Selasa, 23 September 2014

serba-serbi part 2 (Bacha Posh)



Beberapa waktu yang lalu masyarakat pernah meributkan maraknya talent pria yang berpakaian dan berperilaku seperti perempuan sebagaimana terlihat dalam beberapa acara TV. Keresahan masyarakat yang diwakili oleh KPI ini dikarenakan tayangan yang mengandung hal tersebut dikhawatirkan akan mempengaruhi penonton remaja dan anak-anak untuk meniru perilaku itu. Kekhawatiran ini bagi sebagian masyarakat indonesia cukup beralasan karena masyarakat indonesia yang sebagian besar muslim menganggap bahwa laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya itu dilaknat oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan dalam hadits berikut:

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:





لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ، وَالْمُتَشَبِّهاَتِ مِنَ النِّساَءِ بِالرِّجاَلِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)


Lain di Indonesia, lain pula di negara Afghanistan. Disini, kita mempermasalahkan dampak buruk dari tayangan TV yang mempertontonkan talent laki-laki yang menyerupai wanita yang mana mereka sebenarnya hanya berakting, alias tidak benar-benar banci seperti para banci yang ingin mengganti kelamin.  Di Afghanistan ada fenomena yang bernama bacha posh yang berarti berpakaian seperti laki-laki dalam bahasa Dari. Ini adalah praktik kebudayaan di beberapa bagian Afghanistan dan Pakistan dimana keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki memilih salah satu anak perempuannya untuk hidup, berperilaku dan berpakaian seperti anak laki-laki. Praktik ini bisa jadi tanpa atau dengan persetujuan si anak perempuan yang akan menjadi bacha posh. Apa sebenarnya alasan praktik kebudayaan ini terjadi?


Di tanah dimana anak laki-laki lebih dihargai daripada anak perempuan, di tanah dimana laki-laki dan perempuan dipisahkan dan masing-masing memiliki peran yang berbeda dan tidak boleh bercampur, di tanah dimana perempuan tidak bisa keluar rumah sendiri tanpa ada saudara laki-lakinya yang menemani, di tanah dimana perempuan sulit mendapat kerja karena alasan gender bukan kemampuan, seorang anak laki-laki lebih diinginkan daripada anak perempuan. Akibatnya, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki akan mendapatkan tekanan sosial yang luar biasa dari lingkungannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Azita Rafaat, seorang anggota parlemen Afghanistan, yang tidak memiliki satu pun anak lelaki akhirnya memutuskan menyuruh anak perempuan bungsunya menjadi bacha posh.

“When you don’t have a son in Afghanistan,” she explained, “it’s like a big missing in your life. Like you lost the most important point of your life. Everybody feels sad for you.” Begitulah ungkapnya pada wartawan The New York Times ketika diwawancara.

Alasan lainnya dapat berupa kebutuhan ekonomi. Seperti yang dialami oleh Miina, gadis berumur 10 tahun, yang harus menjadi bacha posh setiap pulang sekolah demi dapat bekerja di sebuah toko. Setiap hari, Miina membawa uang sebesar 1,30 Dollar untuk membantu keluarganya yang terdiri dari delapan anak perempuan dan ibunya untuk tetap bertahan hidup. Sementara ayahnya hanya seorang pengangguran tukang batu yang sering pergi. Tanpa menjadi bacha posh, Miina tidak dapat bekerja di toko, karena tradisi di sana tidak membolehkan wanita bekerja seperti itu, ungkap ibu Miina pada wartawan The New York Times.

Bacha posh akan kembali mejadi wanita ketika mereka telah haid, tapi ada kasus bacha posh yang tidak ingin kembali menjadi wanita, mungkin karena secara psikologis, mereka telah menjadi laki-laki, seperti yang dirasakan oleh Zahra yang berumur 15 tahun. Selain itu, Zahra merasa menjadi wanita kembali akan mempersulit hidupnya, karena wanita seringkali dianggap rendah dalam masyarakatnya. bahkan ada kasus dimana dada mereka belum tumbuh walau sudah berumur 18 dan haidnya masih tidak teratur. 

Pada akhirnya, apakah praktik kebudayaan bacha posh termasuk tindakan yang dilaknat Rasulullah karena mereka membuat anak perempuan mereka berpenampilan seperti laki-laki? 

Senin, 15 September 2014

Renungan Part 26 (the grass is always greener on the other side)


Menurut situs urban dictionary, ungkapan the grass is always greener on the other side merujuk pada kecenderungan manusia untuk melihat hidup orang lain dan apa yang dirinya tidak punya tapi dipunyai oleh orang lain. Hal ini membuat manusia cenderung merasa bahwa hidup orang lain lebih baik dari dirinya, ketika ketika melihat bahwa pasangan orang lain lebih cantik, lebih perhatian, dan lebih dapat memenuhi keinginan kita dari pasangan kita sendiri, atau ketika kita merasa bahwa hidup tetangga atau teman kita lebih berhasil dan sukses dari diri kita. Ketika melakukan hal ini kita cenderung membanding-bandingkan diri kita, dan apa yang kita punya dengan orang lain. Hal ini pun dapat berkembang, kita mulai membanding - bandingkan pasangan kita dengan orang lain, atau anak kita dengan anak lain. Bagaimana kita sebaiknya menyikapi kecenderungan ini? Aku merasa ada dua hal yang bisa kita lakukan.




pertama, pernahkah terlintas dalam pikiran kita bahwa mungkin orang lain yang kita kira hidupnya lebih baik itu pun berpikir bahwa hidup kita lebih baik? Jika kita merasa menjadi atau mendapat hal yang orang lain punya kita akan merasa lebih baik, itu hanya sementara. Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, tak ada rasa cukup ketika mengikuti hawa nafsu, maka kita akan selalu merasa the grass is always greener on the other side. Hanya satu yang kita bisa lakukan, yaitu terus bersyukur atas semua hasil usaha kita. 


Kedua, kita seharusnya meluangkan waktu merenungkan apa yang kita punya, pencapaian kita dan mensyukurinya, maka kita akan merasa bahwa rumput kita pun sama hijaunya dengan yang lain. Kita hanya terlalu sibuk melihat kekurangan dalam diri kita. Pernah suatu waktu aku bertanya pada salah seorang temanku tentang kekurangannya, dia dapat menjawabnya dengan lancar sekali, tapi ketika ditanya tentang kelebihannya, dia cukup kesulitan menjawabnya dan malah berkata "orang lain yang lebih dapat menilai kelebihanku". Salah satu contoh bagaiman kita terlalu berfokus pada kekurangan kita saja, padahal kelebihan kita pun banyak. Yang perlu kita lakukan adalah menyisihkan waktu untuk merenung dan melihat dalam diri kita. 

Pada akhirnya, ketika kita sibuk membanding-bandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, maka ketidakbahagiaanlah yang kita dapat karena hal itu dapat membuat hidup kita terasa kurang dan selalu kurang. Jika kita meluangkan waktu merenungi apa yang kita punya dan apa yang kita capai kita dapat melihat bahwa rumput kita sama hijaunya dengan yang lain. Yang kita perlu lakukan hanyalah bersyukur. 


Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim ayat 7)

  




      

Kamis, 11 September 2014

Renungan Part 25 (what lies beyond the death?)






Pagi ini sambil membuka internet membaca beberapa situs berita favorit dan menikmati secangkir kopi untuk mencari inspirasi bahan renungan hari ini, aku memutar beberapa lagu di playlistku. Kemudian, sebuah lagu berjudul The Spirit Carries On dari Dream Theatre menyentil hati kecilku. Sebuah lagu yang membuat bulu kudukku merinding setiap saat mendengar reffnya, sebuah lagu yang mengajakku mereungkan arti kehidupan ini. Aku pun berpikir, mari kita renungkan lirik lagu yang luar biasa ini.


Where did we come from?
Why are we here?
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?

Pernahkah kita mempertanyakan darimana kita berasal? kenapa kita ada di dunia ini? kemana kita pergi setelah meninggal? apa yang terjadi setelah meninggal? apakah ada yang pasti di dunia ini? aku yakin seratus persen bagi kita yang di waktu kecil pernah mengaji, pasti pernah mendengar jawaban dari pertanyaan itu dari guru mengaji kita, atau dari guru agama di sekolah kita, atau dari ustaz di televisi, tapi pernahkah kita mempertanyakan pertanyaan itu dengan serius? Serius dalam arti jawabannya akan mempengaruhi kehidupan kita.  Kita berasal dari tanah, kita ada di dunia untuk menjadi khalifah dan untuk beribadah kepada-Nya, setelah mati kita akan ke akhirat dimana semua perbuatan kita diberi ganjarannya, dan tidak ada yang pasti di dunia ini keculia ketidakpastian itu sendiri, tapi kita harus yakin bahwa Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman. Namun, apakah jawaban itu telah meresap di hati kita sehingga tindak tanduk kita sesuai dengan jawaban tersebut? itu yang harus selalu direnungkan. 

They say, "Life is too short,"
"The here and the now"
And "You're only given one shot"
But could there be more,
Have I lived before,
Or could this be all that we've got?

Yah hidup kita sungguh terlalu pendek, dan kita hanya diberi satu kesempatan. Sayang kita tidak menyadarinya dan cenderung merasa kita akan hidup selamanya dengan hanya mencari kenikmatan dunia. Kita berbohong, kita berbuat zalim, kita menipu, kita merampas hak orang lain demi materi, padahal itu semua perbuatan durhaka. Ketika kita sadar, umur kita telah habis. Hidup ini terlalu pendek jika kita hidup hanya untuk diri kita sendiri.

If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

Reff yang selalu membuat bulu kudukku merinding ketika kudengarkan sepenuh hati. Benarkah kita akan merasa baik baik saja jika kita tahu kita akan mati esok hari?  Dari sudut pandang orang yang tidak bertuhan dan tidak mempercayai akhirat, kurasa kematian sungguh menakutkan karena kematian adalah akhir dari segalanya. Dari sudut pandang orang yang percaya tuhan dan akhirat, kurasa ada dua kemungkinan, satu sama takutnya dengan mereka yang atheis karena merasa terlalu banyak dosa, dan yang kedua akan merasa baik-baik saja, atau bahkan bahagia, seperti yang Quraish Shihab ajarkan dalam bukunya Kematian Adalah Nikmat. Bahagia karena dengan mati kita akan pulang untuk bertemu dengan sang Pencipta. Tentunya, yang kedua ini hanya akan dirasakan oleh hamba-hamba yang saleh. apakah kita termasuk ke dalamnya?

I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before
I'm not scared anymore
I know that my soul will transcend

Dengan percaya bahwa tuhan itu ada, dan selalu hidup dalam tuntunan-Nya, kematian tidaklah menakutkan. Kita meyakini bahwa hidup ini hanya "numpang lewat" sebentar, dan kehidupan setelah mati lah yang kekal.

I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try

Ada kalanya ketika semua keyakinan kita akan hidup dan apa yang terjadi setelah mati dipertanyakan, keyakinan akan tuhan kita dipertanyakan, kita mungkin tidak pernah tahu pasti semua itu, tapi sebagai manusia kita hanya bisa mencari atau berproses dengan hati nurani dan memilih keyakinan itu untuk hidup ini. Setidaknya itulah pilihan kita sebagai kebenaran, dan menjalani hidup sesuai pilihan itu.

Kesimpulan lirik lagu ini seakan membawaku ke masa lalu saat aku mengikuti pelatihan kader HMI Ciputat. Materi Nilai Dasar Perjuangan yang sungguh melekat, yang mengajakku mempertanyakan keberagamaanku. Kenapa saya muslim? satu pertanyaan yang menjalar ke banyak pertanyaan filosofis yang beberapanya ada dalam lagu ini. 

Siapa kita? Darimana kita berasal? Apa yang terjadi setelah mati? 

Minggu, 07 September 2014

Renungan part 24 (seven deadly sins: Greed)




"Orang ini punya hasrat hidup bermewah-mewahan. serakah itu bawaan manusia sebenarnya, tidak terkontrol,” (Abraham Samad)





Begitulah pernyataan ketua KPK Abraham Samad mengenai tersangka kasus korupsi Jero Wacik. Menurut sebuah situs berita online, Jero Wacik sang menteri ESDM di era Presiden SBY ini, telah melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP. Status tersangka diberikan pada Jero Wacik setelah KPK menemukan dua alat bukti yang menegaskan perannya dalam meminta imbalan buat memperbesar dana operasional sebagai menteri.

 Jero Wacik yang kini menjadi tersangka korupsi

Menarik sekali membaca pernyataan Abraham Samad tentang Jero Wacik. Dia berkata bahwa Tersangka itu orang yang serakah, dan serakah adalah bawaan manusia. Jika kita renungkan, maka sebenarnya sifat serakah itu memang ada pada diri setiap manusia karena manusia diberikan hawa nafsu oleh Allah. Artinya setiap manusia yang bernafas di bumi ini memiliki potensi untuk menjadi serakah, dan itu termasuk diri kita.

Mari kita sejenak merenungkan hadits berikut:

Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Artinya : Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat. (HR. Bukhari no. 6436)

Hm.... Pernahkah kita sangat menginginkan sebuah hp baru yang sedang tren? kita begitu senang ketika berhasil mendapatkannya. Namun setelah beberapa lama, hp itu tidak lagi tren, lalu kita bosan dan menginginkan hp yang lebih baru yang sedang tren. Itu adalah contoh kecil bagaimana keserakahan bekerja. Manusia memang tidak pernah puas, selalu ingin lebih, lebih dan lebih, sebagaimana yang digambarkan dalam hadits tersebut. Oleh karena itu, kita harus mawas diri dengan keinginan-keinginan yang muncul dalam diri kita, apakah itu bentuk keserakahan?
 
Lalu dalam Al-Quran disebutkan:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Artinya : Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS. At Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)

Ibnu Katsir berkata: “Allah S.W.T. menegaskan bahawa cinta dunia, kenikmatan yang ada padanya dan kemegahannya, telah menyibukkan kamu dari berusaha mencapai bekal di akhirat. Dunia ini begitu melalaikanmu sehingga maut menjemputmu lalu engkau berada dalam liang kubur dan menjadi penghuninya.” [Tafsir Ibnu Katsir: 4/44]. Keserakahan merupakan tanda kita ini cinta dunia dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya

Serakah dapat membawa kita menjadi orang yang lalai akan spiritualitas karena sibuk dengan kenikmatan duniawi. Tak penting seberapa besar rumah kita, seberapa bagus dan banyak mobil kita, seberapa tinggi gelar kita, seberapa banyak tabungan kita, ukuran kuburan kita tetap sama, iya kan? Aku selalu memperhatikan beberapa kuburan di kampung halamanku, memang ada beberapa yang dibangun sangat megah, bahkan sampai dipagar dan diberi atap, menandakan bahwa si ahli kubur itu orang yang kaya. Namun, jika kita renungkan, itu semua hanya di permukaannya saja, dan ukuran lubang si ahli kubur yang kaya dan miskin tetaplah sama. Mereka sama - sama ditimbun dengan tanah, dan kain kafan yang mereka gunakan pun sama - sama putih. Rasanya aku tidak pernah mendengar ada orang meninggal menggunakan kain kafan berlapis emas.... Hm.... Bukankah di hadapan Allah yang penting hanya ketakwaannya saja?








Minggu, 31 Agustus 2014

Renungan Part 23 (Bahagia itu Sederhana)



Bulan Agustus ini kembali media dihebohkan dengan kematian seorang aktor kawakan hollywood  Robin William. Kematiannya, yang berbagai media laporkan, disebabkan oleh bunuh diri karena depresi yang berkepanjangan selama dua tahun terakhir. Opini pun berkembang, dari bagaimana depresi bisa menyebabkan keinginan bunuh diri, hingga bagaimana orang sukses secara karir seperti Robin william bisa depresi sehingga akhirnya bunuh diri. Opini yang terakhir memang cukup menarik perhatianku. 

Dalam pandangan masyarakat umum Indonesia, sebagaimana yang kupahami selama ini, kunci kebahagiaan hidup ini adalah kemapanan hidup secara finansial (baca: banyak uang). Karena mapan secara finansial menghilangkan rasa takut akan masa depan. Takut tidak bisa makan, tidak punya tempat tinggal, tidak bisa memenuhi keinginan orang yang kita cintai, takut tidak bisa berobat ketika sakit, takut tidak bisa membesarkan anak, dan takut - takut lainnya. Tak aneh jika salah satu syarat dari calon mertua atau calon istri pada setiap pria adalah kemapanan, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai syarat utama. Semua demi menjamin kebahagiaan hidup. Selain itu, kemapanan dapat memberikan prestis tersendiri. Dengan menjadi mapan, orang lain akan hormat pada kita, dan pada akhirnya memberikan kita kebahagiaan karena bangga dengan apa yang telah kita capai, bangga dapat membanggakan orang tua, bangga menjadi salah satu manusia dari sekian banyak manusia yang mampu "menang" dalam kompetisi hidup untuk mengumpulkan harta.

Atas dasar asumsi itulah, banyak orang bekerja keras banting tulang untuk mengejar kunci kebahagiaan itu. Mereka bekerja dari pagi sampai pagi, para orang tua membibit anak mereka dengan belajar dari pagi sampai malam demi memuluskan jalan mereka di masa depan dalam mencapai kunci kebahagiaan itu. Bekerja, bekerja dan bekerja untuk mengumpulkan harta sampai melupakan banyak hal yang penting. Lalu, apa yang terjadi? 

"Manusia, Karena dia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang; Lalu dia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Lalu dia sangat khawatir dengan masa depannya, sampai-sampai dia tidak menikmati masa kini; Akhirnya dia tidak hidup di masa depan atau pun di masa kini; Dia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu dia mati tanpa benar-benar menikmati apa itu hidup"

Quote menarik dari Dalai Lama di atas mungkin cukup menggambarkan apa yang terjadi. lalu, apakah kemapanan finansial merupakan tiket pasti menuju kebahagiaan seperti yang kita kira? Sepertinya kita harus cukup kecewa dengan faktanya.  Menurut artikel di huffingtonpost.co.uk, negara maju seperti Amerika yang kaya justru memiliki masyarakat yang cenderung lebih depressi alias tidak bahagia, terutama para anak muda mereka. Bukankah dengan menjadi negara kaya seharusnya dapat menjamin warganya bahagia karena kekayaan dan kesejahteraan itu? Sayang, tidak begitu kenyataannya. Apakah alasannya? tidak lain tidak bukan karena mereka dicekoki bahwa kebahagiaan di dapat dari Fame and Fortune, yaitu memiliki banyak uang untuk melakukan hal yang kita inginkan. Memenuhi keinginan memang bisa memberikan kebahagiaan, namun kebahagiaan yang semu. Sejarah membuktikan bahwa Fame and Fortune tidak membuat seorang Kurt Cobain bahagia. Dia mengalami depressi di penghujung hidupnya. 

Lalu, apa yang sebenarnya dapat membuat kita bahagia jika memenuhi keinginan (baca: hawa nafsu) cuma memberikan kebahagiaan semu? Mari kita coba memahami apa itu kebahagiaan hakiki dan bagaimana cara mendapatkannya.



Menurut seorang psikolog, Sonja Lyubomirsky, dalam bukunya The How of Happiness: a scientific approach to getting the life you want, kebahagiaan adalah pengalaman sukacita, kepuasan, atau sejahtera, dikombinasikan dengan rasa bahwa hidupnya itu baik, bermakna, dan bermanfaat. Artinnya, kebahagiaan adalah kumpulan rasa positif dalam diri bersama dengan pemahaman mendalam akan makna dan tujuan hidup. Hm... pernahkan kita mempertanyakan secara serius pertanyaan filosofis makna hidup kita sebenarnya? siapa kita? untuk apa kita hidup? Ok semua itu ada dalam ajaran agama kita, muncul pertanyaan berikutnya, apakah kita pernah merenungkan ajaran agama kita ini, atau hanya ikut-ikutan kata orang lain? kurasa dengan menulis ini aku sudah mulai satu langkah dalam perenungan itu, dan perjalanan perenungan ini masih panjang.  

Disamping itu, Sonja pun memberikan delapan tips bagaimana kebahagiaan itu dapat diraih. Pertama, kita dianjurkan membangun hubungan dengan orang lain, berhubungan sosial dengan teman, tetangga, saudara atau kekasih terbukti secara ilmiah dapat memberikan rasa kebahagiaan.  

Kedua, berterima kasih atau bersyukur. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Michael McCullough, Robbert Emmons, Lyubomirsky, dan lainnya menunjukan bahwa dengan sering bersyukur dapat memberikan perasaan optimis dan tingkat kepuasan diri yang lebih tinggi akan hidup. Maka sangatlah benar, ketika Allah berfirman dalam Al Quran surat Ibrahim ayat 7,  menyuruh hamba-Nya bersukur. Karena dengan bersyukur, kita akan mendapatkan tambahan nikmat, yaitu berupa kebahagiaan. Sudahkah kita, yang merasa suka membaca Al-Quran, memahami dan mempraktekan hikmah ayat ini?    

Ketiga, melakukan kebaikan. Penilitian yang dilakukan oleh Elizabeth Dunn melaporkan bahwa orang yang berderma (bersedekah) merasa lebih bahagia daripada orang yang menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri. Sebuah penelitian tentang otak pun menunjukan bahwa ketika seseorang melakukan hal baik pada orang lain, bagian otak yang mengontrol perasaan senang akan lebih aktif. Pernahkah anda menolong seseorang yang kesulitan? bagaimana perasaan kita saat melihat senyum bahagia mereka yang anda tolong? bahagia... ya itu pasti. Jika tidak, aku yakin kita tidak atau kurang ikhlas menolong mereka. Itulah salah satu alasan menurutku kenapa kita sebagai muslim dianjurkan saling tolong menolong, berzakat, dan bersedekah, karena dengan melakukan kebaikan hati kita akan tentram dan bahagia. Hanya memang terkadang kita lebih mementingkan ego kita, merasa kita saja belum mampu mencukupi kebutuhan (baca: hawa nafsu) kita, sehingga enggan memberi.   

Keempat, tidak mendendam. Menurut penelitian Everett Worthington dan Michael McCullough, ketika kita memaafkan orang yang berbuat salah pada kita, kita akan merasakan emosi yang lebih positif dan merasa lebih dekat dengan orang lain. Menyimpan dendam hanya akan membuat hati ini semakin sakit, oleh karena itu Al Quran mengajarkan bahwa memaafkan kesalahan orang lain lebih mulia daripada membalas dengan perbuatan yang setimpal walau dibolehkan. Selain membuat hati kita menjadi lebih bahagia, memaafkan dapat memiliki efek luar biasa apalagi jika dibarengi dengan pembalasan yang lebih baik. 

Saat kecil dulu, guru mengajiku pernah bercerita tentang masuk islamnya seorang penduduk mekkah yang selalu melempar Rasulullah dengan kotoran setiap saat Beliau melintas depan rumahnya. Namun, suatu saat Si pelempar ini jatuh sakit, Rasulullah yang tahu perihal sakitnya itu segera menengok dia sambil membawakan makanan, dan akhirnya  dengan berurai air mata si pelempar ini masuk islam saat itu juga. Jika kita ada di posisi Rasulullah, kira-kira apa yang akan kita lakukan? biasanya kita akan mensykurinya bukan? maksudku kita akan dengan lantang berkata "syukurin lu.... makanya jangan songong jadi orang.....". hm... Dijamin kebahagiaan akan sulit hingga di hati kita.

Kelima, olahraga. Banyak penelitian yang menjelaskan keuntungan olahraga selain kebugaran, antara lain, meningkatkan kepercayaan diri, mengurangi kecemasan dan stress.  Di zaman yang super sibuk ini, manusia hampir tidak punya waktu untuk berolahraga, padahal aktifitas ini cukup penting karena dapat mereda stress. Keenam, istirahat yang cukup. sebuah penelitian mencengangkan oleh seorang psikolog pemenang nobel bernama Daniel Kahneman melaporkan bahwa satu jam tambahan untuk istirahat dapat memberikan efek pada kebahagiaan lebih besar daripada kenaikan gaji sebesar 60.000 dollar. Ketujuh, lebih peka. orang orang yang melatih kepekaan - menyadari akan pikiran, perasaan dan lingkung sekitar - cenderung lebih bahagia dan merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi. 

Kedelapan, tidak berfokus pada kekayaan materi. Asalkan kebutuhan dasar kita terpenuhi, penelitian menunjukan bahwa semakin banyak uang tidak memberikan kebahagiaan lebih. Penelitian Richard Easterlin menunjukan bahwa sebuah negara tidak makin bahagia ketika negara itu makin kaya. Mungkin itu alasan kenapa orang yang lebih mengutamakan materi daripada nilai lain tidak bahagia, atau terlalu membanding-bandingkan diri dengan orang yang lebih dari kita adalah sumber ketidakbahagiaan.

Kesimpulanku atas pertanyaan apa yang memberikan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan itu sederhana dan tidak mahal, mungkin selama ini kita terlalu silau dengan gemerlap dunia sehingga menganggap kebahagiaan itu terletak di luar sana, di tempat hiburan seperti mall dan taman bermain, di dalam restoran mahal, di sebuah gadget mahal, di kendaraan mewah, di dalam rumah mentereng, di saldo tabungan diatas 1 milyar, di pasangan yang cantik atau tampan, di anak-anak yang menjadi apa yang kita inginkan, dia sebenarnya dekat dengan kita. Kebahagiaan terletak di hubungan harmonis dengan orang di sekitar kita, dia terletak dalam rasa syukur kita, dia terletak setiap kebaikan yang kita lakukan, dia terletak dalam kerelaan memaafkan kesalahan orang lain, dia terletak dalam keseimbangan aktifitas antara bekerja, olahraga dan istirahat, dia terletak dalam hidup sederhana dimana harta hanyalah alat penyambung hidup semata.

wallahu a'lam bishowab.



 



 




Kamis, 28 Agustus 2014

Renungan Part 22 (money shouldn't buy anything)



 
"Orang Jogja b*****t. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus gak dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku gak bsia bayar apa. Huk. KZL," 

Itu adalah celoteh the most wanted woman di Jogja akhir-akhir ini dalam akun sosmed path miliknya. Wanita yang bernama Florence Sihombing ini memang jadi terkenal karena hinaannya pada orang Jogja. Tak pelak, seluruh warga jogja mecemoohnya di dunia maya. Asal muasal kekesalan Florence sehingga menulis seperti itu adalah karena penolakan petugas SPBU untuk mengisi bensin motornya, dan keengganannya itu dikarenakan Florence menyela pelanggan lain dan menyerobot jalur antrean mobil. (sumber)

Yang menarik perhatianku adalah kata kata Florence "Emangnya aku gak bisa bayar apa", dan jika dihubungkan dengan pemberitaan tentang insiden ini bahwa Florence menyerobot antrian, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa menurut dia menyerobot antrian itu tidak apa-apa asalkan bisa bayar. (Sebelum dilanjutkan mungkin akan lebih baik kalau dipahami bahwa kesimpulan di atas merupakan murni pendapat pribadi penulis dari sudut pandang pribadi.)

Maka permasalahan yang menarik bagiku disini adalah pemikiran bahwa dengan uang kita bisa melakukan atau mendapatkan apa saja. Contoh, sistem fast track di konser konser atau di taman bermain, dimana para pengunjung bisa mendapat hak istimewa menyela antrian dengan membayar lebih dari orang lain. Maka menyerobot antrian asal bayar lebih pun boleh toh? Sekilas, sistem ini nampak tidak bermasalah, dan kita akan bergumam "itu mah biasa... ya kalau punya uang kita bisa mendapat pelayanan lebih" memangnya apa yang salah dengan sistem ini?

 
Menurut Michel J. Sandel seorang ahli filsafat dari Amerika, dalam bukunya, What Money Can't Buy, uang memiliki kekuatan untuk merusak nilai-nilai baik suatu benda/hal ketika hal itu dijadikan komoditas bisnis. Dalam kasus membayar lebih untuk menyerobot antrian, uang telah mencederai nilai keadilan yang tak pandang bulu. Dalam mengantri, orang yang datang pertama yang dilayani terlebih dahulu entah itu kaya atau miskin, cantik atau jelek, dan setiap orang harus patuh pada aturan itu. walaupun tentunya bisa saja seseorang merelakan antriannya diserobot atas dasar solidaritas atau tolong menolong karena mungkin orang yang ditolongnya lebih membutuhkan sehingga harus didahulukan, tapi tentunya harus dengan kerelaan orang yang mengantri terlebih dahulu. Itulah nilai keadilan universal yang terkandung dalam antrian, dan kehadiran sistem fast track ini telah mencederai nilai keadilan dalam sistem antrian.

Kesimpulannya, pola pikir uang dapat membeli segalanya adalah salah, karena pada dasarnya uang memiliki kekuatan untuk merusak nilai nilai yang ada. Seperti halnya uang merusak nilai keadilan dalam sistem antrian. Jadi, berpikir bahwa membayar lebih untuk mendapatkan sesuatu dengan mencederai hak orang lain adalah sebuah masalah yang serius.      

  

Selasa, 22 April 2014

Renungan part 21 (Dinda dan ibu hamil)

    


       Hari ini saat membuka situs kompasiana, aku menemukan satu tulisan yang membahas tentang seorang gadis ABG yang curhat di sosmed PATH tentang kejengkelannya pada ibu hamil yang minta tempat duduk di kereta. Sebagaimana diberitakan di www.kabar24.com, gadis ABG yang bernama Dinda ini merasa kesal dengan ibu hamil di kereta yang meminta tempat duduk karena menurutnya ibu itu malas tidak mau berusaha untuk mendapatkan tempat duduk dengan naik lebih dulu seperti yang dia lakukan. Dia merasa bahwa ibu hamil itu egois dan ingin enak sendiri; dia tidak memikirkan kesulitan dan pengorbanan Dinda untuk mendapatkan tempat duduk di kereta itu. Yang lebih menarik adalah ada beberapa akun yang berkomentar dan setuju dengan curhat Dinda, bahkan sampai ada yang memberikan tips supaya tempat duduk kita tidak terambil oleh para ibu hamil. Walaupun begitu, tak sedikit pula yang mengecam Dinda.

       Ternyata, tidak satu akun kompasiana yang menulis tentang hal ini, aku menemukan beberapa penulis lain mengangkat isu yang sama dari sudut pandang masing-masing. banyak yang menghujat ketidakempatian Dinda, dan ada pula yang mencoba memberi pandangan objektif, tapi tidak ada satu akunpun yang benar-benar  membelanya karena setuju dengan curhatan Dinda. Rupanya Dinda sekarang menjadi trending article di kompasiana. Setelah membaca beberapa tulisan dan berita tentang isu ini, aku menyimpulkan beberapa hal.

        Pertama, kasus Dinda menandakan kita seringkali tidak mampu menekan ego kita. Kekesalan Dinda merupakan bukti bahwa dia tidak bisa menekan egonya untuk memberikan miliknya, yaitu tempat duduk yang dia susah payah usahakan, untuk diberikan kepada orang lain. Apalagi kepada orang yang menurut kita tidak pantas kita bantu. Ego selalu mendorong kita hanya berkorban untuk sesuatu yang ada untungnya bagi kita. "apa untungnya bagiku?", "kenapa aku harus bersusah payah demi orang yang tidak kukenal?", "memangnya dia pernah membantuku di saat susah?", "kalau kubantu dia, akankah dia membantuku nanti ketika aku membutuhkan bantuan?", "boro-boro bantu dia, aku saja masih kekurangan" itu adalah beberapa pertanyaan yang muncul dalam kepala ketika kita akan mempertimbangkan untuk menolong seseorang yang mana seringkali membuat kita mengurungkan niat untuk membantu apalagi sampai berkorban.

         Kedua, ketidakmampuan kita menekan ego menandakan keberagamaan kita yang masih kerdil. Sikap rela menelong orang lain adalah sikap yang sangat terpuji, dan merupakan sebuah tanda dari iman dan takwa yang sungguh luhur. Aku ingat dulu ketika masih kecil, guru mengajiku berkata bahwa tindakan menyingkirkan paku, atau benda berbahaya lain di jalan agar tidak melukai dan merugikan orang lain, merupakan sebuah ibadah. Apalagi dengan memberikan tempat duduk kita kepada ibu hamil, aku rasa itu merupakan sebuah ibadah yang mulia. Mungkin pikiran kita terlalu sempit hanya berpikir bahwa ibadah adalah ritual seperti solat, zakat, puasa. Padahal ibadah-ibadah tersebut memiliki substansi dalam yang terwujud dalam tindakan sosial yang nyata.Puasa mengajarkan kita menjadi insan yang mampu menahan ego atau nafsu, kemudian Zakat mengajarkan kita untuk mau berkorban memberikan apa yang  telah susah payah kita usahakan untuk diri kita kepada orang lain yang membutuhkan, maka sudahkah kita yang tiap tahun berzakat dan puasa mampu menerapkan hikmah itu di kehidupan sehari-hari? Salah satu dosenku dulu, yang sering disebut agak nyeleneh pemahaman agamanya, pernah berkata bahwa kita tidak boleh anggap ibadah dari sudut pandang yang sempit karena setiap tindakan kita dapat menjadi ibadah.

       Kasus Dinda seakan mengingatkan kita untuk melihat dalam diri kita sendiri, apakah kita sudah mampu menekan ego demi kemaslahatan orang lain? apakah ibadah kita memiliki dampak pada perilaku kita sehari-hari? Terima kasih Dinda, engkau insan yang jujur yang mengingatkan kita semua.

   

Rabu, 26 Maret 2014

Renungan part 20 (Antri dong....)

Beberapa hari yang lalu aku sempat membaca sebuah artikel di kompasiana yang membandingkan budaya antri di indonesia dan di luar negeri, dan kesimpulannya adalah masyarakat indonesia masih tidak menghargai budaya mengantri.


Aku memiliki dua pengalaman menarik berhubungan dengan budaya antri ini. Pengalaman pertama terjadi di Polsek Ciputat, waktu itu aku sedang ingin membuat surat kehilangan dari kepolisian. Melihat ada orang yang sedang melapor juga, akupun duduk menunggu untuk mengantri, tak lama kemudian ada seorang laki-laki berpakaian agak lusuh masuk, melihat ada beberapa orang yang sedang duduk menunggu, dia pun bertanya "ngantri ya mas?", kami pun serempak mengangguk. Si laki-laki tadi tetap berdiri di sampingku di depan pintu ke ruangan pelaporan. Tak lama kemudian, pelapor yang di dalam ruangan telah selesai, polisi pun memanggil pelapor berikutnya, yang tak lain adalah aku (kalau mengurutkan berdasarkan antrian). Tiba-tiba si laki-laki yang berdiri tadi berkata kepadaku "saya duluan aja mas.." sambil ngeloyor masuk ke ruangan. Aku yang belum sempat berdiri hanya melongo. Cukup kesal, tapi kucoba menyabarkan diri saja. Kemudian terdengar suara polisi di dalam ruangan berteriak. "Emang siapa yang datang duluan? antri mas!" rupanya si polisi memang tahu bahwa laki-laki itu datang paling terakhir (ruangan pelaporan dan ruangan tunggu hanya disekat kaca.). Alhasil, si laki-laki keluar kembali dengan muka bete, dan aku pun masuk dengan tersenyum.

Pengalaman keduaku terjadi tadi malam di warung nasi di daerah Legoso, Ciputat yang selalu penuh. Saat aku masuk pemilik warung sedang melayani satu pelanggan. aku pun menunggu dengan sabar, beberapa lama kemudian ada seorang ibu-ibu, berpakaian rapi lengkap dengan jilbab datang. Saat pemilik warung selesai melayani palanggan, dia pun bertanya apa pesananku, setelah kujawab, ibu-ibu tadi segera memberikan uang kepada pemilik warung sambil berkata "sayur asemnya empat ribu mbak...". Si pemilik warung bengong sebentar, lalu segera mengambil uangnnya dan melayani dia lebih dulu!!! aku yang jelas-jelas lebih dulu datang, yang dia tanya lebih dulu dicuekin saja. Aku hanya tersenyum-senyum saja sambil berpikir memang benar tulisan di kompasiana itu. Budaya mengantri belum mengakar di masyarakat Indonesia.

Pertanyaanku sekarang adalah kenapa itu bisa terjadi? apa yang menyebabkan mayarakat kita tidak mau mengantri? aku pun merenung.

Menurutku, ini semua berawal dari rasa egois yang ada dalam diri manusia. Egois memang sifat dasar manusia, dalam keadaan tertentu manusia pastinya akan mementingkan dirinya daripada orang lain, dan hanya orang-orang tertentu saja yang rela mengorbankan rasa egoisme mereka demi orang lain. Bukti bahwa ada orang yang bisa menekan egoisme mereka sebenarnya sebuah tanda bahwa menekan egoisme bisa diajarkan. Jadi pertanyaannya adalah apakah kita dididik seperti itu?

Kemudian aku berpikir bahwa kita harus menekan egoisme dalam diri karena kita harus sadar bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini, ada hak-hak orang lain yang harus kita hormati dan penuhi. Mengantri dengan benar artinya kita menghormati hak-hak orang lain yang datang lebih awal, ketika kita menyerobot antrian, maka ada hak orang lain yang kita langgar. Artinya kita menzalimi orang itu, dan menurutku itu indikasi bahwa akhlaknya kepada manusia sungguh jelek. Akhlak yang jelek menandakan ibadahnya kepada Tuhan tidak membekas pada dirinya, jadi kesimpulannku dia bukan orang yang beragama dengan baik (karena jilbab itu simbol keshalehan yang diwujudkan dalam akhlak, harusnya ibu-ibu di warteg itu copot jilbab aja....  <Emosi> hahaha.........).

Hal lain yang menjadi pikiranku adalah peran pihak berwenang dalam isu ini, menurut salah satu tulisan di kompasiana, ketidakmauan mengantri dapat mengindikasikan ketidakpercayaan masyarakat pada otoritas tertentu, atau sistem yang ada memang tidak mendukung budaya ini. Pengalamanku di Polsek Ciputat menjadi bukti bahwa peran otoritas tertentu sangat berpengaruh untuk mendidik masyarakat dalam mengantri (polisi dan pemerintah contohnya). Kalau kita masuk ke bank maka, kita disediakan jalur antrian, dan itu adalah sistem baik yang dipakai untuk memaksa nasabah mengantri.

Perhatikanlah rapinya antrian bioskop di bawah ini:


Di gamnbar tersebut, nampak ada pembatas untuk mengantri yang disediakan. Sekarang bandingkan dengan gambar berikut:






Apakah ada usaha untuk membuat mereka mengantri?? jadi, peran otoritas sangatlah penting.

  
Oleh karena itu, mari kita tanamkan dalam diri untuk menghormati hak orang lain dalam antrian, dan jika kita bisa mengantri tanpa harus dipaksa sistem atau otoritas tertentu, pastinya itu lebih indah, dan itu adalah tanda dari masyarakat yang terdidik dan maju.

Rabu, 19 Maret 2014

Renungan part 19 (Dallas Buyers Club)

Kemarin malam di sekret FLAT, aku menonton sebuah film yang sangat menarik berjudul "Dallas Buyer Club". Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata pemeran utamanya yang bernama Ron Woodroof.


Film yang berseting tahun 80an ini bercerita tentang Ron Woodroof (diperankan oleh Matthew McConaughey), seorang tukang listrik dan koboi rodeo dari Dallas yang didiagnosa memiliki penyakit AIDS. Dokter mengatakan padanya bahwa hidupnya hanya tinggal sebulan saja.  Dia pun berusaha mencari obat agar dia tetap hidup. Obat AZT yang dia dapatkan dari rumah sakit (obat ini adalah obat yang diperbolehkan FDA, departemen yang mengurusi obat dan makanan di amerika, untuk dipakai pada pengidap AIDS di Amerika) ternyata hanya memperburuk kesehatannya. Dia pun bertemu dengan seorang dokter Amerika yang lisensi prakteknya dicabut di sebuah tempat di meksiko dalam pencariannya mencari obat. Dokter tersebut memberitahunya bahwa AZT hanya memperburuk keadaan pengidap AIDS, dan justru dia meresepkan  ddc dan protein peptide T untuk Woodroof (anehnya kedua obat tersebut dilarang oleh FDA untuk digunakan di Amerika). Tiga bulan kemudian, kesehatan Woodroof membaik, dia pun mencoba menjual obat tersebut pada penderita AIDS di Amerika dengan menyelundupkannya dari Meksiko.

Bersama seorang waria bernama Rayon (diperankan oleh Jared Leto), Woodroof mendirikan "Dallas Buyers Club", sebuah klub yang anggotanya harus membayar 400 dollar Amerika per bulan untuk mendapatkan pasokan ddc dan peptide T. Klub ini pun menjadi popular di kalangan pengidap AIDS karena obat tersebut dirasa lebih ampuh menolong mereka. Namun, FDA tidak tinggal diam, setelah merubah regulasi bahwa menjual obat yang tidak disetujui FDA itu ilegal, polisi bersama FDA menyita obat-obat milik Dallas Buyer Club. Tidak terima dengan hal itu, Woodroof pun melakukan gugatan pada FDA, namun dia kalah dan pada akhir persidangan Woodroof diperbolehkan mengkonsumsi peptide T hanya untuk keperluan pribadinya saja. Akhirnya, Woodroof meninggal di tahun 1992, 7 tahun setelah dokter mendiagnosanya dengan AIDS. Aku pun menyimpulkan dua hal penting dari film tersebut.

Pertama, film itu menggambarkan moral yang buruk dari pengusaha. AZT yang diperbolehkan FDA adalah obat yang diproduksi oleh perusahaan besar Amerika, Woodroof di sebuah adegan menuduh FDA disuap oleh perusahaan obat untuk tidak memperbolehkan obat lain yang menurut pengalamannya justru lebih baik. Perusahaan obat bukan tidak tahu bahwa ada obat lain yang bisa lebih efektif, tapi tidak mau mengakuinya demi berlangsungnya bisnis, dan terus mendapat keuntungan dari penjualan AZT ke rumah sakit di Amerika. Terkadang para pebisnis memang melakukan cara kotor untuk mempertahankan bisnis mereka. Pernah suatu waktu, aku menonton video di youtube tentang konspirasi pembohongan publik yang dilakukan oleh perusahaan air minum kemasan di Amerika. disitu dijelaskan bahwa sebenarnya air keran di rumah-rumah cukup aman untuk dikonsumsi, tapi perusahaan air minum menyebarkan isu bahwa air itu masih belum higienis dan berbagai macam embel-embel kesehatan lainnya, lalu dia pun memberikan solusi untuk membeli air minum kemasannya yang telah melalui proses bla-bla sehingga lebih aman dikonsumsi. Padahal, air yang ada dalam kemasan itu sama saja dengan air keran yang mengalir ke rumah-rumah di amerika. Bedanya, air itu dikemas dalam botol yang menarik dan masyarakat harus membelinya sedangkan air keran itu gratis. jika teman-teman pernah menonton film "the lorax", sebenarnya isu yang sama pun diangkat disana, di film itu digambarkan lebih kuat bagaimana pengusaha rakus membodohi masyarakat demi keuntungannya.


Hal yang kedua, film itu mengajarkan untuk tidak menghina, atau memusuhi satu kelompok masyarakat tertentu tanpa memahami mereka terlebih dahulu. Pada saat itu, AIDS sangat identik dengan para homoseks, padahal AIDS pun dapat menjangkiti pria heteroseksual yang sering berganti pasangan. Woodroof adalah seorang yang sangat membenci homoseksual, makanya ketika dia didiagnosa mengidap AIDS dia begitu marah. Namun, ketika dia membaca-baca buku tentang AIDS, dia pun sadar bahwa penyakit itu memang ada pada dirinya, karena dia sering berhubungan seks dengan banyak wanita. Keadaan ini membuat dirinya dikucilkan dari lingkungannya, bahkan dia dipecat dari tempat dia bekerja. Dia berada tepat di posisi orang yang dulu dia benci dan hina. Saat dia bertemu Rayon dan bekerja sama menjalankan "Dallas Buyers Club" perlahan-lahan dia mulai melembut pada orang-orang homoseksual. Mungkin karena merasa senasib dan sepenanggungan. Bahkan, ketika FDA mulai mengganggunya, dia akhirnya merubah niat bisnisnya menjadi lebih pada memperjuangkan hak-hak para pengidap AIDS.  

Secara keseluruahn, film ini sungguh menarik, dan mencerahkan karena membuatku berpikir, apakah kita benar-benar tega mengesampingkan kepentingan orang banyak demi keuntungan pribadi? sebuah pertanyaan yang belum bisa kujawab.Bagaimanapun juga, film ini tidak cocok ditonton oleh anak yang belum dewasa karena ada beberapa bagian yang mengandung sexual content, tentunya jika disensor dulu akan lebih baik. 




serba-serbi part 1 (Green Day: idealisme dalam bermusik)

Kali ini aku membuat satu label baru untuk tulisan dalam blogku, yaitu Serba-serbi (selain renungan yang sudah mencapai part 18 dan kumpulan foto yang baru 2 part). Rencananya isinya adalah tulisan tentang hobi yang kusukai. Sebagai pembuka sekaligus persemian label ini, aku akan membahas Grup band favoritku yaitu Green day.



Bagi teman-teman yang tidak tahu, band ini berasal dari Amerika Serikat, digawangi oleh Billie Joe Armstrong sebagai gitarist dan vokalis:


kemudian Mike Dirnt di bass dan backing vokal:



dan Tre Cool sebagai penggebuk drum:



dan anggota yang baru diresmikan setelah menjadi additional selama 13 tahun, Jason White, di gitar dan backing vokal:





Band beraliran punk rock ini terbentuk di tahun 1987, formasi pertamanya ada Billie Joe, Mike Dirnt, dan John Kiffmeyer. Kemudian pada tahun 1990, Tre Cool menggantikan John. Green day mengawali karirnya dari label rekaman independent bernama Lookout Records, dan pindah ke label rekaman major bernama Reprise setelah album kedua mereka Kerplunk (1992) sukses di Amerika. Sepanjang karirnya sampai saat ini, Green day telah membuat 11 album, plus 2 album kompilasi.  Terlepas dari gaya hidup band punk rock yang dekat dengan alkohol (yang tentunya tidak patut ditiru), aku sangat senang mendengarkan lagu-lagu mereka karena beberapa alasan.

Pertama, lagu-lagu Green Day banyak yang berisi kritik. Lagu band punk rock memang biasanya berisikan kritik pada hal-hal tertentu, bukan tentang cinta dan mellow (tentunya agak sulit diterima di pasar. cobalah tengok band seperti SID yang beraliran punk rock, atau band indie seperti marjinal), oleh karena itu mereka biasanya menolak untuk masuk label rekaman major karena tidak mau gaya bermusik dan isi lagu mereka diinterfensi agar sesuai dengan pangsa pasar.  Tapi sejauh ini, walau pun Green day masuk label rekaman major, cukup banyak lagu mereka yang masih berisikan kritik tertentu. Contoh, lagu American Idiot yang menjadi single andalan album dengan nama yang sama, adalah pendapat penulis lagu bahwa sekarang para politisi dan media selalu mempengaruhi kita atas apa yang harus kita lakukan, apa yang kita beli dan apa yang kita percayai. Kita diracuni oleh iklan, kampanye, dan acara-acara TV sampah, yang akhirnya merubah kita menjadi masyarakat yang bodoh (terdengar mirip dengan apa yang terjadi di indonesia sekarang kan?). Atau lagu Macy' Day Parade, lagu dari album Warning ini berisikan renungan penulis lagu tentang acara parade dan festival di hari thanksgiving yang diadakan oleh perusahaan Macy's di New York sejak tahun 1924 sampai sekarang. Penulis lagu mengkritik sikap materialisme masyarakat dan mengatakan bahwa ada hal yang lebih penting dalam hidup selain itu. walau tidak disebutkan secara eksplisit dalam lagu apa yang lebih penting itu, mungkin penulis ingin memberikan kebebasan untuk memilih apa yang lebih penting untuk pendengar masing-masing (aku rasa pandangan materialisme juga sudah mengakar di masyarakat indonesia).

Kedua, selayaknya band punk rock, lagu mereka dapat membuat moodku jadi lebih baik, enerjik, dan bersemangat. Gitar listrik dengan distorsi, kemudian gebukan drum yang enerjik, serta suara merdu sang vokalis selalu mampu membantu moodku menjadi lebih baik. salah satu lagu yang paling kusuka adalah Letterbomb dari album American Idiot. Bagi yang ingin mendengarkan lagu tersebut, silahkan klik video di bawah ini:


  
Kesimpulannya, lagu yang berisi kritik dan irama musik enerjik adalah dua penyebab utama kenapa aku suka lagu - lagu Green Day.

 



Sabtu, 15 Maret 2014

renungan part 18 (aku mau pulang)

Renunganku kali ini terinspirasi dari tulisan Gobind Vashdev, seorang penulis dan motivator favoritku, yang kubaca di akun Facebook milik beliau. Berikut penggalan tulisannya:

Seorang pembicara tersohor diundang ke sebuah kota kecil oleh sebuah perusahaan raksasa.
seorang pengemudi menjemput dari airport, mengantar, serta melayani selama 2 jam perjalanan ke kota kecil tersebut.
Setelah mencerahkan 100 orang jajaran manajer dan direksi selama 2,5 jam, molor 30 menit dari waktu yang di tentukan, pembicara ini kembali ke airport dengan tumpangan yang sama dan pengemudi yang sama.
Tidak banyak interaksi terjadi selama kurang lebih 4 jam perjalanan dari dan menuju airport tersebut, hanya sedikit basa-basi, sisanya adalah suara mobil dan sesekali klakson.
Cerita biasa diatas ini memang lumrah terjadi dan memang sangat normal dalam kehidupan ini.
lalu..
Sadarkah kita bahwa 100 orang dalam ruangan tersebut menyerap dan bertanya dengan antusias pada pembicara yang dibayar ratusan juta untuk kebijaksanaan yang kurang lebih mereka sudah mengetahuinya.
Sementara sang pengemudi yang berduaan di dalam kabin mobil bagai kursus privat 4 jam tidak menuai apapun.
Memang Ironis, Ironis yang sudah berwujud kenormalan.
mungkin ada yang mengatakan "Sayang Sekali tidak memanfaatkan kesempatan”. yang lebih keras mungkin akan meng-goblok-goblokan pengemudi yang menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada.
namun coba lihat, bukankah kita semua melakukan hal yang sama dengan sang pengemudi itu?

Hikmah yang kupetik dari cerita tersebut adalah seringkali kita terlalu berfokus pada tujuan sehingga tidak menyadari hal penting yang terjadi dalam proses mencapai tujuan tersebut. Bahkan terkadang tujuan yang kita buat pun bukanlah sesuatu yang patut menjadi tujuan hidup kita. Ketika begini, seringkali kita merasakan hidup kita tidak bahagia karena ketidakpekaan kita akan proses ini. Aku memiliki pengalaman yang cukup berkaitan dengan hal ini.

Sudah hampir dua tahun aku selalu pulang ke sukabumi menggunakan sepeda motor, dan rute cihideung merupakan rute favoritku karena jalan alternatif ini membantuku menghindari macet di jalan utama. Rute ini memiliki jalan yang berkelok dan naik turun  karena melewati kaki Gunung Salak. Hal yang paling menyebalkan ketika pulang menggunakan motor adalah rasa pegal di pantat karena perjalanan yang cukup jauh, oleh karena itu aku selalu memacu motorku dengan cepat agar bisa cepat sampai, dengan begitu aku tidak terlalu memperhatikan lingkungan sekitar yang kulewati.

Suatu waktu, ketika pulang ke rumah aku pun melewati jalur cihideung, karena rasa lelah dan pegal aku pun terpaksa memberhentikan motorku untuk sekedar beristirahat. Saat itu aku melihat pemandangan hijau hamparan sawah dan kebun serta kerlap-kerlip lampu milik rumah warga di kejauhan (waktu itu hari telah menjelang magrib). Sungguh pemandangan yang indah dan aku tidak pernah menyadari ada pemandangan indah ini walau sering aku lewati. Jika saja aku tidak berhenti, mungkin aku tak akan sadar dengan hal itu. Selama ini aku terlalu berfokus untuk sampai di rumah cepat-cepat.

Semenjak itu, aku tidak pernah memacu motorku cepat-cepat (kecuali malam hari, karena memang tidak ada yang bisa dilihat). Aku sering berhenti mengistirahatkan pantatku untuk melihat pemandangan indah yang menyejukan mata di sepanjang perjalanan. Memang, waktu perjalananku jadi lebih lama, tapi perjalanan itu tidak lagi terasa menyiksa.

Mari menikmati hidup yang singkat ini dengan menikmati setiap proses kehidupan, Gobind berpesan: "Sadari, bahwa kita semua adalah pengemudi itu, kita adalah kesadaran yang membawa kendaraan yang bernama raga, serta sang Jiwa Bijak ada dan selalu ada didalam diri ini. Ketika pikiran terfokus pada tujuan saja, kita akan kehilangan keindahan dan kebijaksanaan sepanjang perjalanan. Cepat atau lambat kita semua akan sampai ke bandara kematian yang kemudian mengantarkan kita ke dimensi yang berbeda, namun yang penting adalah selama mengemudi hadirlah disini dan saat ini sehingga keindahan dunia akan tampak berkilau; dan yang lebih penting lagi selalu dan selalu sadari kehadiran sang Bijak di dalam, ajak Ia berkomunikasi dan serap ilmunya, sampai akhirnya menyadari siapa sejatinya Diri ini." 
    
link tulisan Gobind Vashdev
https://www.facebook.com/gobindvashdev/posts/10152295888951672

Kamis, 13 Maret 2014

renungan part 17 (apa yang salah dengan muslim?)



Beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di semester lima, aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba debat bahasa Inggris antar UIN/PTAIN/IAIN seluruh indonesia di kota Watampone, kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Sebuah acara tingkat nasional yang mempertandingkan berbagai macam olahraga dan keilmuan yang disebut PIONIR. Singkat cerita, aku dan teman satu timku pun lolos sampai semifinal, di babak ini tak disangka kami mendapat motion (tema dalam lomba debat) yang cukup kontroversial yang intinya adalah orang muslim itu tidak boleh disalahkan atas semua citra buruk islam di dunia. Biasanya hal-hal berbau agama tidak di jadikan motion debat, karena akan muncul perasaan seperti mempertanyakan kebenaran agama itu sendiri bagi pihak mendapat posisi yang merugikan (dalam lomba debat ada dua posisi yang diundi untuk peserta, yaitu affirmative, kelompok yang harus setuju dengan motion, dan negative, kelompok yang harus tidak setuju dengan motion, terlepas dari pendapat hati nurani kita. Jadi kita tidak bisa memilih posisi.).

Timku mendapat posisi negative, yang otomatis aku harus menolak motion itu, terjadilah kebingungan, karena memang ada perasaan mengganjal untuk menyerang agama sendiri, walaupun disitu jelas-jelas kata muslim yang dipakai bukan islam, artinya yang memang boleh disalahkan adalah orangnya bukan ajarannya. Dengan keterbatasan pengetahuan, akhirnya kami hanya mampu berbicara sedikit dan kalah di babak itu. Walaupun dalam hati nurani ku berkata bahwa memang orang islam sebenarnya patut disalahkan, tapi aku tidak memiliki cukup pengetahuan yang bisa kujadikan argumen saat itu.

Sekarang, aku pun masih berpikir, kenapa kita seakan-akan tidak mau mencari borok diri kita sendiri? Mungkin kita takut mengakui kelemahan, karena kita akan terlihat lemah, dan memang manusia tidak mau terlihat lemah. Apalagi masyarakat yang mengaku sebagai penganut agama yang katanya penyempurna agama sebelumnya. Apa kata dunia kalau mereka mengaku ada borok di dalam diri mereka. Atau mungkin kita terlalu apatis pada keberagamaan kita sendiri sehingga tidak mau memusingkan hal itu, yang penting dapur tetap mengepul, dan semua hal lain menjadi tak berarti. Atau mungkin kita memang tidak pernah serius beragama dari awal, yang penting memenuhi ritual ibadah wajib, dan selesai sudah urusan agama. Apapun itu alasannya, aku telah memutuskan untuk mencari apa yang salah dari praktik keberagamaanku khususnya dan masyarakatku umumnya sehingga ada rasa yang mengganjal di hati.

Pencarian itu mulai terjawab ketika Karya M. Qurasih Shihab yang berjudul "Membumikan Al-quran jilid 2" menghiasi rak bukuku. Ada satu bagian khusus yang membahas isu yang mengganjal hati ini. "Apa yang salah dalam beragama kita?". Menurut beliau untuk bisa disebut beragama, setidaknya ada tiga hal yang harus terpenuhi.

Pertama, Merasakan dalam jiwa kita kehadiran Allah secara berkesinambungan. Lalu apakah ada yang salah dengan hal ini? ya, kita seringkali tidak mengenal-Nya sehingga tidak mampu meneladani sifat-sifat-Nya yang agung, dan terkadang Kehadiran-Nya hanya terasa di tempat-tempat peribadatan saja. Menurut beliau, hal pertama yang harus diluruskan adalah kita harus mengenal-Nya agar kita mau meneladani-Nya.

Kedua, ada kemauan untuk melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang sering dilupakan adalah ketika kita melakukannya, kita sering lupa bahwa itu adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Contoh salah satu ketentuan-Nya adalah solat. Semua ketentuan-Nya, termasuk solat memiliki sisi formal (seperti rukun, syarat sah, bacaan, dan lainnya) yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama juga memiliki sisi substansi yang harus selalu menyertainya. Kita seringkali terlalu memeperhatikan sisi formal dan melupakan substansinya. Makanya, tak aneh banyak orang solat tapi tetap korupsi, banyak orang berhaji tapi tetap mencaci tetangganya, atau malah menjadi orang sombong setelah punya titel haji. Itu semua karena mereka telah melupakan substansinya.

Ketiga, mempercayai bahwa Allah yang Maha adil pasti memberikan balasan dan ganjaran sempurna atas apa yang dilakukan manusia di dunia. Kurasa mudah saja kita bilang kita percaya hari pembalasan itu, tapi terkadang perbuatan kita tidak mencerminkan itu. Kita berbohong, menzalimi orang lain, dan mengambil hak orang lain tanpa sadar bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan suatu saat nanti.

Berkaca pada keadaan masyarakat kita sekarang, aku pun berkseimpulan, kita masih jauh dari kata relijius, termasuk diriku sendiri. Mari kita mulai bermuhasabah apakah kita sudah beragama dengan baik?    

Selasa, 11 Maret 2014

renungan part 16 (the power of basmalah)

Siang ini, ketika berselancar di internet dan membuka Sosmed Facebook aku melihat sebuah postingan foto yang cukup menarik, berikut penampakannya:



Aku pun termenung membaca kata demi kata dalam foto tersebut, secara reflek aku pun akan mengatakan setuju dengan kata-kata tersebut. Tapi setelah kurenungi, ada hal lain muncul dalam benakku.

Tentu kita pernah mencurahkan kesabaran kita, kepedulian kita, dan kesetiaan kita pada seseorang atau sesuatu. Tentu tak banyak dari kita pula kecewa karena seringkali kesabaran, kepedulian atau kesetiaan itu tidak dihargai atau lebih buruk lagi dikhianati.

Mungkin  kita adalah seseorang yang sabar menghadapi temannya yang berperangai kurang baik, dan karena peduli dengannya kita pun berbuat baik padanya, tapi ternyata memang perangai buruknya sudah menjadi tabiat sulit diubah dan akhirnya kita muak lalu akhirnya pergi. Mungkin  kita adalah seorang pemimpin yang sabar dan peduli pada orang yang kita pimpin, tapi setelah melihat keburukan mereka, sikap tidak menghargai mereka atas semua usaha dan pengorbanan yang kita lakukan sebagai pemimpin demi kesejahteraan mereka, kita pun muak dan meninggalkan mereka. Atau kita adalah orang yang sabar, peduli dan setia pada pasangan yang kita pilih menjadi pendamping kita, tapi ternyata kesabaran, kepedulian, dan kesetiaan itu tidak dihargai, lalu kita pun muak dan meninggalkannya, dengan rasa sakit hati yang mendalam.
   
Kata-kata dalam foto itu mengingatkanku pada sebuah bab dalam buku Quranic Wisdom karangan Jalaludin Rakhmat. Bab yang membahas tentang lafadz basmalah itu mencoba mengingatkan pembaca bahwa lafadz yang dianjurkan untuk dibaca di awal setiap kegiatan manusia itu memiliki makna yang dalam. lafadz itu bermakna bahwa dengan ucapan itu, kita niatkan semua tindakan kita hanya lillahita'ala. Makan yang dimulai dengan basmalah, berarti kita makan semata-mata untuk menyambung hidup agar sehat walafiat dan dapat melakukan ibadah yang menjadi tujuan hidup manusia, bukan untuk memenuhi hawa nafsu perut kita.   

Aku pun berpikir, maka jika kita bersabar, peduli dan setia lillahita'ala kurasa tidak akan ada rasa muak, bosan, atau sakit hati karena balasan yang kita terima ternyata tidak baik. Tanpa basmalah (meniatkan tindakan lillahita'ala) respon orang lain menjadi faktor terbesar berlanjut atau tidaknya kesabaran, kepedulian dan kesetiaan kita. Bagaimana jika kita niatkan untuk Allah? aku peduli pada seseorang karena Allah, maka respon apapun yang kudapat dari mereka tidak berefek kepadaku, karena yang menjadi motivasiku bukanlah penghargaan dari manusia lain, tetapi dari yang memiliki manusia. Jika dulu Nabi Muhammad berdakwah tidak karena Allah, apa mungkin dia bertahan direspon buruk oleh penduduk Mekah? Padahal yang beliau kabarkan adalah kebenaran, tapi mereka (penduduk Mekah) mencemoohnya. Kurasa beliau tidak akan bertahan lama.

Kesimpulanku kali ini, aku harus sering-sering memaknai basmalah yang kubaca di awal kegiatan, agar niatku tetap lurus kepada Allah bukan mencari penghargaan manusia lainnya.