Senin, 17 Februari 2014

renungan part 11 (Serban dan Jubah haram?)

Pagi ini (Senin 17 Februari 2014) secara tidak sengaja ketika akan absen fingerprint di sekolah, aku melihat koran Republika teronggok di atas meja. Seakan sudah naluri (mungkin karena gemar membaca), aku segera membolak-balik koran yang rupanya edisi hari itu. Aku pun menemukan tulisan yang menarik di sebuah kolom bernama Hikmah berjudul Serban dan Jubah haram. Judul tersebut sangat menarik karena bertabrakan dengan pandanganku akan dua benda tersebut. Dalam pemahamanku, serban (aku biasanya memanggilnya sorban) dan jubah merupakan pakaian yang menunjukan identitas keislaman. Di lingkunganku (Sukabumi) orang yang memakai sorban, itu identik dengan keshalehan, karena yang biasanya pake itu ustadz. Apalagi pakaian jubah, sudah pasti dicap orang yang alim.

Sejenak aku bertanya, siapakah penulis artikel ini. Di koran tertulis nama Ali Mustafa Yaqub. Nama yang sepertinya familiar, dan setelah bertanya pada mbah google, oalah... ternyata beliau adalah Imam besar mesjid Istiqlal, dan juga pemimpin pondok Darus Sunnah, pondok yang berlokasi dekat kampusku dan banyak temanku yang mondok disana. 

Beliau memulai tulisannya dengan sebuah hadis dari kitab sunnah Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SWT akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” 

Menurut beliau, yang didasarkan pada pendapat ulama, pakaian syuhrah (bahasa arab yang berarti popularitas) adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Pakaian Syuhrah bisa terlalu bagus dari pakaian pada umumnya, hingga membuat si pemakai bangga, sombong dan ria, atau terlalu buruk dari pakaian pada umumnya, karena si pemakai ingin disebut sebagai orang yang zuhud atau tidak mencintai dunia. Ulama pun sepakat bahwa pakaian Syuhrah itu haram. 

Beliau berpendapat bahwa dalam konteks indonesia zaman sekarang serban dan jubah bisa dikategorikan pakaian syurah, tapi beliau juga menjelaskan bahwa ulama-ulama terdahulu di indonesia banyak yang memakai serban dan jubah, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain. Oleh karena itu ulama boleh saja memakai serban karena mengikuti tradisi ulama dulu. Dan beliau mengakhiri artikelnya dengan pembahasan bahwa sunah Nabi dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila kita menjadi tamu di sebuah negeri, kita boleh memakai pakaian negeri kita sendiri.

Dengan segala keterbatasan pengetahuanku, aku pun menyimpulkan bahwa kita tidak boleh terjebak dengan pemikiran bahwa pakaian islami itu pakaian yang sama dengan tradisi orang arab. Selama itu menutup aurat (batasan aurat saja masih banyak diperdebatkan sebenarnya) dan baik maka itu pakaian yang islami. Seperti halnya Jefrey Lang, seorang penulis dan mualaf yang merupakan profesor Matematika di universitas Kansas, yang berpendapat bahwa ketika dia masuk islam, dia tidak harus merubah namanya menjadi nama yang berbau arab (hal yang sering dilakukan banyak mualaf) atau merubah gaya pakaiannya seperti memaki serban dan lainnya, dia berpandangan bahwa setelan jas yang dipakainya untuk bekerja tiap hari pun tetap islami, karena itu pakaian yang lazim, tidak berlebihan, dan baik.   

 link artikel serban dan jubah haram


Tidak ada komentar:

Posting Komentar