Senin, 21 Desember 2015

Renungan Part 54 (Sekolah itu .....)

www.quotehd.com

Aku menghabiskan 6 tahun untuk sekolah dasar, 3 tahun sekolah menengah pertama, dan 3 tahun sekolah menengah atas. tak lupa satu tahun di Taman Kanak-kanak. Bisa dibilang aku cukup sukses mengikuti program wajib belajarnya pemerintah. Apa yang kualami dan kupelajari selama hidupku di sekolah? banyak hal, positif,  negatif, lucu, dan miris.

Oke, sebaiknya kita pahami dulu apa itu sekolah. Dalam bahasa aslinya, yaitu latin, asal kata sekolah adalah schola yang secara harfiah berarti waktu luang atau waktu senggang, hm..... kenapa kata ini yang dipakai? kenapa sekolah itu waktu senggang? Karena pada zaman dahulu kala, orang-orang Yunani menggunakan waktu luang mereka untuk mendatangi tempat atau seorang pandai untuk mempelajari hal-hal yang dirasa perlu untuk diketahui. Bayangkan anda adalah seorang anak petani, dan sudah dua kali ayah anda gagal panen. apa yang menyebabkan panen gagal? apakah di metode penanaman? atau perawatan? karena tak bisa menjawabnya sendiri, anda datang ke seorang ahli tanaman yang tinggal di batas desa, maka setiap sore setelah mengurus kebun, anda mendatanginya dan mempelajari banyak hal tentang tanaman, lalu tercerahkanlah pikiran anda. Ilmu yang diterima dari sang pandai tanaman, benar-benar bermanfaat menyelamatkan panen berikutnya. Anda pun menghormati si pandai, karena telah menolong anda. Kira-kira begitulah.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan, orang zaman itu mendatangi si pandai karena butuh ilmunya, dia mengalami masalah di kehidupan nyata dan butuh bantuan si pandai, ilmu yang didapat sangat berguna untuk hidupnya, dan dengan demikian si pandai sangat dihormati oleh dirinya. Setelah zaman berganti, kini sekolah bukan lagi tempat mengisi waktu luang.

Entah kenapa pelajaran sekolah tidak membantuku memecahkan masalah sehari-hari.
Suatu ketika, ibu memintaku membersihkan ikan untuk dimasak, waktu itu aku masih kelas lima SD, dan aku hanya menatap ikan itu menggelepar di tatakan, tak tahu harus bagaimana. apakah memegangnya harus begini? bagian mana yang harus kupotong? kira-kira bagaimana ya ibuku biasa melakukannya? hey... aku tidak pernah melihat bagaimana ibuku membersihkan ikan. kenapa bisa? setelah pulang sekolah biasanya aku mengerjakan PR sambil menonton TV, aku ini kan anak pintar, selalu dapat ranking 1, aku harus mengerjakan PR, terutama matematika. yah.... mungkin ikan ini bisa kupotong dengan pertambahan? perkalian? pengurangan? atau dengan mencari penyebut dan pembilangnya terlebih dahulu? Oke ikan segitiga sama sisi, bagaimana cara mencari luasmu? aku tahu cara mencari luas bangun datar, tapi apakah itu bisa membantuku menyiapkan ikan ini untuk dimasak? Sial.... semua itu tidak berguna. Ikan itu terus menggelepar dan aku disebut bodoh karena tidak bisa membersihkannya. Hey... aku kan ranking 1.

"kapan terjadi perang Diponegoro?" tanya guruku. aku dengan mudah menjawabnya, juga pertanyaan sejarah lainnya yang berkenaan dengan tanggal, tahun, tempat, atau nama. Semua bisa kujawab, walau sekarang tak satupun masih kuingat. Ketika kupikir sekarang, apa gunanya menghafal itu semua? agar ujianmu nilainya bagus. Hahaha.... sungguh tidak penting. Aku tidak tahu kapan hafalan informasi itu berguna, mari kita mengira-ngira, hm.... bukan... itu ujian, bodoh.... itu juga tes..... oke aku menyerah. Tidak Ada. tapi agar bermanfaat, aku harus mengamalkan ilmu hafalan itu kan. Ya.... aku akan menyelipkan informasi itu di sela-sela percakapan, dengan begitu orang akan jadi lebih tahu, dan ilmuku bermanfaat. Hm..... sepertinya aku akan menjadi orang yang menyebalkan.

Sekolah telah merenggut jati diriku
Aku adalah anak kampung, dan yang namanya kampung, dipenuhi sawah dan kebun. Tapi jangan tanya aku apa obat alami untuk luka selain ..... uh.... aku lupa namanya, bentuk daunnya pun sudah lupa. Jangan tanya pula apa makanan terbaik untuk kelinci, atau ayam, atau domba. Walaupun pernah punya dulu sekali. Jangan tanya juga cara menerbangkan layang-layang, karena di saat anak-anak lain bermain layang-layang di sawah, aku hanya menonton dari balik jendela sambil mengerjakan PR. Aku terlahir di kampung tapi tak punya skill anak kampung. Membersihkan ikan saja aku tak mampu. Tak aneh sekarang tidak ada yang mau jadi petani, walau bapaknya petani. Karena sekolah mengajarkan hidup itu harus maju dan sukses. Menjadi petani itu tidak maju dan sukses, kau mau tahu apa yang maju dan sukses? jadi pegawai kantoran, berdasi, bersepatu pantopel, bermobil, dan duduk di ruang kerja ber-AC. Dalam sosiologi SMA, para siswa dicekoki mobilitas sosial naik dan turun, naik jika ayahnya petani lalu anaknya jadi direktur, turun apabila sebaliknya. Tak pernah ada yang bertanya "kenpa direktur lebih baik dari petani? kenapa kekayaan jadi ukuran? kenapa dasi jadi ukuran? kenapa.. kenapa...?" tidak ada. Begitulah, para anak muda jadi tak sudi mengurus lahan pertanian warisan kerluarga, setelah sekolah kaki mereka jadi terlalu mulia untuk mencari nafkah di tanah. Lahan-lahan tak tertanami itu akhirnya ditumbuhi rumput liar dan menjadi sarang ular. Oh aku ada ide bagus untuk membuatnya produktif, jual saja ke developer, biar dijadikan perumahan, atau Mall.... ya mall.... pusat perbelanjaan, sekarang semua orang senang belanja. Begitulah nasib sawah di desaku, jika bukan menjadi perumahan, ya jadi pusat perbelanjaan. Para pemudanya tidak ada yang mau jadi petani, karena tidak punya kemampuan bertani yang tidak diajarkan di sekolah, juga karena tak mau kalah gengsi. Lalu kita marah ketika kita harus mengimpor kedelai? bawang? beras? Hello..... sekarang gak ada rakyat indonesia yang mau jadi petani. Negara agraris itu hanya masa lalu. Padahal apa salahnya menjadi Petani?

Entah kenapa sekolah itu mirip dengan penjara
Apa persamaan sekolah dan penjara? Pertama adalah seragam yang harus dikenakan setiap waktu. Jika tidak, maka hukuman menanti. Kedua, sangat gila akan kesunyian dan ketertiban. Aku tidak pernah mengerti kenapa anak yang baik adalah anak yang pendiam? sekolah yang baik adalah sekolah yang siswanya duduk tenang dan diam di dalam kelas, walau tidak ada guru dan tugasnya telah selesai? kenapa duduk-duduk di taman sekolah saat KBM, walau guru tak ada dan tugas telah selesai, itu dilarang? dan guru tahu bagaimana susahnya para siswa untuk diam tenang di dalam kelas ketika gurunya tak ada. Kau tahu? kenapa tidak sekalian kunci saja kelasnya dari luar. Aman kan? Sekolah dan penjara mengatur jadwal istirahat, makan, bahkan ketika ujian, kebutuhan ke kamar kecil saja diatur-atur. Memangnya aku bisa mengatur perutku untuk sakit di jam-jam tertentu? Sontoloyo! Lalu keduanya sama-sama menuntut manusia yang patuh dan mudah diatur yang tidak mempertanyakan keputusan-keputusan pihak atas. Anak SD mana yang mampu mengkritisi keputusan guru dan kepala sekolah? bukankah seharusnya guru mulai mengajarkannya sejak kecil? bagaimana dengan Tingkat Universitas? razia celana jeans di fakultas keguruan, contohnya. kenapa kuliah tidak boleh pake celana jeans? karena kau nanti akan menjadi guru, celana jeans tidak mencerminkan sikap guru. Oh ya? kata siapa nanti kalau lulus akan menjadi guru? aku akan melamar di pekerjaan yang syaratnya S1 semua jurusan, kau tak berhak menentukan masa depanku. Lalu, kenapa Jeans tidak mencerminkan akhlak guru? Apakah jeans itu dosa? hanya karena mereka (orang barat) menetapkan standar celana bahan itu formal dan jeans informal lalu kenapa kita mengikutinya? apakah pengaruh negatif celana jeans dalam pembelajaran di kelas? apakah memakai celana jeans menurunkan prestasi belajar mahasiswa? apakah memakai celana jeans menurunkan moral si pemakai? lalu kenapa sarungan pun dilarang? sarung itu tanda kesalehan kan? biasanya para santri dan kiyai juga bersarung. Dan akhirnya bertanya pun dilarang.

Sekolahku yang mahal
Semakin ke sini, semakin aku yakin bahwa pendidikan adalah komoditas. Buktinya? hanya orang berduit yang mampu mengakses pendidikan bermutu. Sekolahkan butuh biaya, ya memang wujud sekolah berikut sistemnya dan standar sekolah bagus nan bermutu dalam sistem yang sekarang (aku yakin dipengaruhi oleh para kapitalis), butuh biaya yang tidak sedikit. Tak perlu aneh, karena sekolah dan universitas sendiri bagaikan sebuah pabrik pencetak tenaga ahli yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme saat ini. aku senang dengan kata "mencetak", pernahkah kau melihatnya di visi misi insititusi pendidikan? atau sekedar semboyan yang ditempel di lingkungan insititusi itu? mencetak lulusan bla bla bla.... kata ini menarik karena bagiku, ia memposisikan peserta didiknya sebagai sebuah benda mati yang bisa dibentuk seperti apa saja sekehendak pabriknya. Apakah mereka benda mati atau makhluk yang memiliki kehendak?

Atau mungkin sekolah telah menjelma menjadi institusi kapitalis, maksudku pengelolaan sekolah diperlakukan seperti halnya sebuah perusahaan pengejar profit. Ada istilah pekerja (guru) kontrak, yang direkrut oleh sebuah divisi yang disebut HRD, konsumen perusahaannya adalah para murid, oleh karena itu para murid dan orang tuanya diperlakukan bak raja, ingat konsumen itu raja jadi harus dilayani sebaik-baiknya, demi menarik banyak konsumen, perusahaan harus marketable, pakailah kurikulum yang ngetren, seperti kurikulum Cambridge atau Kairo. Pokoknya yang berbau luar negeri, orang indonesia itu goblok, asal ada luar negerinya pasti dikira bagus, masalah benar bagus atau tidak, itu urusan belakangan, supaya konsumen tidak kabur, mereka harus dibuat betah, dengan berbagai pelayanan dan fasilitas. Kebutuhan mereka dipenuhi tanpa cela, kebersihan dan kerapihan ditugaskan pada OB, tugas konsumen hanya belajar, bukan bersih-bersih, itu pekerjaan pembantu. Demi menjaga pasar, kualitas lulusan pun harus terjaga, semunya harus lulus UN dengan nilai bagus bagus, usahakan masuk Universitas favorit juga. Tapi terkadang ada yang aneh, walau dimanage bak sebuah perusahaan, institusi ini tak kena wajib UMR bagi pekerjanya. Alamak.......

Ya jangan heran sekolah bagus itu mahal, sesuai dong dengan kualitas yang ditawarkannya. Seperti tas Hermes yang sampai milyaran itu, keluarnya uang yang cukup untuk ngasih makan orang sekampung terasa pantas dengan kualitas, gengsi, dan harga diri yang diterimanya.

Sekolah hanya tempat pengajaran
Diakui atau tidak, bagiku sekolah saat ini hanya mampu mengajari, bukan mendidik. Mengajari berbagai ilmu pengetahuan yang telah disensor demi kepentingan sistem, dicekokan ke dalam otak para siswanya, siapa yang berhasil menghafal paling banyak, dijanjikan kesuksesan di dalam sistem itu. Bagaimana dengan karakternya? walaupun usaha pemerintah sudah sangat giat untuk ini, terbukti dalam K13, tapi seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memupuk karakter? apakah ruang kelas yang tersekat dinding, yang terkadang memisahkan murid dari dunia nyata mereka cukup efektif menanamkan tenggang rasa dan sebagainya? apakah kualifikasi seorang guru untuk menjadi pendidik inspirator muridnya? pertanyaan terakhir ini cukup berat, karena idealnya seorang guru memiliki 4 kompetensi yang terdiri dari pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Hm.... Too good to be true, yah namanya juga ideal, ngawang-ngawang, adakah guru yang benar benar menguasai keempatnya? kompetensi kepribadian dan sosial nampaknya yang paling berat. Jujur... untuk menjadi orang baik dan suri tauladan itu susahnya minta ampun..... Tapi kan the show must go on, jadi belum baik pun guru harus tetap ke sekolah, ya pura-pura baik aja deh di sekolah.... munafik dong? serba salah jadinya. Ya sudah, selama belum bisa baik, aku mengajar saja, tidak mendidik, terus kapan baiknya? Jadi guru berat euy....

Lalu apa?
Sebelumnya, aku ingin meminta maaf, jika curhatan di atas terkesan menjelek-jelekan sekolah, seolah-olah ia tidak ada baiknya sedikitpun, padahal akupun hidup dari sekolah. Atau aku seakan menjadi murid tidak tau diri dan terima kasih pada sekolah yang sedikit banyak memberi banyak pengetahuan. Bukan itu, semua hal memiliki sisi positif dan juga negatif, sekolah sebagai institusi pendidikan terus menerus berproses menuju kesempurnaan yang salah satunya dengan kritik diri. Disamping itu, bagiku sekolah itu terlalu sempit jika dianggap sebagai satu-satunya perwujudan dari pendidikan itu sendiri. Aku lebih senang dengan istilah 'sekolah kehidupan', dimana semua tempat adalah kelas, dan semua orang adalah guru. Para murid belajar tertib dari orang yang tidak tertib di lampu merah perempatan, para murid belajar tumbuhan dan hewan di sawah dan kebun, para murid belajar ikhlas dan sabar ketika banyak hal tak sesuai harapan. Hanya mungkin, tak semua sadar bahwa lingkungan kita penuh dengan hikmah dan pelajaran berharga, karena dalam otak kita, belajar ya di sekolah. Hanya beberapa gelintir orang yang menjadi lulusan sekolah kehidupan, orang-orang yang belajar walaupun tidak di institusi sekolah formal, tapi hasilnya sungguh luar biasa. Bu Menteri Susi misalnya? darimana dia belajar semua keahliannya itu? SMA saja tidak lulus.... Sekolah kehidupan saudara-saudara.... dan aku yakin banyak sosok lainnya yang seperti dia.

Intinya adalah belajar tak selesai ketika bel pulang berbunyi, ketika ijazah diterima, dan guru bukan hanya orang yang mengajar di sekolah. Kelas tak tersekat olah dinding segi empat, karena seluruh dunia ini adalah kelas, dimana kita belajar dari siapapun dan apapun sampai kita tak mampu belajar lagi, alias mati. Sekolah terlalu sempit untuk belajar!