Kamis, 04 Juni 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 6)


“sayang menurutku ini kata-kata yang cocok untuk di kalung itu.” Winda menunjukan layar smartphonenya pada bayu.

“hm... keren juga.”

“iya dong....” winda bersandar di bahu bayu.

“nanti... aku tidak akan pernah melepaskan kalung itu, akan selalu aku pakai.”

“kamu lebay deh yang..”

“tidak apa-apa... aku kan memang lebay...” kini winda memeluk tangan bayu. “kamu tidak suka?” bayu tertegun sejenak.

“aku suka....”

“bohong.... kemarin kamu bilang kamu tidak suka dengan cewe lebay..”

“kapan?”

“sewaktu aku cerita soal Rini, temanku yang kamu bilang lebay...”

“hahaha.... masa? Itu kan Rini... aku memang tidak suka padanya kan...”

“jadi kalau aku lebay, kamu suka?”

“hm... iya... aku suka kamu lebay, aku suka kamu kalau tidur ileran, aku suka kamu yang tidak suka beres-beres.”

“ih... itu kan kejelekan aku semua....” protes winda.

“aku suka kebaikan dan kejelekan kamu.” Bayu mengelus rambut winda, kini Winda memeluk tangan bayu lebih erat.

“itu jujur?”

“menurutmu?”

“kalau boleh jujur, bagiku kamu memang orang paling pengertian di dunia.... terkadang, aku tidak sabar dengan diriku sendiri, aku merasa aku tidak sempurna, dan terkadang aku tidak pantas mendapatkan ini dari kamu.”

“jika aku mencari kesempurnaan, maka seharusnya aku berpacaran dengan malaikat. Lagipula, aku juga tidak sempurna, apa hakku meminta kesempurnaan darimu..”

“aku sayang kamu....”

“aku juga...”

Bayu membuka mata menyadari itu adalah mimpi, tidak, itu adalah kenangannya akan winda. Percakapan itu terjadi sebelum mereka membeli kalung tersebut, kalung yang kini ada di dalam tas Adi. Bayu memperhatikan sekelilingnya, dia kini berada di dalam gudang, dia mencoba bangkit tapi sia-sia, rupanya tangan dan kakinya diikat sangat kuat, dia berguling dan menemukan gading juga dalam keadaan yang sama sepertinya.

“sial.. hey gading! Bangun!” bayu menendang tubuh gading dengan kedua kakinya yang terikat.

“ughh...” gading menggeliat. “hey apa-apaan ini?”

“ada yang mengikat kita disini.”

“kau tak perlu bilang pun aku tahu...” gerutu gading.

“siapa yang melakukan ini?” bayu terus berusaha melepaskan diri.

“kemana yang lain? Disini hanya ada kita berdua.”

“santi tidak mungkin melakukan ini pada kita... apa mungkin adi?”

“untuk apa dia melakukan ini?”

“aku tidak tahu... tapi jika iya aku punya firasat buruk tentang hal ini..”

“tunggu... bagaimana kita bisa ada di sini?”

“aku jatuh pingsan setelah makan malam... sesaat setelah aku menemukan kalung winda di tas adi.”

“tidak... tepatnya setelah minum sirup itu! Ya.. aku tidak sadarkan diri setelah minum itu!” gading berteriak.

“oh tuhan... apakah adi yang melakukan ini?” mereka saling berpandangan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan santi dari lantai dua.

“itu santi...”

“kurasa dia akan baik-baik saja....”

“tapi kakinya sedang terkilir...”

“sial.... kita harus menolongnya!”

“apa kau ada ide untuk membuka ikatan ini?”

“kalau tidak salah di balik ban bekas itu ada kotak perkakas dan di dalamnya terdapat gergaji...”

“oke... kita coba.”

***
“bajingan...” santi meludahi wajah adi.

“SSsssst.... diam kau manis!” adi membekap mulutnya dengan lakban hitam. “kau punya bibir yang indah, tapi sayang kau tidak mau menurut padaku, ini yang akan terjadi kalau kau tidak menurut.” Santi meronta-ronta berusaha melawan, tapi sia-sia kedua tangan dan kakinya diikat ke tiap ujung ranjang, tubuhnya masih lemas, entah apa yang dimasukan adi ke dalam minuman itu. Adi membelai wajah santi dan kemudian mengeluarkan sebuah pisau kecil, pisau yang biasa dipakai oleh seorang dokter bedah. Dengan hati-hati, dia merobek kaus yang dipakai santi meninggalkan hanya bra yang menutupi kedua payudaranya.

“ah.... sejak aku melihatmu tadi pagi, aku tahu kau wanita yang spesial, dan aku tidak ingin membuang  buang waktu lagi untuk menikmatimu.” adi mengelus perut santi. “otot perut yang sangat indah...”

“Aarrghh.... Aaarrghh..” santi terus berontak, tapi sia-sia. Kakinya yang masih terkilir terasa sakit.

Adi mengeluarkan sebuah cincin dari tasnya. “ini adalah souvenir dari wanita pertamaku, dia seorang pramugari keturunan padang, kau tahu wanita padang sungguh menarik, mereka memiliki kulit putih yang sangat indah.” Dia mengeluarkan sebuah gelang berwarna perak. “ini dari wanita keduaku, hm... dia adalah seorang instruktur senam, tapi badannya tidak seperti kau, dia memiliki badan yang semok, berisi, bukan berotot. Saat-saat bersamanya sungguh menyenangkan.” Dia mengeluarkan beberapa akesesoris lainnya, termasuk kalung milik winda. “diantara semua wanitaku, kurasa souvenir darimu akan menjadi yang paling unik, aku pikir aku akan mengambil pisau karambit itu.” Adi tersenyum.

“semua wanitaku adalah orang yang menyenangkan, aku yakin kau pasti bertemu mereka nanti setelah aku selesai denganmu.” Adi kini mengelus paha santi, dia menarik celana pendek yang dipakai santi dan merobeknya, kini tubuh santi hanya ditutupi dengan bra dan celana dalam saja.

“oh... kau tidak memiliki selera yang bagus dalam memilih pakaian dalam.” Adi berdiri, matanya menyapu setiap senti tubuh santi. “kau akan terlihat lebih indah jika memakai g-string, dan bra yang lebih seksi. Itu akan memperlihatkan setiap lekuk otot mu yang indah ini.” Adi tersenyum. Dia duduk di samping santi, dan menciumi perut santi, memainkan lidahnya di atas kulit santi. Dari perut dia beranjak ke dada dan sampai di leher. Santi menggeliat mencoba mendorongnya dengan tubuhnya, tapi sia-sia, tangan dan kaki yang terikat tidak dapat membantunya.

“ayolah... kau pasti menyukainya kan? Jangan munafik begitu.”

“argh.... argh....”

“maaf, aku tidak mengerti... tapi pasti artinya tolong lanjutkan...” tangan adi masuk ke balik celana dalam santi, badannya menggeliat lebih keras. “Sssst.... akui kalau kau menyukainya... hm.... ayo katakan..” adi mendekatkan telinganya ke wajah santi.

BUUKKK!!! Adi terhempas menabrak meja dan rak senjata santi. Rupanya bayu dan gading telah berhasil lolos, kini bayu memasang kuda-kuda sambil memegang pemukul basebal yang dipenuhi darah kering.

“bajingan...” adi bangkit.

“dasar binatang! Kenapa kau memiliki kalung Winda?! Apa ini yang kau lakukan pada winda?!!” bentak bayu.

“kau ingin tahu? Ayo sini maju!” bayu menerjangnya, sambil melompati ranjang Santi, mengayunkan pemukul basebalnya. Tapi adi rupanya lebih terlatih daripada bayu, dia mengelak dengan mudah , menangkap pemukul basebal yang diayunkan ke arahnya. Kini bayu yang dilemparnya menabrak dinding.

“seginikah kemampuanmu? Dasar tidak berguna!” adi menginjak injak bayu yang belum sempat berdiri. Darah segar keluar dari mulutnya. “kau mau juga hah?!!” adi menunjuk gading yang berdiri mematung di pintu.

“dasar pengecut! Kalau kau takut, diam di situ!”

“babi... aku bukan pengecut!” gading lari menerjang, adi mengayunkan pemukul basebal ke kepala gading, darah bercucuran, gading terlempar ke lantai dan tidak bergerak lagi. “dasar sampah!”

“bajingan kau...!” bayu mencoba berdiri terhuyng-huyung. Adi segera menendang dadanya, bayu terlempar kembali, punggungnya mendarat di dinding. Kini dia terduduk di lantai, darah masih keluar dari mulutnya, paru-parunya sesak akibat tendangan itu.

“harusnya tadi kalian berdua kubunuh.... sungguh mengganggu!” adi duduk di ranjang, Santi sedari tadi hanya dapat menonton, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“kenapa kau memiliki kalung winda?” kata-kata tersebut masih keluar dari mulut bayu, walau terdengar lebih lemah.

“kau sungguh menyebalkan... sekarang moodku hilang... gara-gara kau! Tapi aku akan berbaik hati padamu sebelum kau mati, biar kuberitahu darimana kudapat benda itu.” Adi menghampiri bayu, dia berjongkok lalu menarik dagunya, kini wajah mereka berhadapan.

“aku mengambil kalung itu dari leher kekasihmu dua hari yang lalu, leher yang sungguh indah... harus kuakui dia memiliki kulit tereksotis yang pernah kulihat, lalu bibirnya... sungguh manis, semanis strawberry...”

“arggh.. bajingan kau...” bayu mencoba memukulnya, tapi pukulannya lemah, dengan mudah adi menangkapnya.

“apa kau ingin tahu bagaimana erangannya ketika aku menggagahinya?”

“bajingan...!!” bayu menendang alat kemaluan adi, dia terhuyung tidak menyangka dengan serangan itu. Bayu bangkit dan menendangnya sekuat mungkin, adi berguling, bayu segera mendudukinya, lalu memukuli wajahnya, tapi adi lebih berpengalaman dalam perkelahian, dengan mudah dia membalikkan keadaan, kini bayulah yang berada di bawah, ditindih oleh Adi, dan melancarkan beberapa pukulan ke wajah bayu, kepalanya pusing, pandangannya kabur. Walau masih sadar, tubuh bayu terasa lemas, dia bahkan tidak bisa lagi mengangkat kedua tanganya.

“sialan... kau harus bersyukur, karena sekarang kau akan menemuinya di akhirat!!” adi mengangkat pemukul basebalnya, hendak menghancurkan batok kepala bayu.

“Inikah akhirnya?” Bayu membatin, “maafkan kekasihmu ini winda, aku tidak hanya tak mampu membalaskan dendammu, tapi juga aku akan mati oleh orang yang membunuhmu.” Selama hidupnya, ini adalah saat pertama bayu merasakan putus asa, tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, tidak ada harapan. Sekelebat, ia melihat sebuah bayangan bergerak di belakang Adi. 

CRASSS!!

Darah bercucuran di punggung adi, rupanya gading merangkak diam - diam  untuk mengambil salah satu belati koleksi santi, dan berhasil menancapkan belati tersebut tepat waktu. “aarghhh....” adi segera berbalik dan menghantamkan pemukul basebal ke kepala Gading berkali-kali, gading rubuh... tapi Adi terus menghantam kepalanya. “sampah... beraninya kau melakukan ini padaku!!”

“hiyaa...!!!” dengan segenap kekuatan terakhirnya, bayu menendang punggung adi, dia tersungkur menabrak kaki ranjang. Bayu segera mencabut belati di punggung adi dan segera menancapkannya di kepala adi, sekali... dua kali.... tiga kali.... “bajingan... bajingan.. bajingan.....” bayu berhenti. Dia menunduk dengan tangan masih memegang belati yang penuh dengan darah adi. Tangan dan wajahnya dipenuhi dengan darah. Bayu memandang santi yang sedari tadi hanya mampu menonton, air mata membasahi pipinya.

***
Ini adalah hari kelima sejak bencana itu terjadi, dan ini adalah pagi pertama dimana tidak ada matahari sedikitpun terlihat. Awan hitam menaungi langit Rempoa sejak dini hari, hujan kecil tidak berhenti sejak pukul 3 tadi. Bayu terduduk di satu sisi ranjang Santi, sementara santi duduk di sisi lainnya. Mayat adi dan gading masih tergeletak di lantai, darah mereka membasahi sebagian besar lantai kamar tersebut.

“listrik sudah padam...” santi melingkarkan tangannya di lutut. Bayu bangkit, berjalan menuju balkon, hujan bertambah besar, suara halilintar menggelegar bersahutan, angin bertiup kencang membuat beberapa pohon mulai meliuk-liuk. Bayu teringat percakapannya dengan susi beberapa bulan yang lalu. Saat itu minggu pagi, tidak terlalu cerah, karena semalam baru saja terjadi hujan besar disertai badai. Beberapa pohon tumbang, dedaunan berserakan di taman tempat bayu dan susi duduk saat itu.

“kaka dengar, ada seorang anak kecil yang meninggal tertimpa pohon tumbang semalam?”

“benarkah? Aku tidak tahu, kenapa tidak ada pengumumannya?”

“sudah tadi, kaka pasti belum bangun...”

“mungkin...” bayu tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

“kaka tahu apa yang kupikirkan ketika aku melihat dedauanan itu?” tanya susi.

“hm.... fotosintesis...” jawab bayu sekenanya.

“hahaha... bukan ka....  aku teringat akan sebuah cerita...”

“cerita apa?”

“begini ceritanya ka.... dahulu kala ada seorang biksu yang sederhana tengah bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut malam, terjadilah badai yang hebat, mungkin seperti badai tadi malam. Di pagi hari ketika badai telah berlalu, sang biksu keluar dari pondoknya untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. banyak dahan besar dan dua pohon berukuran lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa sangat beruntung masih hidup. Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan dahan-dahan patah yang berserakan, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar menutupi tanah.”

“kenapa?”

“banyak dedaunan yang berguguran adalah daun daun yang berwarna coklat tua yang telah memenuhi umur kehidupannya, seperti itu.” Susi menunjuk. “tapi diantara dedaunan itu, terdapat banyak daun berwarna kuning. Bahkan terdapat pula daun yang berwarna hijau yang masih cerah.”

“ya... tepat seperti keadaan dedaunan di taman ini..” bayu mengangguk. “lalu apa menariknya?”

“saat itu si biksu memahami makna kematian.”

“maksudmu?”

“kematian adalah hal yang lumrah, hal yang alami, dan pasti terjadi, seperti halnya badai. Ia tidak pilih-pilih daun yang akan dijatuhkannya, entah itu yang muda atau yang tua. Kematian pasti mendatangi siapapun. Jadi ketika orang yang kita sayangi mati, ingatlah hal ini ka. Dengan berpikir seperti itu, aku merasa lebih baik dan dapat menerima kematian adiku dua tahun yang lalu.”

Bayu hanya termenung memandangi dedaunan di taman. Seperti sekarang, dia termenung memandangi dedaunan yang mulai berjatuhan diterpa angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar