Selasa, 28 Juli 2015

Renungan Part 42 (Apa Kata Orang?)

Ayahku adalah seorang pengusaha bengkel mobil, dan bengkelnya cukup terkenal di daerah tempat tinggal kami. Ia pun memiliki banyak pelanggan setia, dan salah satu rahasia pelanggan tidak melirik bengkel lain adalah pelayanan pelanggan yang memang bagus. Salah satu bentuk pelayanannya adalah antar jemput mobil yang harus diperbaiki. Pelanggan cukup menelpon ayahku dan dia akan segera mengambil mobil yang akan diperbaiki atau mengembalikan mobil yang sudah diperbaiki; si pelanggan cukup duduk manis menunggu.

Terkait dengan pelayanan ini, ayahku bercerita bahwa beberapa saat lalu ayahku harus mengembalikan mobil ke pelanggan di kampung sebelah, saat itu tidak ada orang yang bisa diajak untuk menemaninya. Biasanya dia mengajak salah satu pegawainya atau aku untuk mengendarai motor dan mengikutinya, sehingga dia bisa pulang naik motor, tidak perlu naik angkutan umum. Rumah si pelanggan waktu, itu terletak di perumahan yang tidak dilewati oleh angkutan umum, paling hanya ojek, dan saat itu malam hari. Setelah mengantarkan mobil, ayahku menunggu ojek lewat, tapi karena kesal tidak menemukan satu pun akhirnya dia memutuskan untuk berjalan kaki sampai rumah. Waktu tempuh dengan berjalan kaki paling hanya 10 menit.

Mendengar hal itu adikku berkomenter "dih jangan malu-maluin pa... di perumahan itu kan banyak temen teteh." Aku yang mendengarnya merasa risih, kenapa malu dengan berjalan kaki? lalu terjadilah percakapan berikut.

"malu apanya sih?" komentarku.
"ah... kaka mah gak bakal ngerti." jawabnya.
"emang gak ngerti... dimana letak malunya jalan kaki, lagian si bapa jalan kaki bukan karena nelangsa gak ada uang, tapi nunggu ojek lama."
"emang orang lain tahu kalau si bapa udah nunggu ojek lama?"
"emang pendapat orang lain penting?"

Pertanyaanku menghentikan percakapan, adikku pergi ke kamar, entah dia merasa tak bisa menjawab pertanyaanku atau merasa percuma memberikan pengertian kepada kakaknya yang menyebalkan ini. Yang jadi persoalan dalam benakku adalah sebegitu pentingkah pendapat orang lain terhadap diri kita.

Dalam hidup ini, kita seringkali memperhatikan bagaimana pendapat orang tentang diri kita, dan satu hal yang paling kita tidak inginkan adalah orang lain berpendapat buruk tentang kita. Perasaan ini dapa menjalar ke berbagai hal, seperti takut melakukan sesuatu yang baik karena dianggap aneh oleh kebanyakan orang, takut melakukan hal baru karena biasanya yang baru dan belum terbukti itu akan dicemooh. Kemudian perasaan ini pun bisa membuat kita menyakiti orang-orang terdekat kita, misalnya, anak yang malu dengan orang tuanya karena pekerjaan mereka tidaklah terhormat di mata kebanyakan orang, atau sebaliknya, orang tua yang malu dengan tindakan anaknya yang melawan arus utama budaya masyarakat. Semuanya berasal dari ketidakinginan terlihat buruk dalam pandangan orang lain, tidak mau malu.

Aku telah hidup dalam tekanan perasaan itu dari dulu, walau kini aku sadar bahwa sebenarnya itu semua tidaklah penting, tetap perasaan itu sulit dihilangkan 100%. Hanya lewat sebuah renungan mendalam kita sejatinya dapat memahami ketidakpentingan tersebut. Dalam berbagai tradisi keagamaan renungan mendalam itu memiliki banyak nama dan bentuk, dalam Zen ia disebut meditasi, dalam tradisi islam, ia disebut zikir. Semua bertujuan untuk membuka pintu hati terdalam dan menyadari apa yang sebenarnya penting dalam hidup.

Rasa malu yang tidak ingin kita alami sebenarnya adalah penodaan terhadap ego. Ini adalah ego negatif yang mengatakan pada diri kita bahwa harga diri itu penting, dan bapakmu yng berjalan kaki itu menodai harga dirimu! semiskin itukah dirimu hingga bapakmu gak bisa naik angkutan? dan harus berjalan kaki?

Ketika kulihat lebih dalam, harga diri seperti ini tidaklah penting, kaya atau miskin tidak menentukan baik atau buruknya seseorang, apalagi kehormatan. Bukankah yang penting itu kita di mata Tuhan? memang, tapi manusia sering lebih memusingkan dirinya di mata orang lain. Solat dan puasa biar terlihat saleh, sedekah biar terlihat dermawan, mengkritik biar terlihat pintar, bermobil biar terlihat kaya dan sukses, berpakaian mahal biar terlihat keren. Apa yang sebenarnya Tuhan lihat dari diri hambanya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar