Jumat, 10 Juli 2015

Renungan Part 40 (Puasa Balas Dendam)

Mampu berpuasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari untuk pertama kalinya adalah sebuah pengalaman yang sungguh luar biasa. Saat itu aku masih SD, sekitar kelas 5, untuk pertama kalinya aku mampu berpuasa secara penuh. Sebagai seorang bocah, itu adalah prestasi tersendiri. Namanya juga bocah, yang ku tahu tentang puasa hanyalah menahan lapar dan haus, alhasil acara buka puasa menjadi ajang balas dendam. Siapa yang tidak? setelah seharian menahan lapar dan haus, iklan sirup di tv, makanan ta'jil di pinggir jalan, terasa sungguh menggoda. Selain itu, terkadang aku (mungkin juga yang lainnya) memberikan diri sendiri sebuah reward setelah berhasil berpuasa seharian, dengan makan yang (semua) kuinginkan, atau membeli makanan ta'jil yang banyak, yang pada akhirnya tidak termakan, karena memang terlalu banyak.

Setelah bertahun-tahun sampai saat ini, aku menyadari bahwa bahkan manusia dewasa sekalipun banyak yang bertindak seperti itu. Termasuk di dalamnya diriku. mungkin kita pernah mengalami keadaan dimana banyak tugas menumpuk sehingga kita kurang tidur, ketika tugas itu selesai kita membalas dendam dengan tidur seharian. rasanya seperti itu kita memperlakukan puasa, kita menahan kenikmatan makan dan minum untuk kemudian kita puaskan sepuas-puasnya saat berbuka.

Dalam tradisi sufi, puasa dikenal sebagai salah satu bentuk praktik tasawuf. Puasa adalah jalan para sufi untuk menekan nafs tirani yang ada di dalam diri manusia.  Nafs tirani adalah sumber kecintaan manusia kepada harta kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan ego. Makan, minum, dan seks (tiga hal utama yang dilarang dilakukan saat berpuasa) dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia, dan pemuasan ketiganya sesegera mungkin didorong oleh Nafs tirani, sehingga seringkali manusia tidak mampu melawan kendalinya.  Puasa dapat membantu kita berlatih menahan dorongan tersebut dengan menolak semuanya seharian. Tapi, jika ketika berbuka kita mengikuti dorongan itu secara membabi buta, bukankah latihan menahan Nafs tirani seharian menjadi tidak berarti? karena pada akhirnya kita tetap bertekuk lutut pada dorongan itu?

Seharusnya kita belajar dari keberhasilan menahan diri di siang hari, sehingga kita bisa menolak dorongan itu setelah berbuka puasa dan (yang lebih penting) sebelas bulan setelahnya. Tapi apa daya, ketika puasa tidak dimaknai secara hakiki, maka kekalahan pada dorongan nafs tirani untuk memenuhi kebutuhan ego tidak terelakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar