Minggu, 31 Mei 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 5)


“namaku Adi....” pria paruh baya berbadan kekar tersebut memperkenalkan dirinya. Santi memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala, memastikan tidak ada bekas gigitan di tubuhnya. Dia memakai kaos ketat berwarna ungu yang membentuk badan berototnya, dan celana jeans belel berwarna hitam tanpa ada noda darah terlihat. Kulitnya putih bersih, tidak ada luka sedikitpun hanya peluh yang membanjiri badannya.  Bayu menjabat tangannya.

“aku bayu, ini santi, dan itu gading..” bayu menunjuk gading yang sedang sibuk membereskan persediaan di dapur. “kami sangat berterimakasih atas pertolonganmu tadi...”

“aku hanya kebetulan lewat....”

“tapi demi menolong kami, kendaraanmu rusak... kemana tujuanmu? Mungkin kami bisa memberikan sedikit bantuan.”

“uh... aku sedang menuju bintaro, aku mendapat kabar bahwa di sana ada tempat evakuasi, dijaga oleh tentara nasional kita, disana tempat yang aman dari para manusia gila itu...”

“benarkah?”

“ya.. aku mendengarnya lewat radio... sebuah pengumuman resmi dari pemerintah!”

Gading yang mendengarnya dari dapur segera bergabung di ruang utama, dia tampak senang mengetahui ada secercah harapan untuk bisa selamat dari bencana ini. Sementara Santi mengerutkan dahi,  sedang memikirkan sesuatu.

“Kita harus berangkat kesana!” gading bersemangat.

“benar.. dan aku yakin jika kita bekerja sama kita bisa selamat sampai di sana...” Adi menambahkan. Bayu merasa senang sekaligus resah, tentu itu adalah kabar gembira mengetahui bahwa ada lingkungan yang aman di dekat sini, tapi bayu resah jika harus menyelamatkan diri tanpa winda.

“bagaimana menurutmu bayu?” santi menangkap rasa gelisah bayu.

“entahlah... aku mencemaskan winda...”

“apa maksudmu? Lalu apa yang ingin kau lakukan? Menunggu winda muncul?” gading berteriak.

“mungkin... aku harus mencarinya... ” jawab bayu bimbang.

“kau carilah kekasihmu itu, tapi aku tetap pergi ke bintaro! Bagaimana denganmu santi?”

“Bayu... mungkin winda pun menuju ke sana, atau sudah berada di sana.” Santi tidak mengacuhkan gading.

“apa buktinya? Apakah kau punya bukti bahwa dia berhasil menyelamatkan diri? Mungkin saja dia seperti kita, berlindung di suatu tempat! Oleh karena itu, aku akan pergi mencarinya!”

“lalu kemana kau akan mencari!?”

“aku tidak tahu, mungkin aku mulai dari tempat kerjanya, RS Fatmawati.”

“bodoh... kau tidak akan bertahan sendirian di luar sana! Lihat apa yang terjadi tadi!” bayu terdiam, kata-kata santi benar, tidak mungkin dia dapat sampai ke fatmawati sendirian, bahkan bertiga pun belum tentu.

“maaf... kekasihmu bekerja di RS Fatmawati?” Tanya Adi.

“iya... kenapa?”

“aku pun bekerja di sana.. aku seorang dokter.”

“apa? Benarkah? Kau dari sana? Apa kau mengenal Winda? Ini fotonya... ” bayu menyerahkan sebuah foto dari dompetnya kepada Adi.

“maaf aku tidak mengenalnya..” jawab adi sambil tetap memandangi foto tersebut. “tapi satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang selamat di sana, aku sempat bertahan di tempat itu sejak bencana ini berawal, menurutmu, apa yang membuatku mencoba pergi ke bintaro jika di sana aman?” Bayu hanya terdiam, dia mengambil kembali foto winda dari tangan adi, dengan langkah gontai, tanpa mengatakan apapun, dia berjalan ke lantai dua menuju kamar. Santi dan gading membiarkannya, mungkin bayu butuh waktu sendiri beberapa saat.

“bagaimana denganmu Santi?” gading kembali bertanya.

“aku harus mempertimbangkannya... saat ini kita istirahat saja dulu, dengan persediaan yang kita punya, setidaknya kita masih bertahan selama tiga hari di sini. Kita tidak perlu buru-buru.” Santi berjalan terpincang-pincang menuju kamarnya di lantai dua.

“apa yang ada dalam kepala mereka?!” gading menggerutu. Baginya pergi ke bintaro secepatnya adalah keputusan yang paling tepat. Tidak ada sedikitpun yang bisa membuatnya merasa aman selama masih di rumah ini. Bayu benar-benar bodoh, untuk apa dia membahayakan nyawanya sendiri demi mencari winda. Jika winda mati, dia toh bisa mencari wanita lain. Yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Lalu santi, dia pun bodoh, mungkin karena dia setengah gila makanya dia tidak cemas dengan semua keadaan ini, dia tampak menikmatinya. Dengan santainya dia bilang untuk mempertimbangkannya dulu, apa yang harus dipertimbangkan? Ini adalah solusi satu-satunya untuk dapat selamat.

“kita membutuhkan kedua temanmu untuk ikut, kita tidak bisa mencapai bintaro hanya berdua... dan terlebih lagi, kurasa kita tidak bisa memaksa santi pergi dengan kaki yang masih terluka.” Adi memecah lamunan gading.

“ya kau benar...” gading sadar, setidaknya santi berguna ketika mereka terjepit dalam keadaan bahaya seperti tadi.

***
Sebuah elusan hangat membangunkan Santi dari tidur lelapnya, dia membuka mata dan terkejut mendapati Adi duduk di sampingnya.

“apa yang kau lakukan disini?” santi menatapnya tajam penuh curiga. Ia bangkit dan menjauhkan kakinya dari adi.

“Ssst.. tenanglah, aku hanya memeriksa pergelangan kakimu...” adi kembali menarik kaki santi, dia mengambil sebuah bungkusan kain yang berisi es batu dan menempelkannya pada pergelangan kaki santi. 

“ini... peganglah...” santi memegang bungkusan itu, sebuah elusan di tangan kembali santi rasakan ketika adi melepaskan bungkusan itu. “untung ini hanya cedera ringan... dengan istirahat dua hari saja, kau bisa sembuh...” kini adi berdiri, dia memperhatikan beberapa jenis senjata yang dipajang santi di temboknya. Dua buah machete atau golok yang berkilau indah dipajang berhimpitan di satu sudut dinding, beberapa buah nunchaku, dan belati militer disusun di sekelilingnya. Sementara itu sebuah rak dibawahnya menampung senjata lain, beberapa jenis brass knuckle disusun rapi dalam sebuah kotak berwarna hitam, kemudian berbagai jenis pisau lipat, dan pisau karambit dipajang dalam kotak kaca. “wow... kau orang yang sangat berbahaya sepertinya.”

Santi terus menatap Adi, dia yakin sekali adi mengelus-elus kakinya sebelum dia terbangun tadi, dan elusan di tangannya barusan, santi sangat tidak menyukainya. Selama dia tinggal di kosan ini, tidak pernah ada satu orang pun yang berani masuk kamarnya tanpa ijin. Bahkan tante maya pun tidak. Adi adalah orang pertama yang melakukannya, santi sangat kesal, tapi mungkin adi tidak tahu apapun tentang dirinya, dan aturan di kosan ini, lagipula dalam situasi seperti ini, aturan sudah tidak lagi diperhatikan.

“terimakasih atas esnya...”

“sudah menjadi tugasku sebagai dokter.... kau punya hobi yang sangat.... tidak biasa...” adi menunjuk kumpulan senjata tadi.

 “ya.... aku memang tidak biasa...”

“senjata-senjata itu berbahaya dan dapat melukai seseorang.... pernah mencoba salah satunya selain pada manusia gila di luar sana?” Adi berkelakar.

“ya... aku pernah merobek leher seseorang dengan karambit itu...” Jawab santi.

“hahaha... sepertinya aku harus jauh-jauh darimu..” Adi tersenyum.

“ya... kau harus...” Santi balas tersenyum.

“oh.. aku harus membantu gading menyiapkan makan malam, kau istirahatlah lagi... jangan lupa ketika kau tidur taruh bantal di atas kakimu itu, agar lebih tinggi dari jantungmu...”

“kau dokternya....” mata santi mengekor adi sampai dia keluar kamar. Santi tidak suka dengannya. Santi beranjak dari kasurnya ke meja dan rak dimana senjata-senjatanya disimpan. Dia memeriksa satu persatu benda kesayangannya, dia memang berbeda batin Santi, karena saat dirinya mulai puber, senjata-senjata inilah yang menjadi idamannya. Bukan kaka senior ganteng, bukan penyanyi asia yang wajahnya telah ditambal plastik, juga bukan laki-laki gondrong yang pandai memainkan gitar. Saat para gadis abg seusianya sibuk belajar mempercantik diri dan menggaet pacar seperti halnya piala, santi lebih tertarik menghajar para cowo yang mendekatinya.

“kau selalu menjadi cinta pertamaku..” santi mengambil sebuah brass knuckle berwarna perak yang berkilau dari rak paling bawah. Itu adalah brass knuckle pertamanya saat dia berusia empat belas tahun, dia membelinya dari sebuah toko di alat-alat bela diri. Santi masih ingat betul wajah bingung penjaga toko ketika dia mendengar jawaban santi perihal alasan ia membelinya.

Saat itu dia hanyalah gadis kurus penyendiri, karena suatu hal, dia dijauhi dan tidak disukai oleh banyak teman-temannya. Tak ayal, dia menjadi sasaran bully teman-temannya, baik laki-laki ataupun perempuan. Tapi ada satu pembully yang paling santi benci, yaitu Reno, kaka kelasnya. Karena dia satu-satunya pembully yang berani menyentuh tubuhnya, terutama bagian pribadinya. Santi tidak suka siapapun menyentuh tubuhnya, dan reno akan mendapatkan balasan atas yang dia perbuat.

Santi belajar bela diri secara otodidak, dan dia tidak pernah sekalipun mempraktekannya dengan siapapun. Dia takut, tapi menghajar reno adalah keharusan, dia bertubuh lebih besar darinya, Santi pasti tidak bisa menjatuhkan reno dengan beberapa pukulan, kemungkinan besarnya dia yang babak belur. Kenapa perempuan ditakdirkan begitu lemah? Gerutu santi. Saat itulah Santi membaca tentang Brass Knuckle di internet, dan membelinya. “aku ingin menghajar seorang lelaki.” Jawab santi kepada si penjaga toko. Beberapa hari kemudian, Reno dan dua temannya masuk rumah sakit dengan wajah robek, dan santi dikeluarkan dari sekolah.

Santi tersenyum mengingat kejadian itu, pengalaman pertamanya menghajar orang, ada perasaan nikmat ketika dia melakukannya. Perasaan yang sama yang didapat ketika seseorang bermain game, atau berhubungan seks. Baginya menghajar orang adalah sumber kesenangan. Semenjak saat itulah dia mulai mengoleksi senjata-senjata itu. Semenjak itu pula santi sudah tidak ingat berapa orang yang telah dia hajar. 

Terdengar suara ketukan di pintu.

“santi.. makan malam sudah siap.” Gading berteriak dari balik pintu.

“ya... aku turun.” Santi segera menyimpan kembali brass knuckelnya dan berjalan terpincang-pincang ke ruang makan. Gading tengah sibuk menyendok satu-satunya lauk yang tersedia, Sarden. Kini mereka berkumpul di ruang tengah.

“mungkin kita masih bisa bertahan tiga hari ke depan, tapi beras kita sudah habis, aku tidak yakin aku bisa bertahan tanpa nasi...” gading membuka pembicaraan.

“seriously...??” bayu nampak tidak senang. “di saat seperti ini yang kau khawatirkan adalah nasi?”

“makanan adalah hal yang sangat penting untuk bertahan hidup, setahuku tidak ada orang mati karena ditinggal mati kekasihnya, yang ada orang mati karena kelaparan!”

“babi kau!” bayu segera menarik baju gading yang duduk di seberangnya. Tangannya terangkat bersiap meninju wajah gading.

“kau yang babi!”gading mendorong bayu, melepaskan diri dari cengkramannya. Pukulan bayu tidak mengenai sasaran.

“hentikan!” santi berteriak.

“dasar laki-laki bodoh dan super lebay!” gading mengambil sebuah tas coklat yang berada di dekatnya dan melemparkannya ke arah bayu. Tapi bayu dapat menghindar, dan dengan cepat menendang perut gading sampai dia tersungkur di lantai, bayu segera menindihnya dari atas, bersiap memukulinya.

PRANG!! pintu kaca sebuah lemari di samping televisi pecah dilempar asbak oleh Santi, suara tersebut menghentikan Bayu. “aku bilang berhenti!” santi berteriak lebih keras. Suaranya menggema di ruang tengah yang besar itu. Adi hanya terbengong menyaksikan itu semua dari dapur. “apa yang kalian lakukan?” bentak santi, bayu bangkit dan duduk kembali di sofa, begitu pula gading, sambil memegangi perutnya yang ditendang bayu tadi.

“kita memerlukan kerja sama untuk bisa bertahan hidup! Saat ini kita perlu mendiskusikan prioritas kita, dan kita tidak dapat memutuskannya dengan kepala yang dipenuhi emosi.”

“maaf...” lirih bayu. Gading hanya terdiam.

“kita harus memutuskan langkah kita berikutnya, aku telah memutuskan untuk pergi ke bintaro setelah kakiku sembuh, gading dan adi tentunya ikut denganku, bagaimana denganmu bayu?”

“aku... tidak tahu...”

“lagi-lagi itu....” gerutu gading.

“gading diamlah..!”

“aku lelah dengan sikapmu santi! Sok-sok mengatur, sejak kapan kau diangkat jadi ketua kelompok ini?”

“oh ya... seingatku, karena akulah kalian berdua masih bernafas saat ini, idekulah yang membuat perut kalian kenyang saat ini! Kalau kau memang tidak mau menerima aturanku, kau bebas pergi!” gading terdiam.

“hei... hei... mari kita mendinginkan kepala kita dengan minuman ini...” adi datang membawa baki yang dipenuhi empat gelas sirup buah dingin. “kita harus menikmati kenyamanan es batu sebelum listrik padam.” 

Adi membagikan gelas-gelas tersebut.

“beri aku waktu sampai besok... aku akan memberikan keputusanku besok,” bayu meneguk sirup buah tersebut sedikit. Sementara gading telah menghabiskan miliknya.

“aku harap kau membuat keputusan yang bijak bayu....” santi meneguk sirupnya. “minuman ini sungguh menyegarkan...”

“tentu saja...” adi tersenyum lebar. Bayu beranjak dari sofa berniat menuju kamarnya kembali di lantai dua, dia butuh waktu sendiri untuk memikirkan semuanya. Sebelum menaiki tangga bayu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, sebuah benda yang tercecer dari tas coklat yang dilempar gading tadi. Sebuah kalung yang biasa dipakai anggota militer yang biasanya berisi data pribadi si pemakai. Kalung model seperti itu banyak dijual di beberapa tempat wisata sebagai souvenir dan kita dapat memesan tulisan sendiri. Bayu ingat membeli sepasang kalung tersebut untuknya dan winda beberapa bulan yang lalu, sampai saat ini kalung miliknya tergantung di kamarnya, jarang dia pakai, karena lelaki memang tidak terlihat pantas memakai kalung. Tapi winda senang sekali memakai kalung tersebut.
Till death do us part
B & W
Begitulah kata-kata yang terukir di kalung tersebut, ditambah dengan inisial dari nama bayu dan winda. Di dunia ini, kalung yang bertuliskan seperti itu hanya ada dua, milik bayu dan milik winda. Milik bayu tentunya masih berada di kamarnya, dan winda tidak pernah menanggalkan kalung tersebut. Lalu, kenapa kalung itu sekarang tercecer dari tas coklat, yang dilempar gading tadi? Tas siapa itu? Bukankah itu tas milik Adi? Kepalanya beredenyut, dunia di sekitarnya terasa berputar. Gading segera mengambil kalung tersebut dan berbalik.

“adi... darimana kau dapatkan ini?” kepalanya semakin pusing, matanya sungguh berat, bayu dapat melihat adi mengucapkan beberapa kata dari gerakan bibirnya, tapi dia tidak dapat mendengar apapun, tubuhnya lemas, hal terakhir yang diingatnya adalah senyuman adi sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

Kamis, 28 Mei 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 4)


Bayu terbangun merasakan hawa dingin di punggunggnya, dia rupanya terbaring di lantai ruang utama. Keramik yang menjadi alas tidurnya yang menyebabkan hawa dingin itu. Matanya berat meminta untuk kembali tidur, dia memutar badannya. Sebuah wajah dengan mata kuning dan mulut berbusa menyambutnya, bayu tersentak bangun. Mayat sandi tepat berada di sampingnya, darah dimana-mana, seingat bayu dia tertidur di atas sofa, sepertinya dia terjatuh tanpa sadar dan mendarat di pinggir mayat tersebut. Pisau belati santi masih menancap di ubun-ubun sandi. Terdapat beberapa lubang menganga di perut dan dadanya, darahnya tidak lagi mengalir, kini sebagian besar keramik putih di ruang utama berwarna merah karena darahnya. Bagus pikir bayu... sekarang seluruh ruangan berbau amis darah. Tenggorokannya terasa sangat kering, dia segera menuju kulkas, hanya tersisa satu botol air putih. Bayu meneguknya sampai setengah, kini dia berpikir, jika makanan dan minuman di rumah ini habis, apa yang harus mereka lakukan? Dia mengecek hapenya, tidak ada sinyal, alat komunikasi sudah lumpuh. Melihat kulkas yang masih menyala ketika dibuka, dan air yang diminumnya terasa dingin, bayu yakin listrik belum padam, tapi sampai kapan? Winda kembali terbayang di kepalanya. 

Karir cemerlang dan keluarga bahagia yang menjadi impian setiap orang, yang menjadi pusat kebahagiaan manusia, yang sebentar lagi dicapai olehnya kini sirna. Bayu tetap yakin ketika semua ini berakhir, dia akan kembali mendapatkan dua hal tersebut, tidak... dia akan berjuang kembali mendapatkannya, oleh karena itu dia tidak boleh berputus asa, dia tidak boleh mati, dan winda pun tidak boleh mati, mimpi kebahagiaan bayu saat ini hanya tertunda, tidak sirna, bayu menegaskan itu dalam hatinya.

Ini adalah hari kedua setelah bencana itu dimulai, bayu, gading, dan santi tetap bertahan di dalam rumah, memblokir semua akses masuk dengan furnitur, mereka menunggu keadaan berubah menjadi lebih baik, dan lebih aman. Matahari terlihat bersinar cerah, pagi seperti ini adalah cuaca yang cocok untuk menikmati sinar matahari sambil berjalan di sekitar komplek yang asri. Bayu sering melakukan itu di hari minggu pagi, dan dia selalu bertemu Susi, anak perempuan pak Raharjo yang tinggal di Blok F. Dia adalah seorang mahasiswi Filsafat di universitas negeri paling terkenal se indonesia yang berada di depok, ketika mereka sampai di taman komplek, biasanya bayu dan susi membincangkan banyak hal. Bayu senang mendengarkan susi membincangkan filsafat, seorang gadis muda yang menarik dengan ide-ide yang luar biasa tentang kehidupan. Suatu waktu mereka pernah membincangkan masalah kejahatan begal yang marak terjadi di daerah tangerang selatan, susi berkata bahwa akar dari semua kejahatan yang ada di muka bumi adalah delusi pikiran.

“delusi pikiran? Apa itu?” bayu duduk di sebuah ayunan, diikuti susi yang juga duduk di ayunan di samping bayu.

“setiap manusia di dunia ini, hidup demi mengisi kekosongan yang mereka rasakan di dalam hatinya, iya kan?” bayu menggeleng tidak mengerti. “apakah ka bayu pernah merasakan ada yang kurang dalam hidup?”

“hm.. ya, dari kecil aku selalu merasa bahwa keuanganku selalu kurang...” jawabnya sambil tersenyum.

“manusia sering merasa kurang jika tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain.” Bayu mengangguk setuju. “manusia sering tidak bahagia jika nominal dalam rekening banknya tidak mencapai tujuh digit.” Anggukan bayu makin kuat.

“lalu?”

“manusia kemudian mencari cara untuk mengisi kekosongan itu, dan di situlah delusi pikiran berperan dalam menciptakan kejahatan...” susi berhenti sejenak. “delusi pikirin ini adalah pikiran bahwa manusia adalah makhluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya.”

“maksudnya?”

“para begal motor itu berani menyakiti orang lain, dan merampas harta benda orang lain, karena mereka tidak peduli dengan korbannya, yang terpenting dia dapat memenuhi kekosongan batinnya dalam hal ekonomi. Dia berpikir dirinya dan korban adalah makhluk yang terpisah. Tapi jika dia berpikir bahwa dirinya dan korban adalah saudara, beranikah dia melakukan itu? Apa yang akan dilakukan si begal jika ternyata calon korbannya adalah adiknya? Kekasihnya? Atau ayahnya sendiri?” bayu menggangguk mengerti. “itu adalah akar dari semua kejahatan di dunia ini, pejabat korupsi karena mereka berpikir bahwa dampak korupsi tidak akan mengenai dirinya atau keluarga terdekatnya, manusia memiliki delusi yang berbahaya.”

Susi benar pikir bayu, delusi dan kekosongan batin dapat membuat manusia melakukan apa saja kepada orang lain, bahkan kejahatan yang paling menyeramkan pun dilakukan atas dasar kepentingan itu. Bayu teringat kejadian semalam yang membuatya merinding, gading bahkan sampai muntah menyaksikannya.

Setelah berhasil mengikat Sandi, Santi mulai menusuk-nusuk dada dan perutnya. Darah segar mengalir dari tubuh lelaki itu, tapi dia tidak tampak kesakitan, dia tetap mengerang sambil berusaha melepaskan diri. Bayu tidak habis pikir, bagaimana bisa dia melakukan itu? Melihatnya saja sudah membuat bayu dan gading mual, tapi santi melakukannya seakan dia sedang melukis, setiap tusukan adalah goresan kuas di atas kanvas yang membuatnya makin bergairah. Bayu tahu santi memang pernah gila, tapi segila itukah dia?

“apa yang kau lakukan santi? hentikan!”

“berhenti? Aku sedang mencoba menyelamatkan nyawa kita!”

“apa maksudmu?”

“apa kau tidak lihat? Dia tidak merasakan satu pun tusukanku! Lihat tenaganya ketika menggeliat, tak sedikitpun berkurang. Mereka tidak bisa merasakan sakit!”

“lalu apa hubungannya dengan menyelamatkan nyawa kita?” santi menarik bayu dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayu.

“seingatku, kau hampir mati karena makhluk ini, jika aku tidak membunuh mbo iyem tadi, kau sudah mati digigitnya atau mungkin menjadi salah satu dari mereka!” dia melepaskan baju bayu. “jika kita tidak tahu cara membunuh mereka dengan efektif, cepat atau lambat, kita akan mati! Kau tidak ingin mati kan? Iya kan bayu!?”

Mereka terdiam, Sandi masih terus menggeliat dengan darah yang masih mengalir dari tiap lubang yand dibuat Santi. Santi melakukan semua kengerian itu atas dasar keselamatan mereka, apakah itu dapat dikategorikan sebagai delusi pikiran seperti yang dikatakan susi? Apakah para makhluk gila itu sebenarnya tidak berbeda dari manusia biasa? Mungkin mereka hanya sakit dan butuh obat, mereka hanya tidak sadar seperti orang gila pada umumnya, tapi yang pasti mereka tetaplah manusia, pikiran-pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala bayu.

Atas dasar kemanusiaan, bayu merasa tidak tega melihat santi menyiksa makhluk itu, walau bayu tidak yakin mereka masih bisa disebut manusia. Di sisi lain, bayu melihat makhluk itu sebagai ancaman dari eksistensinya, dirinya bisa mati jika tidak membunuh mereka saat diserang. Apa yang seharusnya kita lakukan dalam keadaan terancam? Ketika keadaannya adalah membunuh atau dibunuh? Apakah konsep bahwa orang lain yang mencoba membunuh kita adalah saudara dapat diterapkan? Sungguh bodoh, tentunya melawan adalah pilihan yang lebih benar.

“jadi diamlah dan perhatikan, aku tidak bisa selalu melindungi kalian, setidaknya kalian tahu apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan mereka.” Santi memperhatikan Sandi yang terus menggeliat walau mulai kehabisan darah, dia berpikir bagaimana membuat makhluk ini mati, santi teringat mbo iyem. Dia segera menancapkan belatinya ke ubun-ubun sandi, kemudian menekannya sekuat mungkin agar belati dapat masuk sepenuhnya. Sandi mengerang makin keras dan akhirnya berhenti, matanya tetap melotot, dan mulutnya masih mengeluarkan liur dan busa, tapi dia berhenti menggeliat, dia benar-benar mati. “kepala.... kau serang kepalanya.”

Bayu memuntahkan air yang sudah melewati tenggorokannya, dia mual membayangkan kejadian semalam. Bayu tidak yakin dia bisa melakukan itu, membunuh mereka ketika keadaan memaksa, itu semua terlalu menakutkan.

“bagus.... air terakhir kita kau muntahkan begitu saja, sekarang bagaimana aku minum?” santi mengagetkan bayu. Dia kini berdiri tepat di belakangnya.

“kau bisa memasak air dari sumur...”

“air sumur kotor... aku tidak mau meminumnya.”

“dalam keadaan seperti ini, pilihan apa yang kau punya?”

Santi membuka laci tempat dimana persediaan mie instan biasa ditaruh. Hanya dua mie soto yang tersisa, di kulkas tersisa lima butir telur, dan empat helai roti tawar. Sisanya hanyalah bahan-bahan pelengkap seperti mentega, susu, gula, kopi, dan beberapa butir bawang putih. Santi berpikir sejenak, dia menggumamkan sesuatu.

“kita harus mencari persediaan makanan.”

Kini gading, bayu, dan santi berkumpul di ruang utama, mayat sandi telah dibuang keluar lewat balkon. Bayu lega, walaupun bau amis darahnya masih kuat tercium, setidaknya mayat itu telah tidak ada.

“mungkin para orang gila itu tidak dapat melukai kita di sini, tapi tanpa makanan dan minuman kita akan mati juga. Yang kita lakukan sekarang adalah menunggu... menunggu pemerintah melakukan sesuatu, selama menunggu kita sangat membutuhkan persediaan makanan, dan itu tidak jatuh dari langit.” Santi berpidato.

“lalu apa idemu?”

“kita keluar dan mencari persediaan makanan, kalian pasti tahu, ada indomart di dekat gerbang komplek, kita bisa mengambil persediaan kita disana.”

“aku tidak mau... aku tidak mau keluar...” Gading merengek.

“apa kau mau mati kelaparan di sini?” Tidak ada yang mau mati, gading takut mati, bayu belum ingin mati, santi tentu saja sang pencetus ide itu tidak berniat mati.   

“tapi di luar sana, kemungkinan untuk mati pun besar...” Bayu berkomentar.

“ya... tapi aku lebih memilih mati memperjuangkan hidup daripada hidup menunggu mati.”

***

Membunuh atau dibunuh, adalah pilihan bayu jika menghadapi para manusia rabies itu karena mereka tidak bisa diajak berbicara, satu - satunya jawaban yang kau dapat dari mereka saat kau mencoba mengajaknya bicara adalah erangan dan teriakan. Tapi tindakan tidak semudah kata-kata yang terucap. Membunuh adalah perkara yang besar bagi bayu yang lemah lembut dan sedikit penakut. Dia orang yang penuh dengan kasih, melihat seorang anak kecil mengemis di jalanan, dia akan merasa kasihan, melihat seorang bapak tua di pinggir jalan mendorong gerobak sampah, dia akan merasa kasihan, melihat seorang yang memiliki kekurangan fisik diejek, dia akan merasa kasihan. Perasaannya akan tersentuh jika melihat semua itu, dia selalu membatin ingin melakukan sesuatu, walaupun dia tidak pernah benar-benar melakukan apapun untuk mereka.

Suatu waktu, saat dia berumur sekitar 9 tahun, bayu sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, merasa terganggu dengan suara anak-anak ayam yang bergerombol mengikuti induknya, bayu segera mengambil parang dan melemparkannya ke gerombolan anak ayam tersebut, satu anak ayam terkapar mati, sementara induk dan anak ayam lainnya berhamburan lari dari halaman rumah bayu. Ada perasaan menyesal ketika melihat anak ayam tersebut menggelepar menyambut ajal, bayu menatap bangkai anak ayam itu, dan hatinya sakit. Untuk menghilangkan rasa sakitnya bayu menguburkan si anak ayam dan berdoa untuknya, sambil terus bergumam bahwa dia menyesal. Seperti halnya ketika tanpa sengaja dia menendang kemaluan temannya ketika mereka bertengkar waktu kelas 5 SD. Bayu tidak ingat apa permasalahannya sehingga mereka berkelahi, reflek bayu menendang benda yang ada di selangkangannya itu, alhasil dia pun menangis sejadi-jadinya, bayu dimarahi kepala sekolah, perasaan sakit itu kembali hadir.

Kini rasa sakit itu kembali muncul, walau perasaan itu bercampur aduk dengan rasa takut, hal itu menjadi lebih sakit. Tangan kanan bayu menggengam erat pemukul basebal yang kini berlumuran darah, tubuhnya bergetar hebat, masih terekam dengan jelas beberapa menit lalu wajah manusia rabies yang kepalanya bayu hantam dengan pemukul basebal itu. Aku tidak bisa melakukan ini... batin bayu. Sementara itu santi dan gading sibuk memasukan berbagai benda ke dalam ransel dan koper yang mereka bawa. Gading mengambil mie instan sebanyak mungkin, makanan kaleng, dan segala jenis benda yang dapat dimakan. Santi mengumpulkan air minum dan segala jenis minuman yang ada. Bayu bertugas menjaga pintu masuk.

“Ada empat manusia rabies mendekat!”

“Tahan mereka! sebentar lagi kita selesai!”

Bayu memasang kuda-kuda, tidak ada pilihan lain, “aku belum ingin mati, maafkan aku” batin bayu. Sambil menutup mata, dia mengayunkan sekuat mungkin pemukul basebal itu ke arah manusia rabies terdepan. Beruntung, serangan bayu tepat sasaran dan berhasil menghancurkan rahang manusia rabies itu, dia terlempar beberapa meter dan mendarat di selokan pinggir jalan. Bayu tidak sempat menyerang yang kedua, jadi dia menghindar. Dia menendang perut manusia rabies yang ketiga untuk membuat jarak lalu menghantam batok kepalanya. Walau mereka bodoh, kekuatan dan kecepatan mereka sungguh luar biasa, dua manusia rabies yang tersisa dapat dengan mudah menjatuhkan bayu, pemukul basebal yang menjadi senjatanya terlempar jauh, kini dia ditindih dua makhluk yang lapar akan dagingnya, tenaga bayu telah habis. Kemudian, sebuah tendangan melemparkan satu manusia rabies dari atas tubuh bayu, dan satu lagi terkapar dengan golok menancap di kepalanya. Darah mengucur ke badan bayu.

“ayo bangun!” santi menarik tangannya. “kau digigit?”

“tidak!” jawab bayu tegas. Santi memeriksa badan bayu, dan tidak mendapati satu pun luka gigitan.

“bagus..”

“memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku digigit?”

“aku tidak punya pilihan lain...” santi tidak meneruskan kata-katanya, bayu termenung memikirkan kemungkinan kelanjutan kata-kata santi, dan tersentak dengan kesimpulannya sendiri. “kau pun harus melakukan hal yang sama jika itu terjadi padaku.” Santi menebas kepala manusia rabies yang tadi ditendangnya.

Sejauh ini mereka berhasil tidak menarik perhatian banyak manusia rabies, walau gading dan bayu harus terengah-engah mengikuti instruksi santi melompati pagar berbagai rumah. Keduanya mulai berpikir bahwa tubuh fit sangat diperlukan dalam situasi ini. Gading yang seorang desaigner grafis, menghabiskan hampir sembilan jam duduk di depan komputer, tidak pernah sedikitpun dia berolahraga. Bayu pun tak berbeda, sudah beberapa bulan ini dia ikut pelatihan dari pagi sampai sore, pelatihan cukup menguras otak dan membuatnya letih secara mental dan fisik.

“santi, aku tidak kuat lagi...” gading yang membawa dua ransel menjatuhkan dirinya di atas aspal. Keringat bercucuran, nafasnya memburu tak beraturan. Sementara itu di belakang mereka nampak lima manusia rabies mengejar.

“santi...” bayu menunjuk ke arah depan. Rupanya ada empat manusia rabies lain di depan yang juga sadar akan keberadaan mereka. Santi melihat sekeliling, dia melihat pagar rumah yang terbuat dari tembok setinggi dua meter di samping kanan mereka. sebuah sungai selebar satu meter memisahkan jalan komplek dan pagar tersebut. Santi yakin dia dapat melompati sungai dan memanjat pagar tersebut dengan mudah, tapi tidak dengan bayu dan gading, terutama sambil membawa ransel yang sangat berat.

Santi melirik ke kiri, sebuah lapangan basket dikelilingi pagar kawat yang sangat tinggi, tapi ada sebuah celah cukup untuk mereka masuk, namun itu bukan ide bagus karena ada sektiar tujuh manusia rabies di lapangan tersebut, mereka terjebak.

“sepertinya kita harus menghajar mereka..”

“tenagaku sudah habis...”

“aku tidak kuat lagi...”

Santi menghunus golok, ransel dan koper dia letakkan di jalan, kedua barang itu hanya akan mengganggu pergerakannya. Bayu tidak lagi mampu memegang erat pemukul basebal, telapak tangannya terasa sakit, paling banyak dia hanya bisa melakukan dua atau tiga serangan lagi. Gading yang memang tidak memegang senjata apapun memegang erat kedua ranselnya, setidaknya ransel itu dapat dia jadikan tameng untuk pertahanan diri.

Mereka semakin dekat, jantung bayu dan gading berdetak semakin cepat, keringat membanjiri tubuh mereka. bayangan kematian menghantui keduanya dan mengganggu konsentrasi mereka, bayu bahkan tidak mencium bau pesing dari celana gading yang sudah dari tadi terkencing-kencing ketakutan.

“apa yang ada setelah kematian?” santi tiba-tiba bertanya.

“apa?” bayu terkejut.

“apakah surga dan neraka itu benar-benar ada?”

“apa yang kau bicarakan dalam keadaan seperti ini?”

“hanya memastikan... mungkin kita tidak akan selamat.”

“sial...” bayu mendengus. Pertanyaan santi hanya membuat pikirannya makin kacau, dia tidak ingin hidupnya berakhir di sini, oh tuhan... tolong berikan aku kekuatan!

CRASS... sebuah belati yang dilempar santi menancap di wajah salah satu manusia rabies dan membuatnya ambruk. Santi sangat terampil menggunakan senjata, gerakannya dalam mengayunkan golok begitu indah, terlihat seperti seorang wanita yang sedang menari, tapi sangat mematikan, dua manusia rabies lainnya rubuh dengan leher hampir putus. Bayu segera bergabung dan menghantam batok kepala manusia rabies terakhir. Telapak tangannya berdenyut makin keras, tangannya sudah mencapai batas.

Kini tinggal lima manusia rabies yang tersisa, Santi mungkin bisa menghabisi tiga, dan bayu masih bisa menghajar dua. Santi menerjang dua manusia rabies terdepan, ayunan goloknya menebas leher satu manusia rabies, tapi tebasannya kurang dalam dan tidak cukup untuk membunuhnya, manusia rabies tersebut berhasil mendorong santi hingga ia terperosok ke sungai di pinggir jalan. Bayu segera menghantam salah satunya dari belakang, menghancurkan batok kepalanya dan gading menusukan belati yang dilenpar santi tadi ke leher manusia rabies yang satunya. Namun kini mereka terpojok, tiga manusia rabies mengurung bayu, Gading dan santi yang masih berada di sungai.

“Santi ayo bangun!” Santi mencoba bangkit tapi dia terjatuh kembali.

“Kakiku terkilir!” Matilah kita, pekik bayu. Dia tidak bisa menghadapi tiga sekaligus, sementara itu tangannya sudah sangat terasa sakit. dia melihat mata gading, keputusasaan juga terlihat di matanya, wajahnya seakan-akan berkata “kita akan benar-benar mati!”

Dari kejauhan, deru mesin mobil terdengar nyaring mendatangi mereka, sebuah mobil kijang berwarna silver melaju kencang lurus ke arah gading dan bayu sambil membunyikan klakson senyaring-nyaringnya. Bayu segera menarik gading untuk melompat ke sungai, mobil tersebut menabrak ketiga manusia rabies yang mengurung mereka, dan menyeretnya sampai mobil tersebut menabrak tiang listrik. Dentuman terdengar membahana di sekitar komplek, suara klakson mobil tersebut terus berbunyi tanpa henti. Tak selang beberapa saat kemudian seorang laki-laki paruh baya berbadan tegap keluar dari mobil tersebut, sambil membawa sebuah ransel di punggungnya. Dia melambaikan tangannya.

Minggu, 24 Mei 2015

Capitalism 101: Lahirnya Golongan Konsumen



Seperti yang kita bahas dalam tulisan sebelumnya, kapitalisme digerakan oleh tiga golongan, yaitu golongan kapitalis (pemilik modal), golongan buruh, dan golongan konsumen. Sekarang, mari kita bahas lebih lanjut golongan yang paling terakhir muncul, sekaligus memiliki peran yang paling penting bagi keberlangsungan kapitalisme, yaitu golongan konsumen.

Kita pasti pernah masuk ke sebuah mall, Pondok Indah misalnya, berjalan diantara pameran barang-barang jualan yang tertata rapi, indah dan menggoda. Stan makanan dengan gambar-gambar hidangan menggiurkan, lalu etalase kaca toko yang dipenuhi pakaian indah seakan menggoda kita. Apa yang kita rasakan? Kita sangat ingin membelinya. Lalu kita masuk ke sebuah toko, melihat sebuah sepatu cantik, model terbaru, terbuat dari kulit asli. Kita membayangkan gagahnya diri kita memakai sepatu itu, kawan-kawan kita memuji keindahannya, dan sepatu itu memberikan kesan bahwa kita adalah orang yang sangat penting, orang-orang ingin menjadi seperti kita dengan memakai sepatu itu, selayaknya kita ingin menjadi seperti para selebritis yang menjadi model iklan sepatu tersebut. Kita pun membelinya, tak perlu repot, kartu kredit mempermudah transaksi. Dengan sekali gesek, sepatu itu kita bawa pulang, bersama beberapa kantong pakaian, kosmetik, dan gadget terbaru. Sepatu dan pakaian kita taruh di sebuah ruangan khusus, bukan lemari kayu yang biasa orang punya, tapi ruangan khusus, yang nampak mulai penuh, sepatu dan pakaian baru itu hampir tidak memiliki tempat. lalu gadget terbaru kita mulai mainkan, dan meninggalkan gadget lama tergeletak di meja, walau sebenarnya yang lama belumlah rusak, dia masih berfungsi dengan baik, hanya saja yang baru lebih ngetren, dan memilikinya memberikan perasaan bangga luar biasa.

Begitulah contoh kecil perilaku golongan konsumen di era kapitalisme. Manusia dulu pun sudah melakukan kegiatan konsumsi, hanya saja tidak segila dan seaneh sekarang. Pada zaman dahulu, manusia mengkonsumsi barang seadanya, lebih mementingkan kegunaan. Ketika mereka butuh, mereka membelinya (jika tidak bisa didapat sendiri dengan membuat). Kebiasaan ini menjadi masalah ketika teknologi produksi barang menjadi lebih canggih, masalahnya adalah ada lebih banyak barang yang diproduksi daripada yang dibeli konsumen. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi para pemilik modal, dan juga buruh mereka. Nah, untuk merubah kebiasaan "membeli seperlunya" maka kemewahan harus dibuat menjadi sebuah kebutuhan.  Di Amerika, hal perubahan ini dilakukan lewat tiga cara:

Pertama, Marketing dan advertising. Marketing adalah temuan baru manusia, dia lahir ketika pedagang mulai sadar bahwa banyak nilai-nilai tertentu dapat dimasukan ke pada komoditas selain daripada kegunaannya yang dapat mendongkrak penjualan. Salah satunya adalah nilai borjuis, dengan display yang menarik, komoditas seakan memberikan kesan borjuisme, masyarakat kalangan atas, sehingga jika kita membelinya, kita akan termasuk ke dalam kalangan tersebut. Lalu muncul departemen store, atau mall. Oh.. mall adalah tempat yang luar biasa, dia adalah tokoh masyarakat yang selalu didengar petuahnya, tidak ada kata tidak untuknya, ketika dia mendikte manusia bagaimana cara berpakaian, mempercantik rumah, dan menghabiskan waktu luang. Mall adalah pusat kehidupan manusia perkotaan zaman sekarang. Hidup seakan tidak lengkap tanpa pernah mengunjunginya. Itulah kenapa mall selalu penuh di hari-hari libur. Manusia zaman sekarang mendefinisikan mengunjungi mall (baca: melakukan kegiatan konsumstif) sebagai bentuk memaknai hidup.

Advertising atau iklan adalah temuan revolusioner lainnya. Tujuan iklan adalah membentuk nafsu konsumen secara agresif dan menciptakan nilai dalam komoditas dimana dengan membelinya konsumen menjadi orang yang lebih baik. Di zaman sekarang setiap sendi hidup kita terasa penuh oleh iklan, cara pandang kita dibentuk oleh iklan, dan begitulah iklan berhasil membentuk manusia menjadi manusia konsumtif.

Kedua, transformasi institusi-institusi yang ada di masyarakat. Berbagai institusi seperti pemerintahan, sampai institusi pendidikan turut berperan serta dalam suburnya budaya konsumerisme. Pemerintah berperan sebagai  pendukung dengan segala kebijakan dan kemudahan yang diberikan pada para pengusaha, sementara universitas membantu meningkatkan ilmu penyubur konsumerisme, marketing dan iklan.

ketiga, transformasi dalam nilai intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dalam ilmu pengetahuan khususnya psikologi merupakan bagian dari perubahan ini, menurut Robbins, para pelaku iklan memanfaatkan perubahan psikologis manusia desa menjadi manusia urban dengan tidak menekankan pada produk itu sendiri, atau fungsi dasarnya, melainkan efek psikologis, fisik, sosial, dan kesejahteraan yang pembeli dapat dari barang tersebut.

Oleh karena itu, pakaian, deodoran, dan parfume, misalnya, akan diiklankan sebagai alat penting dalam mendapatkan cinta. alkohol dan rokok, sebagai benda penting dalam membangun persahabatan. Mobil dan asuransi sebagai bukti tanggung jawab seorang laki-laki pada keluarga.  Akhirnya, komoditas menjadi alat pemuasan diri dan ekspresi diri.







The Last of Us: Book of Death (Part 3)


Semua stasiun televisi memberitakan kekacauan di beberapa tempat di jakarta, lebak bulus salah satunya, kekacauan yang disebabkan oleh ratusan orang mengamuk tanpa sebab dan mulai melukai warga sekitarnya dengan cara menggigit mereka! jangan-jangan luka di kaki mbo iyem adalah gigitan warga yang mengamuk itu, pikir Bayu.

Tampak di layar televisi, seorang reporter laki-laki melaporkan langsung dari tempat kejadian, tiba-tiba seorang warga yang mengamuk berlari menubruknya dari belakang, dan menggigit pundak si reporter, darah bercucuran, dan semua itu terekam oleh kamera, live disaksikan seluruh penduduk yang menonton acara tersebut. Pihak stasiun tv segera memutus sambungan kamera tersebut.

“gilaaaa.... apa yang  baru saja terjadi??” Gading panik.

“itu yang aku maksud, kita tidak boleh ada yang keluar, saat aku joging ke lebak bulus, aku bertemu dengan beberapa orang gila itu, tapi aku berhasil kabur setelah aku menghajarnya. Tak kusangka ini terjadi hampir di seluruh kota.”

“jadi... darah di badanmu itu...” bayu tidak dapat meneruskan kata-katanya.

“ini milik mereka,... mbo iyem pasti diserang oleh mereka, dan entah bagaimana dia berubah menjadi seperti mereka.”

“kegilaan mereka menular?”

“sepertinya...” angguk Santi.

“Lalu kita harus gimana?”  Gading berteriak dengan panik.

***
Bayu terbangun, mata kuning mbo iyem yang mencoba menyerangnya tadi terbayang di mimpi. Dia tertidur di sofa sejak sore karena lelah memblokir semua akses masuk ke dalam rumah. Kini sebatang lilin di atas meja menerangi ruangan utama rumah itu. Semua furnitur besar di rumah ini seperti lemari telah dipindahkan untuk menghalangi pintu agar tidak bisa didobrak dari luar. Sejak siang, para manusia rabies, begitu Gading menyebutnya, telah berkeliaran di perumahan ini. Mereka selalu mencoba mendobrak masuk ke rumah, itu sebabnya tidak ada lampu yang menyala, hanya lilin menerangi ruangan besar itu.

Mayat mbo iyem masih tergeletak di tempat yang sama, tergolek dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan semacam busa berwarna putih, ketika mata bayu tak sengaja melihatnya, rasa mual menyerang, pening di kepalanya masih belum hilang, dan jawaban operator yang sama masih didengarnya ketika dia mencoba menelpon Winda.

Entah bagaimana perasaan gading tapi yang jelas nafsu makannya tidak berkurang sedikitpun. Kini dia telah menghabiskan piring mie instan keduanya, saat dia senang seperti saat berhasil mendapatkan pacar, dia merayakannya dengan banyak makan, saat dia sedih ketika sering ditolak perempuan, dia pun menghibur hatinya dengan banyak makan, dalam kondisi ketakutan seperti sekarang pun dia tetap banyak makan. Bayu kembali melirik mayat mbo iyem, dia yakin sekali, tidak akan ada makanan yang bisa ditelannya saat ini.

“kita harus membuang mayat itu,” santi datang membawa sepiring mie instan dari dapur. “baunya mulai menusuk hidung.” Dia menyuapkan sesendok mie. Gading masih sibuk dengan mienya, sementara bayu hanya merubah posisi duduknya di sofa.

“oh tuhan... tidak adakah cara lain, aku tidak berani menyentuh makhluk itu.” Rengek gading. Bayu setuju dengan gading, tapi mayat itu harus dienyahkan jika bayu ingin mualnya hilang.

“biar kubantu...” bayu berinisiatif. Dia segera memegang kedua kaki mbo iyem, sementera santi memegang kedua ketiaknya. Bayu menahan nafas tidak ingin sedikitpun mencium baunya, ketika dia mulai kehabisan udara, dia memaksa bernafas lewat mulut, tidak nyaman, tapi lebih baik daripada menghirup udara yang berbau mayat mbo iyem. Kini mereka berdua menaiki tangga menuju balkon.

“apakah mayat biasa mulai berbau setelah enam jam meninggal?”

“kurasa tidak, ada yang aneh dengan mayat ini. Dia membusuk lebih cepat.”

“apakah karena penyakit yang membuat mereka menjadi gila?”

“mungkin..” santi hanya mengangkat kedua bahunya. Dia tidak menunjukan sedikitpun rasa jijik, setelah yang dilakukannya pada mbo iyem, atau makhluk yang dulunya mbo iyem ini, dia tetap terlihat biasa saja. Kini mereka berada di balkon. Tempat tersebut merupakan favorit bayu di sore hari, karena dengan duduk di balkon rumah ini, kau dapat melihat matahari ketika ia terbenam, sungguh indah. Tepat dibawahnya adalah jalanan komplek, santi memperhatikan keadaan sekitar memastikan tidak ada makhluk gila itu di jalanan. Hanya ada satu, dia sedang menabrak-nabrakan dirinya ke tembok pagar rumah ini, mereka sepertinya menjadi bodoh dan tidak berakal, mereka bahkan tidak tahu cara membuka pintu.

BUKKK.... mayat mbo iyem menabrak aspal. Si manusia gila dekat pagar mendengar suara itu, dia berlari mendekati mayat mbo iyem, mengendus-endusnya seperti seekor kucing yang menemukan makanan dan memastikan bahwa itu layak dimakan, kemudian kembali menabrak-nabrakan diri ke tembok yang tadi, mayat mbo iyem tidak layak dia makan.

“sungguh bodoh...” gumam santi.

“apa dia bisa melihat kita?”

“kurasa tidak. Kurasa kita bisa menyalakan lampu sekarang.” Santi berbalik menuju kamarnya. bayu kembali ke ruang tengah, gading terkapar di sofa memegangi perut. Sepertinya roti bakar dapat membuat perut bayu lebih baik. Dia segera menuju dapur, dan kembali duduk di sofa dengan dua potong roti bakar hangat.

“semua ini terasa seperti mimpi...” gading benar, tapi bayu tidak pernah memimpikan hal yang sangat buruk seperti ini. “di film-film... ini adalah bencana zombie, kau tahu, mereka adalah mayat hidup yang bangkit kembali dengan rasa lapar akan daging manusia.” Bayu teringat film zombie yang ditonton terkhir kali beberapa bulan yang lalu dengan winda di bintaro plaza, ah... bagaimana keadaan winda saat ini, bayu segera mengambil hape mencoba menelponnya, tapi lagi-lagi operator yang menjawab.

“alat komunikasi lumpuh, listrik padam, dan akhirnya peradaban musnah. Itu yang terjadi berikutnya.”

“makhluk itu terlihat sangat bodoh, aku tidak yakin mereka mampu mengalahkan manusia,”

“mungkin, tapi sejak sore semua stasiun tv mati, adakah polisi yang datang menyisir tempat ini mencari korban selamat? Mereka mungkin sibuk menyelamatkan diri.”

“aku yakin pemerintah sedang melakukan sesuatu. Mereka pasti punya rencana..” ada keraguan di kalimatnya sendiri. Tidak, itu adalah harapannya, bahwa semua akan baik-baik saja. Kini gading dan bayu sama-sama terdiam, mereka berdua tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Dunia bayu akan indah jika semua ini tidak terjadi, karir, percintaan, dan kehidupan sosialnya begitu sempurna jika saja ini tidak terjadi, jika oh.. jika...., apakah semua itu dapat kembali seperti semula ketika semua ini berakhir? Kapan ini akan berakhir?

Gading bukanlah seorang pejuang, dia jenis orang yang terbiasa melarikan diri dari masalah, dan juga orang yang pesimis. Dalam keadaan seperti ini, pikirannya hanya dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi, dan solusi terbaik yang ada di otaknya ini adalah bunuh diri, dia tidak ingin mati pelan-pelan dicabik-cabik oleh makhluk itu seperti pak septo tetangga sebelah tadi siang.    

“hey... jika ini adalah hari terakhirmu hidup, apa yang ingin kau lakukan?”

“apa yang kau bicarakan?” bayu tidak nyaman dengan pertanyaan gading. “kita tidak akan mati besok!”

“Kau benar, mungkin lusa kita akan mati.”

“Gading... Cukup!”

“setiap manusia pasti akan mati..”

“ya.. tapi aku tidak akan mati oleh makhluk itu, aku sudah memutuskan untuk mati di pelukan winda!”

“aku yakin sekali pernah mendengar bahwa kapan kita mati sudah diputuskan oleh tuhan jauh hari sebelum kita bahkan lahir...” bayu diam tak dapat menjawab. “jika kau dapat selamat sampai bencana ini berakhir, apa kau yakin winda selamat? Dari tadi kau tidak dapat menghubunginya kan?” bayu segera beranjak dan menarik baju gading dengan kasar.

“bajingan... berani sekali kau bilang begitu?!”

“aku hanya bilang bahwa kematian tidak ada yang tahu kapan akan datang” wajah gading datar penuh keputusasaan. “jika ini hari terakhirmu, apa yang ingin kau lakukan?” bayu melepas baju gading, dia terduduk, air mata membasahi pipinya.

“aku hanya ingin memeluk winda...” bayu menyeka air matanya. “dengar gading, aku tahu kita sama-sama putus asa, tapi aku yakin jika kita berjuang, kita dapat mengatasi bencana ini.” Itu adalah kata-kata yang terlahir dari pengalaman bayu yang berjuang untuk sekolah dari kecil. Pengalaman itu telah memberikan bukti bagaimana kerja kerasnya membuahkan hasil. Walau harus bayu akui, tidak ada masalah di pengalamannya sebesar masalah yang mereka hadapi sekarang.

“aku sangat takut bayu... tapi ini membuatku berpikir, apa yang kutakutkan sebenarnya? Para makhluk rabies itu? Atau kenyataan bahwa aku bisa mati dalam waktu dekat ini? Dan kusadari bahwa aku takut mati!” bayu pun takut, dia takut tidak bisa melihat dan menyentuh winda lagi.

“hey... kalian berdua bisa tenang tidak?” Santi datang sambil menyeruput kopi, sepasang headset menggantung di telinganya, dia kini mengenakan piyama berwarna biru muda dengan corak tokoh kartun yang bayu tidak kenal. Bau shampoo tercium dari rambutnya yang masih basah terurai, sepertinya dia baru saja mandi. Wajahnya tenang, tidak seperti santi di siang hari yang gemetar melihat mbo iyem bangkit dengan sebilah kaca menancap di punggungnya.

“kau? Bagaimana kau bisa setenang itu dalam situasi seperti ini?” bayu heran.

“tenanglah... kita aman di dalam rumah ini, asalkan kalian tidak membuat kegaduhan seperti barusan. Asal kalian tahu, mereka sangat tertarik dengan suara.” Jawabnya tenang.

 “apa kau yakin?” gading tidak percaya. Terdengar kegaduhan dari arah gerbang depan, seseorang memanjat pagar, dan menggedor-gedor pintu depan. 

“tolong.... tolong... buka pintunya...”

ketiganya kini saling menatap. Jika dibiarkan, dia akan menarik perhatian makhluk itu. Santi memiliki ide, dia segera menuju jendela, dari sela-sela besi tralis jendela, dia melihat seorang laki-laki terus saja menggedor pintu. Beberapa manusia rabies mencoba mendobrak pagar tertarik dengan si laki-laki. Pagar itu terlalu kuat untuk mereka robohkan.

“hey... Sssst...” santi memanggil. Si lelaki menoleh.

“tolonglah mba.. tolong biarkan aku masuk.”

“oke... tapi kau jangan berisik. Sekarang kau masuklah ke garasi!” santi dibantu bayu, memindahkan furnitur yang menghalangi pintu penghubung rumah dan garasi. Kini mereka semua berada di ruang tengah. Rupanya si lelaki melihat lampu menyala di kamar santi, dan mengira bahwa di rumah itu ada manusia. Santi segera menyadari kesalahannya, lampu mungkin tidak menarik para manusia rabies, tapi dapat menarik perhatian manusia lain yang selamat. Dia segera mematikannya, para manusia yang datang dapat menarik perhatian manusia rabies, santi tidak mau itu terjadi.

“aku sungguh berterima kasih...” si lelaki yang mengaku bernama Sandi itu mengenakan kemeja lengan panjang yang sudah kotor, bahkan lengan kirinya berlumuran darah, celana hitam yang bayu yakin berharga mahal yang dia kenakan pun terlihat sobek di lutut dan ujungnya. Sepertinya dia berjuang melawan para manusia rabies sampai seperti itu.

“ini... obati lukamu dengan ini,” bayu memberikan sebotol antiseptik dan perban. Sandi tidak berhenti bercerita bagaimana dia terjebak di mobil ketika semua itu terjadi. dia hendak pergi ke kantornya di sudirman, tapi mobilnya terjebak macet di rempoa, saat itulah dia melihat segerombolan orang menyerbu para pengemudi mobil dan motor dari arah pasar jumat. Saat siang dia berlindung dengan beberapa orang lainnya di alfamart. Namun akhirnya dia harus melarikan diri karena orang-orang gila itu dapat memecahkan kaca pintu alfmart. Menurut sandi, orang-orang gila itu memiliki kekuatan yang tidak biasa. Bayu setuju, dia sendiri pernah beradu tenaga dengan mbo iyem.

“apa yang menyebabkan luka di lenganmu?” santi menyelidik.

“oh ini... sepertinya karena aku terjatuh.” Sandi tersenyum. Santi tidak tenang dengan luka itu. Guratan kecemasan nampak di wajahnya, guratan yang bayu tidak lihat sebelum lelaki ini muncul. Setelah sekitar sepuluh menit, sandi tertidur di sofa, gading dan bayu terduduk di sofa di depannya. Santi segera menuju gudang dan kembali dengan tali. Dia mengikat sandi yang sepertinya tertidur sangat pulas, tidak terganggu dengan santi yang sedang mengikat tubuhnya. Sementara itu, bayu dan gading hanya melongo menyaksikannya.

“kalian diam.. jangan berkomentar.” Santi seakan tahu apa yang ada di pikiran mereka berdua. “kalian ingat apa yang terjadi dengan mbo iyem?” keduanya mengangguk. “aku yakin orang ini telah digigit, dan tinggal menunggu waktu dia berubah menjadi seperti manusia rabies itu.” Santi menyelesaikan simpul terakhir di ikatannya, kini si lelaki telah terikat sepenuhnya, tangan dan kakinya tidak akan dapat bergerak bebas. “aku mengikatnya dengan tujuan khusus.”

“tujuan apa?” bayu tak tahan untuk berkomentar. Si lelaki mulai mengerang, dia membuka matanya yang kini telah berubah menjadi kuning. Mulutnya mengeluarkan liur seperti anjing. Dia berontak mencoba melepaskan diri. Ketika dia berhasil duduk, santi menendangnya hingga jatuh ke lantai. Dia menginjak perutnya, membuat sandi makin mengerang. Santi menduduki dadanya, dan menempelkan lakban hitam di mulutnya.

“begini lebih baik” santi menghunus sebuah belati. Bayu dan gading berpandangan ngeri.