Selasa, 12 Mei 2015

The Last of Us: Book of Death (part 1)


Ada dua hal yang menjadi pertanyaan orang kepada seseorang yang telah lulus kuliah, pertama, kerja dimana sekarang? Sebagian besar orang terutama yang berasal dari kampung akan selalu merasa bahwa lulusan universitas di kota besar  pasti akan mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji yang cukup besar. Mereka tidak tahu bahwa ada ribuan sarjana tiap tahunnya yang menganggur dan berkompetisi mencari pekerjaan. Mencari pekerjaan? Bukankah seharusnya para sarjana itu menciptakan lapangan kerja? Setidaknya itu yang sering dikatakan oleh para ahli di acara talkshow tentang bisnis yang ditayangkan jam 9 malam. Dan realitanya dibutuhkan dari sekedar selembar ijazah untuk mendapatkan pekerjaan di zaman ini.

Budi anak kepala desa contohnya, dia satu fakultas, satu jurusan, bahkan satu kelas dengan Bayu. Mereka bahkan indekost di tempat yang sama, tapi dengan porsi patungan yang berbeda. Orang tua budi adalah orang terkaya di kampung, sementara, orang tua bayu hanya seroang buruh tani. Budi bukan tipe orang yang senang belajar, bayu sangat tahu itu karena mereka telah berteman sejak SD. Setiap upacara bendera di hari senin, Budi adalah anak pertama yang melompat pagar di sekolah yang diikuti anak-anak lainnya, dan itu sudah dilakukannya sejak SMP. Pacaran, bolos, nongkrong adalah hobinya, sungguh berbeda dengan Bayu yang menghabiskan waktu luang di sekolah dengan membaca di perpustakaan, sepulang sekolah dia sibuk membantu ayah di kebun atau menggembala domba, dan malam harinya dia mengerjakan PR. Dunia Budi dan dunia Bayu seakan berbeda dan tidak pernah bertemu, hanya pada satu waktu yang selalu mempertemukan mereka, ketika Budi mencontek setiap PR-Bayu pagi-pagi sewaktu SMA. Harus diakui, Budi sangat rajin melakukan itu.

Rasanya bisa ditebak bagaimana kelakuan Budi saat kuliah, jika tanpa bantuan Bayu dia hampir tidak bisa menyelesaikan tugas akhirnya. Tapi sekarang, dia kini bekerja di departemen Pertanian di desa, dan katanya dia sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebuah titel yang banyak didambakan banyak orang karena dengan menjadi PNS hidup kita terjamin sampai tua, dan yang lebih penting lagi, kata orang kerjanya tidak susah. Kau bisa datang telat, dan pulang lebih awal. Berbincang sepuasnya di kantor, dan terkadang kita dapat uang tambahan dari proyek-proyek tertentu. Untuk menjadi PNS tentu tidak mudah, ada serangkaian tes yang harus dilewati. Tapi bisa Bayu pastikan, Budi tidak lulus tes itu jikapun dia ikut tes.  Sudah bukan rahasia kalau pamannya yang bekerja sebagai anggota DPRD membantu kelulusannya itu.

Lain halnya dengan Gading, tetangga kosan Bayu saat ini, dia adalah seorang desainer grafis yang sebenarnya tidak memiliki titel sarjana. Bukan karena dia tidak pernah kuliah, tapi dia tidak pernah menyelesaikan kuliahnya. Mungkin bagi kebanyakan orang, lembar ijazah sangatlah penting, bahkan jika kita tidak memilikinya, serasa dunia ini telah berakhir. Tapi tidak bagi gading, dengan skill yang memang luar biasa, tanpa ijazah sekalipun dia dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Kenyataannya, di beberapa jenis pekerjaan tertentu, terkadang ijazah tidaklah diperhitungkan. Ketika membicarakan masalah kesuksesan karir, gading selalu berkata bahwa banyak orang-orang besar yang tidak pernah selesai kuliah atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali. Sebutlah Bill gates, steve jobs, atau Mark Zuckenberg, siapa yang tidak mengenal mereka? pemilik perusahaan yang luar biasa besar, dan mereka tidak pernah lulus kuliah. Kau tahu Susi sang menteri kelautan di kabinet Jokowi? Dia bahkan tidak pernah lulus sma. Begitulah kata gading yang kini bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan milik pamannya. Bayu pikir itu hanya alasan saja.

Bayu berbeda dengan Budi karena dia terbiasa berjuang mendapatkan yang dia inginkan, dan tidak bisa seperti Gading yang tetap dapat mendapatkan pekerjaan tanpa gelar sarjana. Tanpa kenalan, memang akan sulit mencari pekerjaan bagus, maka dia lebih memilih mencari beasiswa untuk melanjutkan studi, Bayu yakin semakin tinggi pendidikan semakin terbuka peluang untuk orang sepertinya. Tuhan memang selalu memberikan apa yang hamba-Nya doakan dan usahakan, tak lama setelah lulus, Bayu mendapatkan beasiswa ke luar negeri dan mendapat ikatan dinas setelah lulus nanti di sebuah perusahaan asing. Bayu akan berangkat bulan depan, ketika pelatihan bahasa negara tujuan telah selesai. Nanti dia bisa menjawab pertanyaan pertama tadi dengan senyum yang lebar, “aku bekerja di perusahaan asing”. Tentu orang akan merespon dengan kagum, membayangkan gaji dan fasilitas yang didapat olehnya, rasa iri tentu ada tapi mereka tidak bisa berbuat apapun. Dia bisa membahagiakan orang tua, dan membiayai sekolah kedua adiknya yang masih SMA.

Pertanyaan kedua adalah kapan menikah? Ini adalah tahapan yang penting bagi manusia, bagi sebagian orang, menikah itu impian, hidup terasa tidak sempurna tanpa memiliki pasangan dan keturunan. Ada juga yang bilang menikah bisa membawa hidayah. Tetangga Bayu, Bang Junaedi contohnya, dia bercerita suatu waktu bahwa sebelum menikah dia senang mabuk-mabukan dan berjudi, kerja tidak jelas atau serabutan, dan malas. Tapi ketika dia jatuh cinta dan akhirnya memutuskan menikahi wanita yang dicintainya, dia berubah drastis, dia tidak ingin membuat wanita idamannya itu menderita sehingga dia berjanji untuk memberikan kehidupan yang layak dengan bekerja dari pagi buta hingga malam, tak disentuhnya lagi minuman keras, apalagi meja judi. Pernikahan dapat merubah orang, atau mungkin cinta yang menjadi dasar pernikahan itu yang merubah seseorang.

Bayu memiliki teman di kelas bernama Gandasari, dia wanita jawa yang sangat menawan. Rambutnya hitam sebahu dan kulitnya putih bersih seperti bintang iklan produk sabun di televisi. Jika bidadari itu ada, maka senyumnya adalah prewujudan bidadari itu sendiri. Tidak ada pria yang tidak bertekuk lutut jika dia mulai memainkan matanya dengan nakal, sebuah bola mata coklat muda yang bersinar ketika cahaya matahari pagi menerpanya. Setidaknya, hati Bayu pernah berdegup kencang ketika mereka berbicara dan tak sengaja memandang mata coklat itu.      

Wanita seperti Gandasari selalu menjadi perhatian di kampus, tentunya dia pun selektif memilih teman, karena dia tahu dengan penampilan fisiknya dia bisa melakukan banyak hal. Banyak mahasiswa yang jatuh hati kepadanya, tak sedikit yang harus menerima pil pahit karena penolakannya. Hanya satu tipe pria yang akan diterimanya, orang kaya, atau anak orang kaya. Menurut Bayu itu wajar, karena kau membutuhkan lebih dari sekedar perhatian, antar jemput, dan makan bareng untuk membuat Gandasari tetap terlihat seperti itu. Kau perlu mempertimbangkan biaya salon, kosmetik, pakaian dan sepatu bagus.

Sudah menjadi rahasia umum, jika dia senang gonta-ganti pasangan, tapi suatu waktu sepertinya dia kena batunya dengan gaya hidup seperti itu. Desas-desus bahwa Gandasari telat tiga bulan menyeruak, awalnya bayu tidak percaya, sampai suatu waktu ada undangan pernikahan datang kepadanya atas nama Gandasari dengan pacar terakhirnya, anak seorang jenderal. Apa yang membuat dia memutuskan menikah saat dia ataupun pacarnya belum lulus kuliah? Pelajaran berharga yang Bayu dapat darinya adalah jangan pernah menikahi orang yang hanya ada untukmu ketika kau senang. Sebulan setelah pernikahan, Gandasari bukan lagi bidadari yang menjadi idaman laki-laki. Mata sembab, serta beberapa bagian tubuh yang terlihat membiru merupakan aksesoris harian yang selalu dia coba sembunyikan, dan wajahnya tampak tidak pernah berseri seperti dulu. Tidak ada cahaya semangat di matanya seperti yang Bayu lihat di mata Bang Junaedi. Bagi Gandasari, pernikahan adalah hal yang berbeda.

Bagaimana dengan Bayu? Pernikahan yang didasari cinta adalah yang terbaik. Cinta pertamanya datang saat SMA, gadis yang berhasil mencuri hatinya adalah teman kelas di sekolah dulu, dan jika kau bertanya apa yang membuat Bayu menyukainya, dia tidak akan bisa menjawab. Cinta tidak perlu alasan, karena jika kau mencari alasan atas cintamu, itu bukanlah cinta. Perasaan itu datang secara tiba-tiba, saat hati Bayu berdegup kencang setiap kali melihatnya, saat Bayu tidak mampu menatap matanya ketika berbicara dengannya, saat tingkah Bayu menjadi kikuk di depannya karena takut terlihat buruk, saat rambut hitamnya secara tidak sengaja tersentuh oleh tangan Bayu dan menyebabkan getaran hati yang tidak biasa, saat mimpi Bayu dipenuhi oleh wajah dan senyumannya, saat Bayu menunggu dengan gelisah jawaban smsnya padahal yang mereka bicarakan hanya sekedar tugas sekolah.

Winda adalah gadis itu, putri seorang pegawai kelurahan di desa.   Bagi kebanyakan lelaki, mungkin tidak ada yang spesial dari dirinya, sehingga Bayu sempat bepikir apakah dia menarik sehingga Bayu mencintainya atau karena Bayu mencintainya, dia jadi menarik. Cinta memang tidak dapat dijelaskan dengan logika. Beruntungnya Bayu, ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Winda pun ternyata menaruh perhatian pada dirinya, dan sejak itu mereka dekat dan merancang masa depan bersama.  Kini malaikatnya ini telah bekerja di sebuah rumah sakit di daerah Fatmawati Jakarta Selatan sebagai suster, dan setelah Bayu menyelesaikan studinya nanti di luar negeri, mereka akan menikah. Pertunangan telah dilakukan keluarga besar di desa, sebuah cincin emas dimana terukir nama mereka melingkar di jari Bayu dan jari Winda sebagai tanda bahwa mereka akan segera menjadi pasangan selamanya.

Betapa indahnya hidup Bayu kan? Semuanya terlihat begitu sempurna, dia akan memiliki pekerjaan yang banyak orang dambakan, dan telah memiliki calon istri yang segera akan dia nikahi setelah selesai studi. Bayu sering membayangkan di masa depan ketika dirinya bangun tidur di sebuah kamar berukuran 5x5 meter bergaya minimalis yang didominasi warna putih, tempat tidur pegas berukuran besar membuat tidurnya nyenyak dan oleh karena itu dia terbangun dengan badan yang segar, hangatnya selimut dan halusnya seprai putih serta lembutnya dekapan istri benar-benar membuat pagi cerah sekali, walau mungkin cuaca di luar sana sedang mendung. Bayu membangunkan istrinya dengan kecupan lembut, yang dibalasnya dengan senyuman dan erangan manja, kemudian dua anak kembar mereka menyeruak masuk sambil memanggil papa, oh ya, mereka ada rencana untuk berlibur hari ini, mereka sekeluarga akan pergi berpiknik di daerah Bogor.

Terkadang, Bayu tersenyum sendiri membayangkan hal-hal seperti itu. Dia memang senang berimajinasi, karena imajinasi itu hal yang penting, sebagaimana yang seorang ahli fisika terkenal katakan “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”. Imajinasi pula lah yang telah membawanya ke titik ini, mungkin sebagian orang menyebut imajinasi itu dengan istilah lain, “mimpi”.

“Ah... hidupku seakan mimpi yang indah” Pikir Bayu. Tapi imajinasinya ini terganggu dengan sampainya bus transjakarta yang dari tadi dia tumpangi di pemberhentian terakhirnya, yaitu lebak bulus. Untuk mencapai tempat kosnya, Bayu harus menaiki angkot sekali ke arah Rempoa. Tempat kosnya berada di sebuah Perumahan yang cukup elit, artinya rumah di situ mayoritas rumah mewah, di rumah itu ada sekitar lima kamar yang disewakan, dan hanya tiga yang sekarang terisi. Tujuh ratus ribu per bulan adalah harga yang sepadan dengan kamar yang tidak terlalu besar itu, karena selain tempat tidur, penghuninya diberikan fasilitas lemari dan kipas angin.

“baru balik pelatihan?” Gading, rupanya sedang berada di ruang tengah menonton TV saat dia masuk. Dulu dia memiliki rambut kribo yang sungguh mengganggu, rambutnya itu bau dan sepertinya dia jarang keramas. Sampai suatu waktu dia curhat bahwa dia tidak pernah berhasil mendekati wanita, Bayu dengan asalnya bilang bahwa dia harus mencukur habis rambut kribonya, dan ternyata dia benar benar mengikutinya. Kini kepalanya botak dan itu lebih cocok buat dirinya. Beberapa minggu kemudian, dia berhasil mendapatkan pacar, seorang mahasiswi di sebuah universitas di Jakarta, dia pun berterimakasih pada Bayu, katanya tanpa saran untuk mencukur rambut, dia tidak akan berhasil mendekati gadis itu. Bayu tak pernah menyangka saran asal itu dapat membantu.

Gading adalah orang yang makan paling banyak diantara semua penghuni kosan ini, dia selalu menjadi orang pertama yang duduk di meja makan, dan orang terakhir yang selesai makan, bukan karena dia butuh waktu lama untuk makan tapi karena satu piring tidak pernah cukup baginya, hanya saja kemana perginya nutrisi dari semua makanan itu adalah sebuah misteri. Banyak wanita yang pasti iri dengannya, faktor genetis, begitulah kata Gading, tapi Bayu lebih percaya bahwa dia itu cacingan.

“iya nih... Tante Mira belum balik ya?” Tanya Bayu.

“belum tuh.... betah banget di kampungnya, haha.” Tante Mira adalah pemilik rumah ini, dia seorang janda pejabat, rumah ini adalah salah satu warisan sang suami. Sudah seminggu ini dia pulang ke kampung halamannya di Banjarmasin. Bayu menghempaskan tubuhnya yang lelah ke sofa hitam besar tepat disamping Gading.

“nonton apa?” Bayu mencomot popcorn yang dipegang Gading.

“berita seru banget... dalam seminggu ini sudah ada lima meteor jatuh di berbagai belahan dunia, tuh.... yang terakhir jatuh di jakarta, di pantai ancol.”

“ooh.... ada berapa korban jiwa?” Bayu kurang tertarik dengan berita seperti itu.

“di ancol sih tidak ada korban jiwa.. jatuhnya di laut...” gading memindahkan saluran tv, kini mereka menonton sebuah diskusi yang membahas berbagai teori tentang fenomena meteor itu.

“tidak ada yang lain acaranya?” protes Bayu.

“hampir semua stasiun TV menayangkan berita ini... paling sinetron... kau mau nonton sinetron?”

“gak deh... lebih baik acara ini...” dari semua acara di televisi, sinetron berada dalam daftar acara yang dibenci bayu. Dia tidak mengerti kenapa sebagian masyarakat indonesia senang menonton acara yang tidak bermutu seperti itu. Jika dibandingkan serial tv luar negeri, yang memiliki ide cerita kreatif, modal besar, dan kemampuan akting yang bagus dari para tokohnya, sinetron indonesia benar-benar kebalikannya. Ide ceritanya mudah ditebak, tidak logis, akting yang tidak bagus, adegan marah yang terlalu berlebihan bahkan terkesan lebay, lalu kisah percintaan yang tidak realistis dan tidak mendidik. Bagi bayu, itu semua memuakan, lebih memuakan dari pada acara talkshow yang sedang ditonton gading.

Terdengar suara pintu dibanting dari arah belakang rumah, seorang wanita seumuran Bayu muncul, dia adalah penghuni ketiga di kosan ini, Santi namanya. Tubuhnya dipenuhi peluh, dan terlihat cairan merah membasahi tangannya, cairan merah itu mirip darah. Bayu tidak mengacuhkannya, sudah biasa bagi Santi pulang malam seperti ini sambil bersimbah peluh dan tangan berlumuran darah, paling itu disebabkan oleh latihannya, lagipula bertanya pun sia-sia, dia hanya akan menjawab “bukan urusanmu”. Dia memang aneh, pikir Bayu. Siapa yang menghabiskan waktu setiap hari berlatih fisik dan bela diri selain tentara dan atlet? Karena jelas-jelas dia bukan keduanya, Bayu bahkan tidak pernah melihatnya bekerja. Tiap pagi dia akan bangun pukul empat, Bayu tahu itu, karena keributan yang dia buat di kamarnya mengganggu mimpi Bayu. Entah apa yang dia lakukan. Setelah itu dia akan berjoging dan kembali pada pukul 6 pagi, tepat saat Bayu dan Gading bersiap-siap untuk bekerja. Walau mereka jarang bertegur sapa, Bayu dan Gading cukup lama sering memperhatikan dia.

Biasanya setelah sarapan dia akan menuju tempat gym di dekat kosan dan menghabiskan waktu disana sampai siang. Setelah itu dia kembali pulang untuk makan siang dan diam di kamar sampai sore, bayu tidak tahu pasti apa yang dilakukannya di sore sampai jam sembilan malam. Begitulah kegiatan sehari-harinya hari kerja ataupun hari libur tak ada bedanya.

Santi melewati Gading dan Bayu menuju kamarnya di lantai dua, mata kedua laki-laki itu tidak bisa lepas darinya. Harus diakui Santi memang sangat menarik. Walau selama pengamatan Bayu, dia tidak pernah memakai make up, dia memiliki wajah bersih tak ada cacat dengan kulit putih nan halus. Dua alis runcing alami menambah indah mata coklatnya. Sayang semua keindahan itu hilang karena tubuhnya yang kekar hasil dari latihan fisik setiap hari. Bagi Bayu perempuan yang indah adalah perempuan bertangan mungil nan halus bukan perempuan yang memiliki urat menghiasi tangannya, atau otot bisep dan trisep yang besar bahkan perut sixpack seperti yang dimiliki Santi. Bayu yakin jika dia adu panco dengan Santi, dia pasti kalah hanya dalam lima detik. Kali ini Santi hanya memakai tangtop hijau serta celana legging ketat yang membentuk lekuk tubuhnya. Pantas Gading tidak bisa melepaskan pandangannya, tapi Bayu tetap tidak tertarik karena dia terlihat sangat maskulin dengan otot tangan dan kaki yang menonjol itu. Mata gading tetap mengikuti Santi sampai dia menghilang di tangga.

“seksinya.....”

“seksi? itu sih gak menarik, tangannya saja mirip kuli...”

“wah... kau masih berpikir dengan pandangan jadul sih.... cupu... sekarang itu yang lagi ngetren cewe cewe curvy...”

“curvy??”

“iya... cewe yang badannya punya lekuk-lekuk dan kekar kayak Santi...”

“haha... aneh-aneh saja, dulu standar cewe cantik itu yang penting kurus tinggi n putih, sekarang cewe yang badannya kayak kuli jadi standar?”

“zaman berubah.... standar kecantikan pun berubah mengikuti zaman...”

Bayu hanya tersenyum, walau dia tidak menganggap Santi cantik, badan moleknya yang dibungkus pakaian ketat tadi membuat burung kecilnya menggeliat di dalam celana. Siapa yang tidak begitu jika dihadapkan pada pemandangan seperti tadi, pikir Bayu.

Tak lama kemudian terdengar erangan dari kamar santi, seperti suara seseorang yang menahan sakit. Santi sering sekali berteriak dan mengerang seperti itu di malam hari, Bayu dan Gading tidak pernah berani mencari tahu walau hati mereka ingin tahu apa yang terjadi, karena mereka telah diperingatkan oleh pemilik kosan masalah santi. Katanya, dia dulu pernah masuk rumah sakit jiwa karena sering berhalusinasi, meracau, dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal seperti orang gila, ayahnya sengaja menitipkan santi pada tante mira setelah dia dinyatakan sembuh oleh dokter. Tapi katanya bisa saja sesekali halusinasi itu kambuh, jika hanya dalam skala kecil dan tidak mengganggu bayu dan gading diminta untuk tidak mengacuhkannya saja. Sehubungan dengan masalah ini, tante Mira membuat aturan bagi penghuni kosan dalam bergaul dengan Santi, pertama, jangan bertanya tentang kehidupan pribadinya. Jika dia mulai bercerita lebih dahulu itu tidak apa-apa, tapi jangan pernah mencari tahu. Kedua, jangan pernah memprotes atau menegur kelakuan anehnya langsung, jika merasa terganggu melaporlah ke tante mira, dia yang akan menegur Santi.


Kini, erangan itu telah berhenti, Gading dan Bayu hanya saling menatap, memaklumi hal itu. Lelah yang menerpa Bayu memaksanya untuk segera beranjak dari sofa itu menuju ke pembaringan, besok dia masih ada pelatihan, dan harus berangkat pagi-pagi untuk menghindari kemacetan kota Jakarta agar tidak terlambat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar