Minggu, 24 Mei 2015

Capitalism 101: Lahirnya Golongan Konsumen



Seperti yang kita bahas dalam tulisan sebelumnya, kapitalisme digerakan oleh tiga golongan, yaitu golongan kapitalis (pemilik modal), golongan buruh, dan golongan konsumen. Sekarang, mari kita bahas lebih lanjut golongan yang paling terakhir muncul, sekaligus memiliki peran yang paling penting bagi keberlangsungan kapitalisme, yaitu golongan konsumen.

Kita pasti pernah masuk ke sebuah mall, Pondok Indah misalnya, berjalan diantara pameran barang-barang jualan yang tertata rapi, indah dan menggoda. Stan makanan dengan gambar-gambar hidangan menggiurkan, lalu etalase kaca toko yang dipenuhi pakaian indah seakan menggoda kita. Apa yang kita rasakan? Kita sangat ingin membelinya. Lalu kita masuk ke sebuah toko, melihat sebuah sepatu cantik, model terbaru, terbuat dari kulit asli. Kita membayangkan gagahnya diri kita memakai sepatu itu, kawan-kawan kita memuji keindahannya, dan sepatu itu memberikan kesan bahwa kita adalah orang yang sangat penting, orang-orang ingin menjadi seperti kita dengan memakai sepatu itu, selayaknya kita ingin menjadi seperti para selebritis yang menjadi model iklan sepatu tersebut. Kita pun membelinya, tak perlu repot, kartu kredit mempermudah transaksi. Dengan sekali gesek, sepatu itu kita bawa pulang, bersama beberapa kantong pakaian, kosmetik, dan gadget terbaru. Sepatu dan pakaian kita taruh di sebuah ruangan khusus, bukan lemari kayu yang biasa orang punya, tapi ruangan khusus, yang nampak mulai penuh, sepatu dan pakaian baru itu hampir tidak memiliki tempat. lalu gadget terbaru kita mulai mainkan, dan meninggalkan gadget lama tergeletak di meja, walau sebenarnya yang lama belumlah rusak, dia masih berfungsi dengan baik, hanya saja yang baru lebih ngetren, dan memilikinya memberikan perasaan bangga luar biasa.

Begitulah contoh kecil perilaku golongan konsumen di era kapitalisme. Manusia dulu pun sudah melakukan kegiatan konsumsi, hanya saja tidak segila dan seaneh sekarang. Pada zaman dahulu, manusia mengkonsumsi barang seadanya, lebih mementingkan kegunaan. Ketika mereka butuh, mereka membelinya (jika tidak bisa didapat sendiri dengan membuat). Kebiasaan ini menjadi masalah ketika teknologi produksi barang menjadi lebih canggih, masalahnya adalah ada lebih banyak barang yang diproduksi daripada yang dibeli konsumen. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi para pemilik modal, dan juga buruh mereka. Nah, untuk merubah kebiasaan "membeli seperlunya" maka kemewahan harus dibuat menjadi sebuah kebutuhan.  Di Amerika, hal perubahan ini dilakukan lewat tiga cara:

Pertama, Marketing dan advertising. Marketing adalah temuan baru manusia, dia lahir ketika pedagang mulai sadar bahwa banyak nilai-nilai tertentu dapat dimasukan ke pada komoditas selain daripada kegunaannya yang dapat mendongkrak penjualan. Salah satunya adalah nilai borjuis, dengan display yang menarik, komoditas seakan memberikan kesan borjuisme, masyarakat kalangan atas, sehingga jika kita membelinya, kita akan termasuk ke dalam kalangan tersebut. Lalu muncul departemen store, atau mall. Oh.. mall adalah tempat yang luar biasa, dia adalah tokoh masyarakat yang selalu didengar petuahnya, tidak ada kata tidak untuknya, ketika dia mendikte manusia bagaimana cara berpakaian, mempercantik rumah, dan menghabiskan waktu luang. Mall adalah pusat kehidupan manusia perkotaan zaman sekarang. Hidup seakan tidak lengkap tanpa pernah mengunjunginya. Itulah kenapa mall selalu penuh di hari-hari libur. Manusia zaman sekarang mendefinisikan mengunjungi mall (baca: melakukan kegiatan konsumstif) sebagai bentuk memaknai hidup.

Advertising atau iklan adalah temuan revolusioner lainnya. Tujuan iklan adalah membentuk nafsu konsumen secara agresif dan menciptakan nilai dalam komoditas dimana dengan membelinya konsumen menjadi orang yang lebih baik. Di zaman sekarang setiap sendi hidup kita terasa penuh oleh iklan, cara pandang kita dibentuk oleh iklan, dan begitulah iklan berhasil membentuk manusia menjadi manusia konsumtif.

Kedua, transformasi institusi-institusi yang ada di masyarakat. Berbagai institusi seperti pemerintahan, sampai institusi pendidikan turut berperan serta dalam suburnya budaya konsumerisme. Pemerintah berperan sebagai  pendukung dengan segala kebijakan dan kemudahan yang diberikan pada para pengusaha, sementara universitas membantu meningkatkan ilmu penyubur konsumerisme, marketing dan iklan.

ketiga, transformasi dalam nilai intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dalam ilmu pengetahuan khususnya psikologi merupakan bagian dari perubahan ini, menurut Robbins, para pelaku iklan memanfaatkan perubahan psikologis manusia desa menjadi manusia urban dengan tidak menekankan pada produk itu sendiri, atau fungsi dasarnya, melainkan efek psikologis, fisik, sosial, dan kesejahteraan yang pembeli dapat dari barang tersebut.

Oleh karena itu, pakaian, deodoran, dan parfume, misalnya, akan diiklankan sebagai alat penting dalam mendapatkan cinta. alkohol dan rokok, sebagai benda penting dalam membangun persahabatan. Mobil dan asuransi sebagai bukti tanggung jawab seorang laki-laki pada keluarga.  Akhirnya, komoditas menjadi alat pemuasan diri dan ekspresi diri.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar