Minggu, 31 Mei 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 5)


“namaku Adi....” pria paruh baya berbadan kekar tersebut memperkenalkan dirinya. Santi memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala, memastikan tidak ada bekas gigitan di tubuhnya. Dia memakai kaos ketat berwarna ungu yang membentuk badan berototnya, dan celana jeans belel berwarna hitam tanpa ada noda darah terlihat. Kulitnya putih bersih, tidak ada luka sedikitpun hanya peluh yang membanjiri badannya.  Bayu menjabat tangannya.

“aku bayu, ini santi, dan itu gading..” bayu menunjuk gading yang sedang sibuk membereskan persediaan di dapur. “kami sangat berterimakasih atas pertolonganmu tadi...”

“aku hanya kebetulan lewat....”

“tapi demi menolong kami, kendaraanmu rusak... kemana tujuanmu? Mungkin kami bisa memberikan sedikit bantuan.”

“uh... aku sedang menuju bintaro, aku mendapat kabar bahwa di sana ada tempat evakuasi, dijaga oleh tentara nasional kita, disana tempat yang aman dari para manusia gila itu...”

“benarkah?”

“ya.. aku mendengarnya lewat radio... sebuah pengumuman resmi dari pemerintah!”

Gading yang mendengarnya dari dapur segera bergabung di ruang utama, dia tampak senang mengetahui ada secercah harapan untuk bisa selamat dari bencana ini. Sementara Santi mengerutkan dahi,  sedang memikirkan sesuatu.

“Kita harus berangkat kesana!” gading bersemangat.

“benar.. dan aku yakin jika kita bekerja sama kita bisa selamat sampai di sana...” Adi menambahkan. Bayu merasa senang sekaligus resah, tentu itu adalah kabar gembira mengetahui bahwa ada lingkungan yang aman di dekat sini, tapi bayu resah jika harus menyelamatkan diri tanpa winda.

“bagaimana menurutmu bayu?” santi menangkap rasa gelisah bayu.

“entahlah... aku mencemaskan winda...”

“apa maksudmu? Lalu apa yang ingin kau lakukan? Menunggu winda muncul?” gading berteriak.

“mungkin... aku harus mencarinya... ” jawab bayu bimbang.

“kau carilah kekasihmu itu, tapi aku tetap pergi ke bintaro! Bagaimana denganmu santi?”

“Bayu... mungkin winda pun menuju ke sana, atau sudah berada di sana.” Santi tidak mengacuhkan gading.

“apa buktinya? Apakah kau punya bukti bahwa dia berhasil menyelamatkan diri? Mungkin saja dia seperti kita, berlindung di suatu tempat! Oleh karena itu, aku akan pergi mencarinya!”

“lalu kemana kau akan mencari!?”

“aku tidak tahu, mungkin aku mulai dari tempat kerjanya, RS Fatmawati.”

“bodoh... kau tidak akan bertahan sendirian di luar sana! Lihat apa yang terjadi tadi!” bayu terdiam, kata-kata santi benar, tidak mungkin dia dapat sampai ke fatmawati sendirian, bahkan bertiga pun belum tentu.

“maaf... kekasihmu bekerja di RS Fatmawati?” Tanya Adi.

“iya... kenapa?”

“aku pun bekerja di sana.. aku seorang dokter.”

“apa? Benarkah? Kau dari sana? Apa kau mengenal Winda? Ini fotonya... ” bayu menyerahkan sebuah foto dari dompetnya kepada Adi.

“maaf aku tidak mengenalnya..” jawab adi sambil tetap memandangi foto tersebut. “tapi satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang selamat di sana, aku sempat bertahan di tempat itu sejak bencana ini berawal, menurutmu, apa yang membuatku mencoba pergi ke bintaro jika di sana aman?” Bayu hanya terdiam, dia mengambil kembali foto winda dari tangan adi, dengan langkah gontai, tanpa mengatakan apapun, dia berjalan ke lantai dua menuju kamar. Santi dan gading membiarkannya, mungkin bayu butuh waktu sendiri beberapa saat.

“bagaimana denganmu Santi?” gading kembali bertanya.

“aku harus mempertimbangkannya... saat ini kita istirahat saja dulu, dengan persediaan yang kita punya, setidaknya kita masih bertahan selama tiga hari di sini. Kita tidak perlu buru-buru.” Santi berjalan terpincang-pincang menuju kamarnya di lantai dua.

“apa yang ada dalam kepala mereka?!” gading menggerutu. Baginya pergi ke bintaro secepatnya adalah keputusan yang paling tepat. Tidak ada sedikitpun yang bisa membuatnya merasa aman selama masih di rumah ini. Bayu benar-benar bodoh, untuk apa dia membahayakan nyawanya sendiri demi mencari winda. Jika winda mati, dia toh bisa mencari wanita lain. Yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Lalu santi, dia pun bodoh, mungkin karena dia setengah gila makanya dia tidak cemas dengan semua keadaan ini, dia tampak menikmatinya. Dengan santainya dia bilang untuk mempertimbangkannya dulu, apa yang harus dipertimbangkan? Ini adalah solusi satu-satunya untuk dapat selamat.

“kita membutuhkan kedua temanmu untuk ikut, kita tidak bisa mencapai bintaro hanya berdua... dan terlebih lagi, kurasa kita tidak bisa memaksa santi pergi dengan kaki yang masih terluka.” Adi memecah lamunan gading.

“ya kau benar...” gading sadar, setidaknya santi berguna ketika mereka terjepit dalam keadaan bahaya seperti tadi.

***
Sebuah elusan hangat membangunkan Santi dari tidur lelapnya, dia membuka mata dan terkejut mendapati Adi duduk di sampingnya.

“apa yang kau lakukan disini?” santi menatapnya tajam penuh curiga. Ia bangkit dan menjauhkan kakinya dari adi.

“Ssst.. tenanglah, aku hanya memeriksa pergelangan kakimu...” adi kembali menarik kaki santi, dia mengambil sebuah bungkusan kain yang berisi es batu dan menempelkannya pada pergelangan kaki santi. 

“ini... peganglah...” santi memegang bungkusan itu, sebuah elusan di tangan kembali santi rasakan ketika adi melepaskan bungkusan itu. “untung ini hanya cedera ringan... dengan istirahat dua hari saja, kau bisa sembuh...” kini adi berdiri, dia memperhatikan beberapa jenis senjata yang dipajang santi di temboknya. Dua buah machete atau golok yang berkilau indah dipajang berhimpitan di satu sudut dinding, beberapa buah nunchaku, dan belati militer disusun di sekelilingnya. Sementara itu sebuah rak dibawahnya menampung senjata lain, beberapa jenis brass knuckle disusun rapi dalam sebuah kotak berwarna hitam, kemudian berbagai jenis pisau lipat, dan pisau karambit dipajang dalam kotak kaca. “wow... kau orang yang sangat berbahaya sepertinya.”

Santi terus menatap Adi, dia yakin sekali adi mengelus-elus kakinya sebelum dia terbangun tadi, dan elusan di tangannya barusan, santi sangat tidak menyukainya. Selama dia tinggal di kosan ini, tidak pernah ada satu orang pun yang berani masuk kamarnya tanpa ijin. Bahkan tante maya pun tidak. Adi adalah orang pertama yang melakukannya, santi sangat kesal, tapi mungkin adi tidak tahu apapun tentang dirinya, dan aturan di kosan ini, lagipula dalam situasi seperti ini, aturan sudah tidak lagi diperhatikan.

“terimakasih atas esnya...”

“sudah menjadi tugasku sebagai dokter.... kau punya hobi yang sangat.... tidak biasa...” adi menunjuk kumpulan senjata tadi.

 “ya.... aku memang tidak biasa...”

“senjata-senjata itu berbahaya dan dapat melukai seseorang.... pernah mencoba salah satunya selain pada manusia gila di luar sana?” Adi berkelakar.

“ya... aku pernah merobek leher seseorang dengan karambit itu...” Jawab santi.

“hahaha... sepertinya aku harus jauh-jauh darimu..” Adi tersenyum.

“ya... kau harus...” Santi balas tersenyum.

“oh.. aku harus membantu gading menyiapkan makan malam, kau istirahatlah lagi... jangan lupa ketika kau tidur taruh bantal di atas kakimu itu, agar lebih tinggi dari jantungmu...”

“kau dokternya....” mata santi mengekor adi sampai dia keluar kamar. Santi tidak suka dengannya. Santi beranjak dari kasurnya ke meja dan rak dimana senjata-senjatanya disimpan. Dia memeriksa satu persatu benda kesayangannya, dia memang berbeda batin Santi, karena saat dirinya mulai puber, senjata-senjata inilah yang menjadi idamannya. Bukan kaka senior ganteng, bukan penyanyi asia yang wajahnya telah ditambal plastik, juga bukan laki-laki gondrong yang pandai memainkan gitar. Saat para gadis abg seusianya sibuk belajar mempercantik diri dan menggaet pacar seperti halnya piala, santi lebih tertarik menghajar para cowo yang mendekatinya.

“kau selalu menjadi cinta pertamaku..” santi mengambil sebuah brass knuckle berwarna perak yang berkilau dari rak paling bawah. Itu adalah brass knuckle pertamanya saat dia berusia empat belas tahun, dia membelinya dari sebuah toko di alat-alat bela diri. Santi masih ingat betul wajah bingung penjaga toko ketika dia mendengar jawaban santi perihal alasan ia membelinya.

Saat itu dia hanyalah gadis kurus penyendiri, karena suatu hal, dia dijauhi dan tidak disukai oleh banyak teman-temannya. Tak ayal, dia menjadi sasaran bully teman-temannya, baik laki-laki ataupun perempuan. Tapi ada satu pembully yang paling santi benci, yaitu Reno, kaka kelasnya. Karena dia satu-satunya pembully yang berani menyentuh tubuhnya, terutama bagian pribadinya. Santi tidak suka siapapun menyentuh tubuhnya, dan reno akan mendapatkan balasan atas yang dia perbuat.

Santi belajar bela diri secara otodidak, dan dia tidak pernah sekalipun mempraktekannya dengan siapapun. Dia takut, tapi menghajar reno adalah keharusan, dia bertubuh lebih besar darinya, Santi pasti tidak bisa menjatuhkan reno dengan beberapa pukulan, kemungkinan besarnya dia yang babak belur. Kenapa perempuan ditakdirkan begitu lemah? Gerutu santi. Saat itulah Santi membaca tentang Brass Knuckle di internet, dan membelinya. “aku ingin menghajar seorang lelaki.” Jawab santi kepada si penjaga toko. Beberapa hari kemudian, Reno dan dua temannya masuk rumah sakit dengan wajah robek, dan santi dikeluarkan dari sekolah.

Santi tersenyum mengingat kejadian itu, pengalaman pertamanya menghajar orang, ada perasaan nikmat ketika dia melakukannya. Perasaan yang sama yang didapat ketika seseorang bermain game, atau berhubungan seks. Baginya menghajar orang adalah sumber kesenangan. Semenjak saat itulah dia mulai mengoleksi senjata-senjata itu. Semenjak itu pula santi sudah tidak ingat berapa orang yang telah dia hajar. 

Terdengar suara ketukan di pintu.

“santi.. makan malam sudah siap.” Gading berteriak dari balik pintu.

“ya... aku turun.” Santi segera menyimpan kembali brass knuckelnya dan berjalan terpincang-pincang ke ruang makan. Gading tengah sibuk menyendok satu-satunya lauk yang tersedia, Sarden. Kini mereka berkumpul di ruang tengah.

“mungkin kita masih bisa bertahan tiga hari ke depan, tapi beras kita sudah habis, aku tidak yakin aku bisa bertahan tanpa nasi...” gading membuka pembicaraan.

“seriously...??” bayu nampak tidak senang. “di saat seperti ini yang kau khawatirkan adalah nasi?”

“makanan adalah hal yang sangat penting untuk bertahan hidup, setahuku tidak ada orang mati karena ditinggal mati kekasihnya, yang ada orang mati karena kelaparan!”

“babi kau!” bayu segera menarik baju gading yang duduk di seberangnya. Tangannya terangkat bersiap meninju wajah gading.

“kau yang babi!”gading mendorong bayu, melepaskan diri dari cengkramannya. Pukulan bayu tidak mengenai sasaran.

“hentikan!” santi berteriak.

“dasar laki-laki bodoh dan super lebay!” gading mengambil sebuah tas coklat yang berada di dekatnya dan melemparkannya ke arah bayu. Tapi bayu dapat menghindar, dan dengan cepat menendang perut gading sampai dia tersungkur di lantai, bayu segera menindihnya dari atas, bersiap memukulinya.

PRANG!! pintu kaca sebuah lemari di samping televisi pecah dilempar asbak oleh Santi, suara tersebut menghentikan Bayu. “aku bilang berhenti!” santi berteriak lebih keras. Suaranya menggema di ruang tengah yang besar itu. Adi hanya terbengong menyaksikan itu semua dari dapur. “apa yang kalian lakukan?” bentak santi, bayu bangkit dan duduk kembali di sofa, begitu pula gading, sambil memegangi perutnya yang ditendang bayu tadi.

“kita memerlukan kerja sama untuk bisa bertahan hidup! Saat ini kita perlu mendiskusikan prioritas kita, dan kita tidak dapat memutuskannya dengan kepala yang dipenuhi emosi.”

“maaf...” lirih bayu. Gading hanya terdiam.

“kita harus memutuskan langkah kita berikutnya, aku telah memutuskan untuk pergi ke bintaro setelah kakiku sembuh, gading dan adi tentunya ikut denganku, bagaimana denganmu bayu?”

“aku... tidak tahu...”

“lagi-lagi itu....” gerutu gading.

“gading diamlah..!”

“aku lelah dengan sikapmu santi! Sok-sok mengatur, sejak kapan kau diangkat jadi ketua kelompok ini?”

“oh ya... seingatku, karena akulah kalian berdua masih bernafas saat ini, idekulah yang membuat perut kalian kenyang saat ini! Kalau kau memang tidak mau menerima aturanku, kau bebas pergi!” gading terdiam.

“hei... hei... mari kita mendinginkan kepala kita dengan minuman ini...” adi datang membawa baki yang dipenuhi empat gelas sirup buah dingin. “kita harus menikmati kenyamanan es batu sebelum listrik padam.” 

Adi membagikan gelas-gelas tersebut.

“beri aku waktu sampai besok... aku akan memberikan keputusanku besok,” bayu meneguk sirup buah tersebut sedikit. Sementara gading telah menghabiskan miliknya.

“aku harap kau membuat keputusan yang bijak bayu....” santi meneguk sirupnya. “minuman ini sungguh menyegarkan...”

“tentu saja...” adi tersenyum lebar. Bayu beranjak dari sofa berniat menuju kamarnya kembali di lantai dua, dia butuh waktu sendiri untuk memikirkan semuanya. Sebelum menaiki tangga bayu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, sebuah benda yang tercecer dari tas coklat yang dilempar gading tadi. Sebuah kalung yang biasa dipakai anggota militer yang biasanya berisi data pribadi si pemakai. Kalung model seperti itu banyak dijual di beberapa tempat wisata sebagai souvenir dan kita dapat memesan tulisan sendiri. Bayu ingat membeli sepasang kalung tersebut untuknya dan winda beberapa bulan yang lalu, sampai saat ini kalung miliknya tergantung di kamarnya, jarang dia pakai, karena lelaki memang tidak terlihat pantas memakai kalung. Tapi winda senang sekali memakai kalung tersebut.
Till death do us part
B & W
Begitulah kata-kata yang terukir di kalung tersebut, ditambah dengan inisial dari nama bayu dan winda. Di dunia ini, kalung yang bertuliskan seperti itu hanya ada dua, milik bayu dan milik winda. Milik bayu tentunya masih berada di kamarnya, dan winda tidak pernah menanggalkan kalung tersebut. Lalu, kenapa kalung itu sekarang tercecer dari tas coklat, yang dilempar gading tadi? Tas siapa itu? Bukankah itu tas milik Adi? Kepalanya beredenyut, dunia di sekitarnya terasa berputar. Gading segera mengambil kalung tersebut dan berbalik.

“adi... darimana kau dapatkan ini?” kepalanya semakin pusing, matanya sungguh berat, bayu dapat melihat adi mengucapkan beberapa kata dari gerakan bibirnya, tapi dia tidak dapat mendengar apapun, tubuhnya lemas, hal terakhir yang diingatnya adalah senyuman adi sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar