Jumat, 06 Februari 2015

Renungan Part 32 (Geography of Bliss: Qatar)


Mungkin orang Bhutan miskin, tapi tidak berarti mereka tidak bahagia. Kebahagiaan adalah cita-cita bersama mereka yang diwujudkan dalam Gross National Happiness, tentunya ukuran kebahagiaan mereka bukanlah uang, tapi lebih spiritual seperti yang diajarkan agama terbesar disana, Budha. Tentu banyak orang yang masih bersikeras bahwa uanglah sumber kebahagiaan, atau ada juga orang yang berkata uang bukan sumber kebahagiaan tapi bertindak seakan-akan uang yang memberi kebahagiaan. Dalam situasi ini, yang manakah kita? Bagaimana anda bisa bilang uang bukan sumber kebahagiaan? oh.. aku tahu, itu karena anda tidak pernah punya banyak uang, anda putus asa, dan akhirnya berkata oke, uang bukan sumber kebahagiaan ... padahal itu hanya untuk menutupi fakta bahwa anda gagal mencapai kemakmuran, jujur saja..... orang yang tidak pernah mengecap kemewahan tidak pantas berkata uang bukanlah sumber kebahagiaan, karena pada dasarnya anda tidak pernah mengalami keadaan banyak uang, iya kan? 

Oleh karena itulah, penulis kita Eric Weiner mencoba merasakan dunia dari segi kemewahan. Dengan ditemani sebuah kartu sakti yang dapat membayar apapun ketika digesek, dia berangkat ke negeri padang pasir Qatar, sebuah negeri yang terkenal makmur karena jasa para makhluk hidup zaman dulu yang terkubur di bawah pasir mereka yang tandus.

Doha di malam hari

Qatar
Negeri Qatar menurutku adalah negeri impian warga indonesia, bukan karena alamnya, tapi karena kemakmuran dan kesejahteraannya. Cita-cita rakyat Indonesia yang coba diwujudkan pemerintah adalah menjadi sebuah negara yang makmur dan sejahtera. Di Qatar, itu bukan lagi cita-cita. Apa yang menjadi beban hidup kita di Indonesia, tidak ada di Qatar. Ketika kita cemas karena BBM dan tarif dasar listrik naik, warga Qatar menikmati BBM yang sangat murah, bahkan listrik mereka gratis. Ketika banyak anak Indonesia putus sekolah, karena biaya pendidikan semakin mahal dengan dalih peningkatan kualitas, warga Qatar menikmati pendidikan gratis. Ketika banyak lulusan SMA Indonesia bingung melanjutkan ke universitas berkualitas karena mahal dan ketika mereka berhasil masuk, mereka harus berjuang untuk hidup dan melanjutkan studi mereka, mahasiswa Qatar menikmati gaji bulanan yang diberikan pemerintahnya. Ketika banyak muda mudi kita takut untuk menikah karena cemas dengan biaya hidup setelah menikah, warga Qatar mendapatkan hadiah sebidang tanah untuk membangun rumah dari pemerintah di hari pernikahan mereka, tak perlu cemas setelahnya, kedua mempelai ini akan mendapatkan tunjangan bulanan sebesar kira-kira tujuh ribu dolar. Sungguh, aku iri dengan mereka, kau? hati-hati kawan, rasa iri penyebab ketidakbahagiaan.


Kabin kelas bisnis di Qatar Airways

Kemakmuran warga Qatar langsung dirasakan Weiner di pesawat, Qatar Airline. Tidak ada satu pun warga Qatar yang dia temukan di kelas bisnis, tidak ada warga Qatar yang mau merendahkan diri dengan terbang hanya di kelas bisnis, pikir Weiner. Sebuah Mobil BMW siap mengangkut Weiner dari Pesawat ke Bandara, kenapa repot-repot menggunakan mobil BMW? pikir Weiner. Oh... di Qatar kau tidak perlu bertanya mengapa, jawabannya sudah pasti "karena mereka bisa". Mungkin seperti melihat orang mengelap mulut mereka setelah makan dengan uang lima puluh ribuan karena tidak mau memakai tisu yang disediakan di tempat makan, lalu kita bertanya mengapa melakukan itu? oh... karena aku bisa, mau lihat koperku yang penuh dengan uang?

Jika anda senang nongkrong di 7Eleven, maka anda harus kecewa jika megunjungi Doha di Qatar karena mereka tidak punya satupun gerai 7Eleven. Anda bisa mendapatkan gerai Starbucks dengan mudah, tapi tidak dengan 7Eleven atau mini market lainnya semacam Indomart, Alfamart, Alfa Midi, Lawson, atau Happy Family. Mengapa? bukan karena mereka bisa, tapi karena orang Qatar tidak membutuhkan kenyamanan toko kelontong. Orang Qatar tidak pernah berbelanja kebutuhan rumah tangga, karena itu tugas pembantu yang biasanya berasal dari negeri kita, dan kenyamanan pembantu bukanlah prioritas utama. Jangan kaget jika anda bertemu dengan orang Qatar, kemudian anda membicarakan tentang deterjen mana yang baik untuk baju putih, lalu mendapati si orang Qatar bingung, bukan karena bingung memilih, tapi karena bingung tidak tahu apa itu deterjen. Mereka tidak perlu repot mencuci, karena itu tugas pembantu.

Berbicara masalah tenaga kerja asing di Qatar, Indonesia bukan satu-satunya negara pengekspor pekerja itu. Supir taksi di Qatar, biasanya orang India, para staff di hotel, umumnya orang Filipina, para buruh di sana mayoritas berasal dari Nepal, para pembantu, seperti kita tahu, banyak yang dari Indonesia, bahkan semua pramugari di Qatar Airlines pun bukan orang Qatar. Pantas Teman Weiner berkata bahwa di Qatar sebagian besar penduduknya adalah pembantu yang memiliki kelas sosial masing masing. Bagaimana orang Qatar memperlakukan pembantu? adalah pemandangan biasa melihat orang Qatar menggebrak meja Starbucks minta dilayani, juga pemandangan biasa melihat orang Qatar membunyikan klakson di depan toko memaksa pelayan toko di dalam toko untuk keluar merasakan udara panas Qatar, lalu menghampiri mobil untuk mengambil pesanannya dan kembali lagi mengantarkan barang yang dimaksud, warga Qatar tidak mau meninggalkan mobil mereka yang sejuk.

Sekarang mari kita kembali ke pokok permasalahan, apakah uang membawa kebahagiaan? Untuk merasakannya, Weiner benar-benar total, dia menginap di hotel yang sangat bagus. Begitu bagusnya sehingga semua kebutuhan Weiner diperhatikan secara begitu cepat, kadang-kadang bahkan sebelum dia tahu bahwa dia membutuhkan itu. Bagi Weiner, hotel itu tak lebih dari pusara yang sangat bagus, tapi pusara adalah untuk orang mati, dan dia belum mati. Bagi Weiner kenyamanan tidak sama dengan kebahagiaan.

Tapi itu adalah sudut pandang Weiner, Bagaimana dengan Penduduk Qatar itu sendiri? apakah mereka bahagia? Tentu ada banyak sudut pandang di sebuah masyarakat negara tentang jawaban dari pertanyaan itu. Perbincangan pertama Weiner dengan orang Qatar mengisyaratkan bahwa kebahagiaan sejati hanya didapat dari agama, anda harus menjadi seorang muslim untuk mengetahui kebahagiaan, cukup menjanjikan karena kaitan antara agama dan kebahagiaan sudah menjadi diskusi banyak buku. Tapi bukan itu yang ingin kita tahu, kita ingin tahu apakah mereka sebagai orang asli Qatar, bahagia hidup di sana? sepertinya mereka enggan berbicara jujur.  Di akhir perjalanannya, Weiner bertemu dengan Abdulazis, yang mau berbicara mengenai keadaan negerinya.

Ayah Abdulazis adalah seorang guru sekolah, pekerjaan yang tidak dianggap layak oleh orang Qatar sekarang. Waktu itu orang Qatar membersihkan rumah mereka sendiri, dan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Kehidupan lebih keras dari sekarang tapi lebih manis, begitulah tulis Weiner berdasarkan perbincangannya dengan Abdulazis. Tapi setelah ledakan minyak tahun 1980-an, semuanya berubah. Ekonomi meningkat dibarengi dengan gedung-gedung mewah dan kedatangan para pekerja asing, kemudian para pelayan wanita, koki, pengasuh anak, dan lainnya mulai didatangkan dengan satu tujuan, yaitu membuat kehidupan orang Qatar lebih nyaman. Apa yang terjadi kemudian?


Abdulazis berkata bahwa rakyat Qatar banyak mengeluh, menurut mereka pemerintah seharusnya membuat kehidupan mereka lebih mudah. Oke harus kita garisbawahi ini, lebih mudah.....? hidup mereka sudah seperti mimpi bagi kita, dan mereka ingin lebih mudah lagi... hey, cobalah hidup di indonesia dan menjadi orang indonesia maka kau akan mengerti betapa mudahnya hidup kalian orang Qatar! ups.... manusia memang tidak pernah bersyukur. Menurut pemerintah Qatar, satu-satunya cara untuk membuat warga Qatar tidak mengeluh adalah dengan memberi uang kepada mereka, dan hal tersebut bodoh, pikir Abdulazis. Setujukah anda dengan Abdulazis?

Warga Qatar sangat bergantung pada para pembantu mereka, jadi jika anda menculik anak laki-laki seorang warga Qatar yang kaya raya untuk meminta tebusan, anda telah melakukan kesalahan terbesar. Anda seharusnya menculik pembantunya, dengan begitu si laki-laki kaya itu sadar ada sesuatu yang penting hilang di rumahnya. Mari kita bayangkan keadaan ini, anak-anak Qatar dibesarkan oleh pengasuh yang tidak berbicara dalam bahasa mereka dan tidak memiliki wewenang untuk mendisiplinkan mereka. Anak laki-laki disayang dan dimanjakan. Begitu mencapai umur empat belas tahun, keluarga tidak berusaha mendisiplinkan mereka lagi, dan tidak memantau perilaku mereka dalam masyarakat. Jika anda adalah guru mereka, apa yang akan anda rasakan? sekumpulan remaja yang sedang tidak stabil emosinya, tidak mengenal kata disiplin, tidak pernah mendapatkan kata tidak, tidak pernah belajar mengikuti aturan dan perintah bahkan dari polisi sekalipun. Apakah ini gambaran kehidupan bahagia?

Menurutku, jikalau memang ada kebahagiaan di Qatar, itu adalah kenyamanan hidup, tapi kenyamanan yang terus menerus akan memanjakan, mereka menjadi tidak sabar, selalu mengeluh ketika ada suatu hal salah walau sedikit, orang-orang yang hidup dalam kenyamanan tidak pernah tahu arti bekerja keras, dan indahnya mendapatkan sesuatu setelah bekerja keras. Pelaut yang handal tidak ditempa oleh laut yang tenang.

To be continued .....