Rabu, 26 Maret 2014

Renungan part 20 (Antri dong....)

Beberapa hari yang lalu aku sempat membaca sebuah artikel di kompasiana yang membandingkan budaya antri di indonesia dan di luar negeri, dan kesimpulannya adalah masyarakat indonesia masih tidak menghargai budaya mengantri.


Aku memiliki dua pengalaman menarik berhubungan dengan budaya antri ini. Pengalaman pertama terjadi di Polsek Ciputat, waktu itu aku sedang ingin membuat surat kehilangan dari kepolisian. Melihat ada orang yang sedang melapor juga, akupun duduk menunggu untuk mengantri, tak lama kemudian ada seorang laki-laki berpakaian agak lusuh masuk, melihat ada beberapa orang yang sedang duduk menunggu, dia pun bertanya "ngantri ya mas?", kami pun serempak mengangguk. Si laki-laki tadi tetap berdiri di sampingku di depan pintu ke ruangan pelaporan. Tak lama kemudian, pelapor yang di dalam ruangan telah selesai, polisi pun memanggil pelapor berikutnya, yang tak lain adalah aku (kalau mengurutkan berdasarkan antrian). Tiba-tiba si laki-laki yang berdiri tadi berkata kepadaku "saya duluan aja mas.." sambil ngeloyor masuk ke ruangan. Aku yang belum sempat berdiri hanya melongo. Cukup kesal, tapi kucoba menyabarkan diri saja. Kemudian terdengar suara polisi di dalam ruangan berteriak. "Emang siapa yang datang duluan? antri mas!" rupanya si polisi memang tahu bahwa laki-laki itu datang paling terakhir (ruangan pelaporan dan ruangan tunggu hanya disekat kaca.). Alhasil, si laki-laki keluar kembali dengan muka bete, dan aku pun masuk dengan tersenyum.

Pengalaman keduaku terjadi tadi malam di warung nasi di daerah Legoso, Ciputat yang selalu penuh. Saat aku masuk pemilik warung sedang melayani satu pelanggan. aku pun menunggu dengan sabar, beberapa lama kemudian ada seorang ibu-ibu, berpakaian rapi lengkap dengan jilbab datang. Saat pemilik warung selesai melayani palanggan, dia pun bertanya apa pesananku, setelah kujawab, ibu-ibu tadi segera memberikan uang kepada pemilik warung sambil berkata "sayur asemnya empat ribu mbak...". Si pemilik warung bengong sebentar, lalu segera mengambil uangnnya dan melayani dia lebih dulu!!! aku yang jelas-jelas lebih dulu datang, yang dia tanya lebih dulu dicuekin saja. Aku hanya tersenyum-senyum saja sambil berpikir memang benar tulisan di kompasiana itu. Budaya mengantri belum mengakar di masyarakat Indonesia.

Pertanyaanku sekarang adalah kenapa itu bisa terjadi? apa yang menyebabkan mayarakat kita tidak mau mengantri? aku pun merenung.

Menurutku, ini semua berawal dari rasa egois yang ada dalam diri manusia. Egois memang sifat dasar manusia, dalam keadaan tertentu manusia pastinya akan mementingkan dirinya daripada orang lain, dan hanya orang-orang tertentu saja yang rela mengorbankan rasa egoisme mereka demi orang lain. Bukti bahwa ada orang yang bisa menekan egoisme mereka sebenarnya sebuah tanda bahwa menekan egoisme bisa diajarkan. Jadi pertanyaannya adalah apakah kita dididik seperti itu?

Kemudian aku berpikir bahwa kita harus menekan egoisme dalam diri karena kita harus sadar bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini, ada hak-hak orang lain yang harus kita hormati dan penuhi. Mengantri dengan benar artinya kita menghormati hak-hak orang lain yang datang lebih awal, ketika kita menyerobot antrian, maka ada hak orang lain yang kita langgar. Artinya kita menzalimi orang itu, dan menurutku itu indikasi bahwa akhlaknya kepada manusia sungguh jelek. Akhlak yang jelek menandakan ibadahnya kepada Tuhan tidak membekas pada dirinya, jadi kesimpulannku dia bukan orang yang beragama dengan baik (karena jilbab itu simbol keshalehan yang diwujudkan dalam akhlak, harusnya ibu-ibu di warteg itu copot jilbab aja....  <Emosi> hahaha.........).

Hal lain yang menjadi pikiranku adalah peran pihak berwenang dalam isu ini, menurut salah satu tulisan di kompasiana, ketidakmauan mengantri dapat mengindikasikan ketidakpercayaan masyarakat pada otoritas tertentu, atau sistem yang ada memang tidak mendukung budaya ini. Pengalamanku di Polsek Ciputat menjadi bukti bahwa peran otoritas tertentu sangat berpengaruh untuk mendidik masyarakat dalam mengantri (polisi dan pemerintah contohnya). Kalau kita masuk ke bank maka, kita disediakan jalur antrian, dan itu adalah sistem baik yang dipakai untuk memaksa nasabah mengantri.

Perhatikanlah rapinya antrian bioskop di bawah ini:


Di gamnbar tersebut, nampak ada pembatas untuk mengantri yang disediakan. Sekarang bandingkan dengan gambar berikut:






Apakah ada usaha untuk membuat mereka mengantri?? jadi, peran otoritas sangatlah penting.

  
Oleh karena itu, mari kita tanamkan dalam diri untuk menghormati hak orang lain dalam antrian, dan jika kita bisa mengantri tanpa harus dipaksa sistem atau otoritas tertentu, pastinya itu lebih indah, dan itu adalah tanda dari masyarakat yang terdidik dan maju.

Rabu, 19 Maret 2014

Renungan part 19 (Dallas Buyers Club)

Kemarin malam di sekret FLAT, aku menonton sebuah film yang sangat menarik berjudul "Dallas Buyer Club". Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata pemeran utamanya yang bernama Ron Woodroof.


Film yang berseting tahun 80an ini bercerita tentang Ron Woodroof (diperankan oleh Matthew McConaughey), seorang tukang listrik dan koboi rodeo dari Dallas yang didiagnosa memiliki penyakit AIDS. Dokter mengatakan padanya bahwa hidupnya hanya tinggal sebulan saja.  Dia pun berusaha mencari obat agar dia tetap hidup. Obat AZT yang dia dapatkan dari rumah sakit (obat ini adalah obat yang diperbolehkan FDA, departemen yang mengurusi obat dan makanan di amerika, untuk dipakai pada pengidap AIDS di Amerika) ternyata hanya memperburuk kesehatannya. Dia pun bertemu dengan seorang dokter Amerika yang lisensi prakteknya dicabut di sebuah tempat di meksiko dalam pencariannya mencari obat. Dokter tersebut memberitahunya bahwa AZT hanya memperburuk keadaan pengidap AIDS, dan justru dia meresepkan  ddc dan protein peptide T untuk Woodroof (anehnya kedua obat tersebut dilarang oleh FDA untuk digunakan di Amerika). Tiga bulan kemudian, kesehatan Woodroof membaik, dia pun mencoba menjual obat tersebut pada penderita AIDS di Amerika dengan menyelundupkannya dari Meksiko.

Bersama seorang waria bernama Rayon (diperankan oleh Jared Leto), Woodroof mendirikan "Dallas Buyers Club", sebuah klub yang anggotanya harus membayar 400 dollar Amerika per bulan untuk mendapatkan pasokan ddc dan peptide T. Klub ini pun menjadi popular di kalangan pengidap AIDS karena obat tersebut dirasa lebih ampuh menolong mereka. Namun, FDA tidak tinggal diam, setelah merubah regulasi bahwa menjual obat yang tidak disetujui FDA itu ilegal, polisi bersama FDA menyita obat-obat milik Dallas Buyer Club. Tidak terima dengan hal itu, Woodroof pun melakukan gugatan pada FDA, namun dia kalah dan pada akhir persidangan Woodroof diperbolehkan mengkonsumsi peptide T hanya untuk keperluan pribadinya saja. Akhirnya, Woodroof meninggal di tahun 1992, 7 tahun setelah dokter mendiagnosanya dengan AIDS. Aku pun menyimpulkan dua hal penting dari film tersebut.

Pertama, film itu menggambarkan moral yang buruk dari pengusaha. AZT yang diperbolehkan FDA adalah obat yang diproduksi oleh perusahaan besar Amerika, Woodroof di sebuah adegan menuduh FDA disuap oleh perusahaan obat untuk tidak memperbolehkan obat lain yang menurut pengalamannya justru lebih baik. Perusahaan obat bukan tidak tahu bahwa ada obat lain yang bisa lebih efektif, tapi tidak mau mengakuinya demi berlangsungnya bisnis, dan terus mendapat keuntungan dari penjualan AZT ke rumah sakit di Amerika. Terkadang para pebisnis memang melakukan cara kotor untuk mempertahankan bisnis mereka. Pernah suatu waktu, aku menonton video di youtube tentang konspirasi pembohongan publik yang dilakukan oleh perusahaan air minum kemasan di Amerika. disitu dijelaskan bahwa sebenarnya air keran di rumah-rumah cukup aman untuk dikonsumsi, tapi perusahaan air minum menyebarkan isu bahwa air itu masih belum higienis dan berbagai macam embel-embel kesehatan lainnya, lalu dia pun memberikan solusi untuk membeli air minum kemasannya yang telah melalui proses bla-bla sehingga lebih aman dikonsumsi. Padahal, air yang ada dalam kemasan itu sama saja dengan air keran yang mengalir ke rumah-rumah di amerika. Bedanya, air itu dikemas dalam botol yang menarik dan masyarakat harus membelinya sedangkan air keran itu gratis. jika teman-teman pernah menonton film "the lorax", sebenarnya isu yang sama pun diangkat disana, di film itu digambarkan lebih kuat bagaimana pengusaha rakus membodohi masyarakat demi keuntungannya.


Hal yang kedua, film itu mengajarkan untuk tidak menghina, atau memusuhi satu kelompok masyarakat tertentu tanpa memahami mereka terlebih dahulu. Pada saat itu, AIDS sangat identik dengan para homoseks, padahal AIDS pun dapat menjangkiti pria heteroseksual yang sering berganti pasangan. Woodroof adalah seorang yang sangat membenci homoseksual, makanya ketika dia didiagnosa mengidap AIDS dia begitu marah. Namun, ketika dia membaca-baca buku tentang AIDS, dia pun sadar bahwa penyakit itu memang ada pada dirinya, karena dia sering berhubungan seks dengan banyak wanita. Keadaan ini membuat dirinya dikucilkan dari lingkungannya, bahkan dia dipecat dari tempat dia bekerja. Dia berada tepat di posisi orang yang dulu dia benci dan hina. Saat dia bertemu Rayon dan bekerja sama menjalankan "Dallas Buyers Club" perlahan-lahan dia mulai melembut pada orang-orang homoseksual. Mungkin karena merasa senasib dan sepenanggungan. Bahkan, ketika FDA mulai mengganggunya, dia akhirnya merubah niat bisnisnya menjadi lebih pada memperjuangkan hak-hak para pengidap AIDS.  

Secara keseluruahn, film ini sungguh menarik, dan mencerahkan karena membuatku berpikir, apakah kita benar-benar tega mengesampingkan kepentingan orang banyak demi keuntungan pribadi? sebuah pertanyaan yang belum bisa kujawab.Bagaimanapun juga, film ini tidak cocok ditonton oleh anak yang belum dewasa karena ada beberapa bagian yang mengandung sexual content, tentunya jika disensor dulu akan lebih baik. 




serba-serbi part 1 (Green Day: idealisme dalam bermusik)

Kali ini aku membuat satu label baru untuk tulisan dalam blogku, yaitu Serba-serbi (selain renungan yang sudah mencapai part 18 dan kumpulan foto yang baru 2 part). Rencananya isinya adalah tulisan tentang hobi yang kusukai. Sebagai pembuka sekaligus persemian label ini, aku akan membahas Grup band favoritku yaitu Green day.



Bagi teman-teman yang tidak tahu, band ini berasal dari Amerika Serikat, digawangi oleh Billie Joe Armstrong sebagai gitarist dan vokalis:


kemudian Mike Dirnt di bass dan backing vokal:



dan Tre Cool sebagai penggebuk drum:



dan anggota yang baru diresmikan setelah menjadi additional selama 13 tahun, Jason White, di gitar dan backing vokal:





Band beraliran punk rock ini terbentuk di tahun 1987, formasi pertamanya ada Billie Joe, Mike Dirnt, dan John Kiffmeyer. Kemudian pada tahun 1990, Tre Cool menggantikan John. Green day mengawali karirnya dari label rekaman independent bernama Lookout Records, dan pindah ke label rekaman major bernama Reprise setelah album kedua mereka Kerplunk (1992) sukses di Amerika. Sepanjang karirnya sampai saat ini, Green day telah membuat 11 album, plus 2 album kompilasi.  Terlepas dari gaya hidup band punk rock yang dekat dengan alkohol (yang tentunya tidak patut ditiru), aku sangat senang mendengarkan lagu-lagu mereka karena beberapa alasan.

Pertama, lagu-lagu Green Day banyak yang berisi kritik. Lagu band punk rock memang biasanya berisikan kritik pada hal-hal tertentu, bukan tentang cinta dan mellow (tentunya agak sulit diterima di pasar. cobalah tengok band seperti SID yang beraliran punk rock, atau band indie seperti marjinal), oleh karena itu mereka biasanya menolak untuk masuk label rekaman major karena tidak mau gaya bermusik dan isi lagu mereka diinterfensi agar sesuai dengan pangsa pasar.  Tapi sejauh ini, walau pun Green day masuk label rekaman major, cukup banyak lagu mereka yang masih berisikan kritik tertentu. Contoh, lagu American Idiot yang menjadi single andalan album dengan nama yang sama, adalah pendapat penulis lagu bahwa sekarang para politisi dan media selalu mempengaruhi kita atas apa yang harus kita lakukan, apa yang kita beli dan apa yang kita percayai. Kita diracuni oleh iklan, kampanye, dan acara-acara TV sampah, yang akhirnya merubah kita menjadi masyarakat yang bodoh (terdengar mirip dengan apa yang terjadi di indonesia sekarang kan?). Atau lagu Macy' Day Parade, lagu dari album Warning ini berisikan renungan penulis lagu tentang acara parade dan festival di hari thanksgiving yang diadakan oleh perusahaan Macy's di New York sejak tahun 1924 sampai sekarang. Penulis lagu mengkritik sikap materialisme masyarakat dan mengatakan bahwa ada hal yang lebih penting dalam hidup selain itu. walau tidak disebutkan secara eksplisit dalam lagu apa yang lebih penting itu, mungkin penulis ingin memberikan kebebasan untuk memilih apa yang lebih penting untuk pendengar masing-masing (aku rasa pandangan materialisme juga sudah mengakar di masyarakat indonesia).

Kedua, selayaknya band punk rock, lagu mereka dapat membuat moodku jadi lebih baik, enerjik, dan bersemangat. Gitar listrik dengan distorsi, kemudian gebukan drum yang enerjik, serta suara merdu sang vokalis selalu mampu membantu moodku menjadi lebih baik. salah satu lagu yang paling kusuka adalah Letterbomb dari album American Idiot. Bagi yang ingin mendengarkan lagu tersebut, silahkan klik video di bawah ini:


  
Kesimpulannya, lagu yang berisi kritik dan irama musik enerjik adalah dua penyebab utama kenapa aku suka lagu - lagu Green Day.

 



Sabtu, 15 Maret 2014

renungan part 18 (aku mau pulang)

Renunganku kali ini terinspirasi dari tulisan Gobind Vashdev, seorang penulis dan motivator favoritku, yang kubaca di akun Facebook milik beliau. Berikut penggalan tulisannya:

Seorang pembicara tersohor diundang ke sebuah kota kecil oleh sebuah perusahaan raksasa.
seorang pengemudi menjemput dari airport, mengantar, serta melayani selama 2 jam perjalanan ke kota kecil tersebut.
Setelah mencerahkan 100 orang jajaran manajer dan direksi selama 2,5 jam, molor 30 menit dari waktu yang di tentukan, pembicara ini kembali ke airport dengan tumpangan yang sama dan pengemudi yang sama.
Tidak banyak interaksi terjadi selama kurang lebih 4 jam perjalanan dari dan menuju airport tersebut, hanya sedikit basa-basi, sisanya adalah suara mobil dan sesekali klakson.
Cerita biasa diatas ini memang lumrah terjadi dan memang sangat normal dalam kehidupan ini.
lalu..
Sadarkah kita bahwa 100 orang dalam ruangan tersebut menyerap dan bertanya dengan antusias pada pembicara yang dibayar ratusan juta untuk kebijaksanaan yang kurang lebih mereka sudah mengetahuinya.
Sementara sang pengemudi yang berduaan di dalam kabin mobil bagai kursus privat 4 jam tidak menuai apapun.
Memang Ironis, Ironis yang sudah berwujud kenormalan.
mungkin ada yang mengatakan "Sayang Sekali tidak memanfaatkan kesempatan”. yang lebih keras mungkin akan meng-goblok-goblokan pengemudi yang menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada.
namun coba lihat, bukankah kita semua melakukan hal yang sama dengan sang pengemudi itu?

Hikmah yang kupetik dari cerita tersebut adalah seringkali kita terlalu berfokus pada tujuan sehingga tidak menyadari hal penting yang terjadi dalam proses mencapai tujuan tersebut. Bahkan terkadang tujuan yang kita buat pun bukanlah sesuatu yang patut menjadi tujuan hidup kita. Ketika begini, seringkali kita merasakan hidup kita tidak bahagia karena ketidakpekaan kita akan proses ini. Aku memiliki pengalaman yang cukup berkaitan dengan hal ini.

Sudah hampir dua tahun aku selalu pulang ke sukabumi menggunakan sepeda motor, dan rute cihideung merupakan rute favoritku karena jalan alternatif ini membantuku menghindari macet di jalan utama. Rute ini memiliki jalan yang berkelok dan naik turun  karena melewati kaki Gunung Salak. Hal yang paling menyebalkan ketika pulang menggunakan motor adalah rasa pegal di pantat karena perjalanan yang cukup jauh, oleh karena itu aku selalu memacu motorku dengan cepat agar bisa cepat sampai, dengan begitu aku tidak terlalu memperhatikan lingkungan sekitar yang kulewati.

Suatu waktu, ketika pulang ke rumah aku pun melewati jalur cihideung, karena rasa lelah dan pegal aku pun terpaksa memberhentikan motorku untuk sekedar beristirahat. Saat itu aku melihat pemandangan hijau hamparan sawah dan kebun serta kerlap-kerlip lampu milik rumah warga di kejauhan (waktu itu hari telah menjelang magrib). Sungguh pemandangan yang indah dan aku tidak pernah menyadari ada pemandangan indah ini walau sering aku lewati. Jika saja aku tidak berhenti, mungkin aku tak akan sadar dengan hal itu. Selama ini aku terlalu berfokus untuk sampai di rumah cepat-cepat.

Semenjak itu, aku tidak pernah memacu motorku cepat-cepat (kecuali malam hari, karena memang tidak ada yang bisa dilihat). Aku sering berhenti mengistirahatkan pantatku untuk melihat pemandangan indah yang menyejukan mata di sepanjang perjalanan. Memang, waktu perjalananku jadi lebih lama, tapi perjalanan itu tidak lagi terasa menyiksa.

Mari menikmati hidup yang singkat ini dengan menikmati setiap proses kehidupan, Gobind berpesan: "Sadari, bahwa kita semua adalah pengemudi itu, kita adalah kesadaran yang membawa kendaraan yang bernama raga, serta sang Jiwa Bijak ada dan selalu ada didalam diri ini. Ketika pikiran terfokus pada tujuan saja, kita akan kehilangan keindahan dan kebijaksanaan sepanjang perjalanan. Cepat atau lambat kita semua akan sampai ke bandara kematian yang kemudian mengantarkan kita ke dimensi yang berbeda, namun yang penting adalah selama mengemudi hadirlah disini dan saat ini sehingga keindahan dunia akan tampak berkilau; dan yang lebih penting lagi selalu dan selalu sadari kehadiran sang Bijak di dalam, ajak Ia berkomunikasi dan serap ilmunya, sampai akhirnya menyadari siapa sejatinya Diri ini." 
    
link tulisan Gobind Vashdev
https://www.facebook.com/gobindvashdev/posts/10152295888951672

Kamis, 13 Maret 2014

renungan part 17 (apa yang salah dengan muslim?)



Beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di semester lima, aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba debat bahasa Inggris antar UIN/PTAIN/IAIN seluruh indonesia di kota Watampone, kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Sebuah acara tingkat nasional yang mempertandingkan berbagai macam olahraga dan keilmuan yang disebut PIONIR. Singkat cerita, aku dan teman satu timku pun lolos sampai semifinal, di babak ini tak disangka kami mendapat motion (tema dalam lomba debat) yang cukup kontroversial yang intinya adalah orang muslim itu tidak boleh disalahkan atas semua citra buruk islam di dunia. Biasanya hal-hal berbau agama tidak di jadikan motion debat, karena akan muncul perasaan seperti mempertanyakan kebenaran agama itu sendiri bagi pihak mendapat posisi yang merugikan (dalam lomba debat ada dua posisi yang diundi untuk peserta, yaitu affirmative, kelompok yang harus setuju dengan motion, dan negative, kelompok yang harus tidak setuju dengan motion, terlepas dari pendapat hati nurani kita. Jadi kita tidak bisa memilih posisi.).

Timku mendapat posisi negative, yang otomatis aku harus menolak motion itu, terjadilah kebingungan, karena memang ada perasaan mengganjal untuk menyerang agama sendiri, walaupun disitu jelas-jelas kata muslim yang dipakai bukan islam, artinya yang memang boleh disalahkan adalah orangnya bukan ajarannya. Dengan keterbatasan pengetahuan, akhirnya kami hanya mampu berbicara sedikit dan kalah di babak itu. Walaupun dalam hati nurani ku berkata bahwa memang orang islam sebenarnya patut disalahkan, tapi aku tidak memiliki cukup pengetahuan yang bisa kujadikan argumen saat itu.

Sekarang, aku pun masih berpikir, kenapa kita seakan-akan tidak mau mencari borok diri kita sendiri? Mungkin kita takut mengakui kelemahan, karena kita akan terlihat lemah, dan memang manusia tidak mau terlihat lemah. Apalagi masyarakat yang mengaku sebagai penganut agama yang katanya penyempurna agama sebelumnya. Apa kata dunia kalau mereka mengaku ada borok di dalam diri mereka. Atau mungkin kita terlalu apatis pada keberagamaan kita sendiri sehingga tidak mau memusingkan hal itu, yang penting dapur tetap mengepul, dan semua hal lain menjadi tak berarti. Atau mungkin kita memang tidak pernah serius beragama dari awal, yang penting memenuhi ritual ibadah wajib, dan selesai sudah urusan agama. Apapun itu alasannya, aku telah memutuskan untuk mencari apa yang salah dari praktik keberagamaanku khususnya dan masyarakatku umumnya sehingga ada rasa yang mengganjal di hati.

Pencarian itu mulai terjawab ketika Karya M. Qurasih Shihab yang berjudul "Membumikan Al-quran jilid 2" menghiasi rak bukuku. Ada satu bagian khusus yang membahas isu yang mengganjal hati ini. "Apa yang salah dalam beragama kita?". Menurut beliau untuk bisa disebut beragama, setidaknya ada tiga hal yang harus terpenuhi.

Pertama, Merasakan dalam jiwa kita kehadiran Allah secara berkesinambungan. Lalu apakah ada yang salah dengan hal ini? ya, kita seringkali tidak mengenal-Nya sehingga tidak mampu meneladani sifat-sifat-Nya yang agung, dan terkadang Kehadiran-Nya hanya terasa di tempat-tempat peribadatan saja. Menurut beliau, hal pertama yang harus diluruskan adalah kita harus mengenal-Nya agar kita mau meneladani-Nya.

Kedua, ada kemauan untuk melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Yang sering dilupakan adalah ketika kita melakukannya, kita sering lupa bahwa itu adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Contoh salah satu ketentuan-Nya adalah solat. Semua ketentuan-Nya, termasuk solat memiliki sisi formal (seperti rukun, syarat sah, bacaan, dan lainnya) yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama juga memiliki sisi substansi yang harus selalu menyertainya. Kita seringkali terlalu memeperhatikan sisi formal dan melupakan substansinya. Makanya, tak aneh banyak orang solat tapi tetap korupsi, banyak orang berhaji tapi tetap mencaci tetangganya, atau malah menjadi orang sombong setelah punya titel haji. Itu semua karena mereka telah melupakan substansinya.

Ketiga, mempercayai bahwa Allah yang Maha adil pasti memberikan balasan dan ganjaran sempurna atas apa yang dilakukan manusia di dunia. Kurasa mudah saja kita bilang kita percaya hari pembalasan itu, tapi terkadang perbuatan kita tidak mencerminkan itu. Kita berbohong, menzalimi orang lain, dan mengambil hak orang lain tanpa sadar bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan suatu saat nanti.

Berkaca pada keadaan masyarakat kita sekarang, aku pun berkseimpulan, kita masih jauh dari kata relijius, termasuk diriku sendiri. Mari kita mulai bermuhasabah apakah kita sudah beragama dengan baik?    

Selasa, 11 Maret 2014

renungan part 16 (the power of basmalah)

Siang ini, ketika berselancar di internet dan membuka Sosmed Facebook aku melihat sebuah postingan foto yang cukup menarik, berikut penampakannya:



Aku pun termenung membaca kata demi kata dalam foto tersebut, secara reflek aku pun akan mengatakan setuju dengan kata-kata tersebut. Tapi setelah kurenungi, ada hal lain muncul dalam benakku.

Tentu kita pernah mencurahkan kesabaran kita, kepedulian kita, dan kesetiaan kita pada seseorang atau sesuatu. Tentu tak banyak dari kita pula kecewa karena seringkali kesabaran, kepedulian atau kesetiaan itu tidak dihargai atau lebih buruk lagi dikhianati.

Mungkin  kita adalah seseorang yang sabar menghadapi temannya yang berperangai kurang baik, dan karena peduli dengannya kita pun berbuat baik padanya, tapi ternyata memang perangai buruknya sudah menjadi tabiat sulit diubah dan akhirnya kita muak lalu akhirnya pergi. Mungkin  kita adalah seorang pemimpin yang sabar dan peduli pada orang yang kita pimpin, tapi setelah melihat keburukan mereka, sikap tidak menghargai mereka atas semua usaha dan pengorbanan yang kita lakukan sebagai pemimpin demi kesejahteraan mereka, kita pun muak dan meninggalkan mereka. Atau kita adalah orang yang sabar, peduli dan setia pada pasangan yang kita pilih menjadi pendamping kita, tapi ternyata kesabaran, kepedulian, dan kesetiaan itu tidak dihargai, lalu kita pun muak dan meninggalkannya, dengan rasa sakit hati yang mendalam.
   
Kata-kata dalam foto itu mengingatkanku pada sebuah bab dalam buku Quranic Wisdom karangan Jalaludin Rakhmat. Bab yang membahas tentang lafadz basmalah itu mencoba mengingatkan pembaca bahwa lafadz yang dianjurkan untuk dibaca di awal setiap kegiatan manusia itu memiliki makna yang dalam. lafadz itu bermakna bahwa dengan ucapan itu, kita niatkan semua tindakan kita hanya lillahita'ala. Makan yang dimulai dengan basmalah, berarti kita makan semata-mata untuk menyambung hidup agar sehat walafiat dan dapat melakukan ibadah yang menjadi tujuan hidup manusia, bukan untuk memenuhi hawa nafsu perut kita.   

Aku pun berpikir, maka jika kita bersabar, peduli dan setia lillahita'ala kurasa tidak akan ada rasa muak, bosan, atau sakit hati karena balasan yang kita terima ternyata tidak baik. Tanpa basmalah (meniatkan tindakan lillahita'ala) respon orang lain menjadi faktor terbesar berlanjut atau tidaknya kesabaran, kepedulian dan kesetiaan kita. Bagaimana jika kita niatkan untuk Allah? aku peduli pada seseorang karena Allah, maka respon apapun yang kudapat dari mereka tidak berefek kepadaku, karena yang menjadi motivasiku bukanlah penghargaan dari manusia lain, tetapi dari yang memiliki manusia. Jika dulu Nabi Muhammad berdakwah tidak karena Allah, apa mungkin dia bertahan direspon buruk oleh penduduk Mekah? Padahal yang beliau kabarkan adalah kebenaran, tapi mereka (penduduk Mekah) mencemoohnya. Kurasa beliau tidak akan bertahan lama.

Kesimpulanku kali ini, aku harus sering-sering memaknai basmalah yang kubaca di awal kegiatan, agar niatku tetap lurus kepada Allah bukan mencari penghargaan manusia lainnya.      

Senin, 10 Maret 2014

renungan part 15 (hikmah konser DEBU)

Pada tanggal 8 MAret 2014 kemarin, sekolah tempat aku mengajar mengadakan sebuah acara lomba, dan bintang tamu untuk penutupan lomba tersebut adalah grup band DEBU. Anda tentunya pernah mendengar grup band yang beranggotakan orang-orang bule ini. Biasanya mereka ramai menghiasi layar kaca di bulan-bulan ramadhan karena mereka memang band yang menyanyikan lagu-lagu berbau keislaman, dan itu pun menjadi salah satu alasan kenapa sekolah mengundang band tersebut (sebenarnya alasan terbesarnya adalah karena sekolah mendapatkan potongan harga, la wong anak manajernya murid di sekolah itu, haha lumayan walaupun tidak full personil yang datang).

Dalam pertunjukan selama kurang lebih 50 menit itu Debu menyanyikan 7 lagu kalau tidak salah, dan yang menarik adalah di sela-sela lagu, Mustafa (sang vokalis utama) selalu memberikan cerita yang menyejukan jiwa. Dalam kesempatan ini aku ingin berbagai dua kisah yang menarik dari DEBU.

Pertama adalah pesan toleransi yang dibawa DEBU, sebelum menyayikan lagu yang berisi pesan toleransi Mustafa bertanya pada penonton.
  
                "Kenal pemain seruling yang berdiri di samping saya?" sambil menunjuk Salim si pemain seruling.
             
                "Salim....!" penonton menjawab kompak, para personil memang telah diperkenalkan namanya sebelum mulai bernyayi.

                 "Bagus.... kalau saya bilang begini betul tidak, Salim ada di sebelah kanan" Salim memang berdiri di sebelah kanan Mustafa.

                 "Tidak, tapi di Kiri..... " Penonton yang mayoritas siswa sekolah tempatku mengajar protes.

                 "Nah... itulah hakikat perbedaan pendapat, saya mengatakan Salim berada di kanan, karena memang dia ada di kanan saya, tapi jika dilihat dari penonton dia ada di sebelah kiri. Pada dasarnya orang yang berbeda pendapat hanyalah memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda." Mustafa menyimpulkan.

Aku sangat setuju dengan pendapat mustafa, terkadang kita sangat mudah menyalahkan orang lain yang berpendapat berbeda tanpa mendalami sudut pandang mereka, seakan-akan kita selalu yang benar. Analogi mustafa sungguh sederhana namun sangat dalam.

Hal yang kedua adalah bagaimana DEBU mengajak untuk melihat apapun yang terjadi pada kita (takdir) dengan kacamata berbeda. Mustafa pun mulai bercerita tentang Laila Majnun, bagi kawan-kawan yang tidak tahu kisah itu, aku akan menjelaskan sedikit. Kisah itu bercerita tentang seorang laki-laki bernama Qays yang jatuh cinta pada Laila, namun cinta mereka tidak direstui oleh orang tua Laila dan keduanya pun dipisahkan, Qays yang tak bisa berpisah dari Laila akhirnya terlarut dalam kesedihan baknya orang gila sehingga orang-orang menyebutnya majnun (gila). sekilas cerita ini memang mirip cerita romeo and juliet, tapi dengan setting timur tengah. Pada kesempatan saat itu, Mustafa hanya menceritakan sepenggal kisah dari keseluruhan kisah hidup Laila Majnun kepada penonton:

Alkisah suatu waktu, keluarga Laila hendak mempermalukan Majnun di depan masyarakat agar dia tidak lagi mencintai Laila. Maka disusunlah sebuah rencana, mereka akan membuat pesta jamuan besar dimana Laila nanti akan menjadi pelayan yang menuangkan makanan pada piring-piring tamu. Semua warga diundang termasuk sang kekasih hati Majnun yang sangat senang karena akan mendapat kesempatan bertemu dengan Laila. Keduanya memang sangat sulit bertemu karena tidak direstui. Di hari yang ditentukan nampak tamu mengantri sambil memegang piring yang nantinya diberikan pada Laila untuk diisi makanan. Pada saat bagian Majnun tiba untuk memberikan piringnya, Laila dengan segera memecahkan piring yang dibawa oleh Majnun.

Melihat kejadian itu, keluarga Laila sangat senang, karena Majnun pastinya malu, dan Laila pun sudah tidak mencintainya lagi karena dia mau melakukan apa yang disuruh, yaitu memecahkan piringnya. Anehnya, tak tampak sedikitpun gurat kesedihan di wajah Majnun, justru dia tersenyum-senyum gembira. Melihat keanehan itu salah sati warga mendatanginya dan bertanya.

        "Kenapa kamu tersenyum? padahal keluarga Laila telah mempermalukanmu di depan umum"

        "Malu? aku tidak merasa dipermalukan" jawab Majnun.

        "Lalu, kenapa Laila memecahkan piringmu jika bukan untuk menunjukan kebenciannya padamu dan membuatmu malu?"

        "oh... anda salah paham, Laila memecahkan piring itu maksudnya adalah agar aku mengantri lagi dan bertemu lagi dengannya" Majnun tersenyum.

Cerita yang sungguh menyentil bagiku, Mustafa mengajak kita untuk bersikap seperti halnya Majnun, melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, tidak hanya dari sudut pandang masyarakat umum. Jadi mungkin hal buruk yang menimpa diri kita ini sebenarnya justru tanda kasih sayang Allah pada kita, hanya kita tidak dapat melihat cinta-Nya. 

penampakan grup band DEBU (foto-foto konsernya di sekolah belum bisa diupload karena masih belum terkumpul....)





Kamis, 06 Maret 2014

Renungan part 14 (Mayoritas vs Minoritas)

Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita yang cukup heboh, yaitu pelarangan jilbab bagi siswi di beberapa sekolah negeri di Bali. Banyak pihak yang angkat bicara, terutama para tokoh-tokoh islam, bahkan sampai komnas HAM angkat bicara. Semua itu menjadi berita dari berbagai berita di media masa online.Intinya, tindakan pelarangan (yang terselubung) itu sungguh tidak dapat diterima, karena memakai jilbab itu hak asasi manusia dalam mempraktekan ajaran agamanya. oleh karena itu, menurutku, sebagai negeri yang majemuk tidaklah bijaksana bagi otoritas apapun yang menyangkut kehidupan khalayak ramai untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan satu golongan masyarakat, walaupun golongan itu minoritas (Islam di Bali itu minoritas). Pihak-pihak seperti itu adalah bukti dari masyarakat yang tidak toleran.

Lain Bali lain pula yang terjadi di Padang, di Padang ada peraturan bahwa setiap siswi muslim di sekolah negeri wajib memakai baju yang menutup aurat (jilbab tentunya termasuk), jika diperhatikan sepintas kebijakan ini memang tidak salah, bahkan sangat bagus, karena dapat membiasakan siswi-siswi untuk menggunakan jilbab dan pakaian yang menutup aurat. Terlebih lagi, tidak ada media massa yang memberitakan penolakan akan kebijakan ini. Tapi menurutku, hal ini pun bisa bermasalah, mari kita perhatikan lagi, tentunya ada sebagian kecil (minoritas) siswi yang non muslim bersekolah di sekolah negeri karena sekolah itu terbuka untuk semua siswa-siswi tanpa memandang latar belakang agama. Bagaimanakah dengan mereka? jawabannya sederhana, mereka tidak dikenai peraturan itu, tapi dampak psikologisnya menurutku tidak sederhana, coba anda bayangkan anda bersekolah dimana siswanya mayoritas beragama kristen, lalu setiap hari siswinya memakai pakaian khas suster-suster kristen, belum lagi tiap sabtu mungkin ada misa yang diadakan sekolah, dan perayaan hari-hari besar agama kristen karena mayoritas guru dan kepala sekolahnya kristen, tapi itu bukan sekolah kristen. Jujur, saya sebagai orang muslim, pasti tidak betah, dan orang tuaku pun pasti tidak betah karena takut saya akan terpengaruh. Atau mungkin jadinya pemaksaan terselubung pada non muslim untuk memakai jilbab, seperti yang terjadi di Bali (sepertinya).

Sebenarnya kebijakan itu pun ada di Kabupaten tempatku dilahirkan, sejak munculnya Instruksi Bupati Sukabumi Nomor 4 Tahun 2004 tentang pemakaian Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi, banyak sekolah yang mewajibkan pakaian yang menutup aurat dan jilbab tentunya, ketika pertama kali melihat fenomena ini, saya sempat berpikir kira-kira nasib orang-orang kristen seperti apa ya? Sepertinya harus ada penelitian mendalam akan dampak perda ini pada penduduk non muslim di Sukabumi.

Menyikapi hal ini, aku teringat dengan salah satu cerita dalam ceramah almarhum Ustadz Zainuddin M.Z. yang selalu diputar teman kosanku di laptopnya menjelang tidur (kebiasaan yang aneh).

Suatu waktu di zaman khalifah Umar bin Khattab, ada seorang Yahudi yang rumahnya digusur oleh gubernur Mesir Amr bin Ash. Rencananya, tanah dimana rumah itu berdiri akan menjadi bagian dari pembangunan mesjid, tapi setelah Amr bin Ash menawar untuk membelinya bahkan dengan harga berkali-kali lipat,  si yahudi tetap menolak. Maka digusurlah rumahnya oleh Amr bin Ash. merasa tidak terima, si yahudi pun mengadu pada khalifah Umar bin Khattab. Dari khalifah, si yahudi hanya disuruh memberikan sebuah tulang yang digoresi huruf alif dengan pedang khalifah. Dengan ragu si yahudi pun kembali dan menyerahkan tulang itu pada Amr bin Ash. Mendapat pesan tersebut, bergetarlah Amr bin Ash dan segera memerintahkan pekerja untuk meruntuhkan bangunan masjid yang hampir jadi itu, dan membangun kembali rumah si yahudi.
Merasa heran, si yahudi pun bertanya-tanya, apa sebenarnya makna tulang yang diberikan khalifah itu. dia berkata "Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan Gubernur berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”

Amr bin Ash memegang pundak si yahudi, “tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”

“Tapi…..” sela si yahudi.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti. Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

Sungguh indah ajaran agamaku, hanya seringkali kita tidak menyadarinya dan kita terlalu sering terjebak dengan ritual ibadah tanpa memahami maknanya. Maka kesimpulanku adalah setiap kebijakan pemerintah harus dipikirkan baik buruknya untuk semua masyarakat tanpa memandang golongan. Walaupun mereka berbeda kulit dengan kita, walaupun mereka berbeda suku dengan kita, dan walaupun mereka berbeda agama dengan kita.