Kamis, 22 Januari 2015

Renungan Part 31 (Geography of Bliss: Bhutan)



Oke, Jadi orang Swiss menemukan kebahagiaan mereka dalam kebersihan, kemakmuran, kedekatan dengan alam, kepercayaan, serta pembenaman rasa iri. Kebersihan merupakan isu yang menarik di negara kita, negara yang mayoritas muslim, yang dalam agamanya diajarkan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, tapi banyak dari kita tidak sadar akan kebersihan, justru negara sekuler yang bukan muslim lebih mengamalkan nilai itu. Ajaran tetap menjadi ajaran tanpa praktik nyata. Kemakmuran sudah jelas belum terwujud, terlalu kompleks rasanya membicarakan itu. Kurasa alam merupakan satu satunya hal yang masih kita punya, masalahnya adalah apakah kita menghargainya seperti orang swiss? kemudian, apakah kita saling percaya? hm.. sulit dijawab, adakah toko yang berdasarkan kepercayaan selain warung kejujuran kpk? belum ada. Rasa iri masih menjadi teman dekat kita, pamer masih menjadi hobi kita. Sepertinya untuk menjadi bahagia seperti Swiss sulit.


Bendera nasional Bhutan



Bhutan
Kali ini Weiner mengunjungi negara yang menurutnya dekat dengan penggambaran Shangrila (surga) dalam novel Lost Horizon karya James Hilton. Bhutan terletak dekat Nepal, sebuah negara di pegunungan Himalaya. Tenang, aku pun baru mendengar namanya lewat buku ini. Lalu, apa yang menarik dari negara yang tak pernah kita dengar ini? Selain fakta bahwa negara ini tidak memiliki lampu lalu lintas, dipimpin oleh seorang raja, dan selain karena Eric Weiner memiliki ikatan emosional dengan negara ini (entah apa itu). Bhutan adalah satu-satunya negara yang tidak memakai Gross Domestic Product sebagai indikator kemajuan negara dan pedoman pengambilan kebijakannya. Apa itu Gross Domestic Product? menurut bang Wiki dia adalah:
  
"Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas      wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor."   

GDP ini dipakai untuk menghitung pendapatan suatu negara, dan GDP ini penting karena menjadi acuan pendapatan yang menjadi ukuran kemakmuran dan kesejahteraan sebuah negara. Pemerintah senang jika pendapatan negara surplus, artinya negara ini memliki ekonomi yang bagus, artinya negara akan makmur, rakyat akan bahagia. To be happy, it's all about the money, money, money.

Ketika semua negara memakai acuan ekonomi, Bhutan alih-alih memakai standar lain, yaitu Gross National Happiness, GNH. bukan ekonomi yang jadi acuan, tapi kebahagiaan. Oke, bagaimana anda mengukur kebahagiaan? absurd. Tapi faktanya mereka melakukan itu, contoh kebijakan pemerintah Bhutan berdasarkan GNH adalah: konservasi lingkungan menjadi agenda politik utama pemerintah, 60% wilayah mereka harus tetap hijau alias tetap menjadi hutan, pemerintah melarang tas plastik, dan pemerintahnya berencana menjadi negara yang 100 persen melaksanakan pertanian organik (sumber). Wow.... terdengar seperti salah satu faktor kebahagiaan swiss, dekat dengan alam. 

Kebanyakan negara pastinya akan lebih memilih uang daripada konservasi lingkungan, oke di depan media mereka bilang konservasi lingkungan penting, tapi uang milyaran masuk rekening mereka dari para penebang pohon ilegal, atau perusahaan tambang perusak lingkungan. Bhutan menolak menjual kayu berharga mahal mereka demi pelestarian lingkungan. Negara ini, menurut Weiner, melakukan berbagai hal yang tidak masuk akal secara ekonomi. Contoh, mereka mengabaikan kemungkinan jutaan dolar dari penghasilan pariwisata dengan menerapkan regulasi yang sulit dalam bidang tersebut. Mereka lebih memilih melindungi kearifan lokal daripada pundi-pundi uang yang dibawa turis asing, tidak seperti Kute yang lama-kelamaan berubah mengikuti selera para pelancong bule.

Oke, pola pikir ekonomis sepertinya tidak dimiliki oleh rakyat Bhutan. Salah satu temanku pernah berkata "dari tadi gak ngapa-ngapain, gak produktif banget hidup gua." Saat itu, aku dan temanku ini sedang tiduran di kamar sambil mengobrol menikmati hari dalam udara dingin karena hujan tidak berhenti dari pagi. Kenapa hidup harus produktif? apakah menikmati waktu sambil mengobrol itu salah? Hidup harus produktif karena jika tidak, kita tidak akan makmur, menikmati waktu sambil mengobrol itu salah karena itu tidak produktif. Weiner berkata bahwa dalam masyarakat industri yang makmur, yang di dalamnya kita seharusnya menikmati banyak waktu senggang, kita dihalangi melakukan apa pun yang tidak produktif. Sebaliknya, warga Bhutan akan dengan senang hati menghabiskan hari dengan bermain melemparkan anak panah atau tidak melakukan apa pun. Rakyat Bhutan, yang memang miskin, tidak menyembah dewa efisiensi dan produktivitas.

Itulah akibatnya jika kau terlalu sombong tidak mau menjual kayu berhargamu, dan melakukan kegiatan yang tidak produktif, kau menjadi miskin, rasakan itu! kau akan menderita di dunia ini! Kau tidak akan bahagia!

Apakah uang dapat membeli kebahagiaan? Richard Layard, seorang Profesor dari London School of Economics berkata "Mereka telah menjadi lebih kaya, mereka bekerja jauh lebih sedikit, mereka lebih sering mengadakan perjalanan, mereka hidup lebih lama, dan mereka lebih sehat. Namun, mereka tidak lebih bahagia." Coba cek di Internet, banyak riset yang mengungkapkan bahwa uang memang dapat membeli kebahagiaan, tapi tidak lama. Seorang pemilik hotel di Bhutan berkata pada Weiner bahwa Gross National Happiness berarti mengetahui berbagai keterbatasan anda, mengetahui seberapa banyak adalah cukup. Dalam ekonomi tidak ada yang namanya cukup, seperti yang dikatakan oleh Ahli ekonomi nonkonvensional E.F. Schumacher bahwa banyak orang selalu mengeluh mereka miskin, terlalu banyak kemiskinan, mereka mengeluh tidak punya uang untuk ini dan itu, mereka selalu merasa kurang, tapi dimanakah orang yang berkata cukup! hentikan eksploitasi ini, ini sudah cukup! aku memiliki harta lebih dari yang kubutuhkan! Tidak ada. Yang dibutuhkan adalah sejumput rasa syukur atas yang kita punya untuk menjadi bahagia.

Apakah uang dapat membeli kebahagiaan? Karma Ura, seorang cendikiawan di Bhutan, berkata pada Weiner bahwa uang terkadang membeli kebahagiaan. Tapi harus diingat bahwa uang adalah sarana mencapai tujuan, akan menjadi masalah ketika anda berpikir bawa uang itu sendiri merupakan tujuan. Ajaran Budha. Karma memberi contoh, kebahagiaan adalah hubungan, seperti menikah, di barat atau mungkin juga di indonesia, orang berpikir bahwa uang dibutuhkan dalam hubungan. Namun, tidak demikian halnya, hubungan berkaitan dengan sifat dapat dipercaya. Eh... terdengar seperti faktor kebahagiaan swiss? kepercayaan adalah prasyarat kebahagiaan.

and again ... to be continued ....

Raja Bhutan Jigme Khesar Namgyel Wangchuck dan istrinya Jetsun Pema

Rabu, 21 Januari 2015

Renungan Part 30 (Geography of Bliss: Swiss)

Eric Weiner

Eric Weiner sepertinya tidak senang dengan sebab kebahagiaan orang Belanda, tidak juga aku. Tapi kurasa perlu digarisbawahi bahwa dalam penelitian kebahagiaan yang mengunakan cara wawancara tatap muka langsung, orang terkadang melebih-lebihkan keadaan mereka. Manusia cenderung mengatakan dirinya bahagia, walau sebenarnya tidak, kita senang berbohong untuk membuat orang lain terkesan, iya kan? atau mungkin pikiran kita menipu, kita pikir kita bahagia padahal tidak. Jadi seberapa akurat hasil wawancara itu? jadi ada kemungkinan orang Belanda pun hanya melebih-lebihkan keadaan mereka setelah mereka bermalam bersama pelacur dan teler dengan ganja.

Swiss
Tujuan berikutnya Weiner adalah negara Swiss, negara ini termasuk negara yang paling tinggi tingkat kebahagiaannya, menurut World Database of Happiness. Swiss termasuk negara yang kaya, dan warganya sejahtera, kurasa itu modal yang cukup untuk menjadi bahagia. Toilet umum mereka bersih, sangat bersih, kurasa aku bisa menghabiskan sarapanku di toilet Swiss, dan jadwal kereta mereka adalah satu-satunya di dunia yang dapat membuat kereta Jerman, yang terkenal tepat waktu, kedodoran. Oke, itu lebih dari cukup untuk menjadi Bahagia kan? 

Tapi di samping itu, Orang Swiss merupakan orang yang tidak pandai berterus terang, mereka pendiam. Bahkan mungkin jika baju anda terbakar, dan anda tidak mengetahuinya, mereka tidak akan menegur anda untuk memberitahu itu, mengatakannya akan dianggap menghina, seperti secara tidak langsung mengatakan anda bodoh. Mereka tidak suka itu. "iya saya tahu baju saya terbakar, terimakasih saya bisa merasakannya kok, kau lihat ini, namanya kulit, berfungsi untuk merasa dari yang halus sampai yang panas, terutama api, kau pikir aku bodoh?" kurasa seperti itu jawaban yang dipikirkan oleh orang swiss jika ingin menegur seseorang. 

Menurut seorang warga Swiss, mereka tidak punya selera humor. Berarti mereka adalah sekumpulan orang berwajah serius. Dan ada banyak peraturan di sana. Contohnya, anda tidak boleh memotong rumput halaman atau mengibaskan karpet pada hari minggu. Tidak boleh menggantung cucian anda di balkon pada hari apa saja. Atau anda tidak boleh menyiram toilet setelah jam 10 malam, apa? lalu apa yang harus kulakukan dengan tinjaku jika aku buang air tengah malam? aku sepertinya tidak akan betah di sana. 

Oke, jadi apa yang sebenarnya membuat orang Swiss bahagia? Weiner mengajukan pertanyaan yang dijawab seorang warga Swiss dengan "Rasa iri". Orang Swiss selalu berusaha untuk tidak menimbulkan rasa iri. Orang swiss tidak suka berbicara masalah uang, mereka lebih senang membicarakan kutil di kemaluan mereka daripada membicarakan berapa banyak penghasilan mereka. Aneh, mengetahui bahwa mereka terkenal dengan banknya, yang tak lain tempat menyimpan uang. Gaya orang amerika, menurut Weiner, adalah: anda punya, pamerkan. Sementara bagi orang Swiss: anda punya, sembunyikan. Bagaimana dengan gaya indonesia? kurasa melihat facebook bisa jadi salah satu jawabannya karena negara kita termasuk pengguna facebook yang terbesar, berapa persen orang yang senang pamer di statusnya? pamer makanan, pamer tamasya, pamer pekerjaan, pamer pasangan, pamer apalagi? pantas jika berlama lama membuka facebook serasa sedih rasanya. Aku iri dengan mereka yang dalam status Facebook mengatakan semoga sehat jabang bayi dalam perut istrinya, atau betapa bersyukurnya telah melewati hari yang sibuk dengan pekerjaan, atau betapa luar biasanya perasaan menjadi penerima beasiswa. Aku iri dengan foto orang lain yang melancong ke tempat A atau B, yang pastinya tidak murah. Ah.... aku sedih memikirkan hal-hal yang tak kumiliki itu.  

Hal lain yang membuat orang Swiss bahagia adalah karena mereka dekat dengan alam. Pantas kota-kota di Swiss begitu hijau dan indah, tak percaya? coba cek di internet jika anda tidak punya uang untuk mengunjunginya langsung. Semua orang pun pasti tidak menyangkal bahwa pemandangan alam yang indah dapat menenangkan hati, tak aneh jika mereka bahagia. Mari kita bandingkan dua foto ini.


Apa yang anda rasakan ketika melihat gambar di atas? sungai yang jernih, bangunan yang rapi, serta ruang hijau yang indah bukan? itu salah satu sudut di kota Bern, ibukota Swiss. 



Bagaimana dengan yang ini? ini adalah kali ciliwung di jakarta, ibukota Indonesia. Kubayangkan diriku tinggal di salah satu rumah itu, sore hari setelah bekerja keras dari pagi dan pulang dengan uang yang hanya pas untuk makan, aku menuju balkon belakang rumahku, jika memang itu bisa disebut balkon. ingin kurebahkan tubuh dan menikmati sungai ciliwung, tapi sampah dan segala kekumuhan itu membuat kopiku semakin pahit, rokokku semakin sepet, hidupku semakin merana. Berbeda dengan kota-kota di swiss.

Ah... aku sedih memikirkan hal-hal yang tak dimiliki negara ini....

Satu hal yang menarik dari Swiss, meskipun mereka cenderung pendiam, ternyata mereka saling percaya. anda dapat memesan kamar hotel tanpa memberi nomor kartu kredit. anda dapat memompa bensin tanpa membayar terlebih dahulu. anda dapat makan makanan yang di sediakan di penginapan-penginapan di pegunungan Alpen, dan meninggalkan uang disana. mereka percaya anda tidak akan DARMAJI (dahar lima mayar hiji: makannya lima bayarnya satu). menurut seorang peneliti, kepercayaan merupakan dasar utama hubungan yang bahagia. Pantas mereka semua mengaku bahagia, tak ada alasan untuk tidak. 

still to be continued ....

Selasa, 20 Januari 2015

renungan part 29 (the geography of Bliss: Belanda)


Ini adalah kisah tentang seorang laki-laki yang mencari kebahagiaan, seorang laki-laki yang tahu bahwa "pencarian kebahagiaan adalah sumber utama ketidakbahagiaan", tapi tetap mencarinya karena dari awal dia sudah tidak bahagia. Nothing to lose. Aku pun mengikuti langkahnya dengan banyak membaca buku tentang kebahagiaan, itu adalah usaha pencarian kebahagiaan kan?, apakah aku memang tidak bahagia? jika kebahagiaan didefinisikan sebagai perasaan tenang dan nyaman tanpa rasa takut dan khawatir yang berkelanjutan, maka aku tidaklah bahagia. Maka, Nothing to lose bagiku untuk membaca buku ini.





Eric Weiner mengajak pembacanya untuk melihat lebih dekat tempat-tempat yang katanya dihuni oleh orang-orang bahagia dan tidak bahagia hanya untuk mencari jawaban, apa yang membuat orang bahagia? apakah tempat kita tinggal? tempat yang memiliki banyak sinar matahari, cuaca hangat, pantai indah? atau tempat sejuk di pedesaan dengan banyak tumbuhan hijau? apakah itu ekonomi mereka? negara adidaya seperti amerika, dan bangsa-bangsa eropa pada umumnya. ataukah kebudayaan mereka yang membuat mereka bahagia? atau jangan-jangan kata-kata bahwa bahagia itu berasal dari hati tak masalah dimana dan siapa kita benar adanya?

Aku akan mencoba menguraikan pengalamanku sebagai pembaca di setiap negara yang Eric Weiner kunjungi dalam pencarian kebahagiaannya itu. 
 
Belanda
Tak ada cara yang paling baik untuk memulai pencarian kebahagiaan selain mendatangi seorang profesor yang memiliki WDH, World Database of Happiness, tunggu aku sama terkejutnya dengan anda, ada hal semacam itu? itulah yang dilakukan Weiner, mendatangi seorang Profesor yang meneliti tentang kebahagiaan sepanjang hidupnya. Menakjubkan bukan? aku yakin sekali dia adalah pakar kebahagiaan, dan otomatis orang yang paling bahagia di dunia karena mengetahui semua rahasia untuk menjadi bahagia. Sepertinya. 

Ada banyak hal mengejutkan yang bisa kau dapatkan dari setumpuk laporan penelitian tentang kebahagiaan, beberapa terkadang sangat kontradiktif. Seperti, banyak negara-negara yang paling bahagia di dunia ternyata memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi, orang - orang yang sering melakukan kegiatan keagamaan cenderung lebih bahagia dari yang tidak, tapi bangsa-bangsa yang paling bahagia adalah bangsa yang sekuler. Amerika yang merupakan negara paling kuat di dunia, tidak paling kuat dalam hal kebahagiaan, banyak negara yang lebih bahagia darinya. Demokrasi tidak menjadikan suatu negara bahagia, seperti yang dialami banyak pecahan Uni soviet yang kini berpaham demokrasi, tapi tidak bahagia. Justru ada kecenderungan sebaliknya, bahwa negara yang bahagia cenderung demokratis.

Menurut WDH, Belanda termasuk negara yang paling bahagia, walau tidak diurutan pertama. Salah satunya karena Toleransi, negara ini memang menoleransi banyak hal, pernikahan sejenis salah satunya yang kutahu, kemudian narkoba, oh kau dapat menemukan kafe yang menjual ganja dengan mudah di sini, dan prostitusi. kurasa rakyat Belanda tidak punya alasan untuk tidak bahagia dengan pelegalan kedua hal itu. 

Jadi toleransi di Belanda membuat warganya cenderung bahagia? bisa jadi, apa yang akan kau rasakan jika kau berada di tempat yang memperbolehkan hal-hal yang dilarang di tempat asalmu? apakah kau senang jika dapat melakukan hampir semua hal yang membuatmu senang? tunggu, apakah kesenangan itu sama dengan kebahagiaan?

Tapi Weiner benar, kebebasan yang didapat di Belanda bukanlah hal yang baik. Toleransi itu bagus, tapi toleransi dapat dengan mudah bergeser menjadi sebuah ketidakpedulian, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Oh satu lagi, Profesor kebahagiaan kita, tidaklah sebahagia yang kita kira, bahkan dia tidak peduli siapa yang bahagia dan siapa yang tidak, selama isu kebahagiaan tetap ada untuk diteliti, itu sudah cukup. Jadi apa inti dari semua penelitiannya itu?? 

to be continued ... 

Kamis, 08 Januari 2015

Renungan Part 28 (Max Havelaar: ke-aku-an seorang Multatuli)

Semenjak aku SD, aku telah mengenal nama Douwes Dekker. Hal ini disebabkan nama itu muncul di buku pelajaran sejarah, dan dia pun muncul di pertanyaan ujian mata pelajaran sejarah. Ketika aku SMP, nama itu muncul kembali, bahkan ketika SMA, aku tetap masih melihat nama itu di buku pelajaran atau di salah satu option pilihan ganda di soal pelajaran Sejarah. Sebegitu pentingnya kah jasa orang Belanda ini bagi bangsa Indonesia sehingga selalu ada di  buku sejarah di tiap tingkat pendidikan? 

Sebenarnya ada dua orang berbeda dalam buku mata pelajaran sejarahku yang memiliki nama belakang sama, Douwes Dekker. Yang pertama adalah Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Seorang keturunan Belanda yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan Pahlawan Nasional kita. Dia adalah salah satu dari tiga serangkai pejuang kemerdekaan yang terkenal. Ternyata, tokoh kita yang pertama ini adalah cucu dari adik tokoh berikutnya, yaitu Eduard Douwes Dekker. Dia terkenal dengan nama pena Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar yang fenomenal, sebuah buku yang katanya membuka mata pemerintahan Belanda akan penderitaan rakyat pribumi di Hindia Belanda (Indonesia). Dari kecil aku menganggap bahwa Multatuli adalah orang yang sangat berjasa pada Indonesia lewat bukunya itu. 

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan buku Max Havelaar itu di rak sebuah toko buku, tanpa ragu akupun segera membelinya. Dipenuhi rasa penasaran dan antusiasme tinggi, aku membaca lembar demi lembar buku yang ternyata sebuah novel itu. Ekspektasiku adalah Multatuli akan membeberkan kebejatan Belanda dalam mengeksploitasi kekayaan negeri ini, tapi  kesan pertama yang kudapat setelah menyelesaikannya adalah Orang Pribumi yang mendapatkan jabatan sebagai bupati di Indonesia, lebih kejam dari Pemerintah Kolonial Belanda itu sendiri. Oke, ini cukup mengejutkan, dan sulit dipercaya. Maksudku, novel itu menceritakan bagaimana tokoh Max Havelaar, seorang asisten residen Lebak, yang berjuang melawan kesewenang-wenangan Bupati Lebak, yang merupakan orang pribumi dan seorang raja di banten, terhadap rakyat Lebak. Satu-satunya kesalahan Belanda dalam Novel itu adalah membiarkan kelakuan Bupati tersebut karena menyenangkannya akan menguntungkan Pemerintahan Belanda. Sementara itu Max Havelaar digambarkan sebagai pejuang keadilan yang begitu idealis, bahkan sampai lebih memilih dipecat daripada mengikuti perintah atasannya yang tidak percaya dengan semua laporan Havelaar akan kebejatan bupati.

Oke, itu hanya sebuah novel, cerita fiktif. Tapi sejak buku itu diterbitkan, sudah banyak polemik akan kebenaran isi cerita tersebut. Apakah Havelaar adalah Douwes Dekker sendiri, dan cerita itu adalah pengalaman pribadi si penulis selama menjabat sebagai asisten residen Lebak? Jika anda menonton film adaptasi novel tersebut (film itu ada) anda akan melihat bahwa bupati lebak digambarkan sebagai orang yang sangat buruk, orang yang senang memeras rakyat, berpesta pora, dan menyalahgunakan kekuasaan.

Menurut Prof. Veth, guru besar di Leiden, sebagaimana yang dikutip oleh D.A. Peransi dalam tulisannya, buku itu bukan roman karena nilai sastranya hanya embel-embel, bukan pula biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah. Bahkan Prof. Buys menandaskan bahwa Multatuli hanya mengagungkan dirinya daripada "berkaitan" dengan orang jawa. J. Saks dalam karangannya, Lebak, menekankan bahwa buku Max Havelaar bukan sejarah akan tetapi sebuah pembelaan, bahkan suatu pembelaan untuk diri sendiri. Kenapa Douwes Dekker begitu membenci Bupati lebak? Swath Abrahamsz kemenakannya sendiri yang seorang dokter, menulis bahwa Douwes Dekker itu mengidap “neuruasthenie”, yakni sebuah gangguan kejiwaan yang ditandai oleh perasaan keakuan yang kuat dan ketidakmampuan mengendalikan emosi. Di daerah Lebak dimana bupati dianggap raja oleh rakyatnya, ke-aku-an Douwes Dekker terusik, karena seharusnya hanya ada satu aku di Lebak, yaitu Douwes Dekker.

Egonya yang begitu besar membuatnya naik pitam ketika Kern, seorang ahli linguistik dan Quack, seorang ekonom, setelah Max Havelaar terbit menghimbau orang Belanda untuk lebih memperhatikan nasib orang Jawa. Kern dan Quack dibencinya karena mereka menitikberatkan pada “nasib orang Jawa” dan bukan pada “pembela orang Jawa”, yaitu Douwes Dekker (Multatuli) sendiri.

Aku tidak ingin berkata bahwa tiap pejabat pribumi pasti baik dan tidak ada yang menyalahgunakan wewenangnya, tapi aku pun tidak menerima penggambaran Multatuli dalam novelnya tentang pejabat pribumi dan dosa orang Belanda yang sepertinya disamarkan, dan akupun tidak mempermasalahkan kemungkinan bahwa cerita novel itu adalah curahan hati kesal penulis yang ke-aku-annya terluka. Terlepas dari polemik kebenaran isi cerita buku tersebut, aku menganggap itu hanya sebuah cerita yang memiliki nilai yang bisa dipelajari. 

sumber

Senin, 05 Januari 2015

Renungan Part 27 (the minimalist: bahagia itu sederhana)


Minimalism, gaya hidup yang dipopulerkan oleh Joshua Fields dan Ryan Nicodemus lewat buku mereka "minimalism"

Sebuah video menarik perhatianku saat berselancar di youtube, diantara sederet daftar video di channel TED, sebuah channel video dimana seseorang berbicara tentang suatu hal yang dianggap menginspirasi, terdapat judul "a rich life with less stuff-the minimalist". Pembicaranya adalah dua orang yang mempraktekan gaya hidup minimalis yaitu Joshua Fields Milburn dan Ryan Nicodemus. Kesimpulan dari pidato mereka adalah manusia selalu memiliki lubang di perasaan mereka yang menghalangi mereka untuk bahagia, dan manusia cenderung menambal lubang itu dengan membeli banyak hal yang tidak mereka butuhkan. Pada akhirnya, lubang itu tetap menganga, tidak ada kebahagiaan yang didapat dari membeli banyak hal yang kita inginkan. Mereka mendapatkan kebahagiaan hidup dengan membuang (mendonasikan) sebagian besar barang di rumah mereka dan hanya menyisakan hal-hal yang benar-benar dibutuhkan. 

Hal tersebut mengingatkanku pada ajaran yang secara tidak langsung dijejalkan ke otakku sedari kecil. Untuk bahagia dan dapat membahagiakan orang tua, kamu harus sukses, sukses salah satunya berarti berarti dapat pekerjaan bagus dengan gaji besar. orang yang memiliki rumah bagus, mobil, dan berbagai hal lain yang dianggap mewah, selalu dipuji, dihormati, dan dielu-elukan. Sehingga banyak orang menjadikan hal itu sebagai standar kebahagiaan. Tapi, kenyataan tidak mengatakan demikian.

Seperti pengalaman Ryan Nicodemus yang telah sampai pada titik dimana dia memiliki karir bagus dengan gaji besar, tapi lubang di dalam hatinya tak terpenuhi. Dengan minimalist lah dia mendapatkan itu. Hidup yang bermakna dan memberikan kebahagiaan. Sebuah pelajaran yang cukup menginspirasi. oke, sekarang mari kita pelajari lebih dalam tentang ide minimalism ini.

Apa itu minimalism? selintas, minimlism tampak seperti gaya hidup dengan sedikit barang, seorang yang minimalist tidak punya rumah besar, tidak punya banyak uang, tidak punya mobil, hm.... jangan-jangan minimalism berarti menjadi orang miskin?? rupanya, bukanlah itu. Menurut Ryan dan Joshua minimalism adalah sebuah pola pikir yang dapat membebaskan kita. bebas rasa takut, khawatir, rasa bersalah, depresi, budaya konsumersime di sekitar kita. Pada intinya, dengan minimalism, kita memikirkan apa yang benar-benar penting bagi hidup kita, dan memilihnya dengan sadar, bebas, dan penuh tanggung jawab.

Oleh karena itu, bentuk minimalism dapat berbeda bagi beberapa orang, tapi satu yang menjadi kesamaan mereka, yaitu mereka hidup untuk passion mereka, untuk hal yang benar-benar penting dalam hidup mereka. Maka jika kita mencintai pekerjaan kita, dengan menjadi minimalism kita tidak perlu berhenti dari pekerjaan itu seperti yang dilakukan Ryan dan Joshua. Berhentilah jika pekerjaan itu bukan passion kita, bukan hal yang penting buat kita, berhentilah jika pekerjaan itu hanya alat untuk membayar tagihan-tagihan bulanan rumah tangga dan kartu kredit yang membengkak karena dipakai membeli barang-barang yang dipakai untuk pamer, untuk menjadi sama dengan orang lain, untuk menyaingi tetangga, atau untuk dihormati di masyarakat. 


Menjadi minimalist berarti mulai bertanya pada diri sendiri, apa yang penting dalam hidupku? apa passionku?