Rabu, 27 April 2016

Renungan 59 (Hari Bumi Sedunia)

www.environmental-watch.com

Tanggal 22 April diperingati sebagai hari bumi di seluruh dunia, dan seperti hari peringatan lainnya, di hari tersebut diharapkan para manusia ingat akan spirit hari bumi, yaitu pemeliharaan bumi lewat tindakan-tindakan yang ramah lingkungan, agar bumi tetap lestari dan aman bagi penghuninya. Secara pribadi, aku tidak bangga dengan adanya hari bumi ini karena peringatan hari bumi menjadi tanda bahwa kita mulai kelewatan dan melakukan tindakan yang merusak bumi, sehingga perlu ada hari khusus untuk menyadarkan kita. Miris. 

Banyak kampanye aktifis lingkungan mengajak masyarakat bumi untuk memaknai hari bumi dengan tindakan-tindakan kecil yang bisa dilakukan setiap hari, seperti menghemat air, listrik, dan mengurangi penggunaan barang-barang lain yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Namun menurutku, kesadaran untuk bersahabat dengan bumi harus dimulai dari cara berpikir kita terhadap bumi ini, tanpa cara berpikir yang tepat, tindakan kita tak akan berarti.

Yang pertama menurutku harus dirubah adalah pemikiran bahwa alam tersedia untuk melayani kita. Dengan karunia tuhan, manusia memiliki akal yang mana menjadi kelebihan utama dari makhluk lainnya di bumi. Tapi kita jadi lupa, egois, dan sombong; kita berpikir kitalah pusat dunia, kita adalah raja bagi alam, dan alam ada untuk melayani kita. Jika kita bandingkan dengan cara berpikir orang dahulu yang mana rahasia alam belum banyak terkuak lewat ilmu pengetahuan, manusia sangat takut dengan alam, sehingga memuliakannya, menjadikan alam sebagai dewa dan menyembahnya. Setidaknya mereka belajar untuk hidup dengan tetap menjaga alam tetap lestari. Tapi manusia modern, yang merasa sudah mampu menguak sebagian rahasia alam dan mulai tidak takut dengan Dewa atau Tuhan, menjadi sombong dan menginjak injak alam. Selama kita berpikir alam ada untuk melayani kita, maka kerusakan alam oleh manusia tidak akan pernah sirna.

Alam tersedia untuk menunjang kebutuhan manusia, bukan melayani kita. Kita harus sadar bahwa alam dan manusia itu saling membutuhkan, jadi hubungan kita dan alam haruslah berbentuk simbiosis mutualisme. Maka, seharusnya manusia harus bisa untuk menahan diri untuk tidak mengambil lebih dari apa yang dia butuhkan. Di sinilah letak kesalahan berpikir kedua. Manusia modern selalu diajarkan untuk mengambil apapun yang mereka inginkan, tak ada hal yang menjadi pembatas. Di sekolah, kita diajarkan bahwa kita bisa menjadi apapun yang kita mau, asal kita berusaha, kemudian sistem kapitalis menyuburkan praktek pemenuhan hasrat ini dengan mengambil keuntungan sebanyak mungkin yang bisa dicapai. Manusia Modern tidak mengenal kata cukup. Para motivator menyebut mereka yang berkata cukup sebagai orang yang berpuas diri terlalu cepat padahal potensi mereka masih bisa lebih tinggi. Di zaman modern batas cukup selalu naik seperti inflasi nilai mata uang setiap tahun, contohnya? barang mewah di zaman dahulu adalah barang kebutuhan primer di zaman sekarang. Mungkin sudah saatnya kita mulai berkata cukup.

Sebuah kekuatan besar mendatangkan tanggung jawab yang juga besar bagi pemiliknya, manusia sebenarnya memikul tanggung jawab besar yang tidak berani diambil oleh semua makhluk Tuhan lain. Tanggung jawab menjadi menjadi pemimpin di atas bumi. Dengan akalnya, manusia paling tepat diberi tanggung jawab sebagai pemimpin, dan kemudian, siapakah yang manusia pimpin? seluruh makhluk yang ada di bumi. Sayang, mungkin kita menganggap pemimpin adalah pusat kehidupan dan oleh karena itu harus dilayani bak raja oleh raktyatnya. Padahal sejatinya, pemimpin adalah pelayan rakyatnya, orang yang membawa rakyatnya mencapai kesejahteraan, bukan justru memperkaya diri dengan mengambil kekayaan rakyatnya. Manusia adalah pemimpin, dan alam adalah rakyat. Tugas Pemimpin adalah melayani rakyatnya.

Cara berpikir yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar pula. Maka untuk memaknai hari bumi, selain melakukan tindakan kecil, kita juga harus mengevaluasi cara kita melihat alam dan seisinya, serta posisi kita. Selamat hari bumi.