa aku sehingga bisa memahami apa yang menjadi kepentingan Tuhan??) Justru seringkali Ego ku menyamar menjadi Tuhanku, ia menjadi sesembahanku. Yang kubela bukanlah kebenaran sejati, namun kebenaran egoku. Ketika aku menyembah ego, aku tidak pernah melihat sudut pandang lain karena hanya aku yang benar dan yang lain salah, aku tidak pernah menyelami sudut pandang orang lain, dan memahami faktor-faktor yang membuat mereka berpendapat demikian. Yang mana, mungkin, di dalam pendapat mereka ada kebenaran yang mampu melengkapi kebenaran (yang tak pernah sempurna) yang kupercayai. 

Keakuan, kepunyaanku, kebenaranku, dan aku-aku lainnya lebih sulit dikontrol daripada rasa lapar dan haus ini. Maka sekarang aku agak rajin membuka facebook sebagai latihan, apakah ego ini bisa aku kontrol? atau aku kembali tenggelam dalam penyembahan ego?



    

Rabu, 15 Juni 2016

Renungan Part 63 (Iman itu Irasional)

http://images6.fanpop.com

Serial tv luar negeri memang harus diakui lebih menarik dan enak dinikmati daripada serial tv indonesia. Salah satunya adalah serial tv viking yang tayang di channel History. Serial yang mengisahkan salah satu tokoh Legenda bangsa viking yang bernama Ragnar Lothbrok termasuk dalam salah satu serial tv favoritku, setelah Game of Throne tentunya. Dan Satu episode berjudul sacrifice di season pertama dari serial ini sungguh menarik sehingga membawaku pada kebiasaan diam sendiri dan merenung.
 
Dikisahkan Ragnar yang telah menjadi Earl (semacam kepala suku) berangkat menuju sebuah tempat pemujaan bersama rombongan dimana akan diadakan acara keagamaan tahunan. Banyak bangsa viking dari berbagai suku berkumpul disana untuk berdoa dan memberi persembahan pada Odin, dewa mereka. Salah satu bentuk persembahan pada zaman ini, selain menyembelih hewan, adalah menyembelih manusia. Tapi persembahan manusia yang dibawa Ragnar tidak diterima oleh pendeta mereka karena persembahannya tidak percaya dengan Odin (dia adalah budak beragama kristen hasil penjarahannya di Inggris). Sang pendeta berkata bahwa Odin akan terhina menerima persembahan yang tidak rela disembelih demi Dewa yang tidak ia percayai, dan sang pendeta meminta salah seorang dari rombongannya secara sukarela menggantikan si orang kristen menjadi persembahan. Tentu ada beberapa yang sebenarnya rela, tapi hanya satu yang dipilih. Ia tersenyum mengangguk kepada semua orang sebelum lehernya disembelih oleh sebilah pedang. Ia terlentang di altar penyembelihan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati.
 
Hal pertama yang menarik adalah persembahan manusia pada zaman itu sangat lumrah, aku berpikir mungkin itu pula keadaannya kenapa Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih anaknya (setting film Viking sekitar 5 ratus tahun setelah Nabi Isa dilahirkan, sedangkan Nabi Ibrahim tentunya hidup jauh lebih dulu). Penyembelihan manusia di zaman sekarang tentu sangat tidak disetujui dan dianggap biadab demi alasan apapun, mungkin karena itulah Nabi Ismail diganti oleh Allah dengan hewan, untuk merubah budaya penyembelihan manusia.
 
Hal yang kedua adalah kenapa para persembahan itu sangat yakin dan tampak bahagia disembelih? manusia zaman sekarang pasti akan menyebut mereka bodoh, walau alasannya agama sekalipun. Agama seperti itu pasti dicap sebagai agama sesat, agama bodoh. Tak aneh Islam terkena juga sebutan itu, karena setahuku pelaku bom bunuh diri pun tersenyum ketika meledakan diri. Apa bedanya dengan persemabahan di film viking tersebut? tak ada bedanya, mereka sama-sama percaya bahwa mereka mati demi kebaikan agama, demi tuhan mereka, dan akan mendapat tempat khusus di samping-Nya. Tapi, jika kita berpikir scara rasional.... itu semua bodoh.... Iman memang irasional.

Aku melihat orang yang sangat beriman bisa seperti orang yang jatuh cinta. Mereka mampu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, pengorbanan yang luar biasa bahkan nyawa pun diberikan demi yang dicintainya. Itulah iman, mungkin kurasa akan lebih baik beriman dengan hati daripada dengan rasionalitas, seperti puisi Jalaludin Rumi "kaki kaum rasionalis adalah kaki kayu, dan kaki kayu amatlah rapuh". Sejauh ini, Rasionalitas hanya membantuku membenci golongan muslim yang tidak sepaham denganku, sekuat apapun kutahan rasa tidak suka ini, akan selalu ada rasa ketus dan mencibir dalam diri ini. Kenapa aku harus mencibir orang yang memanjangkan jenggot? orang yang bercelana cingkrang? orang yang merazia tempat makan di siang hari? Semua itu hanyalah bukti rasa cinta mereka pada Nabi Muhammad dan Allah, kenapa aku harus mencibir mereka? kalaupun ternyata cara mereka salah, kurasa atas dasar bahwa aku tidak menyukai mereka karena aku pun mencintai Nabi Muhammad dan Allah, sepatutnya aku memperlakukan mereka dengan cinta pula. Tapi aku belum mampu.
 
Maka, di Ramadhan ini aku hanya berdoa semoga aku mampu melihat dunia lebih dengan hati daripada rasio. 




 
 


Minggu, 12 Juni 2016

Renungan Part 62 (Ramadhan Yang Aneh)

http://www.gsalam.net

Bulan Ramadhan adalah bulan suci bagi penganut agama islam, bulan penuh berkah, bulan yang istimewa. Tapi bagiku, bulan yang katanya penuh kesucian dan keberkahan ini, memberikan banyak keanehan. Setelah merenungi makna ramadhan yang kupahami dengan realita masyarakat sekitarku, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dibilang aneh. Sekali lagi, aneh dalam sudut pandangku ya... kalau pun tidak sependapat ya terserah.

Sebelum membahas keanehannya, lebih baik kumulai dengan pemahamanku terhadap ibadah puasa di bulan ramadhan (Ingat! ini pemahamanku). Puasa diwajibkan selama satu bulan penuh tidak lain tidak bukan bertujuan untuk mendidik umat islam agar bertakwa, agar lebih dekat dengan Tuhannya. Maka indikator kesuksesan puasa adalah level keimanan dan ketakwaan yang lebih baik dari bulan sebelumnya, yang ditunjukan dalam praktik kehidupan sehari-hari setelah bulan ramadhan. Puasa pada dasarnya latihan menahan hawa nafsu, makan, minum, seks. Setidaknya itu yang kutahu secara fiqih dapat membatalkan puasa. Tapi jika kita mencoba melihat puasa dari pendekatan tasawuf, maka ketiga hal tadi itu sangat sempit karena puasa akan kehilangan maknanya ketika kita tidak makan dan minum, tapi tetap ghibah misalnya, tetap korupsi misalnya, tetap mendzalimi orang lain. Inti dari puasa adalah menahan semua jenis hawa nafsu, dimulai dari yang paling sederhana yaitu makan, minum dan seks. Sederhananya, puasa adalah latihan mengontrol hawa nafsu a.k.a. keinginan kita. 

Oke, beranjak dari pemahamanku itu, maka muncul keanehan pertama. Bulan puasa bulan konsumtif. Jika kita mau menghitung-hitung sepertinya di bulan puasa pengeluaran masyarakat kita lebih banyak dari bulan-bulan lain, akui saja..... Budaya takjil, ngabuburit, dan belum lagi belanja lebaran, menjadi tanda bahwa bulan ini bulan yang konsumtif. Ini menjadi aneh karena puasa itu seharusnya membuat orang menjadi tidak konsumtif, bukan malah sebaliknya. Orang seharusnya terlatih untuk tidak menuruti hawa nafsu, bukan sebaliknya. Kita cenderung membeli banyak makanan untuk berbuka, yang pada akhirnya tidak termakan, atau membuat kita kekenyangan. Ada makanan manis, kurma atau buah buahan, es buah, es teh manis, kolak. Lalu dilanjut dengan gorengan, dan lontong, dan setelah itu makan nasi serta lauknya juga. Kita kadang melampiaskan nafsu yang tak terbendung seharian di saat kita berbuka. Sungguh aneh.

Kemudian ada belanja lebaran yang sudah seperti Black Friday-nya orang amerika menjelang natal dan tahun baru. Ribuan orang memenuhi mall dan pusat perbelanjaan saat lebaran semakin dekat, berjibaku berusaha membeli pakaian dan lainnya untuk menyambut lebaran. Wajah kita dipenuhi kegusaran bukan karena ramadhan akan pergi, bukan karena kita tidak berpuasa dengan benar, tapi karena THR belum turun sehingga tidak dapat berbelanja pakaian baru. Lebaran adalah momen penting bagi kaum kapitalis untuk mendongkrak penjualan, dihiasnya sebegitu rupa sehingga belanja adalah unsur penting dalam lebaran. Padahal justru puasa mengajarkan kita untuk tidak konsumtif kan? Sungguh aneh.

Keanehan kedua adalah orang berpuasa sering jadi gila hormat. Karena mayoritas masyarakat kita berpuasa, kita pun menghendaki yang lain untuk menghormati kita. Itu sih wajar, hormat menghormati memang harus. Tapi... ini yang aneh. Kita melarang orang lain berjualan makanan untuk menghormati orang puasa, atau makanan harus diberi tirai untuk menghormati orang berpuasa. Lagi-lagi ini menurutku berdasarkan pemahaman yang sempit dan kurang tepat tentang puasa. Pertama, kita menganggap orang jualan makanan itu mengganggu kekhusyuan puasa, seperti halnya suara bising mengganggu kekhusyuan solat. Justru sebaliknya, orang jualan makanan adalah penguji kekhusyuan puasa kita kawan.... kita bisa berpuasa karena seharian tidak melihat makanan sih gampang dan biasa saja, itu mah puasanya anak kecil, tapi jika kita bisa puasa di tengah makanan yang bergelimpangan, itu baru puasa yang hebat. 

Berikutnya, kita merazia orang berjualan makanan di bulan puasa supaya orang-orang tidak secara sengaja tidak puasa karena kesulitan mencari makanan. Ini juga aneh, seperti kita merazia PSK untuk menghilangkan pelacuran. Ya tidak akan selesai, mereka ada karena ada permintaan dari pasar kok. Coba yang dirazia yang tidak puasanya saja, bukan warung makannya, toh jika tidak ada yang beli, warung makanpun pasti tutup. Tapi perlu diingat juga, tidak semua masyarakat Indonesia adalah muslim, jadi banyak kok yang tidak puasa. Jadi tidak perlulah kita memaksa orang lain untuk memenuhi nafsu kekanak-kanakan kita. Katanya puasa, tapi masih mengumbar nafsu saja.....

Sepertinya keanehan yang kurasakan ini semua berasal dari pemahamn sempit kita terhadap puasa, kita menganggap puasa hanyalah tidak makan, minum, dan seks. Kita tidak menelaah kenapa harus puasa, untuk apa puasa itu, dan tujuan apa yang ingin dicapai dari puasa. Bulan puasa tidak melatih kita menahan hawa nafsu, ia malah mendorong kita mengumbar hawa nafsu. Sungguh aneh.


Senin, 06 Juni 2016

Renungan Part 61 (Ilmu itu Cahaya)

http://blog.unnes.ac.id

Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa  ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.

Itu adalah salah satu mahfudzat wajib (semacam mata pelajaran peribahasa dalam bahasa arab) bagi santri di pondok pesantren tempatku belajar bertahun - tahun silam. Dan karena mahfudzat itu pula, aku berkeyakinan bahwa, menurut pengalaman Imam Syafi'i yang sejak belia sudah hafal Al-Quran, cara untuk mendapatkan ilmu (pintar) adalah dengan meninggalkan segala jenis maksiat, dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. 

Ternyata bukan hanya aku yang berkeyakinan seperti itu, tentunya semua santri telah mempelajari mahfudzat itu dan sebuah pemandangan yang lazim melihat banyak santri yang lebih "relijius" ketika ujian akhir semester mulai mendekat. Atau mungkin juga anda salah satunya? yang berpikir bahwa untuk menjadi pintar maka kuantitas dan kualitas ibadah kita harus ditingkatkan? Sebagaimana nasehat Guru Imam Syafi'i bahwa ilmu adalah cahaya dan cahay allah tidak mungkin diberikan kepada ahli maksiat, maka tidaklah salah ketika kita menyimpulkan bahwa untuk menjadi pintar (berilmu), kita harus menjauhi maksiat. Aku sangat yakin itu, hingga kenyataan seakan menohok keyakinanku itu.

Bukankah orang-orang barat adalah ahli maksiat dalam pandangan kita? mereka senang mabuk-mabukan, berzina, dan lainnya. Tapi kenapa ilmu pengetahuan sangat berkembang di Barat, mereka menjadi kiblat inovasi teknologi dan kebudayaan. Apakah ada yang salah dengan semua ini? Kenapa aku yang muslim dan selalu berusaha menjauhi maksiat tidak bisa sepintar dan berilmu seperti mereka? mengapa negara-negara mayoritas muslim terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi? Pertanyaank itu terus menggangguku sampai aku menemukan buku karya Harun Nasution, Salah satu mantan rektor almamaterku.

Menurut beliau dalam bukunya yang berjudul Islam Rasional, semua ibadah yang kita lakukan tidak memberikan efek sedikitpun kepada kepintaran intelektual. Apa yang membuat kepintaran intelektual ini bisa bertambah sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi mampu berkembang? ini adalah ranah otak, ranah kognitif, dan menurut beliau satu-satunya cara meningkatkan daya kognitif adalah dengan belajar, bukan ibadah atau menjauhi maksiat. Setidaknya itu menjawab pertanyaan Andrea Hirata di salah satu novelnya "kenapa orang barat yang senang clubbing dan mabuk mabukan setiap malam minggu, tapi mendapat nilai hampir sempurna di perkuliahan?" Mereka mungkin bermaksiat, tapi mereka belajar untuk mendapatkan nilai tinggi itu. Lesson learned, kemaksiatan tidak berpengaruh pada daya kognitif kita.

Lalu apa dampak dari ibadah kita? Menurut Harun Nasution, ia tidak berdampak pada daya kognitif, namun justru pada spiritualitas seseorang. Ya... ibadah membuat seseorang memiliki spiritualitas tinggi. Artinya, ibadah yang berkualitas akan melahirkan manusia yang bermoral dan bernurani. Ilmu yang dimaksud guru Imam Syafi'i bukanlah cahaya ilmu kognitif, melainkan cahaya hati. Ilmu yang membuka hati yang menjadi kuil Tuhan, dan ilmu ini adalah milik orang-orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Daya kognitif tanpa nurani adalah bencana. Lihatlah para koruptor, para ilmuwan yang memakai penemuan mereka untuk hal yang tidak baik, orang-orang yang memobodohi orang lain dengan kepintaran mereka. Dan pendidikan yang hanya menitikberatkan pada daya kognitif dan mengesampingkan pendidikan hati adalah sumber bencana. Pendidikan model itu memiliki ciri antara lain: nilai lebih penting daripada sikap, murid hanya diajari untuk tahu bukan mempraktekan dan memaknai pengetahuan mereka, dan belajar diniatkan untuk mencapai kesuksesan duniawi bukan untuk ibadah. 

Maka alangkah lebih baik kita melihat bahwa cahaya hati adalah hal utama yang harus dibangun sebagai fondasi.


Kamis, 12 Mei 2016

Renungan Part 60 (Bebenah Gaya Konmari)

Setelah menjadi anak kost selama hampir 8 tahun, aku telah belajar bahwa tidak memiliki banyak barang adalah hal yang "sesuatu". Selain karena tidak perlu repot ketika pindah kost, memiliki barang secukupnya memberikan perasaan tenang tersendiri bagi diriku. Sampai saat ini aku tidak memiliki lemari pakaian; satu-satunya alat yang kujadikan tempat penyimpanan pakaian adalah semacam kabinet dari plastik yang memiliki laci 4 tingkat, dan memang sepertinya tidak diperuntukan sebagai tempat menyimpan pakaian. Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa aku tidak memiliki banyak pakaian; tidak ada tempat unuk menyimpannya!

Memiliki sedikit pakaian tidak berarti tempat pakaianku rapi. Aku memang tidak terbiasa rapi, dan hasilnya pakaianku tidak terlipat sempurna di "lemari" karena lacinya terlalu kecil untuk pakaianku. Seringkali pakaianku hanya tertumpuk di atas "lemari" dan kusetrika ketika hanya ingin kupakai. Sampai aku membaca tentang Marie Kondo, atau yang lebih dikenal dengan Konmari.

 
 http://www.sohautestyle.com

Marie Kondo adalah seorang konsultan beres-beres dan penulis asal Jepang. Tunggu dulu, seorang konsultan beres-beres? untuk beres-beres saja kita butuh konsultan? sayangnya iya.... terbukti dengan laku kerasnya buku-buku karya Marie tentang beres-beres di Jepang maupun Amerika. Setelah melakukan sedikit research di Mbah Google tentang Konmari Style (beres-beres gaya konmari) ini, akupun mencoba mempraktekan sedikit ilmu Konmari Style dalam melipat dan mengorganisasi pakaian.




oke... dua gambar di atas adalah keadaan laci tempat menyimpan pakaianku, tidak tertata, dan agak kosong, karena sebagian besar kuletakan begitu saja di atasnya tanpa dilipat, terutama T-Shirt, aku punya banyak dan jarang kumasukan ke sini, mereka hanya kutumpuk begitu saja. Lalu, setelah mempraktekan ilmu melipat Konmari Style......




Tada..... setidaknya laci pakaianku terlihat lebih terorganisir dan memudahkanku untuk mengambil pakaian dibandingkan dengan ketika aku masih memakai cara melipat warisan orang tuaku. Melipat dengan cara Konmari membuat tempat penyimpanan menjadi terasa lebih besar dan dapat memuat lebih banyak pakaian.

Filosofi beres-beres Konmari tidak hanya sesederhana bagaimana cara melipat yang efisien untuk memaksimalkan ruang penyimpanan, tapi jauh melebihi itu. Justru hal yang paling menarik adalah filosofi sikap yang dianjurkan Konmari terhadap barang-barang kita. Mari kita bahas beberapa. Yang pertama adalah ketika kita memiliki terlalu banyak barang maka kita harus memilih membuang (mendonasikan) sebagian sehingga kita hanya memiliki barang yang memang, dalam istilah komari, benar-benar memberikan kebahagiaan pada kita. "Does it bring joy?" jika iya maka kita menyimpannya dan jika tidak, maka buang atau donasikan. Mungkin kita berpikir, apa maksud joy? bagaimana memperhitungkannya? cobalah mengambil barang tertentu lalu merenung bagaimana perasaanmu memiliki barang tersebut? bagaimana perasaanmu jika barang ini dibuang? Jawaban pertanyaan tersebut memang tidak didapat dari cara berpikir rasional, dan memang lebih memakai hati dan intuisi. Kesimpulannya, simpanlah barang yang memang sangat kita sayangi dan berarti untuk hidup kita.

Apakah anda orang yang sering menyimpan barang karena berpikir suatu saat barang itu akan berguna? Aku iya... saat masih kuliah dulu, rak buku milikku selalu penuh dengan kertas makalah dan materi perkuliahan, dan aku tidak membuangnya karena selalu berpikir suatu saat aku akan membutuhkan kertas-kertas itu. Alhasil, rak bukuku sangat berantakan, dan yang lebih mengejutkan lagi, saat dimana aku membutuhkan mereka tidak pernah datang. Konmari menganjurkan untuk tidak menyimpan barang karena berpikir suatu saat nanti akan diperlukan. Kertas-kertas itu berdebu tak pernah tersentuh karena memang "suatu saat nanti" tidak pernah datang.

Yang terakhir, Konmari menganjurkan kita memperlakukan barang kita seperti makhluk hidup. Hmmm.... maksudnya? kita tidak akan menyimpan begitu saja kucing peliharaan kita kan? kita menyediakan kandang khusus, bahkan tempat tidur, lalu memberi makan, dan bahkan kita bawa ke salon. Intinya, kita memberikan rasa sayang, dan hormat padanya. Begitulah kita seharusnya pada barang kita, kita menghormati barang kita karena telah memberikan fungsi yang kita butuhkan, seperti jaket yang memberi kehangatan, hape yang memberikan hiburan, dan lainnya. Penghormatan itu dibuktikan dengan kita memperlakukan barang dengan baik, memberikan tempat khusus, dan merawatnya. Sungguh ide yang menarik, Konmari mengajak kita menebar kasih bukan hanya ke sesama manusia, dan makhluk hidup lainnya, tapi juga benda mati. Kurasa ini ide paling menakjubkan dari ide Konmari lainnya.

Mari kita belajar merubah sikap kita pada barang yang kita miliki!

Rabu, 27 April 2016

Renungan 59 (Hari Bumi Sedunia)

www.environmental-watch.com

Tanggal 22 April diperingati sebagai hari bumi di seluruh dunia, dan seperti hari peringatan lainnya, di hari tersebut diharapkan para manusia ingat akan spirit hari bumi, yaitu pemeliharaan bumi lewat tindakan-tindakan yang ramah lingkungan, agar bumi tetap lestari dan aman bagi penghuninya. Secara pribadi, aku tidak bangga dengan adanya hari bumi ini karena peringatan hari bumi menjadi tanda bahwa kita mulai kelewatan dan melakukan tindakan yang merusak bumi, sehingga perlu ada hari khusus untuk menyadarkan kita. Miris. 

Banyak kampanye aktifis lingkungan mengajak masyarakat bumi untuk memaknai hari bumi dengan tindakan-tindakan kecil yang bisa dilakukan setiap hari, seperti menghemat air, listrik, dan mengurangi penggunaan barang-barang lain yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Namun menurutku, kesadaran untuk bersahabat dengan bumi harus dimulai dari cara berpikir kita terhadap bumi ini, tanpa cara berpikir yang tepat, tindakan kita tak akan berarti.

Yang pertama menurutku harus dirubah adalah pemikiran bahwa alam tersedia untuk melayani kita. Dengan karunia tuhan, manusia memiliki akal yang mana menjadi kelebihan utama dari makhluk lainnya di bumi. Tapi kita jadi lupa, egois, dan sombong; kita berpikir kitalah pusat dunia, kita adalah raja bagi alam, dan alam ada untuk melayani kita. Jika kita bandingkan dengan cara berpikir orang dahulu yang mana rahasia alam belum banyak terkuak lewat ilmu pengetahuan, manusia sangat takut dengan alam, sehingga memuliakannya, menjadikan alam sebagai dewa dan menyembahnya. Setidaknya mereka belajar untuk hidup dengan tetap menjaga alam tetap lestari. Tapi manusia modern, yang merasa sudah mampu menguak sebagian rahasia alam dan mulai tidak takut dengan Dewa atau Tuhan, menjadi sombong dan menginjak injak alam. Selama kita berpikir alam ada untuk melayani kita, maka kerusakan alam oleh manusia tidak akan pernah sirna.

Alam tersedia untuk menunjang kebutuhan manusia, bukan melayani kita. Kita harus sadar bahwa alam dan manusia itu saling membutuhkan, jadi hubungan kita dan alam haruslah berbentuk simbiosis mutualisme. Maka, seharusnya manusia harus bisa untuk menahan diri untuk tidak mengambil lebih dari apa yang dia butuhkan. Di sinilah letak kesalahan berpikir kedua. Manusia modern selalu diajarkan untuk mengambil apapun yang mereka inginkan, tak ada hal yang menjadi pembatas. Di sekolah, kita diajarkan bahwa kita bisa menjadi apapun yang kita mau, asal kita berusaha, kemudian sistem kapitalis menyuburkan praktek pemenuhan hasrat ini dengan mengambil keuntungan sebanyak mungkin yang bisa dicapai. Manusia Modern tidak mengenal kata cukup. Para motivator menyebut mereka yang berkata cukup sebagai orang yang berpuas diri terlalu cepat padahal potensi mereka masih bisa lebih tinggi. Di zaman modern batas cukup selalu naik seperti inflasi nilai mata uang setiap tahun, contohnya? barang mewah di zaman dahulu adalah barang kebutuhan primer di zaman sekarang. Mungkin sudah saatnya kita mulai berkata cukup.

Sebuah kekuatan besar mendatangkan tanggung jawab yang juga besar bagi pemiliknya, manusia sebenarnya memikul tanggung jawab besar yang tidak berani diambil oleh semua makhluk Tuhan lain. Tanggung jawab menjadi menjadi pemimpin di atas bumi. Dengan akalnya, manusia paling tepat diberi tanggung jawab sebagai pemimpin, dan kemudian, siapakah yang manusia pimpin? seluruh makhluk yang ada di bumi. Sayang, mungkin kita menganggap pemimpin adalah pusat kehidupan dan oleh karena itu harus dilayani bak raja oleh raktyatnya. Padahal sejatinya, pemimpin adalah pelayan rakyatnya, orang yang membawa rakyatnya mencapai kesejahteraan, bukan justru memperkaya diri dengan mengambil kekayaan rakyatnya. Manusia adalah pemimpin, dan alam adalah rakyat. Tugas Pemimpin adalah melayani rakyatnya.

Cara berpikir yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar pula. Maka untuk memaknai hari bumi, selain melakukan tindakan kecil, kita juga harus mengevaluasi cara kita melihat alam dan seisinya, serta posisi kita. Selamat hari bumi.

Sabtu, 16 Januari 2016

Renungan Part 58 (Seri Resolusi Cinta: Cinta vs Uang)

       Yang manakah yang lebih penting? Cinta atau uang? Pikiran kita pasti langsung merujuk pada sebuah pertimbangan untuk menikah. Apakah cinta pasangan yang menjadi faktor utama? ataukah isi dompet dan angka-angka di rekeningnya? Si A baik hati, perhatian, cukup tampan, dan sangat mencintaiku, tapi sayang dia kere. Sementara si B tidak buruk juga sih, hanya tak sebaik A perangainya, dan lebih jelek juga. Tapi bisnisnya dimana-mana, dia sudah punya mobil, rumah, dan tabungan sampai 9 digit loh.... hm.... pilih yang mana ya...? B saja kali ya, emangnya kita bisa beli baju, bayar listrik, dan makan enak pake cinta? Cinta saja tidak cukup di zaman sekarang. Uang lebih penting. Begitukan mayoritas pikiran kita ketika dihadapkan pada pilihan cinta atau uang? Please corret me if I'm wrong.

Apakah sebenarnya uang itu? kenapa kita merasa dia begitu penting, melebihi segala-galanya di dunia ini? Uang adalah takhayul terbesar temuan umat manusia, sebenarnya dia tidak sangat bernilai, hanya kertas, logam, dan angka di akun bank, tapi karena kesepakatan bersama jadilah ia bernilai sebagai alat tukar, semakin besar nominal yang tertera, semakin besar nilai yang dimilikinya. Zaman sekarang, orang dapat mewujudkan apapun keinginannya asal punya uang, apapun bisa dibeli. Hal yang dulunya tidak pernah diperjualbelikan, kini tersedia di pasar. Cobalah perhatikan sejenak dunia kita sekarang, apa sih yang tidak bisa diwujudkan oleh uang? maka bagi orang yang beranggapan bahwa kebahagiaan didapat dari memenuhi keinginan, uang adalah sumber kebahagiaan. Itulah yang membuat kita berpikir uang lebih penting dari pada cinta, khususnya dalam membangun keluarga, karena kebahagiaan hanya didapat dari uang.

Lalu apa itu cinta? perasaan suka antar lawan jenis yang menjadi dasar sebuah pernikahan? ah.. itu terlalu dangkal, cinta adalah nilai tertinggi dalam kehidupan, cinta adalah perasaan kasih terhadap semua hal yang ada di dunia ini. Cinta adalah sesuatu yang dapat membuat hati yang keras luluh seperti dalam kisah Nabi Muhammad yang meluluhkan hati seorang Yahudi yang selalu melemparnya dengan kotoran. Cinta jua lah yang menggerakan seorang pelacur menolong seekor anjing kehausan sehingga ia masuk surga. Bukan nafsu ingin memiliki dan menguasai ketika kita melihat lawan jenis yang kita sebut-sebut sebagai cinta, sungguh itu bukan cinta!

Menurutku, membandingkan uang dan cinta adalah sebuah kesalahan, uang adalah alat tukar, sementara cinta adalah nilai luhur. Keduanya sudah sangat jelas tidak sebanding, uang tidak pernah mendatangkan kebahagiaan hakiki, sementara cinta memberikan ketenangan batin, dan kedamaian. Lihatlah para Nabi dan Rasul, para sahabat, para sufi, mana yang mereka utamakan? cintakah? kekayaankah? Kekayaan tidak akan kita bawa mati, sementara cinta akan melahirkan amal baik yang akan selalu mengikuti. Masihkah kita berpikir bahwa uang lebih penting daripada cinta?  

Sungguh Cinta jauh lebih penting daripada uang!

Minggu, 10 Januari 2016

Renungan Part 57 (Seri Resolusi Cinta: Pacaran Syar'i? kenapa kacang)

www.hosterialamesondelquijote.com

Masyarakat sempat heboh dengan salah satu bab di buku pelajaran kurtilas yang membahas tentang pacaran sehat. Tidak ada yang namanya pacaran sehat, pacaran ya tidak sehat, jalan yang mendekatkan diri seorang manusia pada perzinahan, dimana aspek pacaran yang menyehatkan? yang ada mesum.... banyak pihak tidak menerima pacaran sehat yang dinilai menyesatkan karena menyiratkan pacaran yang islami (ilustrasi di buku memakai model cowo berpeci dan cewe berjilbab lebar). Mereka tidak rela budaya pop remaja dan pemuda pemudi lajang zaman sekarang (yang cenderung maksiat) dilabeli islam, tapi aku tidak mengerti kenapa tidak ada yang protes ketika hijab dan dakwah dibungkus budaya pop? mengikuti kemajuan zaman katanya, selama itu masih baik, tanpa menghilangkan nilai islamnya. Baik dari hongkong, hijab yang dibalut budaya pop melahirkan fashion hijaber yang cenderung berlebihan, ingat kawan.... orang yang berlebihan itu saudaranya syetan.... dakwah pop lebih mengutamakan entertainment daripada isi, dan seringkali mengikuti arus utama walau sebenarnya itu salah. Miris.....

Oleh karena itu, aku pun mendukung Pacaran Syar'i, kenapa tidak? emang ada? ya diada-adakan saja, yang penting budaya pop masyarakat jadi lebih islami. Jangan salah ya... bahkan mabuk syar'i saja ada. Ko bisa? mabuk tapi syar'i? Begini... suatu ketika salah seorang kenalanku yang sedang berkunjung ke tokyo bingung mencari hotel untuk menginap, di tengah jalan dia bertemu dengan orang jepang yang mabuk, dan ajaibnya, si pemabuk menolong kenalanku itu mendapatkan hotel, kereen... walau mabuk tetep membantu orang dalam kesusahan, jadi kita sebut saja itu mabuk syar'i. karena kata syar'i menunjukan nilai keislaman di dalamnya. Jadi pacaran syar'i adalah pacaran yang menerapkan nilai islam. Tapi sepertinya istilah "pacaran" itu tidak pas, karena pernah ada pertanyaan muncul kepadaku, "kamu pacaran buat serius atau main-main?" Nah.... apa bedanya itu? pacaran serius adalah pacaran yang diniatkan untuk menikah, sedangkan pacaran main-main ya... hanya untuk have fun, saling kirim pesan, makan bareng dan nonton di malam minggu, dan tak lupa gerepe-gerepe jika ada kesempatan. Tak ada niatan baik untuk menikah, bahkan dipikirkan pun tidak, "masih jauh.... kita kan masih SMA, Kuliah, pengangguran, belum mapan....." Maka aku lebih memilih istilah 'hubungan pra-nikah', sebuah hubungan yang diniatkan untuk mencari pasangan hidup dalam mahligai pernikahan. Merujuk pada pendapatnya Cak Nun, hubungan pra nikah ini setidaknya memiliki empat prinsip.

Pertama, ta'aruf. Mirip dengan istilahnya mas dan mba lembaga dakwah kampus ya? memang... tapi poin penting dari ta'aruf adalah si pelaku harus menjadi manusia dan melepaskan jenis kelamin mereka demi melihat calon pasangan dengan kacamata yang benar. Seorang manusia melihat calon pasangan dengan menggunakan akal dan hati. Akal senang dengan ide cemerlang dan pengetahuan, sedang hati senang dengan watak, budi pekerti, atau akhlak. Sementara lelaki senang dengan kulit mulus, bentuk dada, perut langsing, kaki jenjang, dan hal lain yang mewakili keseksian.

Sering aku mendengar bahwa banyak pasangan yang tahu sifat asli pasangannya setelah menikah, dulu yang ketika pacaran begitu romantis, baik, perhatian, rajin tidak ada cela, ternyata itu semua hanya topeng belaka. Mungkin itu salah satu efek ketika kita mengedepankan jenis kelamin kita, asalkan indah di mata, tertutup semua bobrok akhlaknya. Padahal keindahan mata tak bertahan lama.

Setelah itu, bisa dilanjutkan dengan taqarrub, yaitu pendekatan. Ketika sudah mengenal dan tertarik dengan nilai kemanusiaannya, maka tahapan berikutnya adalah melakukan pendekatan, bukan untuk menyalurkan nafsu kelaki-lakian, tapi untuk melihat mungkin tidaknya pernikahan dapat dilaksanakan dari berbagai faktor.     Hubungan pra-nikah ini, dengan batasan-batasan tertentu, juga dapat melatih berbagai konteks kerja sama dalam pasangan, seperti kerja sama cinta kasih, kerja sama kemanusiaan, kerja sama sosial, kerja sama fungsional. Prinsip ini disebut dengan tasammuh: toleransi, solidaritas, kesanggupan menenggang satu sama lain. Setelah semua itu baru penyatuan atau Cak Nun menyebutnya tauhid (bukan berarti tauhidullah), dapat diputuskan untuk diselenggarakan atau tidak.

Pacaran Syar'i, lanjut Cak Nun membutuhkan ilmu untuk mengenali 'manusia', yang mana ilmu tersebut tidak diajarkan di sekolah. Tapi, jika merasa terlalu ribet dengan syarat tersebut ya langsung nikah juga tidak apa-apa, asalkan ikhlas menerima pasangan apa adanya dan berdoa serta tawakkal pada Allah. Kesimpulannya, Pacaran Syar'i adalah sebuah hubungan pra-nikah, yang diniatkan untuk mencari calon pasangan hidup. Jika pacaran diniatkan sebagai 'pacaran', maka ia hanyalah pacaran belaka yang dapat menjerumuskan pada perzinahaan.