Jumat, 31 Juli 2015

Renungan Part 43 (Rahasia Sehat Kakek)

Sehat, secara sadar atau pun tidak, merupakan hal yang sangat diinginkan oleh hampir semua orang. Ketika berbicara masalah sakit, tidak ada satu pun orang yang menjalani hidupnya penuh penyakit. Sakit itu tidak enak, penuh penderitaan, dan mahal. Berbicara tentang kesehatan di zaman sekarang, sangat menarik mengambil pendapat seorang praktisi kesehatan Stephen Ilardi tentang "Disease of Civilization" atau penyakit gaya hidup. Yang terdaftar dalam Disease of Civilization menurut dia adalah Diabetes, Atherosclerosis*, Asma, Alergi, Obesitas, berbagai bentuk Kanker, dan Depresi. Semua penyakit itu muncul karena gaya hidup manusia di zaman ini, khususnya sejak revolusi industri dimana manusia tidak lagi berburu dan bercocok tanam untuk menyambung hidup.

Tak aneh sering kita dapati, orang - orang berusia lima puluhan, empat puluhan, menderita penyakit seperti kanker, diabetes, asma, stroke, dan bahkan ada penderita yang usianya lebih muda dari itu. Sungguh memprihatinkan. Ketika aku pulang kampung kemarin aku bertemu kakek dari ibuku, dan aku pun bertanya pada ibuku, berapa umur kakek, yang dijawabnya sekitar 70. Aku tersentak dengan jawaban itu, kakek dari ayahku setahun lalu meninggal dunia di umur 72, sebelum meninggal dia menderita diabetes cukup lama, dan sudah sakit-sakitan, tapi kakekku yang ini berumur 70 dan masih segar bugar untuk melakukan berbagai aktifitas. Tidak pernah aku dengar dia mengeluh sakit, apalagi sampai sakit disease of civilization tadi. Cukup lama aku perhatikan gaya hidup beliau, untuk mencari tahu, apa rahasia dia sehat sampai umur segitu, dan kusimpulkan ada tiga hal yang menjadi faktor penyebabnya.

si kakek sedang sibuk mengurusi ayam-ayamnya


Aktifitas
Kakekku adalah orang yang aktif, sejak subuh setelah solat subuh berjamaah di mesjid dia biasanya beres-beres rumah, seperti menyapu dan mencuci piring. Setelah sarapan, dia pun pergi ke kebun yang terletak di belakang rumahku, untuk memberi makan ayam dan bebek peliharaannya sambil mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan di kebun. Itu dia lakukan sampai sekitar pukul 10 pagi. Di sore harinya dia pun biasanya berada di kebun, dia sangat tidak betah berdiam diri saja di rumah. Aktifitasnya ini sangat berbanding terbalik dengan nenekku, yang sepanjang hari duduk di depan TV menonton sinetron. Kondisi kesehatan mereka berdua pun berbanding terbalik, bagi nenekku berjalan adalah kegiatan yang sulit dilakukan, dan belum lagi berbagai keluhan sakit lainnya. Dalam pandanganku, beraktifitas dalam arti terus menggerakan tubuh selama seharian adalah  fondasi kesehatan. Kita tidak perlu berolahraga sejam per hari jika kegiatan kita sehari-harinya sudah seperti olah raga kan? Itulah kenapa konsep olahraga bagi suku pedalaman di papua nugini, menurut Ilardi, sangat aneh. Untuk apa berolahraga? seharian mereka sudah mengejar-ngejar buruan untuk makan malam, olahraga itu bodoh. Walau mereka tidak pernah olahraga, mereka lebih sehat dari pada masyarakat modern di perkotaan. kenapa? aktifitas yang melibatkan fisik.  

Pola Makan
Kakekku adalah orang sunda asli, dan salah satu ciri orang sunda adalah doyan makan lalapan. Seperti sebuah anekdot terkenal yang mengatakan bahwa menikah dengan wanita sunda itu enak ngasih makannya, cukup dilepas di kebun dan dibekali sambal, dia sudah bisa hidup. Lalapan adalah menu sehari harinya. Setiap lebaran, pasti ada satu jenis tumbuhan baru yang kuketahui dapat menjadi lalap dari dirinya. Daun singkong mungkin lalapan yang paling umum, kemudian daun poh-pohan, daun kemangi, terong, dan mentimun. Tapi bagaimana dengan antanan? bolostrom, takokak, jonghe, dan rendeu? banyak dari tanaman tersebut juga dapat ditemukan di kebun dan pematang sawah di belakang rumahku. Jadi kakekku tinggal memetiknya pagi hari dan menikmatinya dengan sambal di siang hari, biasanya ditemani dengan lauk ikan asin atau tempe. Bisa disimpulkan kakek ku ini memiliki pola makan yang sehat jauh dari junk food atau makanan cepat saji.

The Hell I care
Pikiran dapat menjadi sumber penyakit. Semakin kita mengkhawatirkan sesuatu dalam hidup semakin mudah penyakit itu datang. Nenekku yang sering sakit-sakitan adalah contoh yang tepat untuk itu, selain dia jarang beraktifitas, dia sangat sering mengkhawatirkan banyak hal, seperti takut anaknya kecelakaan ketika membawa motor, padahal anaknya sudah cukup dewasa untuk mengendarai motor, dan lainnya. Kakekku ini adalah orang yang cukup unik, dia seperti tidak perduli, tidak terlalu memusingkan suatu hal yang banyak orang sering khawatirkan. Salah satu bibiku sudah beberapa tahun ini tidak pulang di hari lebaran karena alasan ekonomi, nenekku seringkali mengkhawatirkan dirinya, merasa sedih dan takut terjadi apa-apa dengan dirinya, tapi kakekku memiliki pendekatan berbeda, dia merasa anaknya itu sudah dewasa dan dapat mengurusi hidupnya selama tidak meminta bantuan, jadi dia tidak terlalu memusingkannya. Mungkin moto hidupnya adalah nikmatilah hidup itu tanpa perlu memusingkan hal yang tidak perlu dipusingkan. Aku cukup setuju dengannya, selain itu, terlalu memusingkan suatu hal adalah sumber ketidakbahagiaan dalam hidup. seperti kata salah satu praktisi budha, kita ini seringkali menyesali masa lalu yang sebenarnya sudah terjadi dan mengkhawatirkan masa depan yang belum pasti terjadi sehingga lupa untuk menikmati karunia yang kita pula saat ini. masa lalu dan masa depan itu tidak ada, apa yang ada adalah masa sekarang, oleh karena itu nikmatilah saat-saat itu dengan penuh kesadaran.    

Ketiga hal tersebut menurutku adalah penyebab si kakek sehat di usianya yang sudah tua; aktifitas yang melibatkan fisik membantu tubuh untuk tetap fit, lalu pola makan sehat ala orang sunda yang dipenuhi lalapan, serta pikiran yang damai menikmati saat ini.   


*Astherosclerosis adalah penyempitan pembuluh darah arteri oleh plak yang terbentuk karena kegemukan, kolesterol, kalsium dan substansi lain yang ada dalam darah. Astherosclerosis dapat menyebabkan serangan jantung, stroke dan kematian.

Selasa, 28 Juli 2015

Renungan Part 42 (Apa Kata Orang?)

Ayahku adalah seorang pengusaha bengkel mobil, dan bengkelnya cukup terkenal di daerah tempat tinggal kami. Ia pun memiliki banyak pelanggan setia, dan salah satu rahasia pelanggan tidak melirik bengkel lain adalah pelayanan pelanggan yang memang bagus. Salah satu bentuk pelayanannya adalah antar jemput mobil yang harus diperbaiki. Pelanggan cukup menelpon ayahku dan dia akan segera mengambil mobil yang akan diperbaiki atau mengembalikan mobil yang sudah diperbaiki; si pelanggan cukup duduk manis menunggu.

Terkait dengan pelayanan ini, ayahku bercerita bahwa beberapa saat lalu ayahku harus mengembalikan mobil ke pelanggan di kampung sebelah, saat itu tidak ada orang yang bisa diajak untuk menemaninya. Biasanya dia mengajak salah satu pegawainya atau aku untuk mengendarai motor dan mengikutinya, sehingga dia bisa pulang naik motor, tidak perlu naik angkutan umum. Rumah si pelanggan waktu, itu terletak di perumahan yang tidak dilewati oleh angkutan umum, paling hanya ojek, dan saat itu malam hari. Setelah mengantarkan mobil, ayahku menunggu ojek lewat, tapi karena kesal tidak menemukan satu pun akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki sampai rumah. Waktu tempuh dengan berjalan kaki paling hanya 10 menit.

Mendengar hal itu adikku berkomenter "dih jangan malu-maluin pa... di perumahan itu kan banyak temen teteh." Aku yang mendengarnya merasa risih, kenapa malu dengan berjalan kaki? lalu terjadilah percakapan berikut.

"malu apanya sih?" komentarku.
"ah... kaka mah gak bakal ngerti." jawabnya.
"emang gak ngerti... dimana letak malunya jalan kaki, lagian si bapa jalan kaki bukan karena nelangsa gak ada uang, tapi nunggu ojek lama."
"emang orang lain tahu kalau si bapa udah nunggu ojek lama?"
"emang pendapat orang lain penting?"

Pertanyaanku menghentikan percakapan, adikku pergi ke kamar, entah dia merasa tak bisa menjawab pertanyaanku atau merasa percuma memberikan pengertian kepada kakaknya yang menyebalkan ini. Yang jadi persoalan dalam benakku adalah sebegitu pentingkah pendapat orang lain terhadap diri kita.

Dalam hidup ini, kita seringkali memperhatikan bagaimana pendapat orang tentang diri kita, dan satu hal yang paling kita tidak inginkan adalah orang lain berpendapat buruk tentang kita. Perasaan ini dapa menjalar ke berbagai hal, seperti takut melakukan sesuatu yang baik karena dianggap aneh oleh kebanyakan orang, takut melakukan hal baru karena biasanya yang baru dan belum terbukti itu akan dicemooh. Kemudian perasaan ini pun bisa membuat kita menyakiti orang-orang terdekat kita, misalnya, anak yang malu dengan orang tuanya karena pekerjaan mereka tidaklah terhormat di mata kebanyakan orang, atau sebaliknya, orang tua yang malu dengan tindakan anaknya yang melawan arus utama budaya masyarakat. Semuanya berasal dari ketidakinginan terlihat buruk dalam pandangan orang lain, tidak mau malu.

Aku telah hidup dalam tekanan perasaan itu dari dulu, walau kini aku sadar bahwa sebenarnya itu semua tidaklah penting, tetap perasaan itu sulit dihilangkan 100%. Hanya lewat sebuah renungan mendalam kita sejatinya dapat memahami ketidakpentingan tersebut. Dalam berbagai tradisi keagamaan renungan mendalam itu memiliki banyak nama dan bentuk, dalam Zen ia disebut meditasi, dalam tradisi islam, ia disebut zikir. Semua bertujuan untuk membuka pintu hati terdalam dan menyadari apa yang sebenarnya penting dalam hidup.

Rasa malu yang tidak ingin kita alami sebenarnya adalah penodaan terhadap ego. Ini adalah ego negatif yang mengatakan pada diri kita bahwa harga diri itu penting, dan bapakmu yng berjalan kaki itu menodai harga dirimu! semiskin itukah dirimu hingga bapakmu gak bisa naik angkutan? dan harus berjalan kaki?

Ketika kulihat lebih dalam, harga diri seperti ini tidaklah penting, kaya atau miskin tidak menentukan baik atau buruknya seseorang, apalagi kehormatan. Bukankah yang penting itu kita di mata Tuhan? memang, tapi manusia sering lebih memusingkan dirinya di mata orang lain. Solat dan puasa biar terlihat saleh, sedekah biar terlihat dermawan, mengkritik biar terlihat pintar, bermobil biar terlihat kaya dan sukses, berpakaian mahal biar terlihat keren. Apa yang sebenarnya Tuhan lihat dari diri hambanya?


Minggu, 12 Juli 2015

Renungan Part 41 (Lubang di Dalam Hati)

www.azquotes.com

Akhir - akhir ini aku senang sekali mendengarkan lagu-lagu letto. Banyak yang bilang bahwa lagu letto sungguh romantis sehingga cocok bagi orang yang sedang dimabuk asmara, tapi bukan itu yang membuatku senang mendengarkan lagu mereka. Setelah membaca buku tentang tasawuf, aku melihat satu dimensi makna berbeda dalam setiap lirik lagu letto. Kurasa ini bukanlah suatu kebetulan, mengingat pencipta lagu-lagu mereka adalah anak dari Emha Ainun Nadjib. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Salah satu lagu yang menjadi favoritku adalah lagu berjudul "Lubang di Hati". Berikut liriknya dengan sedikit perubahan untuk mengungkapkan nuansa religius yang kutangkap:

Ku buka mata dan ku lihat dunia
T'lah kuterima anugerah cinta-Nya

Tak pernah aku menyesali yang ku punya
Tapi ku sadari ada lubang dalam hati

Ku cari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini
Ku menanti jawaban apa yang dikatakan oleh hati

Reff:
Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini ku cari tanpa henti
Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati

Ku mengira hanya dialah obatnya
Tapi ku sadari bukan itu yang kucari
Ku teruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan
Dan ku yakin Kau tak ingin aku berhenti 

Lagu tersebut diawali dengan ucapan rasa syukur akan segala anugerah cinta Yang Maha Kuasa yang kita rasakan setiap harinya. Tanpa maksud untuk tak bersyukur, sebenarnya kita merasakan sesuatu yang kurang dalam hidup ini, ada sebuah lubang yang menganga di dalam hati. 

Harus diakui secara jujur, bahwa lubang di dalam hati ini adalah rasa kurang akan sesuatu. Serasa hidup ini belum lengkap dan belum bahagia tanpa adanya sesuatu itu. Tapi apakah sesuatu itu? Oleh karena itu setiap manusia mencari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini. Namun, seringkali kita tidak bertanya kepada pihak yang benar, kita lebih sering bertanya (atau mungkin tidak pernah bertanya, tapi ide itu dijejalkan ke dalam kepala kita oleh masyarakat, pendidikan, atau pergaulan) pada akal. Padahal, yang terbaik adalah bertanya ke dalam hati, seperti yang letto anjurkan. kenapa hati?

Menurut Syekh Ragip al-Jerrahi (seorang tokoh sufi) hati, dalam hal ini berarti hati batiniah, adalah pusat spiritual manusia. Ia adalah sumber cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. seseorang yang hatinya tebuka akan lebih bijaksana, penuh kasih sayang, dan lebih pengertian daripada mereka yang hatinya tertutup. Kita seringkali menjumpai orang yang berpendidikan tinggi dan pintar, tapi tindakan mereka tidak bermoral, koruptor contohnya. Mereka adalah contoh hasil pendidikan akal tanpa mempedulikan perkembangan hati. Pendidikan akal (yang menjadi pusat perhatian pendidikan barat) hanya berpusat pada daya kerja akal, seperti matematika dan logika. Mengembangkan hanya akal saja, tidak akan memberikan kebijaksanaan, dan jawaban "apa sesuatu itu?" hanya bisa diberikan oleh kebijaksanaan yang tercerahkan dari hati.

Ketika kita bertanya pada akal, kita seringkali merasakan kebimbangan, apakah jawabannya adalah kamu wahai karir? hm... karir sangat penting, ia adalah salah satu simbol kesuskesan, siapa yang tidak bahagia ketika sukses, pasti itu jawabannya. Benarkah? apakah itu dia yang disebut dengan harta dan jabatan? tidak... banyak orang kaya dan berpangkat tapi tetap merasa ada yang kurang. Mungkinkah itu cinta? apa yang dimaksud dengan cinta? apakah itu pasangan hidup? apakah itu sanak famili? banyak manusia menderita karena mencintai pasangannya, mereka dikhianati, diselingkuhi, merasa tidak dihargai, merasa cinta mereka tidak dibalas secara sempurna sebagaimana yang diinginkan, keluarga pun banyak mensyaratkan cinta mereka, kita dicintai asal menjadi apa yang mereka minta dan mau.... cinta seperti ini membawa lebih banyak lubang. Apakah itu cita? impian?  apa itu impian? cita-cita? apa yang kau rasakan ketika kau telah mencapai cita-cita itu? masih ada yang kurang.

kita sering mengira hal-hal tersebut menjadi obat lubang hati, tapi sebenarnya bukan itu, karena kita mencari di tempat yang salah. Perjalanan ini memang melelahkan bagi yang serius mencari, tapi yakinlah bahwa Allah tak ingin kita berhenti mencari, karena hidup sejatinya adalah proses pencarian. Lalu apa yang sebenarnya dapat mengisi lubang di hati?

lagu tersebut tidak menjawab secara eksplisit, tapi biarlah aku mencoba memberi pendapat, tentu dengan sudut pandang tasawuf (bukan bermaksud sok ahli dalam hal tasawuf, karena pada dasarnya pendapat ini berasal dari pendapat orang lain yang lebih ahli tentunya, penulis hanyalah pencari pemula dalam bidang tasawuf). Cinta adalah jawabannya. Cinta kepada Allah tentunya, Cinta seperti ini menjadi inti dari tasawuf. Cinta kepada Allah tidak sesempit menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Seperti yang dikatakan Cak Nun, cinta kepada Allah terwujud dalam ibadah yang tujuannya adalah Allah, bukan surga atau neraka. Ia terwujud pada kehampaan cinta pada segala hal selain Allah. Cinta seperti ini hanya dapat ditemui di dalam hati, bukan akal, melalui proses peyucian hati yang tidak mudah.

Mendengarkan lagu tersebut bagaikan sebuah alunan pengingat untuk selalu berzikir pada-Nya, mengingat apa yang paling penting dalam hidup ini.

Referensi
Frager, Robert. Psikologi Sufi. 2014. Jakarta: Penerbit Zaman.


      

Jumat, 10 Juli 2015

Renungan Part 40 (Puasa Balas Dendam)

Mampu berpuasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari untuk pertama kalinya adalah sebuah pengalaman yang sungguh luar biasa. Saat itu aku masih SD, sekitar kelas 5, untuk pertama kalinya aku mampu berpuasa secara penuh. Sebagai seorang bocah, itu adalah prestasi tersendiri. Namanya juga bocah, yang ku tahu tentang puasa hanyalah menahan lapar dan haus, alhasil acara buka puasa menjadi ajang balas dendam. Siapa yang tidak? setelah seharian menahan lapar dan haus, iklan sirup di tv, makanan ta'jil di pinggir jalan, terasa sungguh menggoda. Selain itu, terkadang aku (mungkin juga yang lainnya) memberikan diri sendiri sebuah reward setelah berhasil berpuasa seharian, dengan makan yang (semua) kuinginkan, atau membeli makanan ta'jil yang banyak, yang pada akhirnya tidak termakan, karena memang terlalu banyak.

Setelah bertahun-tahun sampai saat ini, aku menyadari bahwa bahkan manusia dewasa sekalipun banyak yang bertindak seperti itu. Termasuk di dalamnya diriku. mungkin kita pernah mengalami keadaan dimana banyak tugas menumpuk sehingga kita kurang tidur, ketika tugas itu selesai kita membalas dendam dengan tidur seharian. rasanya seperti itu kita memperlakukan puasa, kita menahan kenikmatan makan dan minum untuk kemudian kita puaskan sepuas-puasnya saat berbuka.

Dalam tradisi sufi, puasa dikenal sebagai salah satu bentuk praktik tasawuf. Puasa adalah jalan para sufi untuk menekan nafs tirani yang ada di dalam diri manusia.  Nafs tirani adalah sumber kecintaan manusia kepada harta kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan ego. Makan, minum, dan seks (tiga hal utama yang dilarang dilakukan saat berpuasa) dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia, dan pemuasan ketiganya sesegera mungkin didorong oleh Nafs tirani, sehingga seringkali manusia tidak mampu melawan kendalinya.  Puasa dapat membantu kita berlatih menahan dorongan tersebut dengan menolak semuanya seharian. Tapi, jika ketika berbuka kita mengikuti dorongan itu secara membabi buta, bukankah latihan menahan Nafs tirani seharian menjadi tidak berarti? karena pada akhirnya kita tetap bertekuk lutut pada dorongan itu?

Seharusnya kita belajar dari keberhasilan menahan diri di siang hari, sehingga kita bisa menolak dorongan itu setelah berbuka puasa dan (yang lebih penting) sebelas bulan setelahnya. Tapi apa daya, ketika puasa tidak dimaknai secara hakiki, maka kekalahan pada dorongan nafs tirani untuk memenuhi kebutuhan ego tidak terelakan.