Senin, 21 Desember 2015

Renungan Part 54 (Sekolah itu .....)

www.quotehd.com

Aku menghabiskan 6 tahun untuk sekolah dasar, 3 tahun sekolah menengah pertama, dan 3 tahun sekolah menengah atas. tak lupa satu tahun di Taman Kanak-kanak. Bisa dibilang aku cukup sukses mengikuti program wajib belajarnya pemerintah. Apa yang kualami dan kupelajari selama hidupku di sekolah? banyak hal, positif,  negatif, lucu, dan miris.

Oke, sebaiknya kita pahami dulu apa itu sekolah. Dalam bahasa aslinya, yaitu latin, asal kata sekolah adalah schola yang secara harfiah berarti waktu luang atau waktu senggang, hm..... kenapa kata ini yang dipakai? kenapa sekolah itu waktu senggang? Karena pada zaman dahulu kala, orang-orang Yunani menggunakan waktu luang mereka untuk mendatangi tempat atau seorang pandai untuk mempelajari hal-hal yang dirasa perlu untuk diketahui. Bayangkan anda adalah seorang anak petani, dan sudah dua kali ayah anda gagal panen. apa yang menyebabkan panen gagal? apakah di metode penanaman? atau perawatan? karena tak bisa menjawabnya sendiri, anda datang ke seorang ahli tanaman yang tinggal di batas desa, maka setiap sore setelah mengurus kebun, anda mendatanginya dan mempelajari banyak hal tentang tanaman, lalu tercerahkanlah pikiran anda. Ilmu yang diterima dari sang pandai tanaman, benar-benar bermanfaat menyelamatkan panen berikutnya. Anda pun menghormati si pandai, karena telah menolong anda. Kira-kira begitulah.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan, orang zaman itu mendatangi si pandai karena butuh ilmunya, dia mengalami masalah di kehidupan nyata dan butuh bantuan si pandai, ilmu yang didapat sangat berguna untuk hidupnya, dan dengan demikian si pandai sangat dihormati oleh dirinya. Setelah zaman berganti, kini sekolah bukan lagi tempat mengisi waktu luang.

Entah kenapa pelajaran sekolah tidak membantuku memecahkan masalah sehari-hari.
Suatu ketika, ibu memintaku membersihkan ikan untuk dimasak, waktu itu aku masih kelas lima SD, dan aku hanya menatap ikan itu menggelepar di tatakan, tak tahu harus bagaimana. apakah memegangnya harus begini? bagian mana yang harus kupotong? kira-kira bagaimana ya ibuku biasa melakukannya? hey... aku tidak pernah melihat bagaimana ibuku membersihkan ikan. kenapa bisa? setelah pulang sekolah biasanya aku mengerjakan PR sambil menonton TV, aku ini kan anak pintar, selalu dapat ranking 1, aku harus mengerjakan PR, terutama matematika. yah.... mungkin ikan ini bisa kupotong dengan pertambahan? perkalian? pengurangan? atau dengan mencari penyebut dan pembilangnya terlebih dahulu? Oke ikan segitiga sama sisi, bagaimana cara mencari luasmu? aku tahu cara mencari luas bangun datar, tapi apakah itu bisa membantuku menyiapkan ikan ini untuk dimasak? Sial.... semua itu tidak berguna. Ikan itu terus menggelepar dan aku disebut bodoh karena tidak bisa membersihkannya. Hey... aku kan ranking 1.

"kapan terjadi perang Diponegoro?" tanya guruku. aku dengan mudah menjawabnya, juga pertanyaan sejarah lainnya yang berkenaan dengan tanggal, tahun, tempat, atau nama. Semua bisa kujawab, walau sekarang tak satupun masih kuingat. Ketika kupikir sekarang, apa gunanya menghafal itu semua? agar ujianmu nilainya bagus. Hahaha.... sungguh tidak penting. Aku tidak tahu kapan hafalan informasi itu berguna, mari kita mengira-ngira, hm.... bukan... itu ujian, bodoh.... itu juga tes..... oke aku menyerah. Tidak Ada. tapi agar bermanfaat, aku harus mengamalkan ilmu hafalan itu kan. Ya.... aku akan menyelipkan informasi itu di sela-sela percakapan, dengan begitu orang akan jadi lebih tahu, dan ilmuku bermanfaat. Hm..... sepertinya aku akan menjadi orang yang menyebalkan.

Sekolah telah merenggut jati diriku
Aku adalah anak kampung, dan yang namanya kampung, dipenuhi sawah dan kebun. Tapi jangan tanya aku apa obat alami untuk luka selain ..... uh.... aku lupa namanya, bentuk daunnya pun sudah lupa. Jangan tanya pula apa makanan terbaik untuk kelinci, atau ayam, atau domba. Walaupun pernah punya dulu sekali. Jangan tanya juga cara menerbangkan layang-layang, karena di saat anak-anak lain bermain layang-layang di sawah, aku hanya menonton dari balik jendela sambil mengerjakan PR. Aku terlahir di kampung tapi tak punya skill anak kampung. Membersihkan ikan saja aku tak mampu. Tak aneh sekarang tidak ada yang mau jadi petani, walau bapaknya petani. Karena sekolah mengajarkan hidup itu harus maju dan sukses. Menjadi petani itu tidak maju dan sukses, kau mau tahu apa yang maju dan sukses? jadi pegawai kantoran, berdasi, bersepatu pantopel, bermobil, dan duduk di ruang kerja ber-AC. Dalam sosiologi SMA, para siswa dicekoki mobilitas sosial naik dan turun, naik jika ayahnya petani lalu anaknya jadi direktur, turun apabila sebaliknya. Tak pernah ada yang bertanya "kenpa direktur lebih baik dari petani? kenapa kekayaan jadi ukuran? kenapa dasi jadi ukuran? kenapa.. kenapa...?" tidak ada. Begitulah, para anak muda jadi tak sudi mengurus lahan pertanian warisan kerluarga, setelah sekolah kaki mereka jadi terlalu mulia untuk mencari nafkah di tanah. Lahan-lahan tak tertanami itu akhirnya ditumbuhi rumput liar dan menjadi sarang ular. Oh aku ada ide bagus untuk membuatnya produktif, jual saja ke developer, biar dijadikan perumahan, atau Mall.... ya mall.... pusat perbelanjaan, sekarang semua orang senang belanja. Begitulah nasib sawah di desaku, jika bukan menjadi perumahan, ya jadi pusat perbelanjaan. Para pemudanya tidak ada yang mau jadi petani, karena tidak punya kemampuan bertani yang tidak diajarkan di sekolah, juga karena tak mau kalah gengsi. Lalu kita marah ketika kita harus mengimpor kedelai? bawang? beras? Hello..... sekarang gak ada rakyat indonesia yang mau jadi petani. Negara agraris itu hanya masa lalu. Padahal apa salahnya menjadi Petani?

Entah kenapa sekolah itu mirip dengan penjara
Apa persamaan sekolah dan penjara? Pertama adalah seragam yang harus dikenakan setiap waktu. Jika tidak, maka hukuman menanti. Kedua, sangat gila akan kesunyian dan ketertiban. Aku tidak pernah mengerti kenapa anak yang baik adalah anak yang pendiam? sekolah yang baik adalah sekolah yang siswanya duduk tenang dan diam di dalam kelas, walau tidak ada guru dan tugasnya telah selesai? kenapa duduk-duduk di taman sekolah saat KBM, walau guru tak ada dan tugas telah selesai, itu dilarang? dan guru tahu bagaimana susahnya para siswa untuk diam tenang di dalam kelas ketika gurunya tak ada. Kau tahu? kenapa tidak sekalian kunci saja kelasnya dari luar. Aman kan? Sekolah dan penjara mengatur jadwal istirahat, makan, bahkan ketika ujian, kebutuhan ke kamar kecil saja diatur-atur. Memangnya aku bisa mengatur perutku untuk sakit di jam-jam tertentu? Sontoloyo! Lalu keduanya sama-sama menuntut manusia yang patuh dan mudah diatur yang tidak mempertanyakan keputusan-keputusan pihak atas. Anak SD mana yang mampu mengkritisi keputusan guru dan kepala sekolah? bukankah seharusnya guru mulai mengajarkannya sejak kecil? bagaimana dengan Tingkat Universitas? razia celana jeans di fakultas keguruan, contohnya. kenapa kuliah tidak boleh pake celana jeans? karena kau nanti akan menjadi guru, celana jeans tidak mencerminkan sikap guru. Oh ya? kata siapa nanti kalau lulus akan menjadi guru? aku akan melamar di pekerjaan yang syaratnya S1 semua jurusan, kau tak berhak menentukan masa depanku. Lalu, kenapa Jeans tidak mencerminkan akhlak guru? Apakah jeans itu dosa? hanya karena mereka (orang barat) menetapkan standar celana bahan itu formal dan jeans informal lalu kenapa kita mengikutinya? apakah pengaruh negatif celana jeans dalam pembelajaran di kelas? apakah memakai celana jeans menurunkan prestasi belajar mahasiswa? apakah memakai celana jeans menurunkan moral si pemakai? lalu kenapa sarungan pun dilarang? sarung itu tanda kesalehan kan? biasanya para santri dan kiyai juga bersarung. Dan akhirnya bertanya pun dilarang.

Sekolahku yang mahal
Semakin ke sini, semakin aku yakin bahwa pendidikan adalah komoditas. Buktinya? hanya orang berduit yang mampu mengakses pendidikan bermutu. Sekolahkan butuh biaya, ya memang wujud sekolah berikut sistemnya dan standar sekolah bagus nan bermutu dalam sistem yang sekarang (aku yakin dipengaruhi oleh para kapitalis), butuh biaya yang tidak sedikit. Tak perlu aneh, karena sekolah dan universitas sendiri bagaikan sebuah pabrik pencetak tenaga ahli yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme saat ini. aku senang dengan kata "mencetak", pernahkah kau melihatnya di visi misi insititusi pendidikan? atau sekedar semboyan yang ditempel di lingkungan insititusi itu? mencetak lulusan bla bla bla.... kata ini menarik karena bagiku, ia memposisikan peserta didiknya sebagai sebuah benda mati yang bisa dibentuk seperti apa saja sekehendak pabriknya. Apakah mereka benda mati atau makhluk yang memiliki kehendak?

Atau mungkin sekolah telah menjelma menjadi institusi kapitalis, maksudku pengelolaan sekolah diperlakukan seperti halnya sebuah perusahaan pengejar profit. Ada istilah pekerja (guru) kontrak, yang direkrut oleh sebuah divisi yang disebut HRD, konsumen perusahaannya adalah para murid, oleh karena itu para murid dan orang tuanya diperlakukan bak raja, ingat konsumen itu raja jadi harus dilayani sebaik-baiknya, demi menarik banyak konsumen, perusahaan harus marketable, pakailah kurikulum yang ngetren, seperti kurikulum Cambridge atau Kairo. Pokoknya yang berbau luar negeri, orang indonesia itu goblok, asal ada luar negerinya pasti dikira bagus, masalah benar bagus atau tidak, itu urusan belakangan, supaya konsumen tidak kabur, mereka harus dibuat betah, dengan berbagai pelayanan dan fasilitas. Kebutuhan mereka dipenuhi tanpa cela, kebersihan dan kerapihan ditugaskan pada OB, tugas konsumen hanya belajar, bukan bersih-bersih, itu pekerjaan pembantu. Demi menjaga pasar, kualitas lulusan pun harus terjaga, semunya harus lulus UN dengan nilai bagus bagus, usahakan masuk Universitas favorit juga. Tapi terkadang ada yang aneh, walau dimanage bak sebuah perusahaan, institusi ini tak kena wajib UMR bagi pekerjanya. Alamak.......

Ya jangan heran sekolah bagus itu mahal, sesuai dong dengan kualitas yang ditawarkannya. Seperti tas Hermes yang sampai milyaran itu, keluarnya uang yang cukup untuk ngasih makan orang sekampung terasa pantas dengan kualitas, gengsi, dan harga diri yang diterimanya.

Sekolah hanya tempat pengajaran
Diakui atau tidak, bagiku sekolah saat ini hanya mampu mengajari, bukan mendidik. Mengajari berbagai ilmu pengetahuan yang telah disensor demi kepentingan sistem, dicekokan ke dalam otak para siswanya, siapa yang berhasil menghafal paling banyak, dijanjikan kesuksesan di dalam sistem itu. Bagaimana dengan karakternya? walaupun usaha pemerintah sudah sangat giat untuk ini, terbukti dalam K13, tapi seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memupuk karakter? apakah ruang kelas yang tersekat dinding, yang terkadang memisahkan murid dari dunia nyata mereka cukup efektif menanamkan tenggang rasa dan sebagainya? apakah kualifikasi seorang guru untuk menjadi pendidik inspirator muridnya? pertanyaan terakhir ini cukup berat, karena idealnya seorang guru memiliki 4 kompetensi yang terdiri dari pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Hm.... Too good to be true, yah namanya juga ideal, ngawang-ngawang, adakah guru yang benar benar menguasai keempatnya? kompetensi kepribadian dan sosial nampaknya yang paling berat. Jujur... untuk menjadi orang baik dan suri tauladan itu susahnya minta ampun..... Tapi kan the show must go on, jadi belum baik pun guru harus tetap ke sekolah, ya pura-pura baik aja deh di sekolah.... munafik dong? serba salah jadinya. Ya sudah, selama belum bisa baik, aku mengajar saja, tidak mendidik, terus kapan baiknya? Jadi guru berat euy....

Lalu apa?
Sebelumnya, aku ingin meminta maaf, jika curhatan di atas terkesan menjelek-jelekan sekolah, seolah-olah ia tidak ada baiknya sedikitpun, padahal akupun hidup dari sekolah. Atau aku seakan menjadi murid tidak tau diri dan terima kasih pada sekolah yang sedikit banyak memberi banyak pengetahuan. Bukan itu, semua hal memiliki sisi positif dan juga negatif, sekolah sebagai institusi pendidikan terus menerus berproses menuju kesempurnaan yang salah satunya dengan kritik diri. Disamping itu, bagiku sekolah itu terlalu sempit jika dianggap sebagai satu-satunya perwujudan dari pendidikan itu sendiri. Aku lebih senang dengan istilah 'sekolah kehidupan', dimana semua tempat adalah kelas, dan semua orang adalah guru. Para murid belajar tertib dari orang yang tidak tertib di lampu merah perempatan, para murid belajar tumbuhan dan hewan di sawah dan kebun, para murid belajar ikhlas dan sabar ketika banyak hal tak sesuai harapan. Hanya mungkin, tak semua sadar bahwa lingkungan kita penuh dengan hikmah dan pelajaran berharga, karena dalam otak kita, belajar ya di sekolah. Hanya beberapa gelintir orang yang menjadi lulusan sekolah kehidupan, orang-orang yang belajar walaupun tidak di institusi sekolah formal, tapi hasilnya sungguh luar biasa. Bu Menteri Susi misalnya? darimana dia belajar semua keahliannya itu? SMA saja tidak lulus.... Sekolah kehidupan saudara-saudara.... dan aku yakin banyak sosok lainnya yang seperti dia.

Intinya adalah belajar tak selesai ketika bel pulang berbunyi, ketika ijazah diterima, dan guru bukan hanya orang yang mengajar di sekolah. Kelas tak tersekat olah dinding segi empat, karena seluruh dunia ini adalah kelas, dimana kita belajar dari siapapun dan apapun sampai kita tak mampu belajar lagi, alias mati. Sekolah terlalu sempit untuk belajar!

Jumat, 27 November 2015

Renungan Part 53 (Wisuda oh... Wisuda)

media.viva.co.id

Mahasiswa mana yang tidak ingin wisuda? kujamin tidak ada, bahkan mahasiswa baru yang masih unyu-unyu pun ketika melihat acara wisuda, melihat meriahnya, serunya, dan tetek bengek lainya, langsung bermimpi untuk segera wisuda. Tapi jujur saja, secara pribadi aku tidak tahu bagaimana menyikapi hal ini. Bagaimanakah sikap kita seharusnya, dan bagaimana kita memandang wisuda itu sendiri adalah pertanyaan yang menjadi tema tulisan kali ini.

Wisuda itu harus bahagia 
Seperti ada aturan tak tertulis bahwa seorang wisudawan itu harus berbahagia, senyum mengembang harus menghiasi wajah. Oleh karena itu, seorang wisudawan yang sedih dan menangis pasti dianggap sebagai sebuah anomali, kecuali ia menangis karena bahagia. Kenapa kita harus bahagia? kurasa ada beberapa alasan yang membuat kebahagiaan itu akan muncul dalam hati ketika wisuda.

Wisuda itu butuh perjuangan. Pengerjaan skripsi adalah tantangan terbesar dalam mencapai wisuda, dan bukan kepintaran akademis yang menjadi syarat utama selesainya skripsi, tapi justru kemampuan untuk melawan rasa malas. Selain menghadapai dosen pembimbing yang killer, susah ditemui, dan revisinya ampun-ampunan, kebiasaan menunda-nunda (procrastinating) menjadi musuh terbesar para mahasiswa tingkat akhir.   Oleh karenanya wisuda adalah perayaan keberhasilan melawan rasa malas itu, dan kita berhak berbahagia. Ya... asal jangan terlena dengan perayaannya dan membuat kita jatuh kembali dalam kemalasan sih Masalahnya melawan malas itu perjuangan tanpa akhir, tak berhenti sampai wisuda. Kelak kita dihadapkan dengan calon mertua, sengitnya persaingan antar pengangguran, atau buasnya bos di tempat kerja. Perjuangan belum berakhir kawan. 

Wisuda itu bangga karena tanda sebuah bentuk kesuksesan. Siapa yang tidak bangga dengan adanya titel di belakang namanya? titel itu adalah tanda bahwa seseorang itu berilmu, dan orang berilmu itu dihormati oleh orang lain. Pantas dong kita bahagia? siapa yang tidak bahagia dihormati? Asal jangan jumawa saja dengan titel itu dan memandang rendah orang lain karena titel, sebanyak apapun di belakang nama kita, hanyalah sebuah bungkus, sebuah tanda akan keluasan ilmu (seharusnya). Masalahnya adalah banyak kok orang diwisuda tapi sebenarnya tidak dapat apa-apa, ilmunya super cetek, lalu pantaskah yang begini ini bangga? sebenarnya, orang yang benar-benar mendapat ilmu setelah kuliah pun tidak pantas bangga dan jumawa, toh ilmunya itu baru sedikit, lagipula orang yang benar-benar berilmu biasanya semakin menunduk (seperti padi). Jadi menurutku, kebanggan ketika wisuda itu hanya mitos, kita dibuat percaya bahwa itu ada padahal sebenarnya tidak ada. 

Kita bahagia karena dapat membuat orang tua bahagia. Walaupun kita bisa mempertanyakan lagi kenapa orang tua bahagia anaknya wisuda, alasan ini lebih patut diperhitungkan. Setidaknya kita bisa membuat orang tua bahagia karena itu bagian dari birrul walidain dan dicatat sebagai salah satu amal ibadah kita. Lagipula, membuat senang orang lain, terutama orang tua kita, adalah perbuatan yang sangat baik, jadi bolehlah kita berbahagia karena orang tua kita bahagia.

Bebas dari pertanyaan "kapan wisuda?". Ini adalah pertanyaan menusuk hati terutama bagi mahasiswa tua. Ketika teman, rival, atau musuh diwisuda lebih dulu kemudian mereka bertanya "lo kapan?" Seakan sebuah belati menusuk hati, sakitnya tuh disini. Jangankan ditanya, dengan melihat saja sudah menjadi cobaan yang berat. Belum lagi ketika pertanyaan itu muncul dari orang tua, di suatu pagi mereka mulai membandingkan diri kita dengan anak tetangga yang merupakan adik kelas kuliah tapi telah diwisuda dan bekerja, hingga akhirnya berujung pada pertanyaan "kamu kapan?". Jika kita bahagia diwisuda salah satunya karena alasan ini, maka kita telah tertipu. Seperti halnya energi yang tidak dapat hilang, ia hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Begitu pula pertanyaan menusuk ini, ia hanya berubah dari "Kapan Wisuda?" menjadi "Kapan Nikah?", "Kapan punya anak?", "kapan punya rumah? mobil?" dan kapan-kapan lainnya. It's endless.

Lalu apakah wisuda itu harus bahagia? Tentu saja, apapun yang kemudian akan terjadi di masa depan setelah wisuda, biarlah mereka tetap di masa depan yang merupakan sebuah misteri, karena mereka belum tentu terjadi. Untuk apa merisaukan sesuatu yang belum tentu terjadi? Ketika kita melihat teman, saudara, dan orang tua nampak bahagia ketika kita diwisuda, maka sepatutnya kita pun ikut bahagia, bukan karena kita merasa hebat, karena bertitel, atau mengganggap diri punya ilmu lebih.  

Ini alasanku, apa alasanmu?

Jumat, 06 November 2015

Renungan Part 52 (Aku Ingin Mejadi Manusia Apatis)

9gag.com

"Jangan jadi manusia apatis!" 
"payah... mahasiswa sekarang pada apatis!"
"apa sih apatis itu kak?"
"apatis itu tidak peduli, tidak acuh dengan keadaan sekitar... yang kamu perdulikan hanya diri kamu sendiri, kita tidak boleh begitu karena mahasiswa adalah agent of change, kita harus peduli dengan keadaan sekitar kita, dan akhirnya bisa membawa perubahan."

Kata apatis mulai kudengar semenjak mulai masuk bangku perkuliahan; apatisme berkonotasi negatif karena berhubungan dengan ketidakpedulian dan egoisme. Apa yang lebih buruk dari mementingkan pantat sendiri daripada mengutamakan kemaslahatan bersama? Kata apatisme itu adalah sebuah aib. 

Seperti halnya kebanyakan orang, kita cenderung menerima apapun begitu saja karena itu lebih mudah atau lebih menyenangkan. Tidak ada usaha konfirmasi, atau cek n ricek, tidak ada usaha memikirkan kembali, karena itu merepotkan. Sebuah berita bisa dipercaya begitu saja, lalu dishare di medsos tanpa tahu benar tidaknya, tanpa memperkirakan apakah itu memberikan dampak negatif atau tidak bagi orang lain, tak usah repot dan itu lebih menyenangkan. Begitu pula dengan kata apatis.

Mari merenungkan kembali segalanya, kali ini kita mulai dengan kata apatis. Kata ini berasal dari bahasa yunani, dan uniknya, makna kata ini dulu berbeda dengan yang sekarang. Berasal dari kata a- yang berarti "tanpa" dan pathos yang berarti "penderitaan" atau "hasrat" kata apathea (yang kini menjadi apatis) secara literal bermakna tanpa penderitaan atau hasrat. Dalam Filsafat aliran Stoik istilah ini digunakan untuk merujuk sebuah keadaan pikiran yang tidak terganggu oleh hasrat atau keinginan.

Oke... apa maksudnya ini? aku tidak ingin berbicara tentang ajaran stoik secara detail (karena tidak terlalu menguasai) tapi yang pasti poin pentingnya adalah kaum stoik merumuskan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa seseorang itu dikatakan sebagai manusia bebas ketika dia tidak diperbudak oleh keinginan.  Kebebasan sejati terletak bukan pada pemenuhan keinginan secara gila-gilaan, justru ada pada sikap pengendalian diri di tengah-tengah godaan yang begitu besar.

Sungguh menarik, karena ketika kita hubungkan dengan ajaran budha, ada satu benang merah yang sangat kuat. Dalam budha, keinginan adalah sumber penderitaan, dan satu-satunya cara mencapai bahagia adalah mengatur sumber penderitaan itu sendiri, yaitu keinginan, atau hasrat. Berbicara masalah pengaturan hasrat, dalam islam pun dikenal puasa, yaitu ibadah yang mengatur pemenuhan hasrat dasar manusia yaitu makan, minum, dan seks. Lalu sedekah dan zakat yang menekan hasrat untuk ingin untung sendiri dan tidak mau berbagi, dan berbagai ajaran lainnya yang jika kita renungkan pasti memiliki hubungan dengan pengendalian hasrat atau hawa nafsu.

Menjadi apatis berarti tidak memarahi pasangan karena mereka tidak bertindak seperti yang kita inginkan, berarti tidak murung ketika belum punya motor seperti yang lainnya, berarti tidak iri dan dengki karena tetangga naik pangkat dan punya mobil baru, berarti tidak selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain, berarti tidak pelit membantu orang yang membutuhkan, berarti tidak larut dalam kesedihan karena dikecewakan atau gagal dalam sesuatu, berarti melawan semua hawa nafsu yang menyebabkan mudharat. 

Agak sulit mempraktekan hal ini di dunia di mana tujuan hidup manusia adalah konsumsi barang. Keinginan manusia selalu dimanjakan dengan berbagai produk, dan tidak memiliki produk itu berarti kesedihan. Pernahkan kita memikirkan apa kita benar - benar butuh barang yang kita konsumsi? alat elektronik, gadget, kendaraan, dan pakaian? "mengkonsumsi karena butuh itu pola pikir orang miskin" temanku pernah berkata. ah... begtiu besarnya pengaruh budaya konsumsi sehingga mendorong manusia memaksimalkan hasrat mereka. Lihatlah kota-kota yang mendewakan hasrat, mereka indah nan gemerlap, semua kebutuhan ada dan bahkan diada-adakan demi memenuhi hasrat manusia. Namun sepertinya ada satu hal yang tidak dapat disediakan kota itu, ketenangan batin. 

Apakah perubahan makna apatis menjadi negatif itu disengaja oleh oknum yang melihat itu sebagai ancaman bagi budaya konsumsi? Entahlah, yang pasti, Aku Ingin Menjadi Manusia Apatis.



Sumber Bacaan

McClain, Gary and Eve Adamson. (2001). The Complete Idiot Guide to Zen Living. Indianapolis: Pearson Education Company.




Rabu, 14 Oktober 2015

Renungan Part 51 (Kebenaran dan Penafsiran)

izquotes.com

Beberapa waktu yang lalu, saat panas-panasnya Pilpres yang dipenuhi isu sara, seorang Quraish Shihab, yang menyatakan keberpihakannya pada salah satu calon, diberitakan bahwa ia mengatakan kalau Nabi Muhammad itu tidak terjamin masuk surga. Umat islam pun meradang, dan isu ini sempat memanas karena dikompori oleh kepentingan politik di dalamnya. Pertanyaannya apakah ia benar-benar mengatakan hal itu? atau apakah itu yang dimaksud oleh beliau? Banyak pendapat pro dan kontra, yang membela beliau mengatakan itu fitnah karena hanya sepotong saja perkataan Quraish Shihab  yang dikutip sehingga terkesan makna itu yang dimaksud. Yang menghujat, keukeuh dan menambahkan tuduhan Quraish Shihab itu syiah dan lain sebagainya.

Kasus diatas adalah contoh bagaimana penafsiran manusia bisa berbeda dari yang sebenarnya. Si A berkata B, Kemudian Si C memahaminya sebagai B+, atau B-, atau mungkin malah menjadi D. Begitulah penafsiran, karena kemampuan akal seorang manusia untuk memahami sesuatu sungguh beragam dan, menurut Graeme Nicholson, sangat kuat dipengaruhi oleh kepentingan, bahasa, dan lingkungan. Terlebih lagi Nicholson membagi proses penafsiran menjadi dua, Background Interpretation yaitu proses penafsiran tanpa ada daya usaha dan berlangsung begitu saja. Penafsiran ini biasanya sangat personal dan kadar kebenarannya tidak terlalu umum, tidak selalu diterima banyak orang. Seperti ketika laki-laki A dan B sama-sama melihat seorang wanita yang bertubuh gempal, Lalu si A berkata "wah dia itu semok" yang bermakna ia menyukai wanita tersebut, sementara si B berkata "dia gendut" yang bermakna si B tidak menyukai wanita itu. Keduanya menafsirkan satu hal begitu saja secara langsung, dan memiliki subjektifitas tinggi. Lalu yang kedua adalah Foreground Interpretation yaitu penafsiran yang dilakukan secara sadar, dengan daya dan usaha melalui metode tertentu, seperti halnya penelitian. Nah, penafsiran seperti ini, terutama yang mengikuti metode ilmiah, lebih diterima kebenarannya secara umum daripada yang pertama tadi. Loh... jadi penelitian itu penafsiran? dapat salah dong ya? ya... bukankah suatu teori itu akan dianggap benar selama belum ada teori baru yang terbukti secara ilmiah mampu mematahkan teori lama itu? jadi teori hasil penelitian pun bisa dikatakan tidak 100% kebenarannya kan? cuma saat ini dianggap benar karena belum ada teori baru yang lebih benar, gitu loh. 

Beranjak dari situ, bahwa semua hal yang kita pahami di dunia ini, entah lewat pikiran kita sendiri, lewat penelitian ilmiah, atau lewat kajian para ahli, semuanya adalah sebuah penafsiran, bisa salah atau belum salah.   Itu semua tidak 100% benar. Hanya kita percayai sebagai kebenaran. Adakah yang bisa mengatakan kebenaran secara 100%? dengan keterbatasan akal manusia, tentunya tidak ada, kecuali jika ia mampu berkomunikasi dengan yang punya alam semesta. Maka dari itu, para Nabi dan Rasul tentu bisa mengatakan kebenaran karena mereka dipandu oleh Yang Maha Kuasa. Tapi apakah kata-kata mereka dan penjelasannya yang kita dapat beribu-ribu tahun setelah mereka meninggal masih memiliki kadar 100% kebenaran?

Para ahli hadits hanya bisa menafsirkan makna hadits, para ahli tafsir pun hanya bisa menafisrkan kandungan kitab suci, tentu keduanya memiliki metode penafsiran tertentu yang dibuat untuk menjaga kualitas tafsirannya, tapi tetap saja itu penafsiran, bukan kebenaran 100%. Oleh karena itu ada banyak ragam pendapat tentang suatu hal dalam fiqih misalnya. Kesimpulannya, tidak ada yang benar 100%. Oleh karena itu sangat naif bila salah satu kelompok mengklaim bahwa mereka menyuarakan kebenaran dan menafikan pendapat kelompok lain. Itu bullshit. Kita hanya bisa meyakini sesuatu sebagai kebenaran. 

Itulah gunanya akal dan hati, kita merenung, berpikir, menimbang, dan akhirnya memutuskan bahwa A itu benar. Tapi karena itu hasil penafsiran, kita tidak boleh menutup mata pada pendapat lain yang mungkin saja lebih baik. Jadi menggapai kebenaran adalah suatu proses tanpa henti sampai kita mati. Mungkin setelah mati baru kita tahu kebenaran yang sejati (wallahu a'lam). Manusia memiliki kedaulatan untuk memilih kebenaran yang ia yakini, dengan tanpa memaksakan kebenarannya kepada orang lain. 

Tulisan ini pun hanya sebuah usaha penafsiran yang kebenarannya terbatas, pembaca berhak setuju berhak juga tidak. Yang penting tak perlu lah kita saling menghina, saling memukul, apalagi sampai saling bunuh. Salam Damai.


Terisnpirasi dari kajian FLAT-Nerd tentang buku Graeme Nicholson berjudul Seeing and Reding.



Minggu, 11 Oktober 2015

Renungan Part 50 (Media dan Ketidak-pentingan-nya)

thelabrynthoflife.files.wordpress.com

Dulu, ketika aku ABG dan mulai mencoba memahami dunia orang dewasa, aku menyadari suatu hal, (yang sepertinya dipengaruhi oleh iklan juga sih....), bahwa informasi itu sangat penting. Tokoh Littlefinger di serial TV Game of Throne bahkan berkata "knowledge is power" yang bermakna pengetahuan (dalam makna infomrasi) adalah kekuatan; itu sangat benar, terutama di zaman sekarang. Mungkin ada yang pernah menonton serial TV Sherlock Holmes yang dibintangi Benedict Cumberbatch? Salah satu musuh Sherlock adalah orang yang sangat kuat yang bernama Charles Augustus Magnussen, seorang bos media yang mengetahui banyak informasi, terutama informasi rahasia orang-orang penting. Pengetahuannya akan informasi itu membuatnya tak tersentuh hukum, bahkan dengan mudahnya mengatur hukum. Informasi sangat penting.

Beranjak dari situ, aku melihat bahwa membaca koran, dan menonton berita itu sangat penting. membuat kita selalu update akan dunia, dan membuat wawasan kita sangat luas. kita tahu banyak hal, dan akhirnya dapat memahami keruwetan permasalahan yang dihadapi dunia. Sayang, akhir-akhir ini pendapatku itu mulai berubah. Kini aku mulai melihat bahwa media justru sangat tidak amat penting.

Media masa tidak dipungkiri lagi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi banyak orang, dan kurasa bukanlah hal yang tidak mungkin ada pihak yang ingin memanfaatkan kekuatan media demi kepentingan pihak tertentu. kurasa sudah rahasia umum jika kita membandingkan beberapa TV berita di negara ini, maka kita akan merasakan kepentingan pihak tertentu dalam pemberitaannya itu. Bagi pendukung fanatik pihak A, biasanya tidak suka dengan berita-berita TV berita B, dan lebih memilih TV berita C, begitu pula sebaliknya. Ditambah propaganda tokoh tertentu yang kebetulan punya media untuk membangun imej semu dirinya agar bisa mencalonkan diri di pilpres berikutnya. Sepertinya setiap media berlomba-lomba mempengaruhi masyarakat demi kepetingan mereka masing-masing. Aku berkesimpulan, menonton berita di TV sudah tidak ada gunanya lagi.

Yang berikutnya adalah perasaan negatif setelah aku membaca atau menonton berita. Setiap selesai, pasti aku menggerutu, marah, atau mengumpat bahwa masyarakat indonesia itu bodoh, pemerintah bego gak ketulungan, DPR gak jelas kerjanya apa, Polisi kerjanya kayak preman, dan lain sebagainya. Yang kulihat dari duniaku adalah hal yang negatif. Apakah tidak ada hal positif di Indonesia ini? Atau jangan-jangan semua berita itu 90% menayangkan berita negatif, dan hanya 10% yang positif? well, tidak aneh sih, kalau merujuk pada kata-kata "bad news is a good news." Siapa pula yang akan tertarik dengan berita baik? berita buruk lebih heboh kan? aku tambah yakin, mengikuti berita semakin tidak berguna kalau kita ingin hidup bahagia.

Kemudian ada satu tren yang sangat menyebalkan yang kulihat dari aplikasi portal berita online di smartphoneku, sebut saja aplikasi itu BaBe. Jika kuperhatikan kolom komentar, terutama dalam berita yang berbau sara, dan masalah pemerintahan, rasanya tidak afdol kalau tidak ada pengguna yang tidak saling mencaci maki, menghina, dan merendahkan yang lain, hanya karena pendapat mereka tidak sama. seakan-akan mereka adalah kebenaran. Atau ada pula yang berkomentar provokatif, dan membuat telinga panas. Biasanya setiap pagi, aku selalu membuka aplikasi itu untuk mengecek ada berita apa hari ini, dan kemudian berlarut-larut menahan diri agar tidak emosi ketika menemukan debat seperti tadi, sampai aku berkeputusan bahwa ini tidak bisa diteruskan. aku menghapus aplikasi itu dari ponsel untuk selama-lamanya. Masyarakat indonesia yang katanya santun, ternyata tidak santun kalau bersembunyi di balik nama akun. Apakah ini kita yang sebenarnya?

Tidak ada lagi acara menonton berita pagi hari, yang kutonton sekarang adalah Kartun Spongebob Squarepants yang kurasa lebih menghibur, sekaligus mendidik daripada berita. Tidak ada lagi menelan berita bulat-bulat tanpa tabayun (begitukan istilah untuk cek and ricek??), karena berita-berita itu ditumpangi kepentingan pihak-pihak tertentu. Dan oleh karena itu, aku menghimbau mari kurangi nonton dan baca berita. LoL



Jumat, 18 September 2015

Renungan Part 49 (Menjadi Manusia)

karengately.files.wordpress.com

Sewaktu kecil, aku pernah mendengar ibuku berkata padaku dengan penuh harap "sing jadi jelema". Sebuah doa yang berarti semoga nanti menjadi orang (manusia). Jujur saja, saat itu aku kurang mengerti apa maksudnya menjadi orang dalam doanya, tapi menurut lingkunganku menjadi orang artinya menggapai kesuksesan, harta, tahta, dan mungkin juga wanita, menggapai kejayaan. Aku sempat berkelakar, kalau begitu apa aku saat itu? setengah orang? atau mungkin makhluk lain, dedemit, atau mungkin binatangkah? 

Hal ini, secara tidak langsung membawaku pada sebuah pertanyaan filsafat, yang menjadi salah satu pertanyaan sophie dalam novel dunia sophie, siapa aku? pertanyaan singkat yang jika direnungi sangat dalam maknanya. Ketika kita ditanya siapa kita, umumnya kita menghubungkan pertanyaan itu dengan identitas kita. aku Toni, aku orang sunda, aku muslim, aku orang indonesia, aku mahasiswa, aku guru, aku laki-laki, dan banyak embel-embel identitas yang bisa kita tempelkan pada diri kita untuk memahami siapa aku. Tapi, sepertinya itu bukan jawaban tepat dari pertanyaan siapa aku karena setiap identitas itu bisa berubah dan tidak tetap. Nama dapat diganti, agama dan pekerjaan dapat berubah, status sosial tidaklah kekal, bahkan di zaman sekarang jenis kelamin pun bisa dirubah. Jika aku lahir di tanah pasundan, apakah itu membuatku tidak bisa menjadi orang jawa? jika aku lahir di indonesia, bukankah aku bisa mengganti kewarganegaraanku? 

Jadi siapa aku? jika embel-embel identitas tidaklah pasti, jika mereka semua itu adalah ilusi. Ya, identitas adalah ilusi, dan bahkan dapat membawa petaka jika kita percaya ilusi itu nyata. Seorang budha myanmar melukai Muslim rohingya hanya karena mereka berbeda agama. Seorang laki-laki memperkosa wanita dengan dalih si wanita memakai pakaian seksi dan menyulut nafsu kelaki-lakiannya. Orang indonesia dan Malaysia saling menghina karena berbeda kewarganegaraan. Laki-laki jawa jangan menikahi Wanita sunda hanya karena watak bawaan suku. Padahal jika kita tarik satu benang lurus dari semua itu, apalah bedanya muslim dan budha, kedua-duanya sama-sama makhluk biologis yang memliki ciri fisik sama, organ tubuh yang sama, memiliki kerinduan yang sama akan hidup damai dan penuh kasih. Yang membedakan hanyalah konsep identitas yang kita anut. Padahal sejatinya kita semua makhluk ciptaan Allah.

Menjadi manusia bagiku adalah melepas identitas. Seperti seorang sufi yang diceritakan dalam novel tentang Syekh Siti Jenar. Sang sufi selalu bergaul dengan pelacur, dan dianggap sebagai seorang pendosa oleh masyarakat umum. Syekh Siti Jenar berkata dia adalah kekasih Allah, tapi bagaimana mungkin orang yang setiap hari bergaul dengan pelacur itu kekasih Allah? dia pastinya hanya seorang lelaki pengumbar nafsu, tanya muridnya. Jenis kelamin itu tidak relevan baginya, sehingga kalaupun dia berada dalam satu ruangan dengan beberapa wanita cantik jelita yang telanjang, kesuciannya tidak akan pernah ternoda, jawab Syekh Siti Jenar. Sang sufi adalah manusia yang telah melepas identitasnya sebagai lelaki, berikut embel-embel kelaki-lakiannya. Oleh karena itu Cak Nun pernah mengajak jemaah maiyahan untuk menjadi manusia dulu sebelum menjadi laki-laki atau perempuan. Sehingga tidaklah perlu hijab yang memisahkan laki-laki dan perempuan, karena sang lelaki tidak melihat wanita dalam balutan nafsu kelaki-lakiannya, tapi melihat mereka sebagai sesama manusia, sama seperti dirinya. Kelebihan manusia adalah akal dan nurani, seorang manusia tidak akan menyakiti orang lain karena itu berlawanan dengan nurani yang memiliki percikan Ilahi. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang menyadari kemanusiaannya tidak akan berbuat buruk pada wanita lain sekalipun wanita itu memakai pakaian seksi, karena ia sadar, perbuatan buruk itu berlawanan dengan  nuraninya. 

Jadi siapa aku? aku hanyalah seorang hamba Allah, dari milyaran hamba lainnya. Tugasku adalah mendekati-Nya, menggapai kemanusiaan yang hakiki. Dalam tradisi Zen, hal ini disebut dengan menyadari jati diri sejati kita. Oleh karena itu, mari sama-sama berusaha menjadi manusia.


Minggu, 06 September 2015

The Last of Us (Part 8): Book of Madness


Apa yang membuat dunia ini lebih baik? Santi selalu memikirkan hal tersebut sejak kecil. Seseorang pernah berkata padanya bahwa cinta membuat dunia ini indah. Tapi sudah lama sekali dia tidak percaya akan cinta, orang yang seharusnya mencintainya adalah orang yang paling ia benci. Sang ayah tiri mungkin punya cara sendiri dalam menunjukan cinta kepada Santi, atau mungkin memang dia tidak pernah mencintai Santi. bagaimanapun, dia lah penyebab penderitaan Santi. Pada intinya, Santi kecil tidak pernah mengecap kasih sayang orang tua sebagaimana anak lain. Terutama setelah sang ibu meninggal saat Santi berumur 7 tahun, cinta seakan tidak mau mendekatinya.

Mencari kehangatan cinta dari lawan jenis juga merupakan sebuah kesalahan. Ketika SMA, Santi pernah dekat dengan seorang teman laki-lakinya, dia sangat manis, sangat perhatian, dan selalu ada untuk Santi, setidaknya sampai ia mengutarakan keinginannya untuk bercinta dengan Santi dan ditolak. Memang sudah menjadi sifat kebanyakan manusia untuk melakukan sesuatu atas dasar keuntungan yang didapat. Dan menurut Santi, itu bukan cinta, itu adalah bisnis, jual beli, atau barter. Kita melakukan sesuatu untuk orang lain dengan harapan akan menerima imbalan atas tindakan kita. Menurut Santi mereka adalah sampah.

Santi terduduk merenung, ini adalah hari ke-20 ia dan Bayu bertahan hidup. Mereka telah berjalan jauh dari rempoa menuju Bogor, sepanjang jalan yang mereka temui hanyalah manusia rabies, tidak ada satupun manusia yang mereka temui. Santi tidak percaya mereka masih mampu bertahan selama ini. Strategi utama untuk dapat bertahan adalah dengan tidak menghadapi para manusia rabies itu dalam jumlah banyak, sehebat apapun dirimu, dikeroyok manusia rabies adalah akhir hidupmu. Untungnya mereka tak berakal, Santi dan Bayu dapat dengan mudah memanfaatkan kelemahan mereka itu.

“Bayu... Kenapa kau begitu mencintai kekasihmu itu?” Santi melempar kayu kering ke perapian untuk menambah kayu bakar.

“Kenapa kau ingin tahu?”

“Aku hanya tidak mengerti apa itu cinta, apa yang membuat orang lain rela melakukan banyak hal demi orang lain, apa yang membuat seseorang depressi karena kehilangannya.”

“Maksudmu aku depressi sekarang?” Bayu memicingkan matanya.

“orang waras mana yang tahan bergaul denganku?”

“Orang waras yang terjebak di dunia gila seperti ini.” Bayu menghela nafas, memandang langit yang ditaburi bintang, tanda malam itu sepertinya tidak akan turun hujan. Bayu lebih senang tidak hujan, dengan begitu dia bisa tidur dekat perapian seperti ini, hangat... mengingatkan dirinya akan pelukan winda.

“Cinta adalah perasaan kasih sayang, ketika kau mencintai seseorang, kau tidak ingin dia terluka, kau hanya ingin dia bahagia.”

“hm... lalu kenapa kau mencintai winda?”

“entahlah... aku tidak tahu..”

“bukan karena kecantikannya? Laki-laki biasanya melihat fisik kan?”

“awalnya... tapi semakin kupikir semakin aku tidak tahu, kenapa aku mencintainya.” Bayu merebahkan dirinya, menggunakan ransel sebagai penyangga kepala. “bisakah kita tidak membicarakan ini?”

“maaf... aku tidak bermaksud mengingatkanmu.” Santi beranjak dari duduknya menuju sebuah sungai kecil yang terletak beberapa meter dari perapian mereka. Saat air mineral mereka habis, air dari sungai adalah pilihan terbaik. Belum ada keluhan sakit perut yang dirasakan, sepertinya air sungai memang tidak sekotor yang orang pikirkan, atau mungkin karena para manusia yang mengotori air sungai kini sudah hampir punah?

“jangan bergerak!” sebuah moncong senjata menempel di dahi santi. seorang laki-laki muda menodongkan senapan AK-47 di samping Santi. “ikuti kata-kataku maka kau akan selamat!” si lelaki membentak.

“berapa umurmu nak?! Sudah berani memegang senjata!” Santi balas membentak. Si pemuda nampak kaget.

“Jangan banyak bicara! Kalau tidak kau akan kutembak!”

“oh.. ya? Pernah menembakan senjata sebelumnya?” Santi memandang tajam, si pemuda nampak ragu dan gugup. Dengan cepat santi memegang moncong senapan itu dan menariknya, membuat si pemuda terhuyung ke arah santi yang segera melayangkan sikut ke dagu si pemuda. Ia jatuh tak sadarkan diri. Santi segera berlari ke perapian, namun terlambat, beberapa lelaki yang juga memegang senapan AK-47 telah mengepung perapian, mereka membuat bayu berlutut sambil mengangkat tangannya. Setelah berhari-hari tidak bertemu manusia, ini adalah keadaan yang benar-benar tidak santi harapkan.

“Apa yang kalian inginkan?” Tanya Santi.

“Kami ingin makanan yang kalian miliki.” Jawab seorang laki-laki gondrong bertubuh ceking yang berdiri di belakang bayu. “dan dirimu....” Ia menyunggingkan senyum memperlihatkan giginya yang kuning karena terlalu banyak merokok.

“Apa?”

“Kami sudah lama tidak menemui wanita secantik dirimu, apalagi sejak semua manusia berubah menjadi monster, rasanya dunia ini membosankan. Jika kau mau menghibur kami, kau dan kekasihmu ini kami biarkan hidup, bagaimana?”

Santi memandang sekeliling, ada lima laki-laki bertubuh besar mengepung mereka, empat orang menenteng senapan sementara satu lagi hanya memegang sebilah golok panjang yang dipenuhi darah, sepertinya darah para manusia rabies. Mereka semua mengenakan baju yang sama, apakah mereka... Santi mengenal baju itu.

“membiarkan kami hidup? Memangnya kalian bisa membunuhku?” ejek santi.

“wanita sialan, kau pikir siapa dirimu? Baiklah jika tak bisa dengan jalan halus, Sentot, Paijo, pegangi dia!” dua laki-laki segera mendekati santi mencoba menangkap tangannya, tapi santi segera mengelak dan menendang laki-laki di sebelah kanan hingga ia terlempar. Lelaki lainnya mencoba memukul wajahnya, tapi santi menangkis dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengambil karambit yang tersembunyi di pinggang dan langsung merobek leher si lelaki dalam kecepatan tinggi, ia rubuh tanpa tahu apa yang terjadi dan darah terus mengalir dari lehernya. Ia menggelepar dan bersuara seperti orang tersedak bak ayam yang baru saja disembelih. Melihat itu, keempat temannya segera menjauh dan menodongkan senjata mereka, tangan mereka gemetar melihat kejadian tersebut. Karambit memang senjata efektif dalam pertarungan jarak dekat, karena musuh yang tidak jeli tidak akan melihatnya dan mengurangi kewaspadaannya. Selain itu, daya rusaknya pun besar, terutama jika mengenai bagian vital seperti urat nadi. Dengan ketajaman yang luar biasa, karambit Santi adalah senjata mematikan yang tersembunyi.

“bajingan! Apa yang kau lakukan!!?” teriak si lelaki gondrong.  “kau mau mati!?”

“mati? Kalian mengacungkan senjata yang tidak ada pelurunya kepadaku, kurasa kalian yang mau mati!” Santi memasang kuda-kuda.

“kenapa dia bisa tahu?” bisik seorang laki-laki kepada temannya. Kini keraguan nampak di wajah mereka. “bagaimana dia bisa melakukan itu?” bisik laki-laki lain.

“kalian hanya cecunguk kecil, penjahat kelas teri, nyali kalian hanya sejauh menggertak dan menindas orang lemah. Kalian adalah sampah yang harus kubersihkan.” Santi segera menerjang dua orang yang berada di dekatnya, tanpa perlu waktu lama, kedua orang tersebut rubuh dengan leher dan tangan bersimbah darah. Sadar bahwa senjata mereka tidak berpeluru, bayu segera menghajar lelaki gondrong di belakangnya. Sementara dua lelaki lain akhirnya meregang nyawa di tangan Santi.

“Tolong berhenti!! Aku menyerah!” si lelaki gondrong yang telah babak belur bersujud di depan Bayu yang langsung menghentikan tendangannya. “tolong jangan bunuh aku, kami hanya mencoba bertahan hidup... tolong mengerti..” Bayu terdiam.

“habisi dia bayu! Kata-kata mereka hanyalah kebohongan! Mereka adalah narapidana, sampah masyarakat, mereka tidak berhak untuk hidup!” Santi memprovokasi.

“Tolong.. ampuni aku..” Si lelaki gondrong menatap mata bayu, air mata nampak menetes dari sudut matanya. Tatapan mata itu mengingatkan bayu akan mimpi buruk yang membuat tidurnya tidak nyenyak selama ini. “Pergilah...” ujar bayu pelan.

“te.. terima kasih...” si lelaki gondrong dengan susah payah berdiri dan lalu berbalik untuk pergi. CRASS!!

Tubuh si lelaki gondrong rubuh dengan sebilah golok tertancap di kepalanya, golok yang beberapa hari ini menyelamatkan bayu dari gigitan manusia rabies. “Apa yang kau lakukan?!” Teriak Bayu.

“Kau Salah... Mereka tidak pantas hidup. Mereka adalah penjahat, sampah masyarakat, mereka berbuat jahat bukan karena terpaksa, tapi karena mereka suka! mereka seperti Adi yang kau bunuh tempo hari!”

“Adi?” Bayu memejamkan matanya. “Apa kau pernah dihantui rasa bersalah Santi? Setelah merenggut nyawa seseorang, di setiap tidurmu, mereka selalu datang lalu tanpa kau sadari ketika melihat mereka kau mulai merasakan sakit di hatimu, kau mulai berpikir, kenapa aku melakukan itu?”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Adi memang manusia jahanam! Tapi membunuhnya adalah kesalahan, karena Winda tidak akan bisa kembali walau dia kutusuk beratus-ratus kali, apa yang tersisa setelah itu? Hanya rasa sakit, dan menyesal.”

“Menyesal? Kau harusnya bangga mereka adalah orang yang hatinya busuk, keberadaan mereka adalah ancaman bagi masyarakat, melenyapkan mereka adalah tindakan mulia!” santi menaikan nada bicaranya.

“kau tahu orang yang melakukan sodomi? Ketika ditelusuri, umumnya mereka adalah korban ketika mereka kecil.”

“apa hubungannya?”

“manusia tidak menjadi busuk tanpa alasan, ketika aku melihat bahwa sebenarnya setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk, aku merasa tidak pantas merenggut nyawa orang lain karena dasar penghakimanku yang subjektif terhadap orang lain. Aku merasa sakit. Tidak kah kau merasakan itu?” bayu menyentuh pundak Santi.

“Aku sangat tidak setuju denganmu.” Santi menggelengkan kepala seraya berjalan menjauh dari bayu.

“kurasa inilah kenapa kau tidak dapat memahami cinta, santi.” Bagi bayu, memahami orang lain adalah kunci dari mencintai, karena cinta bukan tentang diri sendiri, seseorang harus mampu melakukan empati, melihat dan merasa dari sudut orang lain untuk dapat memahami cinta yang tulus. 

Kini, ia merasakan kerongkongannya sangat kering, dengan botol minum kosong, ia berjalan ke arah sungai untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti karena ia melihat sesosok manusia bergerak di pinggir sungai, seorang remaja yang nampaknya baru sadar dari pingsan. Melihat bayu mendekat, si pemuda segera mengambil AK-47 yang tergeletak dan menodongkannya pada bayu.

“Jangan bodoh, kami tahu senapan itu tidak berpeluru.” Bentak santi yang kini berada di belakang bayu. Si remaja, nampak gugup ketakutan, ia menurunkan senapannya, air mata mengalir deras. “aku... minta maaf....” kata-katanya meluncur dibalik tangisan.

“hey.. Santi, bagaimana kau tahu senapan mereka tidak berpeluru?”

“kliwon yang memberitahuku,” jawab santi sambil berjalan mendekati si remaja meninggalkan bayu yang mengerutkan dahinya.

Selasa, 25 Agustus 2015

Renungan Part 48 (Synthesized Happiness vs Natural Happiness)

psychcentral.com


Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling diinginkan di dunia ini, tak seorang pun manusia yang mau hidup dalam penderitaan dan kesedihan. Kebahagiaan memberikan rasa senang, aman, nyaman, dan gembira dalam hati. Kebahagiaan adalah sesuatu yang abstrak, tapi setidaknya aku bisa memberi contoh keadaan yang dapat memberikan perasaan bahagia. Aku merasa bahagia ketika: ayahku membelikan sepeda idamanku saat masih kecil; aku mendapat ranking pertama di sekolah dan membuat ibuku bangga; aku diterima di Universitas negeri; aku mendapat IPK yang cukup tinggi; perempuan yang kusukai akhirnya menerima cintaku; aku mendapat uang beasiswa dan mampu membeli laptop tanpa meminta kepada orang tua.

Itu adalah beberapa contoh keadaan yang telah membuatku merasa bahagia, dan berikut ini adalah keadaan yang kurasa akan membuatku bahagia. Aku akan merasa bahagia ketika: dapat melanjutkan studi ke luar negeri; mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar; dapat menikahi seorang wanita cantik; dapat membeli sebuah rumah yang besar, sebuah mobil, dan beberapa barang lainnya yang membuat orang lain kagum denganku.

Ketika kupikir kembali, semua keadaan yang kuanggap dapat membuatku bahagia dan yang sudah kurasa membuatku bahagia, berpusat pada mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku seringkali merasa sedih ketika ada hal-hal yang kunginkan tidak kudapatkan. Dalam beberapa kasus, ada orang-orang tertentu yang mengalami depresi ketika hal yang mereka inginkan tak kunjung didapat, atau mereka sudah mendapatkannya tapi kemudian tiba-tiba hilang terenggut oleh suatu hal. Tak sedikit yang menjadi gila karenanya, dan aku harus bersyukur walau banyak keinginan tak terpenuhi aku tak kunjung gila. Aku berpikir, inikah kebahagiaan sejati? Aku ragu, karena daftar keadaan yang telah membuatku merasakan kebahagiaan hanya mampu membuatku bahagia dalam waktu yang relatif singkat. Setelah seminggu, atau satu bulan, rasa bahagia itu lenyap, dan aku pun berfokus pada keinginanku selanjutnya untuk bisa merasa bahagia kembali.

Mendapatkan apa yang kita inginkan adalah definisi dari natural happiness atau kebahagiaan alami. Itulah yang dikatakan seorang ilmuwan Amerika bernama Dan Gilbert dalam pidatonya di TED (bisa dilihat di Youtube, channel TED, link terlampir). Ini adalah jenis kebahagiaan yang sangat umum orang pahami. Iya kan? Tapi, tidak mendapatkan yang kita inginkan, ataupun mendapat hal yang sangat kita tidak inginkan, kedua-duanya dapat membuat seseorang bahagia. Benarkah itu? Dan Gilbert membuktikannya dengan data dari sebuah penelitian.  

Ada dua kelompok orang, yang pertama adalah kelompok orang yang memenangkan lotere sebesar 314 juta dolar, dan yang kedua adalah kelompok orang yang menjadi lumpuh, tidak bisa berjalan selama-lamanya. Mari berpikir, manakah yang bahagia dan mana yang sedih bahkan depresi? Tak perlu waktu lama, kita biasanya langsung menjawab (dengan keyakinan) bahwa kelompok pertama pasti bahagia, dan kelompok kedua pasti sedih dan depresi. Orang gila mana yang tidak bahagia ketika tiba-tiba menjadi milyuner dadakan? Dan siapa pula yang tidak sedih setelah kehilangan kemampuannya untuk berjalan? Untuk sesaat jawaban itu tepat, tapi setelah kurun waktu satu tahun, penelitian menunjukan bahwa kedua kelompok itu sama – sama bahagia. Loh... bagaimana mungkin?

Ini adalah jenis kebahagiaan yang kedua. Seorang penulis dan motivator, Gobind Vashdev, mengatakan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari dalam hati, bukan dari benda atau hal yang kita dapat. Happiness from the inside. Bahkan situasi terburuk yang kita alami pun bisa menjadi sumber kebahagiaan, yang perlu dilakukan adalah hanya merubah sudut pandang kita akan suatu kejadian. Kalau dalam ajaran zen yang pernah kubaca, sebuah kejadian itu netral adanya, tidak baik ataupun buruk, pikiran kitalah yang menjadikan itu baik atau buruk. Bayangkan seseorang membuang ludah tepat di depan kaki kita, apa yang kita rasakan? Marah? Tersinggung? Kenapa kita merasa begitu? Karena dalam pikiran kita meludahi adalah tanda menghina. Tapi di sebuah suku pedalaman afrika, meludahi adalah tanda salam seperti halnya berjabat tangan ketika bertemu. Mereka tidak akan marah diludahi, justru mereka tersenyum. Apa yang berbeda antara kita dan mereka? cara memaknai sebuah tindakan meludah. Ludah itu netral tidak baik atau buruk, pikiran kitalah yang memberikan label itu.

Dari kecil, guru mengajiku selalu mengajarkan untuk mengambil hikmah dari segala musibah. Ini adalah cara lain untuk merubah sudut pandang dari negatif ke positif. Ada sebuah kisah terkenal yang menggambarkan bagaimana suatu musibah sebenarnya akan memiliki hikmah yang baik. Pada zaman dahulu kala, ada seorang raja yang senang berburu. Setiap kali ia berburu ia pasti ditemani oleh penasihatnya. Suatu hari terjadilah sebuah kecelakaan ketika sedang berburu dan dia kehilangan jari kelingkingnya, sang raja sedih luar biasa, tapi si penasihat berkata "janganlah bersedih tuan raja, kejadian ini pasti ada hikmahnya." mendengar kata-kata itu sang raja marah dan menjebloskan dia ke penjara. Beberapa waktu kemudian, Raja kembali berburu, namun sialnya, hari itu dia dan rombongan ditangkap oleh sebuah suku pedalaman yang masih primitif. Para tawanan akan dijadikan persembahan dewa dengan cara direbus hidup-hidup, namun ketika sang kepala suku melihat bahwa raja tidak punya kelingking dia pun dibebaskan karena persembahan haruslah manusia sempurna tanpa cacat. Akhirnya sang raja kembali ke istana dan menemui penasihatnya di penjara. "kau benar wahai penasihat, jika saja aku masih punya kelingking, aku pasti sudah mati direbus suku pedalaman itu. aku sangat menyesal dan meminta maaf telah memenjarakanmu" sang penasihat pun tersenyum dan berkata. "aku senang tuan raja akhirnya mendapatkan hikmahnya, dan aku pun senang tuan raja memenjarakan aku." Sang raja kaget. "kenapa kau malah senang kupenjarakan?" si penasihat menjawab. "jika tidak dipenjarakan, aku pasti menemani anda berburu, dan sudah dipastikan aku akan mati direbus suku pedalaman itu."

Dan Gilbert menyebut jenis kebahagiaan ini dengan isttilah synthesized happiness, atau kebahagiaan yang dibuat pikiran dengan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda atau dengan mengambil hikmah suatu kejadian yang tidak kita suka. Jadi tak perduli situasi apapun yang kita alami, kita tetap bisa bahagia. Alat ini sebenarnya sudah ada dalam tubuh manusia, hanya saja kebanyakan manusia tidak menyadarinya sehingga tidak mengoptimalkan fungsinya.

Lalu mana yang lebih baik? natural happiness  ataukah  synthesized happiness? mana yang merupakan kebahagiaan sejati? 

Sebagian orang melihat bahwa synthesized happiness adalah sebuah bentuk pelarian atas kegagalan mendapatkan natural happiness. Itu hanya usaha menghibur diri bahwa sebenarnya kita gagal dan tidak berhasil. Secara pribadi, aku sangat tidak setuju dengan anggapan ini, karena pandangan ini menurutku dipengaruhi kuat oleh cara pandang bahwa materi mendatangkan kebahagiaan. Bayangkan sebuah masyarakat yang selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang mereka punya, maka iklan tidak akan berguna, mall tidak akan ramai, dan para perusahaan besar akan bangkrut. Karena sadar atau tidak, para perusahaan besar menggunakan natural happiness untuk mendongkrak penjualan. Ini sangat terlihat di iklan. "Anda tidak akan bahagia jika tidak berkulit putih, karena orang-orang tidak suka yang berkulit hitam, belilah produk pemutih kami". Natural happiness sangat menguntungkan gaya hidup konsumtif, yang kemudian menguntungkan pengusaha rakus. 

Sedangkan synthesized happiness dianjurkan oleh para sufi. Mencari kebahagiaan dari dalam hati kita, hati yang merupakan kuil Tuhan. Di sanalah tempat kebahagiaan sejati, karena kita diajarkan untuk bersyukur, berprasangka baik, dan tetap bersikap positif dalam keadaan seburuk apapun. Satu hal yang pasti di dunia ini adalah keburukan atau musibah tidak akan pernah hilang di dunia, itu adalah hukum alam yang pasti dialami setiap manusia, jadi cara terbaik untuk bahagia bukanlah menghindarinya, tapi menerimanya dengan tangan terbuka dan pikiran positif. Menurutku, itulah kebahagiaan sejati.      

link Channel TED Dan Gilbert di youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=4q1dgn_C0AU

Minggu, 23 Agustus 2015

Renungan Part 47 (Food Bank: Skandal Negara Kaya Raya?)

cmsimg.coloradoan.com

Pernahkah mendengar istilah food bank? Istilah ini memang sepertinya tidak atau mungkin belum populer di Indonesia. Food bank adalah organisasi amal non profit yang membagikan makanan pada orang-orang yang kesulitan membeli makanan agar tidak kelaparan. Dari yang kubaca, fenomena food bank ini semakin populer di Inggris dan Amerika Serikat sejak tahun 2000an, terutama setelah krisis melanda dua negara kaya tersebut. Bahkan di Inggris, food bank menjadi sebuah kontroversi karena semakin banyak muncul dan mulai dipolitisasi oleh oposisi untuk menunjukan gagalnya pemerintah Inggris mensejahterakan rakyatnya.

Oke, Inggris dan Amerika adalah negara kaya raya dalam pandangan kita. Bagi kita yang tak pernah menginjakan kaki ke sana, yang kita tahu tentang mereka adalah sebuah negara makmur sentosa. Kehidupan mereka lebih baik dari kita dalam hal ekonomi dan banyak aspek lainnya. Kelaparan di kedua negara tersebut adalah sesuatu yang tak masuk akal. Tapi kenapa food bank menjamur? Dan katanya, semakin banyak orang datang ke food bank, walaupun mereka harus menahan rasa malu (siapa yang tidak malu dengan meminta-minta seperti itu, oh... sepertinya orang indonesia tidak malu). Kelaparan mereka tentunya bukan seperti busung lapar yang pernah terjadi di Indonesia, mereka hanya tidak punya uang untuk membeli makanan, dan tidak ada orang atau keluarga yang dapat membantu, maka food bank adalah solusinya. Menjamurnya food bank, bisa menjadi tanda bahwa orang-orang seperti itu makin banyak di sana.

Aku penasaran, warga negara kaya raya seperti apakah yang terpaksa harus datang ke food bank? Sangat beragam, salah satu artikel di guardian.com menyebutkan ada seorang wanita yang ditinggalkan suami dan menanggung dua anaknya, dia baru dapat pekerjaan, tapi dia baru dapat gaji sebulan kemudian, jadi selama 30 hari itu dia tidak punya uang untuk makanan. Food bank adalah solusinya. Kemudian, ada mantan tentara yang sakit-sakitan karena obat yang dia minum seharusnya diminum setelah makan, tapi dia tidak punya uang untuk membeli makan. Lalu, seorang wanita yang mendapat kdrt di rumahnya, sehingga dia harus kabur dari rumah, depresi yang dialaminya membuatnya sakit-sakitan, dan memaksanya berhenti bekerja. Akhirnya dia harus ke food bank karena tidak punya uang sedikitpun, bahkan dia tinggal di tempat penampungan orang tak punya rumah. Dan masih banyak alasan lainnya orang-orang pergi ke food bank, untuk tetap bertahan hidup.

Miris, di negara yang kaya raya hal seperti ini dapat terjadi. Kebijakan pemerintah mensejahterakan rakyat mereka pun dipertanyakan, tentu ada yang salah di situ sehingga fenomena ini terjadi. Mungkin mereka bukan negara kaya, tapi negara yang sebagian kecil penduduknya kaya raya, tapi sebagian lainnya sama saja dengan kita, untuk makan saja susah. Kesenjangan ekonomi sungguh besar. Kelaparan yang terjadi bukan karena tidak ada makanan, justru banyak makanan terbuang begitu saja dari industri makanan. Masalahnya adalah masyarakat tidak punya uang untuk membeli makanan itu. Menurut Robin Aitken, salah satu pendiri Oxford Food Bank, solusi masalah kelaparan ini adalah membuat sistem yang memanfaatkan surplus makanan untuk menambal kekurangan makanan. Robin menambahkan bahwa di banyak supermarket, pelanggan diajak membeli lebih banyak untuk disumbangkan ke food bank, ketika banyak pelanggan melakukan itu maka supermarket mendapatkan banyak untung. Ironisnya, pelanggan tidak tahu bahwa supermarket membuang makanan yang tak terjual. Jika supermarket memang serius ingin bersama-sama menanggulangi kekurangan makanan, kenapa mereka melakukan itu? Karena mereka sebenarnya tidak perduli dengan kelaparan, mereka hanya perduli dengan keuntungan. Biasalah... Kapitalis. Ya... jika kita perhatikan, Inggris dan Amerika adalah dedengkotnya negara kapitalisme, dan food bank mungkin muncul sebagai salah satu efek dari efek buruk kapitalisme: Kesenjangan Pendapatan.

Miris lainnya adalah orang-orang datang ke food bank karena tak ada orang terdekat yang membantu mereka. Di tatanan masyarakat barat yang mandiri dan individualis, bahkan keluarga pun tidak selalu ada bagi semua orang ketika dalam kesusahan. Bisa jadi karena memang keluarga mereka tidak bisa diharapkan, atau memang mereka tidak punya keluarga. Kurasa ini efek negatif menurunnya kesakralan pernikahan dan membangun keluarga. Mereka bisa saja punya anak tanpa ada pernikahan. Di Indonesia, Masyarakat betawi khususnya, keluarga terbiasa tinggal saling berdekatan. Sehingga ketika mendapat masalah, ada sanak famili yang dapat membantu. Di Barat, kemandirian mereka, dan sistem keluarga inti, biasanya membuat keluarga tinggal saling berjauhan, bahkan mungkin ada saja orang yang tidak kenal nenek, paman, atau bibinya. Ketika mereka kesulitan, siapa yang dapat membantu?

Lalu kemana tetangga mereka? mungkin ini juga ekses negatif dari individualistis masyarakat modern. Kebersamaan sepertinya jauh dari kenyataan, karena tiap orang hanya mengurusi urusan masing-masing, sibuk dengan masalah masing-masing. Aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz yang berkata bahwa muslim yang baik tidak akan berkenyang-kenyang sementara tetangga terdekatnya tidak bisa makan sama sekali. Mereka kan bukan muslim... tidak kah kita mulai merasakan hal yang sama mulai terjadi di lingkungan kita yang muslim? Barat adalah kiblat kemajuan, kita mengikuti mereka termasuk ke hal yang negatif sekalipun. Jangan suudzon.... mungkin tetangga mereka pun sama-sama susah makan dan pergi ke food bank.

Menonton video dokumenter dari channel VICE di Youtube tentang salah satu food bank di Newcastle, Inggris, membuatku bersyukur bahwa sampai hari ini aku tidak pernah meminta makan pada badan amal seperti itu (di Indonesia kan memang belum ada food bank). Melihat orang inggris hidup tanpa listrik, bukan karena pemadaman tapi karena tidak mampu membayar, membuatku bersyukur aku masih mampu membayar dan menikmati listrik walau beberapa waktu terjadi pemadaman oleh PLN. Nun jauh disana, di negara kaya raya, kemiskinan pun tetap ada, mereka miskin bukan karena tidak ada sumber daya yang tersedia untuk mereka nikmati, tapi karena mereka tidak punya uang untuk membeli sumber daya itu. Akankah  keadaan ini terjadi di Indonesia?


Sumber bacaan
http://www.theguardian.com/commentisfree/2015/apr/23/food-bank-poverty-benefits

http://www.telegraph.co.uk/foodanddrink/10517718/Food-banks-the-unpalatable-truth.html

http://www.theguardian.com/society/2015/aug/20/food-bank-users-suffer-more-from-shame-than-from-hunger

http://www.mirror.co.uk/news/uk-news/one-five-doctors-sending-patients-6302670

Channel VICE di Youtube tentang food bank

https://www.youtube.com/watch?v=OIWARrp_A68

Jumat, 21 Agustus 2015

Renungan Part 46 (Awas Bahaya Laten Komunisme!!)

static.pulsk.com

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar PKI? umumnya yang muncul dalam benak kita adalah kekejaman, pembunuhan, pemberontakan dan ateisme. Orang-orang PKI itu kejam, mereka membunuh para ulama, mereka ateis, dan mereka pemberontak. Yang kutahu, kelompok komunis di indonesia sudah melakukan tiga kali pemberontakan, yakni di tahun 1926 (pada zaman ini Indonesia belum terbentuk, jadi kelompok komunis ini memberontak pada pemerintahan Hindia Belanda. Jadi, aku bingung, mereka seharusnya dilabeli pejuang kemerdekaan kan ya? kenapa pemberontak?), di tahun 1948, dan yang terakhir sekaligus yang menjadi akhir kehidupan kelompok ini di Indonesia yaitu di tahun 1965, yang kita kenal dengan nama G 30 S PKI. Aku tidang ingin membahas sejarah dari versi manapun, aku hanya ingin mengenal komunisme yang menjadi dasar PKI.

Baru - baru ini berita tentang PKI sering terdengar karena beberapa insiden. contohnya, isu presiden akan meminta maaf pada keluarga PKI. Banyak sekali yang menentang, terlihat sekali bagaimana masyarakat sepertinya sangat membenci sekaligus takut dengan partai dan ideologi komunis. Tak aneh, dari kecil aku saja sudah dicekoki video pembantaian jenderal oleh PKI, di pelajaran sejarah pun aku belajar itu. Kata mereka, generasi penerus harus tahu bagaimana kejinya mereka, dan oleh karena itu Komunisme tidak akan pernah muncul lagi di Indonesia, haram hukumnya! PKI memang menyeramkan, melihat benderanyan saja aku takut, Palu dan Arit, jangan-jangan itu lambang kekerasan mereka. Yang tak suka ditebas lehernya dengan arit, dan yang tak setuju dipalu otaknya.

Tapi kita seringkali tidak kritis dalam memahami suatu hal, menelan begitu saja apa kata orang. Kita tidak meluangkan waktu membaca, dan mencari tahu akan suatu hal secara objektif, dari berbagai sudut pandang, tapi kita berkoar-koar, bahkan mencaci yang tidak sependapat seakan-akan kita ini yang paling benar. Padahal pengetahuan secetek kubangan air. Karena aku tidak mau termasuk pada orang - orang seperti itu, maka kuputuskan untuk mencari tahu lebih tentang komunisme.

Komunisme
Apa itu komunisme? gampangnya begini, komunisme berasal dari kata communal, artinya bersama-sama, dibagi bersama, jadi komunisme ya paham untuk saling berbagi. Kalau kamu senang berbagi sesuatu yang merupakan milikmu dengan orang lain, berarti kamu komunis. Serius? Lah iya... komunisme itu adalah hasil pemikiran Karl Marx, seorang filosof eropa yang lahir di Jerman pada tahun 1818. Komunisme lahir karena Marx melihat penindasan kaum berduit (borjuis) terhadap para buruh (Proletar) di zaman itu. Dia melihat bahwa para kapitalis, pemilik perusahaan, hanya mengeksploitasi tenaga buruh, sehingga ada kesenjangan yang besar antara kaya dan miskin. Komunis hanya ingin membuat semua orang itu sejahtera, tanpa ada kesenjangan seperti itu dengan saling berbagi. Makanya di salah satu mantan negara komunis kepemilikan pribadi itu tidak diakui, semuanya milik pemerintah, dengan begitu ego individu dapat ditekan dan pemerintah dapat membagikan kesejahteraan secara merata.

Dari situ kita bisa melihat bahwa sebenarnya Komunis itu pada dasarnya tidak menyeramkan, justru membela kaum yang lemah. Tapi kenapa sepanjang sejarah komunis itu selalu diwarnai pemberontakan dan darah? menurutku, ini karena komunis percaya untuk mencapai utopia kesejahteraan merata itu lewat pergantian sistem pemerintahan secara radikal. Sistem demokrasi kita sekarang contohnya, hanya kaum borjuislah yang pasti akan berkuasa, kenapa? kita memang melakukan pemilihan langsung, rakyat yang memilih langsung, tapi kita semua tahu bahwa uang dapat membeli apapun, termasuk suara rakyat. Siapa yang memiliki uang segitu banyak? ya para kapitalis.... sementara itu pejuang komunis umumnya tidak memiliki banyak uang (karena senang berbagi... hehe). Jadi, perjuangan lewat jalan pemilu itu sia-sia, para kapitalis yang pasti menang, dan kemudian pemerintah dapat dengan mudah dipelintir kapitalis demi keuntungan mereka. Jauhlah mimpi kesejahteraan bersama itu dapat terwujud, karena para kapitalis tidak suka ide itu, mereka egois dan hanya ingin untung sendiri. Jadi bagaimana solusinya? Berontak!! Gulingkan pemerintahan secara paksa!!

Komunis itu Ateis
Aku melihat bahwa keparnoan beberapa kalangan umat islam terhadap komunisme itu karena mereka anti tuhan. Benarkah? hm... bisa saja, kalau kita sangat mengagumi Karl Marx, tanpa mau mengkritisi. Karl Marx sendiri berkata bahwa agama itu candu, jelaslah bagi kita bahwa dia adalah seorang ateis, kafir jahanam! Eits... bagiku jelas pula dia ateis, dia hidup di Eropa pada zaman dimana ilmu pengetahuan dijunjung melebihi tuhan, berapa banyak filosof atau ilmuwan barat yang tidak percaya tuhan? banyak sepertinya... coba kalau Karl Marx besar di jombang, kemudian pesantren di Tebu Ireng dan kuliah di IAIN Ciputat, pasti yang lahir dari pemikirannya bukan agama itu candu, tapi agama itu obat segala penyakit. Bukan pula komunisme yang dia dengungkan tapi Islam Liberal, atau jihad fi sabilillah. Dari latar belakangnya saja, sudah jelas dia tidak punya hubungan mesra dengan agama. Selain itu, alasan lain dia bilang agama itu candu adalah karena menurutnya agama mengajarkan untuk bersabar dan menerima takdir baik buruknya. Semua itu dari Tuhan, jadi kita terima dan bersabar saja. Ini adalah mental yang tidak baik, seorang komunis harus tidak mau menerima perlakuan buruk si kapitalis yang mengeksploitasinya, komunis harus melawan! Ajaran menerima takdir ini seringkali disalahgunakan oleh para kapitalis untuk mempertahankan ketundukan para buruh, dan sangat ampuh. Oleh karena itu, ada beberapa pemerintah dunia yang dengan sengaja menggandeng pemuka agama untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan adanya pemuka agama di pihak mereka, rakyat yang tertindas tidak berani melawan, karena melawan sama saja dengan melawan agama, melawan tuhan, kafir jahanam! Pantas dibunuh! Oleh karena itu, agama bisa saja menjadi rintangan dalam membentuk masyarakat komunis.

Dari hasil bacaan yang sedikit ini, saat ini aku menyimpulkan bahwa membenci komunisme karena tindakan PKI itu sama seperti masyarakat Barat membenci islam karena tindakan Teroris. Kita sebagai umat islam akan berteriak "itu bukan islam yang sebenarnya! kau tidak tahu apa itu islam jangan asal tuduh!". Mungkin tindakan PKI, dan Komunis di negara lain hanya mencerminkan sisi buruk komunisme, atau mencerminkan salah tafsir akan ajaran komunisme (namanya juga konsep bikinan manusia, tak ada yang sempurna, Islam saja yang konsepnya dibuat langsung oleh Tuhan bisa disalahartikan menjadi terorisme). Kurasa ada hal-hal baik yang bisa kita pelajari dari faham komunisme asal kita mau berpikiran terbuka.    
   
Sumber bacaan:


Malaka, Tan, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi-Politik,Tangerang: Marjin Kiri.

Rahman, Arif dan Adi Prabowo, Das Kapital for Beginners,Yogyakarta: Narasi.





Senin, 17 Agustus 2015

Renungan Part 45 (Sarjana)

gerardusseptiankalis.files.wordpress.com

Gelar sarjana merupakan sesuatu yang cukup wah, karena mendapatkannya tidaklah mudah, oleh karena itu ada orang yang bisa marah jika gelarnya tidak ditulis dalam kartu undangan atau dalam acara-acara tertentu. Titel Sarjana adalah tanda intelektualitas, karena hanya orang-orang yang memang pintar yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus. Di samping itu, Sarjana adalah simbol kebijkasanaan, seorang sarjana adalah orang yang pintar dan mengerti banyak hal, tak aneh dia dianggap sebagai seorang bijak. Mungkin yang paling beken saat ini adalah sarjana menjadi kunci perubahan nasib. Sebagaimana slogan yang sering kudengar dari barat, bahwa kita bisa memperbaiki nasib (keadaan ekonomi) dari masyarakat kelas bawah (miskin) menjadi masyarakat kelas atas (kaya) dengan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. 

Mari kita merefleksi diri sejenak. Ketika SMA, aku mulai diperkenalkan dengan pilihan akan universitas yang ingin kuambil, selain itu lingkunganku mulai memberikan contoh dan nasihat tentang bagaimana pentingnya kuliah demi masa depan. Kesimpulan dari semua itu adalah sukses bisa dicapai dengan pendidikan tinggi dan menjadi pintar tentunya. Sukses dalam pikiranku berarti aku punya pekerjaan bonafit dengan gaji besar sehingga aku bisa memperbaiki hidup. Loh... memangnya aku miskin? tidak, cuma kurang bersyukur. Rasanya tidak salah kan kita ingin hidup sejahtera.... hidup lebih dari cukup. Intinya dalam kepalaku (atau mungkin kita semua) kita semangat kuliah demi mendapat kesuksesan itu. Kuliah demi mendapatkan kerja dengan penghasilan tinggi setelah lulus nanti. Memang banyak kasus seperti itu, from zero to hero karena pendidikan, mereka banyak diekspos di media, dan menjadi inspirasi. 

Karena kuliah dapat membuat kita sukses, maka permintaan masyarakat untuk bisa kuliah menjadi sangat tinggi. Dalam kacamata kapitalisme, ini adalah pasar yang sangat menguntungkan, oleh karena itulah kenapa biaya kuliah di Amerika itu mahal. Dia kan negara kapitalis... apa-apa di lihat dalam sudut pandang untung rugi. Jadilah pendidikan sebagai bisnis. Untuk membantu masyarakat yang kurang mampu maka dihadirkanlah pinjaman mahasiswa, kita dibayari uang kuliah yang nantinya harus kita bayar, dengan bunga sepertinya. Tak apa-apa.... pendidikan itu kan investasi masa depan, kita berhutang sekarang nanti kita bisa mendapat penghasilan lebih dari cukup untuk membayarnya. 

Atas dasar asumsi itu pula, bahwa sarjana memberikan pekerjaan berpenghasilan besar, banyak yang merasa miris membaca berita tentang banyaknya sarjana melamar jadi driver gojek beberapa waktu lalu. Menjadi tukang gojek tak perlu sekolah tinggi, cukup punya motor dan modal. bahkan lulusan SMA pun dapat melakukannya. Buat apa kuliah kalau akhir-akhirnya jadi tukang ojek juga, buat apa ilmu yang selama ini dipelajari dengan susah payah? ah... rasanya tak relevan... banyak temanku, dan mungkin juga temanmu yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Seorang lulusan Sastra bekerja sebagai teller bank misalnya. Lalu banyak pula perusahaan yang mencamtukan "lulusan S1 semua jurusan". Apa artinya itu? jadi kelimuanmu tak penting, dan yang penting adalah titelmu, begitu?

Dalam sudut pandang ekonomi, Titel Sarjana adalah nilai plus yang membuat kita memiliki nilai lebih sehingga kerja kita pantas dibayar lebih tinggi dari yang bukan sarjana. Jika non sarjana adalah kuli biasa, maka sarjana adalah kuli bersertifikat yang memiliki beberapa skill yang lebih baik dari kuli biasa. Tak aneh beberapa rekan guru yang pastinya sarjana kesal dengan tuntutan buruh yang umumnya bukan sarjana untuk menaikan gaji mereka. Masalahnya, gaji buruh itu sudah lebih besar dari gaji beberapa kalangan guru, seperti guru honorer dan guru di sekolah kecil atau sekolah pedalaman.      

Salah satu adik temanku pernah bertanya, "buat apa mahal-mahal kuliah ternyata dapet gajinya cuma segitu?"  Hm.... sedih... terutama ketika kita meniatkan kuliah demi pekerjaan dan penghasilan tinggi. Pada akhirnya para sarjana berkualitas akan berkumpul di tempat yang memberikan gaji besar. Dan yang tidak berkualitas, tahulah pada kemana... Sekolah di kampung sulit berkembang karena tidak mampu menggaji sarjana berkualitas. Sekolah di kota besar makin maju karena ada modal. Akhirnya.... yang miskin makin miskin, yang kaya tambah kaya. Dasar kapitalis!

Tak pentinglah... kaya miskin... Tuhan hanya melihat ketakwaan kan?

Lalu apa sebenarnya makna hakiki menjadi sarjana? Bagiku, sarjana adalah tanda bertambahnya pengetahuan akal dan kebijaksanaan hati. Seorang sarjana tidak hanya tahu dasar-dasar ilmu untuk menjadi kuli, atau menciptakan lapangan kuli, tapi juga untuk memahami hakikat diri dan dunia. Lebay memang, bisakah itu tercapai dalam lima tahun? batas masa studi mahasiswa sekarang? sepertinya tidak. Jadi yang besok mau diwisuda, sebenarnya belajarnya belum tuntas ya......


Senin, 10 Agustus 2015

Renungan Part 44 (Mencintai yang Mahacinta)

Beberapa saat yang lalu aku menonton drama korea yang sangat menarik yang berjudul "School: 2015 Who Are You?". Drama yang cukup berbeda dari drama yang pernah kutonton ini menceritakan kehidupan remaja korea dalam menggapai kebahagiaan dalam menjalani hidup, dan dalam menggapai kebahagiaan itu cinta lah hal yang terpenting. Bukan cinta antar lawan jenis seperti drama korea yang pernah kutonton umumnya, tapi cinta dalam arti umum. Cinta orang tua pada anak, cinta guru pada murid, cinta antar teman, cinta antar manusia.

Menurut para ahli sufi, cinta dalam arti umum adalah sumber kebahagiaan. Sementara Harta hanyalah sarana mencapai Kebahagiaan itu, akan tetapi manusia sering salah memahami yang mana tujuan dan yang mana sarana. Banyak dari kita berpikir bahwa kita tidak bisa bahagia tanpa uang, karena tanpa uang kita tidak dapat mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita menaruh kebahagiaan kita dalam kegiatan mengkonsumsi, pada apa yang kita dapat (yang di zaman ini umumnya harus dibeli). Mana yang lebih membahagiakan? sebuah rumah sederhana tapi diisi dengan keluarga yang rukun, istri, suami, dan anak yang saling mencintai, ataukah sebuah rumah mewah yang besar tapi tak ada cinta di dalamnya, suami dan istri selalu bertengkar, si anak frustasi dan kurang kasih sayang. (Kalau dalam hati anda memilih opsi tiga, menurut saya anda masih berpikir bahwa uang yang membawa kebahagiaan LoL)

Tapi... kita sering  kecewa karena cinta. Ketika mencintai secara tulus, tapi orang lain ternyata mengkhianati? kita melakukan banyak hal demi suami, istri, sahabat, dan keluarga, tetapi mereka tidak membantu kita ketika kita dalam kesulitan. Atau seperti salah satu temanku yang bertanya tentang ketulusan cinta, Siapakah yang memiliki ketulusan cinta? jika teman berbuat baik karena ingin dibalas kebaikannya ketika butuh, jika suami berhenti mencintai karena istri tidak bisa menjadi yang dia mau, dan jika orang tua menuntut anak untuk membalas semua yang telah mereka berikan untuk membesarkannya. Pada akhirnya, kita terpuruk dan kecewa dengan semua balasan yang kita tidak dapatkan atas cinta yang kita berikan.

Kurasa disinilah masalahnya, Lagi-lagi kita berfokus pada apa yang kita dapat. Itu bukanlah cinta sejati, itu artinya kita hanya mementingkan diri kita sendiri. Cinta sejati tidaklah seperti itu, Jalaludin Rumi pernah berkata: "Cinta itu tak berhitung, bukan nalar. Nalar mengejar untung. Setelah pamrih tiada, cinta pertaruhkan semua, dan tak tuntut sesuatu apa." Mungkin yang selama ini kita rasakan bukanlah cinta, tapi nalar. Kita menghitung untung rugi dalam sesuatu yang kita sebut cinta. Oleh karena itu, rasanya benar pula Sujiwo Tejo ketika ia berkata bahwa cinta tak butuh pengorbanan, ketika kita merasa berkorban maka lunturlah esensi cinta itu, karena rasa pengorbanan adalah hasil kalkulasi untung rugi, bukan cinta.  

Mungkin dalam lubuk hati, kita bertanya adakah sesuatu yang begitu sempurna yang berhak mendapatkan cinta sejati itu? karena manusia penuh kerapuhan dan kelemahan, ketika kita memberikan cinta sejati kepadanya, rasanya hanya kekecewaan yang akan didapatkan. Maka dari itu para sufi mengajarkan untuk mencintai yang Mahacinta, yaitu zat yang memiliki cinta itu, Tuhan. Dia lah soulmate sejati manusia, yang tidak akan memberikan kekecewaan.

Dulu, aku tidak percaya dengan slogan "Mencintaimu karena Allah", tapi sekarang, aku melihat bahwa itulah jalan terbaik mencintai manusia. Apa yang akan anda lakukan pada benda milik orang yang anda cintai? menjaganya atau mungkin juga menyayanginya kan? Manusia adalah salah satu ciptaan-Nya, jika kita mencintai-Nya maka kita pun mencintai ciptaan-Nya. Disamping itu, Dengan mencintai karena Allah, kita terlepas dari pamrih. Kita tidak meminta balasan atas perbuatan baik kita pada orang lain, karena tujuan kita adalah Allah, bukan balasan. Itulah kenapa kita disunahkan mengawali segala sesuatu dengan bismillah, untuk meneguhkan hati kita bahwa yang akan kita lakukan adalah semata-mata untuk Allah, bukan yang lainnya. Tapi sayang... selama ini aku selalu berpikir bahwa bismillah adalah sarana untuk menggapai keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Aku berfokus pada apa yang kudapat dan basmallah dapat membantuku, sungguh miris.

Aku berpikir, jika kita mampu mencintai karena Allah apa yang akan terjadi? Kita bisa menebar kebaikan, mencintai manusia tanpa pandang bulu, entah ia baik atau buruk. Karena seperti konsep yin dan yang, dalam kebaikan bisa saja ada keburukan dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang murni putih dan hitam. Bukankah setiap manusia itu memiliki percikan ilahi dalam hati mereka? Lalu, kita pun mencintai lingkungan kita, karena esensinya semua hal di dunia adalah ciptaan-Nya.

Dapatkah kita melakukannya? mencintai karena Allah? mungkin pertanyaannya bukan "dapatkah" tapi maukah kita berusaha mencapai tingkat itu?