Selasa, 01 November 2016

Renungan Part 73 (Rahasia Bahagia 1: Mengapresiasi Hal Yang Sederhana)

i.quoteaddicts.com

Apakah kita sering merasa bahwa apa yang kita punya saat ini tidak memberikan kebahagiaan pada diri kita? Lalu, kita menginginkan hal yang dimiliki oleh orang lain dimana kita berpikir "jika aku punya dan bisa seperti dia, aku pasti akan lebih bahagia". Atau kita ingin barang yang lebih bagus, Smartphone yang lebih mahal, pakaian yang bermerk internasional; kita tidak puas dan tidak merasakan kebahagiaan dengan barang kw yang kita miliki, atau barang murah yang terjangkau harganya oleh kantong kita. Kenapa kita tidak menghargai barang murah yang kita punya?
 
Pada dasarnya, kita berpikir bahwa murah adalah tanda barang tersebut tidak bernilai. Tas yang harganya milyaran, dibuat dari bahan pilihan, dirajut oleh ahlinya dan diperhatikan setiap detilnya, sehingga kualitas tas tersebut sangat terjaga. Lagipula benar pula bahwa barang yang jelek tidak akan menjadi baik, hanya dengan menaikan harganya, justru orang akan merasa pantas dengan harga yang mahal karena kualitasnya pun setara. Tapi ada satu hal yang kita tidak sadari di sini. Mari kuperkenalkan dengan Tuan Nanas, buah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita yang sangat mudah kita temui di lingkungan kita.
 
Ketika Colombus pertama kali mendarat di Benua Amerika, Tuan Nanas tidak dikenal oleh masyarakat Eropa. Tentunya karena dia buah asli Amerika Selatan, Lalu ketika para penjelajah Eropa pulang dari benua Amerika dan membawa serta Tuan Nanas, buah ini menjadi sangat populer. Dia menjadi makanan primadona para bangsawan, dan memakan buah nanas menjadi budaya khas orang-orang kaya dan bangsawan, Tuan Nanas menjadi simbol gaya hidup kelas atas pada saat itu. Itu bisa terjadi karena Tuan Nanas sangat sulit didapat dan harganya mahal. Saking digemarinya Tuan Nanas, sampai The Fourth Earl of Dunmore, John Murray membangun sebuah villa peristirahatan dengan bentuk nanas di atapnya di tahun 1761. 
 
www.scotlandnow.com

Bisa kita bilang, nanas adalah tas hermesnya jaman dahulu, barang yang hanya dikonsumsi oleh golongan tertentu dan mengkonsumsinya memberikan perasaan yang luar biasa daripada mengkonsumsi barang yang harganya murah. Tapi, semua itu berubah ketika mesin uap ditemukan, dan nanas ditanam dalam skala besar di Hawaii, kuantitas supply yang banyak dan murahnya biaya transport membuat nanas bukan barang eksklusif, dan dapat dijangkau oleh banyak kalangan. Alhasil, seperti yang kita tahu sekarang, nanas kita anggap biasa saja, ada perubahan sikap kita terhadap Tuan Nanas dibandingkan beberapa abad sebelumnya. Padahal, rasa nanas di tahun 1700an dengan sekarang tetaplah sama. Ini adalah contoh bahwa ketika suatu barang sebenarnya memang memiliki kualitas bagus tertentu, tapi harganya murah dan melimpah, cenderung dilupakan keistimewaannya oleh orang.
 
Yang ingin aku ungkapkan adalah bahwa kita tidak pandai mengapresiasi hal-hal kecil di sekeliling kita, yang kita miliki. Seperti halnya Tuan Nanas, mungkin banyak hal lain yang kita miliki dan memiliki kualitas bagus tapi kita tidak sadari karena kita tidak mengapresiasinya dengan baik. Revolusi industri berhasil membuat barang-barang yang dulunya mahal dan tidak terjangkau oleh khalayak ramai menjadi lebih murah dan dapat dinikmati oleh banyak kalangan, tapi seiring dengan itu, ia juga mengikis rasa apresiasi kita terhadap barang tersebut. 
 
Dalam urusan mengapresiasi, kita harus belajar pada seniman, karena mereka adalah orang yang hidupnya dibaktikan dalam mengapresiasi hal-hal sederhana dan mengubahnya menjadi sesuatu yang sangat indah. Seorang pelukis perancis Paul Cezanne menghabiskan berhari-hari di studionya melukis sekumpulan apel. Kita mungkin berpikir, apa indahnya sekumpulan apel yang bertumpuk di meja? Inilah kekurangan kita, kombinasi warna merah dan kuning si apel, bentuknya, dan tata letaknya, menghadirkan keindahan tersendiri bagi Paul hingga memunculkan inspirasi baginya. Dia pandai mengapresiasi, dia bisa melihat keindahan pada sesuatu yang kita anggap biasa dan tidak indah. Padahal, untuk menjadi bahagia, kita perlu melihat keindahan dari semua hal di sekitar kita, hingga kita tidak akan bilang "aku akan bahagia jika bisa bersantai di pantai di Lombok". Tidak ada salahnya berwisata ke Lombok, yang salah adalah kita tidak bisa mengapresiasi keindahan lingkungan rumah kita sehingga kita bermimpi mendatangi Lombok yang indah dalam pikiran kita.
 
Maka pertanyaannya adalah bisakah kita melihat keindahan dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita? segala sesuatu yang kita anggap biasa saja?

 
 
Tulisan ini terisnpirasi dari video Channel School of Life di Youtube berjudul "Why We Hate Cheap Things"