Minggu, 14 Juni 2015

Renungan Part 39 (Kenikmatan Masturbasi)

Malam itu di sudut pelataran Aula SC, aku dan tiga temanku sedang asyik berbincang. Tema yang diangkat cukup menarik, yaitu filsafat seks. Temanku Didit, yang merupakan seniorku di FLAT, seorang mahasiswa S2 di Paramadina dan yang mukanya mirip dengan Soleh Solihun, berkata bahwa mayoritas manusia terlalu terpaku pada masturbasi dalam hubungan seksual. Yang dia maksud dengan masturbasi adalah perangsangan yang dilakukan pada organ kelamin demi mencapai orgasme, penetrasi pun termasuk masturbasi dalam pandangannya itu. Pada intinya, manusia terlalu berfokus pada kenikmatan ragawi sebagaimana halnya ketika manusia melakukan masturbasi.

Lalu, adakah kenikmatan lain selain kenikmatan ragawi dalam hubungan seksual? Jika dilihat lagi, entah menurut teori filsafatnya siapa aku lupa, hal yang substansial dari hubungan seks adalah ekspresi cinta. Dua insan yang saling mencintai bergumul untuk mendapatkan kenikmatan bersama. Jadi, yang lebih penting dari kenikmatan ragawi itu adalah kenikmatan cinta itu sendiri, mungkin itu kenapa itu disebut make love atau bercinta karena itulah intinya, cinta.

Apa yang akan terjadi dalam ranah ragawi ketika yang substantif itu menjadi fokus perhatian? Maka sang suami tidak akan egois, ia tak akan lupa memuaskan sang istri. Istri tidak dipandangnya sebagai alat pemuas ketika dirinya bernafsu tanpa memperhatikan mood sang istri. Untuk membangun cinta, maka diperlukan suasana, oleh karena itu foreplay tidak pernah tertinggal untuk membangun suasana bercinta yang indah bersama pasangan. Bagaimana dampaknya pada kehidupan rumah tangga? sepertinya sudah banyak studi yang menyebutkan bahwa seks yang berkualitas meningkatkan kualitas rumah tangga pula.

Memandang hal yang substantif dari suatu hal, menurut Caknun, itu sangat penting. Contoh di atas hanyalah satu aplikasi dari bagaimana kita melihat mana yang materi (ragawi) dan mana yang hakiki (substansif). Namun sayangnya, memang mayoritas manusia terlalu terpaku pada yang materi. Tak perlu jauh mencari, coba lihat kita sendiri, bagaimana kita memandang puasa Ramadhan? Menahan lapar dan haus dari terbit fajar sampai terbenam matahari? Itu yang materi, lalu apa makna hakikinya? sepertinya ada di ayat tentang kewajiban berpuasa, yaitu agar kita bertakwa. Apa pengertian takwa? memlihara diri dari yang dilarang-Nya, melaksanakan perintah-Nya, yah.. pada intinya menjadi orang yang lebih baik. Bagaimana realitanya? Apakah orang bertakwa berlomba - lomba memakai baju baru di Hari Raya? Melakukan kegiatan konsumtif berlebihan untuk membeli makanan buka puasa? Menahan lapar dan haus, tapi tidak menahan lidah dari ghibah dan fitnah, dari menyakiti orang lain, dari berbohong? Tidak menahan diri dari mendzalimi orang lain demi kepentingan pribadi?

Seringkali kita lebih risau dengan baju lebaran daripada puasa kita yang tidak sebulan penuh, lebih risau dengan nanti buka dengan apa daripada introspeksi diri apakah puasa kita hari ini sudah bermakna, dan banyak hal lainnya. Kita terlalu sibuk dengan yang nampak daripada yang hakiki. Menurut Caknun, sampai level materi saja tidaklah cukup, kita harus meningkatkan diri sampai ke level hakiki. Walau memang ada yang berpendapat dalam hal tadarrus al-Quran misalnya, bahwa membacanya saja tanpa mencoba memahami maknanya itu sudah dapat pahala, jadi tidak apa-apa, yang salah itu tidak membaca sama sekali. Tapi membaca saja itu cuma materi, yang hakikinya adalah memahami maknanya. Karena kita sudah puas pada yang materi, kita kehilangan makna sebenarnya dari kegiatan itu.

Melihat mana yang materi dan mana yang hakiki dari suatu kegiatan itu sangat penting, karena itulah inti dari kegiatan tersebut. Dengan begitu, kita tidak terjebak dalam kenikmatan masturbasi (materi), kita tidak dangkal memahami sesuatu, dan kita bisa lebih tercerahkan akan makna dari apa yang kita lakukan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar