Jumat, 27 November 2015

Renungan Part 53 (Wisuda oh... Wisuda)

media.viva.co.id

Mahasiswa mana yang tidak ingin wisuda? kujamin tidak ada, bahkan mahasiswa baru yang masih unyu-unyu pun ketika melihat acara wisuda, melihat meriahnya, serunya, dan tetek bengek lainya, langsung bermimpi untuk segera wisuda. Tapi jujur saja, secara pribadi aku tidak tahu bagaimana menyikapi hal ini. Bagaimanakah sikap kita seharusnya, dan bagaimana kita memandang wisuda itu sendiri adalah pertanyaan yang menjadi tema tulisan kali ini.

Wisuda itu harus bahagia 
Seperti ada aturan tak tertulis bahwa seorang wisudawan itu harus berbahagia, senyum mengembang harus menghiasi wajah. Oleh karena itu, seorang wisudawan yang sedih dan menangis pasti dianggap sebagai sebuah anomali, kecuali ia menangis karena bahagia. Kenapa kita harus bahagia? kurasa ada beberapa alasan yang membuat kebahagiaan itu akan muncul dalam hati ketika wisuda.

Wisuda itu butuh perjuangan. Pengerjaan skripsi adalah tantangan terbesar dalam mencapai wisuda, dan bukan kepintaran akademis yang menjadi syarat utama selesainya skripsi, tapi justru kemampuan untuk melawan rasa malas. Selain menghadapai dosen pembimbing yang killer, susah ditemui, dan revisinya ampun-ampunan, kebiasaan menunda-nunda (procrastinating) menjadi musuh terbesar para mahasiswa tingkat akhir.   Oleh karenanya wisuda adalah perayaan keberhasilan melawan rasa malas itu, dan kita berhak berbahagia. Ya... asal jangan terlena dengan perayaannya dan membuat kita jatuh kembali dalam kemalasan sih Masalahnya melawan malas itu perjuangan tanpa akhir, tak berhenti sampai wisuda. Kelak kita dihadapkan dengan calon mertua, sengitnya persaingan antar pengangguran, atau buasnya bos di tempat kerja. Perjuangan belum berakhir kawan. 

Wisuda itu bangga karena tanda sebuah bentuk kesuksesan. Siapa yang tidak bangga dengan adanya titel di belakang namanya? titel itu adalah tanda bahwa seseorang itu berilmu, dan orang berilmu itu dihormati oleh orang lain. Pantas dong kita bahagia? siapa yang tidak bahagia dihormati? Asal jangan jumawa saja dengan titel itu dan memandang rendah orang lain karena titel, sebanyak apapun di belakang nama kita, hanyalah sebuah bungkus, sebuah tanda akan keluasan ilmu (seharusnya). Masalahnya adalah banyak kok orang diwisuda tapi sebenarnya tidak dapat apa-apa, ilmunya super cetek, lalu pantaskah yang begini ini bangga? sebenarnya, orang yang benar-benar mendapat ilmu setelah kuliah pun tidak pantas bangga dan jumawa, toh ilmunya itu baru sedikit, lagipula orang yang benar-benar berilmu biasanya semakin menunduk (seperti padi). Jadi menurutku, kebanggan ketika wisuda itu hanya mitos, kita dibuat percaya bahwa itu ada padahal sebenarnya tidak ada. 

Kita bahagia karena dapat membuat orang tua bahagia. Walaupun kita bisa mempertanyakan lagi kenapa orang tua bahagia anaknya wisuda, alasan ini lebih patut diperhitungkan. Setidaknya kita bisa membuat orang tua bahagia karena itu bagian dari birrul walidain dan dicatat sebagai salah satu amal ibadah kita. Lagipula, membuat senang orang lain, terutama orang tua kita, adalah perbuatan yang sangat baik, jadi bolehlah kita berbahagia karena orang tua kita bahagia.

Bebas dari pertanyaan "kapan wisuda?". Ini adalah pertanyaan menusuk hati terutama bagi mahasiswa tua. Ketika teman, rival, atau musuh diwisuda lebih dulu kemudian mereka bertanya "lo kapan?" Seakan sebuah belati menusuk hati, sakitnya tuh disini. Jangankan ditanya, dengan melihat saja sudah menjadi cobaan yang berat. Belum lagi ketika pertanyaan itu muncul dari orang tua, di suatu pagi mereka mulai membandingkan diri kita dengan anak tetangga yang merupakan adik kelas kuliah tapi telah diwisuda dan bekerja, hingga akhirnya berujung pada pertanyaan "kamu kapan?". Jika kita bahagia diwisuda salah satunya karena alasan ini, maka kita telah tertipu. Seperti halnya energi yang tidak dapat hilang, ia hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Begitu pula pertanyaan menusuk ini, ia hanya berubah dari "Kapan Wisuda?" menjadi "Kapan Nikah?", "Kapan punya anak?", "kapan punya rumah? mobil?" dan kapan-kapan lainnya. It's endless.

Lalu apakah wisuda itu harus bahagia? Tentu saja, apapun yang kemudian akan terjadi di masa depan setelah wisuda, biarlah mereka tetap di masa depan yang merupakan sebuah misteri, karena mereka belum tentu terjadi. Untuk apa merisaukan sesuatu yang belum tentu terjadi? Ketika kita melihat teman, saudara, dan orang tua nampak bahagia ketika kita diwisuda, maka sepatutnya kita pun ikut bahagia, bukan karena kita merasa hebat, karena bertitel, atau mengganggap diri punya ilmu lebih.  

Ini alasanku, apa alasanmu?

Jumat, 06 November 2015

Renungan Part 52 (Aku Ingin Mejadi Manusia Apatis)

9gag.com

"Jangan jadi manusia apatis!" 
"payah... mahasiswa sekarang pada apatis!"
"apa sih apatis itu kak?"
"apatis itu tidak peduli, tidak acuh dengan keadaan sekitar... yang kamu perdulikan hanya diri kamu sendiri, kita tidak boleh begitu karena mahasiswa adalah agent of change, kita harus peduli dengan keadaan sekitar kita, dan akhirnya bisa membawa perubahan."

Kata apatis mulai kudengar semenjak mulai masuk bangku perkuliahan; apatisme berkonotasi negatif karena berhubungan dengan ketidakpedulian dan egoisme. Apa yang lebih buruk dari mementingkan pantat sendiri daripada mengutamakan kemaslahatan bersama? Kata apatisme itu adalah sebuah aib. 

Seperti halnya kebanyakan orang, kita cenderung menerima apapun begitu saja karena itu lebih mudah atau lebih menyenangkan. Tidak ada usaha konfirmasi, atau cek n ricek, tidak ada usaha memikirkan kembali, karena itu merepotkan. Sebuah berita bisa dipercaya begitu saja, lalu dishare di medsos tanpa tahu benar tidaknya, tanpa memperkirakan apakah itu memberikan dampak negatif atau tidak bagi orang lain, tak usah repot dan itu lebih menyenangkan. Begitu pula dengan kata apatis.

Mari merenungkan kembali segalanya, kali ini kita mulai dengan kata apatis. Kata ini berasal dari bahasa yunani, dan uniknya, makna kata ini dulu berbeda dengan yang sekarang. Berasal dari kata a- yang berarti "tanpa" dan pathos yang berarti "penderitaan" atau "hasrat" kata apathea (yang kini menjadi apatis) secara literal bermakna tanpa penderitaan atau hasrat. Dalam Filsafat aliran Stoik istilah ini digunakan untuk merujuk sebuah keadaan pikiran yang tidak terganggu oleh hasrat atau keinginan.

Oke... apa maksudnya ini? aku tidak ingin berbicara tentang ajaran stoik secara detail (karena tidak terlalu menguasai) tapi yang pasti poin pentingnya adalah kaum stoik merumuskan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa seseorang itu dikatakan sebagai manusia bebas ketika dia tidak diperbudak oleh keinginan.  Kebebasan sejati terletak bukan pada pemenuhan keinginan secara gila-gilaan, justru ada pada sikap pengendalian diri di tengah-tengah godaan yang begitu besar.

Sungguh menarik, karena ketika kita hubungkan dengan ajaran budha, ada satu benang merah yang sangat kuat. Dalam budha, keinginan adalah sumber penderitaan, dan satu-satunya cara mencapai bahagia adalah mengatur sumber penderitaan itu sendiri, yaitu keinginan, atau hasrat. Berbicara masalah pengaturan hasrat, dalam islam pun dikenal puasa, yaitu ibadah yang mengatur pemenuhan hasrat dasar manusia yaitu makan, minum, dan seks. Lalu sedekah dan zakat yang menekan hasrat untuk ingin untung sendiri dan tidak mau berbagi, dan berbagai ajaran lainnya yang jika kita renungkan pasti memiliki hubungan dengan pengendalian hasrat atau hawa nafsu.

Menjadi apatis berarti tidak memarahi pasangan karena mereka tidak bertindak seperti yang kita inginkan, berarti tidak murung ketika belum punya motor seperti yang lainnya, berarti tidak iri dan dengki karena tetangga naik pangkat dan punya mobil baru, berarti tidak selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain, berarti tidak pelit membantu orang yang membutuhkan, berarti tidak larut dalam kesedihan karena dikecewakan atau gagal dalam sesuatu, berarti melawan semua hawa nafsu yang menyebabkan mudharat. 

Agak sulit mempraktekan hal ini di dunia di mana tujuan hidup manusia adalah konsumsi barang. Keinginan manusia selalu dimanjakan dengan berbagai produk, dan tidak memiliki produk itu berarti kesedihan. Pernahkan kita memikirkan apa kita benar - benar butuh barang yang kita konsumsi? alat elektronik, gadget, kendaraan, dan pakaian? "mengkonsumsi karena butuh itu pola pikir orang miskin" temanku pernah berkata. ah... begtiu besarnya pengaruh budaya konsumsi sehingga mendorong manusia memaksimalkan hasrat mereka. Lihatlah kota-kota yang mendewakan hasrat, mereka indah nan gemerlap, semua kebutuhan ada dan bahkan diada-adakan demi memenuhi hasrat manusia. Namun sepertinya ada satu hal yang tidak dapat disediakan kota itu, ketenangan batin. 

Apakah perubahan makna apatis menjadi negatif itu disengaja oleh oknum yang melihat itu sebagai ancaman bagi budaya konsumsi? Entahlah, yang pasti, Aku Ingin Menjadi Manusia Apatis.



Sumber Bacaan

McClain, Gary and Eve Adamson. (2001). The Complete Idiot Guide to Zen Living. Indianapolis: Pearson Education Company.