Minggu, 07 Juni 2015

The Last of Us (Part 7): Book of Madness


Santi memutar kaki kanannya, dan setelah memeriksa pergelangan kaki yang tidak lagi terasa sakit, dia yakin bahwa kini dia telah sembuh, dan bisa bergerak bebas kembali. Seperti kemarin, hari ini awan hitam masih memayungi langit rempoa, hujan seakan tidak ingin berhenti sejak malam. Jam menunjukan pukul sembilan pagi, dan perut santi berbunyi minta diisi, dengan malas dia bangkit dari tempat tidur, darah bekas mayat Adi dan Gading telah kering di lantai kamarnya. Sejak kemarin, setelah membuang kedua mayat itu, bayu tidak keluar dari kamarnya, tidak bahkan untuk makan, hal itu memaksa santi menyeret kakinya yang sakit untuk berjalan dan memasak sendiri di dapur, lalu membawakan makanan untuk bayu. Percuma, dia tidak menyahut ketika dipanggil, dan kamarnya terkunci dari dalam. Santi meletakan piring berisi mie instan itu di depan pintunya, mungkin suatu saat dia lapar dan akan keluar juga, tapi ternyata tidak. Piring itu kini masih tergeletak di depan pintu kamarnya, dengan mie yang telah membesar.

“jangan – jangan dia mati bunuh diri di dalam kamarnya...” gumam santi. Ia tak ambil pusing, perut keroncongannya lebih penting saat ini. Setelah menyantap sekaleng ikan kalengan dan mie instan, ia duduk di balkon sambil menikmati sebotol jus jeruk. “ah... sial, minuman ini pasti lebih nikmat kalau dingin.” Santi melemparkan botol jus jeruk yang telah habis diteguknya ke tempat sampah di pojok balkon. “setelah ini apa yang harus kulakukan?” matanya menerawang ke langit, memperhatikan awan hitam yang enggan pergi.

Kenapa kau gundah gulana?

Santi menoleh, dan mendapati sesosok makhluk bertubuh besar berdiri di sampingnya. Karena hanya memakai sebuah celana pendek, semua otot di tubuhnya yang menonjol seperti binaragawan terekspos. Rambutnya gondrong sebahu tidak beraturan, hampir menutupi kedua telinganya yang runcing. Rahangnya kotak ditumbuhi bulu – bulu halus, dan dua buah gigi taring menyembul dari senyumnya. Kedua mata makhluk tersebut merah menyala menatap santi lekat.

“Kliwon!” santi terpekik.

Aku tidak suka melihatmu gundah seperti itu

“huh... darimana saja kau?! Sudah seminggu kau tidak muncul dan menemaniku. Tak tahukah kau bahwa dunia sekarang sedang kacau didera sebuah bencana misterius. Kemarin aku hampir saja mati.” Santi mendengus.

Aku ada urusan di langit, tenanglah.... dunia ini memang sudah kacau sejak dihuni oleh para manusia jahanam. Karena sejak dulu manusia sudah saling memangsa satu sama lain, tapi dalam bentuk yang berbeda. 

Oh... santi mana mungkin aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, bukankah sudah kubilang aku akan selalu ada untukmu? Janganlah kau meragukanku, pertolonganku kuberikan lewat bocah lelaki itu.

Santi tersenyum mendengarnya, pertama kali dia bertemu kliwon adalah saat dia dikurung di gudang oleh ayah tirinya. Hanya karena kesalahan kecil, sang ayah yang memiliki latar belakang militer itu sangat mudah marah pada dirinya. Hukuman fisik sudah menjadi makanan sehari – hari, tapi saat itu, sang ayah memikirkan hal lain, santi telah kebal dengan pukulan dan tendangan, anak nakal itu perlu yang lain. Maka Sang ayah memasukan santi ke dalam gudang gelap di bawah tanah, teriakan santi tidak digubris. Saat itulah santi bertemu kliwon, suara besarnya menjadi penenang dalam kegelapan gudang, dan ketika santi dapat melihat wajahnya yang menyeramkan di luar gudang, santi tetap merasa tenang berada di sampingnya. Sejak itu, dia selalu ada kapanpun santi dihukum dan dalam kesulitan, kliwon bahkan dengan senang hati melatih santi berkelahi untuk membalas orang – orang yang jahat kepadanya. Kliwon adalah satu – satunya teman dan pelindung santi.

Ketika santi menghajar kaka kelasnya, kliwon ada di sana, dan ketika untuk pertama kalinya santi melawan sang ayah, kliwon pun ada disana. Tatapan mata merah itu seakan memberikan kekuatan bagi santi untuk melawan semua manusia yang telah menyakitinya. Manusia adalah makhluk yang lemah hatinya, mudah terpengaruh oleh nafsu untuk menguasai dan nafsu untuk dihormati. Mereka pikir karena kau seorang perempuan yang lemah, mereka bisa melakukan seenaknya kepadamu. Buktikanlah temanku! Bahwa selama ini merekalah yang lemah, hancurkan mereka! Maka dengan tangan terkepal santi menghajar siapapun yang menghina dan menginjak – injak manusia lainnya.

Semenjak itu santi ringan tangan kepada siapapun yang menurutnya melakukan hal yang tidak pantas. Seperti si ajo, tukang kebun tante Mira yang dia hajar beberapa tahun lalu. Secara tidak sengaja santi melihat si Ajo sedang mengintip tante mira yang sedang mandi. Kamar mandi tante mira berada di samping kamarnya, dan terdapat sebuah lubang ventilasi di dalam kamar mandi yang menghadap ke sebuah gang kecil antara rumah tante mira dan pagar yang menempel dengan rumah tetangga. Disitulah tempat peralatan si Ajo disimpan. Rupanya dia sering melakukan itu, bahkan terakhir kali santi melihatnya mengintip sambil memuaskan dirinya sendiri. Sungguh menjijikan, saat itu pula santi menghajarnya habis – habisan.

“apa yang harus kulakukan sekarang kliwon?”

Itukah alasan gundah gulanamu? Bukankah keadaan ini cocok dengan hal yang paling kau sukai? Sebelum ini terjadi, satu-satunya cara kau merasa hidup adalah dengan menghajar orang di klub kumpulan orang dungu itu.

Semenjak santi menghajar kaka kelasnya saat SMP, santi merasa bahwa dengan berkelahi hidupnya terasa lebih memiliki arti. Sudah beberapa kali santi mencoba bunuh diri akibat derita yang diberikan oleh siksaan sang ayah, tapi santi tidak pernah berani. Rasa dingin pisau yang menempel di urat nadi, saat santi hendak mengirisnya, membuat nyali ciut. atau  panasnya tali yang melingkar di leher selalu membuat santi cemas, pada akhirnya dia selalu mengurungkan semua niat untuk bunuh diri, melakukannya sendiri terlalu menakutkan. Lalu kliwon hadir dan mengajarinya berkelahi, memberikan dirinya sebuah alat perlawanan. Sekaligus membuat hidupnya terasa lebih berarti, karena di setiap perkelahian, hidupnya yang penuh derita menjadi lebih menarik.

“kau benar...”

Lalu kau bisa melakukan hal yang selalu kau impikan, hal yang baru kau lakukan sekali, tidak kah kau rindu?

Santi menatap kliwon, ingatannya terbang ke beberapa tahun yang lalu, santi yang baru dikeluarkan dari SMA tidak dapat pulang karena sang ayah telah mengusirnya dari rumah. Ia hidup di jalanan, selama beberapa hari mimpinya dilalui dari satu emper toko ke emper lainnya di sebuah pasar, untuk makan dia harus mencuci piring di warung, terkadang dia pun harus mengemis. Tapi dia tidak sedih, kliwon selalu di sana menemani. Di saat seperti itu, ia bertemu maman sang preman pasar. Ia tergoda dengan kecantikan santi, setelah beberapa kali rayuan murahannya ditolak, maman kehabisan kesabaran dan berniat mengambil paksa apa yang diinginkannya.

Malam itu maman menghampiri santi yang tertidur di sebuah gang gelap dekat pasar, dengan paksa maman menarik tubuh santi dan menyeretnya ke tempat yang lebih sepi, sebuah tanah terbengkalai di belakang pasar. Tidak ada yang berani mendekati tempat itu di malam hari, menurut kabar, itu adalah tempat sebuah kerajaan jin. Dulu developer pasar pernah hendak membabat tanaman yang ada di sana dan membangun kios – kios baru, tapi para pekerja tidak ada yang berani meneruskan, karena di hari pertama saja, dua orang meninggal dalam kecelakaan kerja, dan beberapa lainnya kesurupan, mereka berteriak – teriak menuntut semua orang pergi dari tempat itu. Ke sanalah maman membawanya, ia tidak pernah takut dengan jin, justru jin adalah sahabat baiknya. Tapi itu adalah sebuah kesalahan besar, dengan bantuan kliwon santi menghabisi maman, mencekik leher besarnya dengan seutas tali rafia yang ia temukan di sana. Tubuh besar maman terkapar tak bernyawa.

Santi puas, itu adalah pembunuhan pertama baginya, dan hatinya merasa senang. Tapi kemudian ia dirisaukan dengan mayat maman, akan ada orang yang menemukannya, dan dia bisa saja jadi tersangka karena  ada lebih dari tiga orang melihat dirinya diseret maman. Ini bisa merepotkan. Lalu kliwon memberikan sebuah golok yang sangat tajam. Dengan bersemangat, santi mencincang tubuh maman, dipotongnya sedikit demi sedikit bahkan sampai tulang belulangnya. Santi melakukan itu ditemani kliwon sambil terus bergumam “bajingan... kau pantas mendapatkannya, tanpa dirimu, dunia akan menjadi lebih baik!”. santi memasukan potongan-potongan itu ke banyak kantong plastik, dan membuang mereka di berbagai tempat, sementara kepalanya ia masukan ke sebuah septic tank. 

Santi mengendus tangannya, merasakan bau amis darah yang melumuri tangan itu beberapa tahun yang lalu, ia tidak pernah menyesali itu, justru ia bangga telah menghilangkan satu sampah pengganggu dari muka bumi. tapi semenjak itu, ia tidak pernah lagi melakukannya, terlalu merepotkan untuk menghilangkan bukti agar tetap bisa lepas dari polisi. Tapi kini, tidak ada polisi, kliwon benar, ini lebih baik. Santi bisa leluasa membunuh para sampah yang sering ia temui atau yang akan ia temui.

“kurasa sudah saatnya aku mewujudkan mimpiku.” Santi berjalan mendekati pagar balkon. Angin mempermainkan rambutnya yang tergerai sebahu. Percikan air hujan mulai membasahi sebagian badannya. “dengan bantuanmu kliwon, sejak saat ini, kita akan membersihkan tiap sampah yang akan kita temui!”  kliwon menyunggingkan senyum sambil mengangguk setuju. Aku akan selalu ada untukmu temanku.

“santi.... dengan siapa kau bercakap – cakap?” Bayu mematung di pintu. Santi dan kliwon menoleh, mata merahnya kembali menatap santi kepalanya bergoyang ke kiri memberikan tanda pada santi.

“bukan... dia bukan sampah.”   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar