Selasa, 04 Oktober 2016

Renungan Part 70 (Untuk Apa Menikah?)

michelephoenix.com
Di umur yang sudah mencapai di atas 25, tekanan sosial untuk melaksanakan pernikahan sangat kuat. Bagi wanita tekanan ini mungkin bisa sangat meresahkan jiwa, karena ketika umur mencapai 30 atau lebih stigma negatif seperti "perawan tua" di beberapa budaya dan masyarakat mulai menempel. Sampai-sampai ada anekdot bahwa ketika umur segitu, wanita sudah tidak akan pilih-pilih lagi pria yang melamar mereka, ada yang melamar saja sudah syukur. Bagi pria, mungkin agak lebih ringan, karena tidak ada stigma negatif seperti itu, tapi bagaimanapun, tekanan sosial dan keluarga khususnya bisa sangat meresahkan, terlebih lagi jika ditambah kesiapan yang mungkin belum matang. Kesiapan yang aku maksud adalah kesiapan finansial. Sepertinya kita sudah paham, bahwa menikah itu mahal. Mungkin kurang tepat, bukan menikahnya yang mahal, tapi pesta resepsinya yang mahal, karena disitu adalah ajang pertarungan ego dan prestise bagi pengantin dan/atau kedua orang tua mereka.

Pernikahan menjadi sangat penting bagi kalangan umat islam karena ia dianjurkan oleh agama, dikatakan bahwa menikah adalah sebagian dari agama, menikah adalah ibadah. Disamping itu, menikah juga menjadi jalan satu-satunya penyaluran hasrat biologis yang disahkan agama islam. Jadi sederhananya, sebagai muslim kita menikah karenta itu anjuran agama, kita meniatkan menikah sebagai ibadah. Tapi aku tidak pernah sesederhana itu, bagi orang yang terlalu banyak merenung sepertiku, itu tidak cukup. Seperti tidak cukupnya bahwa ibadah sholat dan puasa adalah sarana untuk menumpuk pahala, sehingga nanti kita akan masuk surga, itu tidak cukup aku ingin lebih.
 
"The purpose of our relationship is to live our lives to the highest potential, and at the same time, nurturing the spiritual growth of another"

Sebuah kutipan yang kudapat dari IG Gobind Vashdev, penulis buku  Happiness Inside, seakan memberiku inspirasi apa yang aku inginkan dalam pernikahan. Jika menikah adalah ibadah, maka pasangan suami istri berkewajiban saling bahu membahu merawat spiritualisme dalam diri, yang dikatakan kadang meningkat dan menurun. Kedua belah pihak saling mengingatkan dalam kebaikan, karena walau membina keluarga itu ibadah, pasangan dan anak pun bisa menjadi fitnah bagi diri kita ketika mereka justru mematikan spiritualisme dalam diri. 

Terkadang bagi sebagian orang, menikah adalah meninggalkan potensi diri mereka demi pasangan, tapi bagiku justru pasangan adalah orang pertama yang harus mendukung potensi kita, dan sebaliknya. Terlepas dari fungsi suami dan istri dalam kerangka budaya kita, pasangan tidaklah harus berpikir sempit, tapi justru membebaskan dan bahu membahu demi mencapai potensi diri tertinggi yang bisa dicapai dalam hidup yang singkat ini. 

Perasaan senang terhadap pasangan yang biasa kita sebut cinta seringkali justru membatasi mereka, memangkas potensi mereka hanya demi menyenangkan diri kita. Lalu kita bersembunyi di balik cinta dan peduli, padahal yang benar-benar kita pedulikan adalah perasaan nyaman kita sendiri melihat pasangan menjadi seperti yang kita mau. Aku tidak ingin menjadi seperti itu.

Untuk saat ini, bagiku menikah itu seharusnya bukan karena tekanan sosial, bukan karena merasa tertinggal dari teman, bukan karena dipaksa orang tua, bukan karena sudah tidak tahan ingin menyalurkan kebutuhan biologis atau alasan egois lainnya. Menikah itu harus diniatkan untuk ibadah, untuk mencapai potensi tertinggi dalam hidup, untuk saling merawat spiritualisme dalam diri pasangan.
  
 



4 komentar: