Rabu, 19 Februari 2014

renungan part 13 (Ushalli fardhazh zhuhri arba'a rakaatim mustaqbilal qiblati adaa-an ma'muman lis sayyaroti INNOVA)

Siapa yang tidak hafal dengan kata-kata yang kujadikan judul tulisanku kali ini ya? kurasa semua orang muslim dewasa pastinya hafal, itu adalah niat sholat zuhur, sengaja aku mengubah kata-kata terakhirnya setelah membaca berita tentang Wali kota Bengkulu yang akan memberikan hadiah mobil inova, serta haji dan umroh ke tanah suci bagi yang mau sholat zuhur berjamaah di mesjid selama 40 hari berturut-turut. Menurut banyak sumber berita, kontan mesjid At-taqwa (mesjid dimana diadakan program walikota itu) kebanjiran jemaah yang membludak pada saat zuhur di hari rabu (jadwal program itu di jalankan). Para jema'ah yang kebanyakan pegawai PNS dan non-PNS pemerintahan walikota harus mengumpulkan fotokopi KTP untuk dapat ikut serta dalam program tersebut. Menariknya, sebagaimana diberitakan di kompas.com, mesjid tersebut sepi jemaah selain zuhur hari rabu dimana jemaah bisa sampai teras mesjid.

Menurutku, hal ini mengindikasikan niat sebenarnya daripada jemaah tersebut, mereka hanya tertarik dengan hadiah yang akan diberikan walikota, bukan ikhlas menjalankan shalat lillahi ta'ala. Tapi jika kupikir kembali, kita pun banyak yang memiliki kesamaan dengan jemaah itu, yaitu banyak dari kita yang sholat karena ingin masuk surga. Bedanya, mobil inova itu real dan bisa didapat dalam waktu dekat, sedangkan surga itu tidak terlihat dan didapat setelah kita meninggal (katanya sih setelah kiamat, lalu kapan kiamat? who knows...). Sehubungan dengan ini, menurut seorang penulis artikel tentang berita yang sama di republika.com yang berjudul "Shalat Berhadiah Innova", yang bernama Abdul Hakim*, bahwa menurut riwayat Khalifah Ali bin Abi Thalib ada beberapa kelompok manusia berdasarkan motivasi ibadah mereka.

Orang yang beribadah dengan mengharapkan pahala dan ganjaran adalaha ibadah pedagang. Sedangkan orang yang beribadah karena takut kepada siksa adalah ibadah para budak, dan orang yang beribadah untuk bersyukur adalah ibadah orang yang merdeka. Kurasa, kita harus mulai bermuhasabah untuk meluruskan niat shalat dan ibadah kita lainnya. Sebenarnya untuk apa kita beribadah?

Dulu aku pernah berpikiran bahwa untuk jadi pnitar dan dapat nilai bagus di sekolah aku harus rajin shalat, serta puasa senin kamis. Jadilah motivasi ibadahku hal itu. Dengan anggapan bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak diturunkan pada orang yang sering bermaksiat. Tapi realita kehidupan menggugurkan keyakinanku itu, orang-orang non-muslim yang sering melakukan maksiat toh lebih superior dalam intelektualitas daripada orang muslim indonesia. Lalu, bagaimana menjelaskan hal itu? Baru, setelah membaca buku karangan Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Harun Nasution, yang berjudul Islam Rasional,aku mengerti bahwa ibadah tidak menyebabkan seseorang itu pintar, dampak ibadah adalah peningkatan spiritualitas seseorang yang terlihat dalam tindak tanduknya sehari-hari. Intinya, orang yang rajin beribadah pastilah orang yang akhlaknya baik.

Dalam al-quran sendiri dikatakan bahwa ibadah shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Jadi kalau suka shalat tapi masih suka korupsi (sekecil apapun itu), masih suka berbohong, masih suka mencaci orang lain, masih suka,menyakiti hati orang lain, masih suka menggunjing orang lain, masih suka pamer, sombong, dan riya, maka menurutku ada tanda tanya besar dalam shalatnya. Aku berpendirian bahwa frekuensi ibadah seharusnya berbanding lurus dengan akhlakkul karimah.Oleh karena itu, aku selalu meniatkan ibadahku (yang masih suka naik turun ini ) untuk mengingat Allah agar tetap sadar untuk menjaga akhlak.   

     
 *Khadim di STAI Madinatul Ilmi, Depok

Selasa, 18 Februari 2014

renungan part 12 (tarif ustadz anu berapa ya?)

Siang ini (18 februari, 2014), untuk mengisi kekosongan waktu, aku sengaja membuka internet. Kuketikan salah satu website favoritku yaitu republika.co.id dan segera mengklik kolom hikmah, aku pun mencari judul yang menarik. Namun, tak ada yang menarik hati, akhirnya kuputuskan mencari tulisan karya KH Ali Mustafa Yakub, dan aku menemukan salah satu tulisannya yang berjudul "Nasihat Habib al-Najar".

Nasihat itu berbunyi "ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Q.S. Yasin ayat 21)

Konteks ayat tersebut adalah ketika diceritakan dalam al-Quran kisah dimana tiga orang utusan Allah yang ditolak oleh suatu kaum, dan kaum tersebut hendak mencederai mereka, maka datanglah seorang laki-laki bernama habib al-Najar, dan dia menasehati kaum tersebut untuk mengikuti para utusan tersebut yang tiada meminta imbalan kepada mereka. Menurut KH Ali Mustafa Yakub, ayat al-Quran ini tepat menjadi petunjuk dalam menyikapi fenomena dai yang memasang tarif pada jemaah yang mengundangnya. Menurut beliau, mafhum mukhalafah* dari ayat tersebut adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan. Sebab, mereka merupakan orang-orang yang sesat.

Kurasa fenomena ustaz memasang tarif di masyarakat Indonesia sekarang ini sudah menjadi rahasia umum. cobalah ketik keyword itu di google, daftar testimoni dari bermacam kalangan tentang pengalaman mereka sehubungan hal ini sungguh banyak. Istilah ustaz seleb (ustaz yang mirip seleb karena sering masuk infotainment) sudah dikenal banyak kalangan. Pasti kita tak lupa dengan satu kejadian satu ustaz yang bertikai dengan TKI indonesia di luar negeri yang ingin mengundangnya karena masalah tarif yang dinilai kurang. Setelah merenungi hal tersebut, aku menyimpulkan dua hal.

Pertama, tentu sejalan dengan ayat al-Quran tadi, sangatlah tidak sepatutnya seorang pendakwah meminta bayaran atas dakwahnya. Namun, itu tidak terelakan, karena zaman sekarang, ustaz atau dai sudah menjadi jenis pekerjaan. Artinya, itu adalah ladang mata pencaharian bagi pendakwah. Aku pun teringat percakapanku dengan temanku semasa di pesantren, dia adalah orang yang pandai berpidato. Saat itu kami sedang membicarakan masa depan, kira-kira mau kerja apa ya nanti, dengan polosnya aku bilang "kamu jadi dai saja, kan kamu jago pidato tuh"..... Saat itu aku masih berpikir dai adalah sejenis pekerjaan. Bila kupikir kembali, dulu Nabi Muhammad tidak menjadikan dakwahnya sebagai pekerjaan, dia adalah seorang pedagang, kadang menggembala kambing, lalu kenapa kita sekarang menjadikan dakwah menjadi pekerjaan? apakah ulama-ulama dulu seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, Ibnu Rusydi, Ibnu Syina, dan ulama besar lainnya menjadikan dakwah sebagai sebuah mata pencaharian? patut dikaji, dan hipotesis awalku, adalah tidak.

Kedua, kita tidak adil jika hanya memojokan para ustaz yang meminta bayaran itu, karena kurasa itu semua adalah efek dari pandangan materialistis. Justru ini yang lebih kukhawatirkan. Keadaan dimana kita lebih mementingkan harta daripada hal lainnya. Kesuksesan seseorang seringkali diukur dari seberapa banyak harta benda yang dia kumpulkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mungkin fenomena ustaz yang meminta tarif adalah hasil dari pola pikir materialistis itu yang berhasil masuk ke kepala sang ustaz. Jadi lebih baik kita segera bermuhasabah, apakah kita termasuk manusia yang materialsitis juga? hanya menggugat tapi tak melihat diri sendiri sungguh tidak bijak.

Jadi kesimpulanku kali ini adalah berdakwah bukanlah sebuah pekerjaan dan kita harus menjauhkan diri dari pandangan materialistis. Manusia memang hanya ingin menjadi yang terbaik, tapi di mata Allah manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakwa. (Q.S. al-Hujurat: 13) 
         

*mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syariat Islam

link artkel nasihat habib al-Najjah

Senin, 17 Februari 2014

renungan part 11 (Serban dan Jubah haram?)

Pagi ini (Senin 17 Februari 2014) secara tidak sengaja ketika akan absen fingerprint di sekolah, aku melihat koran Republika teronggok di atas meja. Seakan sudah naluri (mungkin karena gemar membaca), aku segera membolak-balik koran yang rupanya edisi hari itu. Aku pun menemukan tulisan yang menarik di sebuah kolom bernama Hikmah berjudul Serban dan Jubah haram. Judul tersebut sangat menarik karena bertabrakan dengan pandanganku akan dua benda tersebut. Dalam pemahamanku, serban (aku biasanya memanggilnya sorban) dan jubah merupakan pakaian yang menunjukan identitas keislaman. Di lingkunganku (Sukabumi) orang yang memakai sorban, itu identik dengan keshalehan, karena yang biasanya pake itu ustadz. Apalagi pakaian jubah, sudah pasti dicap orang yang alim.

Sejenak aku bertanya, siapakah penulis artikel ini. Di koran tertulis nama Ali Mustafa Yaqub. Nama yang sepertinya familiar, dan setelah bertanya pada mbah google, oalah... ternyata beliau adalah Imam besar mesjid Istiqlal, dan juga pemimpin pondok Darus Sunnah, pondok yang berlokasi dekat kampusku dan banyak temanku yang mondok disana. 

Beliau memulai tulisannya dengan sebuah hadis dari kitab sunnah Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SWT akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” 

Menurut beliau, yang didasarkan pada pendapat ulama, pakaian syuhrah (bahasa arab yang berarti popularitas) adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Pakaian Syuhrah bisa terlalu bagus dari pakaian pada umumnya, hingga membuat si pemakai bangga, sombong dan ria, atau terlalu buruk dari pakaian pada umumnya, karena si pemakai ingin disebut sebagai orang yang zuhud atau tidak mencintai dunia. Ulama pun sepakat bahwa pakaian Syuhrah itu haram. 

Beliau berpendapat bahwa dalam konteks indonesia zaman sekarang serban dan jubah bisa dikategorikan pakaian syurah, tapi beliau juga menjelaskan bahwa ulama-ulama terdahulu di indonesia banyak yang memakai serban dan jubah, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain. Oleh karena itu ulama boleh saja memakai serban karena mengikuti tradisi ulama dulu. Dan beliau mengakhiri artikelnya dengan pembahasan bahwa sunah Nabi dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah negeri, kita boleh memakai pakaian negeri kita sendiri.

Dengan segala keterbatasan pengetahuanku, aku pun menyimpulkan bahwa kita tidak boleh terjebak dengan pemikiran bahwa pakaian islami itu pakaian yang sama dengan tradisi orang arab. Selama itu menutup aurat (batasan aurat saja masih banyak diperdebatkan sebenarnya) dan baik maka itu pakaian yang islami. Seperti halnya Jefrey Lang, seorang penulis dan mualaf yang merupakan profesor Matematika di universitas Kansas, yang berpendapat bahwa ketika dia masuk islam, dia tidak harus merubah namanya menjadi nama yang berbau arab (hal yang sering dilakukan banyak mualaf) atau merubah gaya pakaiannya seperti memaki serban dan lainnya, dia berpandangan bahwa setelan jas yang dipakainya untuk bekerja tiap hari pun tetap islami, karena itu pakaian yang lazim, tidak berlebihan, dan baik.   

 link artikel serban dan jubah haram


Kamis, 13 Februari 2014

renungan part 10 (Kedai 1001 Mimpi)


"Apa yang ada dalam pikiranmu ketika mendengar negara arab saudi?"

Tentu jawaban akan beragam tergantung pada latar belakang orang yang menjawab, namun jika pertanyaan tersebut ditanyakan pada orang indonesia muslim sepertiku, maka selain gambaran padang pasir, aku membayangkan sebuah negeri dimana agama islam lahir. Negeri dimana dua kota penting dalam sejarah islam berada: Madinah dan Mekkah. Negeri yang menjadi tujuan setiap muslim di dunia saat musim haji. Oleh sebab itu, tak aneh pula jika kebanyakan muslim yang kutahu dan termasuk diriku (sempat) menganggap negeri itu sebagai pusatnya islam dan ilmu keislaman. Negeri tempat para orang saleh, alim dan ulama.

Tapi hal tersebut akan segera menjadi paradok ketika bayangan nasib TKW indonesia yang bekerja di Arab Saudi muncul. Pemerkosaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan TKW oleh majikan sudah banyak rasanya kulihat di TV, dan mungkin yang tak terliput berita lebih banyak lagi. Bagaimana mungkin negeri para orang saleh memperlakukan TKW yang juga sama-sama muslim (umumnya) seperti itu? apakah kata-kata bahwa semua muslim itu saudara tidak berlaku bagi mereka? apakah para orang saleh itu tidak mengerti bahwa martabat semua manusia itu sama dimata Allah? bagaimana mungkin negeri yang katanya menerapkan Syariah Islam, yang memiliki Polisi Syariah, menjadi tempat yang sangat tidak aman bagi sebagian besar TKW muslim asal indonesia? hilang sudah kepercayaanku pada negara berlandaskan syariah (itu).

Itu adalah sekelumit hal yang muncul dalam kepalaku ketika memikirkan Arab Saudi, dan buku berjudul Kedai 1001 Mimpi karya Valiant Budi menambah kemantapan kesimpulanku bahwa, keimanan dan ketaqwaan manusia tidak didasarkan pada nasab, suku, dan tempat dimana manusia dilahirkan.


Seperti lirik lagu nasyid yang pernah kudengar dari kelompok Snada kalau tak salah, bahwa iman tak bisa diwariskan dari ayah ke anak, seperti itulah pendapatku terutama setelah membaca buku tersebut. Valiant Budi, sang penulis buku, adalah seorang TKI yang bekerja di kota Dammam di Arab Saudi. Dia bekerja menjadi seorang barista di sebuah kedai kopi. Buku yang berisi pengalaman hidupnya di kota tersebut sungguh menakjubkan, atau tepatnya mencerahkan pandanganku sebagai pembaca untuk teguh pada kesimpulanku awalku tentang keimanan dan ketakwaan.

Manusia adalah makhluk yang dapat berbuat salah dan lupa, tak terkecuali penduduk negeri Arab Saudi. Banyak bentuk kebrobrokan masyarakatnya yang dialami sang penulis, mulai dari rasis, kesombongan, hingga kebodohan. Namun ironisnya terkadang mereka membawa-bawa nama agama sambil mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya, seakan-akan dia telah mendapat sertifikat khusus dari Allah bahwa dia selalu benar.

Setidaknya ada dua hal utama yang menjadi hikmah dari kisah Valiant menjadi TKI di Arab saudi. yang pertama, kekayaan (orang Arab Saudi umumnya kaya) yang dibarengi kebodohan akan membuat manusia berperilaku seperti monster. Simaklah penggalaha kisah penulis berikut:

"saya juga ingin ice mocha dan hot mocha!" ujarnya saat melihat daftar menu yang menempel di dinding. lalu setelah dua minuman itu selesai kubuatkan, ia menatap kedua minuman bergantian, "kasih tanda, dong, mana yang panas dan mana yang dingin?!" (halaman 367)

aku jadi teringat salah seorang pelanggan yang memesan cappucino dan latte. Karena saat itu sedang penuh dan perlu menghemat waktu , aku hanya menandai satu cangkir untuk cappucino saja, dengan logika kalau yang satu cappucino yang lainnya pasti latte. Tiba-tiba saja pelanggan itu marah, "Hei bodoh! Kasih tanda dua-duanya dong! kalau ketuker gimana?!" (halaman 368)

Dan kejadian-kejadian lainnya seperti ketika sekelompok bapak-bapak yang tidak mau mengantri untuk memesan bahkan tidak mau membawa pesanan mereka sendiri dengan baki yang disediakan. Atau sekelompok keluarga yang memarahi penulis karena laptop mereka tidak bisa konek wi-fi gratis di kedai, karena mereka tidak menyalakan wireless connectionnya. Bisa dibayangkan, sikap tak menghormati orang lain yang mereka anggap rendah rupanya kenyataan, walaupun mereka salah. pantas banyak TKW yang disiksa.

dan hal yang kedua adalah beragama tidak dapat dipaksakan. kurasa ini sejalan dengan kata-kata la ikraha fi din. toh Arab Saudi yang memiliki polisi syariah pun tetap memiliki warga yang tidak peduli akan akhlak islami. Prostitusi terselubung, homoseksual dan dosa-dosa lainnya tetap terjadi di negeri itu. Ada satu kejadian dimana penulis berusaha mengusir keluarga yang betah nongkrong di kedai padahal sudah azan. peraturan disana menyebutkan jika azan maka semua toko harus tutup dan segera menunaikan shalat berjamaah di mesjid, jika tidak maka siap-siap saja didatangi polisi syariah. tapi si keluarga tadi dengan keukeuhnya tidak mau pergi, baru ketika ada polisi syariah yang menggedor-gedor kaca kedai, keluarga tersebut lari terbirit-birit keluar kedai. Hm.... terdengar mirip kejadianku di pesantren dulu (hahaha...) ya pemberlakuan hukum tanpa penghayatan hanya akan memunculkan taat hukum jika ada petugas yang memperhatikan saja kan. jadi agama itu memang tidak bisa dipaksa kecuali ikhlas dengan penuh kesadaran dari hati masing-masing.

Terlepas dari keburukan yang dialami penulis selama di Arab Saudi, secara objektif kita harus berpikir bahwa memang tidak ada gading yang tak retak. Artinya, di sana pun pastinya banyak orang baik dan benar-benar soleh. tapi merupakan kesalahan besar kita menjeneralisir bahwa semua orang arab dan yang berbau arab itu islami.
Iman dan takwa bisa ditemukan dimana saja, bahkan di negeri yang sering disebut kafir sekalipun. (Valiant Budi)



   








 

Minggu, 09 Februari 2014

Renungan Part 9 (Bahkan Malaikat pun Bertanya)

         Beberapa tahun yang lalu, ketika masih menjadi mahasiswa tingkat satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, aku sempat membaca satu buku yang menarik di perpustakaan utama kampus. Buku yang merupakan terjemahan dari bahasa inggris itu berjudul "Bahkan malaikat pun Bertanya". sang penulis, yang merupakan seorang mualaf, adalah profesor di bidang matematika di universitas Kansas. Beliau bernama Jeffrey Lang. Beberapa hari yang lalu tak sengaja aku menemukan buku karangannya yang lain di internet berjudul "Aku Menggugat, Maka Aku Kian Beriman". 



        Sebelum membicarakan kesanku akan pemikiran Jeffrey Lang setelah membaca dua bukunya, aku rasa perlu untuk dijelaskan dahulu bahwa pola berpikir Jeffrey merupakan hasil pendidikan barat yang menitikberatkan pada pola berpikir kritis, dan analitis. Apalagi beliau seorang profesor dalam bidang matematika, pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya tidak bisa terpuaskan hanya dengan jawaban "sudah begitu dari sananya".

        Oleh karena itu, kesanku yang paling dalam akan bukunya adalah ajakan beliau untuk mempertanyakan semua dogma yang terasa berbenturan dengan hati nuraninya. Bagiku yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, mempertanyakan ajaran ustadzku adalah hal yang sangat tabu, biasanya aku dan santri lain cukup mendengar dan mengiyakan saja, kalau pun bertanya, hanya mempertanyakan hal-hal yang kurang jelas. Setelah beranjak kuliah dan mulai banyak membaca banyak buku tentang keislaman, aku pun mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan akan ajaran yang kuterima, terutama setelah membaca buku karangan penulis yang merupakan lulusan barat. Bahkan suatu hari aku pernah mengajak temanku berdiskusi tentang buku yang baru kubaca, dia menolak, alasannya: "takut menjadi muslim yang sesat" (perlu diketahui, universitasku waktu itu memang terkenal dengan banyaknya pemikiran yang dianggap liberal dan sesat oleh muslim kebanyakan). Aku pun sempat meragu, namun Jeffrey Lang mengusik hatiku, pesan yang mendalam bahwa ketika nabi adam diciptakan, malaikat yang notabene mahkluk paling taat pun berani untuk mempertanyakan keputusan Allah itu. Lalu, apa salahnya kita mempertanyakan ajaran yang diberikan oleh ustadz kita? atau mungkin oleh ulama-ulama kita terdahulu?

     Memang semenjak membaca buku itu, aku rajin membaca (dengan meminjam atau membeli) buku tentang keislaman. Bagiku itu adalah usaha untuk mengenali agamaku lebih dalam. Tidak memeluk islam karena orang tuaku islam, atau karena kakek-nenekku islam, atau mungkin karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. aku memeluk islam karena ini jalan yang kupilih dengan matang dalam menempuh hidup ini (walau semangat  naik turun, seperti halnya iman manusia yang bisa naik turun). Apakah ada perasaan takut akan masuk dalam kesesatan? Bagiku, sesat atau tidak sesat adalah hasil akhir. yang terpenting adalah aku melakukan proses pencarian yang ikhlas, dengan menggunakan hati nurani dan akal sehat. Biarlah hanya Allah yang menilai hasil akhir dari usaha manusia, karena aku percaya dia Maha Bijaksana.