Kamis, 28 Mei 2015

The Last of Us: Book of Death (Part 4)


Bayu terbangun merasakan hawa dingin di punggunggnya, dia rupanya terbaring di lantai ruang utama. Keramik yang menjadi alas tidurnya yang menyebabkan hawa dingin itu. Matanya berat meminta untuk kembali tidur, dia memutar badannya. Sebuah wajah dengan mata kuning dan mulut berbusa menyambutnya, bayu tersentak bangun. Mayat sandi tepat berada di sampingnya, darah dimana-mana, seingat bayu dia tertidur di atas sofa, sepertinya dia terjatuh tanpa sadar dan mendarat di pinggir mayat tersebut. Pisau belati santi masih menancap di ubun-ubun sandi. Terdapat beberapa lubang menganga di perut dan dadanya, darahnya tidak lagi mengalir, kini sebagian besar keramik putih di ruang utama berwarna merah karena darahnya. Bagus pikir bayu... sekarang seluruh ruangan berbau amis darah. Tenggorokannya terasa sangat kering, dia segera menuju kulkas, hanya tersisa satu botol air putih. Bayu meneguknya sampai setengah, kini dia berpikir, jika makanan dan minuman di rumah ini habis, apa yang harus mereka lakukan? Dia mengecek hapenya, tidak ada sinyal, alat komunikasi sudah lumpuh. Melihat kulkas yang masih menyala ketika dibuka, dan air yang diminumnya terasa dingin, bayu yakin listrik belum padam, tapi sampai kapan? Winda kembali terbayang di kepalanya. 

Karir cemerlang dan keluarga bahagia yang menjadi impian setiap orang, yang menjadi pusat kebahagiaan manusia, yang sebentar lagi dicapai olehnya kini sirna. Bayu tetap yakin ketika semua ini berakhir, dia akan kembali mendapatkan dua hal tersebut, tidak... dia akan berjuang kembali mendapatkannya, oleh karena itu dia tidak boleh berputus asa, dia tidak boleh mati, dan winda pun tidak boleh mati, mimpi kebahagiaan bayu saat ini hanya tertunda, tidak sirna, bayu menegaskan itu dalam hatinya.

Ini adalah hari kedua setelah bencana itu dimulai, bayu, gading, dan santi tetap bertahan di dalam rumah, memblokir semua akses masuk dengan furnitur, mereka menunggu keadaan berubah menjadi lebih baik, dan lebih aman. Matahari terlihat bersinar cerah, pagi seperti ini adalah cuaca yang cocok untuk menikmati sinar matahari sambil berjalan di sekitar komplek yang asri. Bayu sering melakukan itu di hari minggu pagi, dan dia selalu bertemu Susi, anak perempuan pak Raharjo yang tinggal di Blok F. Dia adalah seorang mahasiswi Filsafat di universitas negeri paling terkenal se indonesia yang berada di depok, ketika mereka sampai di taman komplek, biasanya bayu dan susi membincangkan banyak hal. Bayu senang mendengarkan susi membincangkan filsafat, seorang gadis muda yang menarik dengan ide-ide yang luar biasa tentang kehidupan. Suatu waktu mereka pernah membincangkan masalah kejahatan begal yang marak terjadi di daerah tangerang selatan, susi berkata bahwa akar dari semua kejahatan yang ada di muka bumi adalah delusi pikiran.

“delusi pikiran? Apa itu?” bayu duduk di sebuah ayunan, diikuti susi yang juga duduk di ayunan di samping bayu.

“setiap manusia di dunia ini, hidup demi mengisi kekosongan yang mereka rasakan di dalam hatinya, iya kan?” bayu menggeleng tidak mengerti. “apakah ka bayu pernah merasakan ada yang kurang dalam hidup?”

“hm.. ya, dari kecil aku selalu merasa bahwa keuanganku selalu kurang...” jawabnya sambil tersenyum.

“manusia sering merasa kurang jika tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain.” Bayu mengangguk setuju. “manusia sering tidak bahagia jika nominal dalam rekening banknya tidak mencapai tujuh digit.” Anggukan bayu makin kuat.

“lalu?”

“manusia kemudian mencari cara untuk mengisi kekosongan itu, dan di situlah delusi pikiran berperan dalam menciptakan kejahatan...” susi berhenti sejenak. “delusi pikirin ini adalah pikiran bahwa manusia adalah makhluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya.”

“maksudnya?”

“para begal motor itu berani menyakiti orang lain, dan merampas harta benda orang lain, karena mereka tidak peduli dengan korbannya, yang terpenting dia dapat memenuhi kekosongan batinnya dalam hal ekonomi. Dia berpikir dirinya dan korban adalah makhluk yang terpisah. Tapi jika dia berpikir bahwa dirinya dan korban adalah saudara, beranikah dia melakukan itu? Apa yang akan dilakukan si begal jika ternyata calon korbannya adalah adiknya? Kekasihnya? Atau ayahnya sendiri?” bayu menggangguk mengerti. “itu adalah akar dari semua kejahatan di dunia ini, pejabat korupsi karena mereka berpikir bahwa dampak korupsi tidak akan mengenai dirinya atau keluarga terdekatnya, manusia memiliki delusi yang berbahaya.”

Susi benar pikir bayu, delusi dan kekosongan batin dapat membuat manusia melakukan apa saja kepada orang lain, bahkan kejahatan yang paling menyeramkan pun dilakukan atas dasar kepentingan itu. Bayu teringat kejadian semalam yang membuatya merinding, gading bahkan sampai muntah menyaksikannya.

Setelah berhasil mengikat Sandi, Santi mulai menusuk-nusuk dada dan perutnya. Darah segar mengalir dari tubuh lelaki itu, tapi dia tidak tampak kesakitan, dia tetap mengerang sambil berusaha melepaskan diri. Bayu tidak habis pikir, bagaimana bisa dia melakukan itu? Melihatnya saja sudah membuat bayu dan gading mual, tapi santi melakukannya seakan dia sedang melukis, setiap tusukan adalah goresan kuas di atas kanvas yang membuatnya makin bergairah. Bayu tahu santi memang pernah gila, tapi segila itukah dia?

“apa yang kau lakukan santi? hentikan!”

“berhenti? Aku sedang mencoba menyelamatkan nyawa kita!”

“apa maksudmu?”

“apa kau tidak lihat? Dia tidak merasakan satu pun tusukanku! Lihat tenaganya ketika menggeliat, tak sedikitpun berkurang. Mereka tidak bisa merasakan sakit!”

“lalu apa hubungannya dengan menyelamatkan nyawa kita?” santi menarik bayu dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayu.

“seingatku, kau hampir mati karena makhluk ini, jika aku tidak membunuh mbo iyem tadi, kau sudah mati digigitnya atau mungkin menjadi salah satu dari mereka!” dia melepaskan baju bayu. “jika kita tidak tahu cara membunuh mereka dengan efektif, cepat atau lambat, kita akan mati! Kau tidak ingin mati kan? Iya kan bayu!?”

Mereka terdiam, Sandi masih terus menggeliat dengan darah yang masih mengalir dari tiap lubang yand dibuat Santi. Santi melakukan semua kengerian itu atas dasar keselamatan mereka, apakah itu dapat dikategorikan sebagai delusi pikiran seperti yang dikatakan susi? Apakah para makhluk gila itu sebenarnya tidak berbeda dari manusia biasa? Mungkin mereka hanya sakit dan butuh obat, mereka hanya tidak sadar seperti orang gila pada umumnya, tapi yang pasti mereka tetaplah manusia, pikiran-pikiran itu terus berkecamuk dalam kepala bayu.

Atas dasar kemanusiaan, bayu merasa tidak tega melihat santi menyiksa makhluk itu, walau bayu tidak yakin mereka masih bisa disebut manusia. Di sisi lain, bayu melihat makhluk itu sebagai ancaman dari eksistensinya, dirinya bisa mati jika tidak membunuh mereka saat diserang. Apa yang seharusnya kita lakukan dalam keadaan terancam? Ketika keadaannya adalah membunuh atau dibunuh? Apakah konsep bahwa orang lain yang mencoba membunuh kita adalah saudara dapat diterapkan? Sungguh bodoh, tentunya melawan adalah pilihan yang lebih benar.

“jadi diamlah dan perhatikan, aku tidak bisa selalu melindungi kalian, setidaknya kalian tahu apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan mereka.” Santi memperhatikan Sandi yang terus menggeliat walau mulai kehabisan darah, dia berpikir bagaimana membuat makhluk ini mati, santi teringat mbo iyem. Dia segera menancapkan belatinya ke ubun-ubun sandi, kemudian menekannya sekuat mungkin agar belati dapat masuk sepenuhnya. Sandi mengerang makin keras dan akhirnya berhenti, matanya tetap melotot, dan mulutnya masih mengeluarkan liur dan busa, tapi dia berhenti menggeliat, dia benar-benar mati. “kepala.... kau serang kepalanya.”

Bayu memuntahkan air yang sudah melewati tenggorokannya, dia mual membayangkan kejadian semalam. Bayu tidak yakin dia bisa melakukan itu, membunuh mereka ketika keadaan memaksa, itu semua terlalu menakutkan.

“bagus.... air terakhir kita kau muntahkan begitu saja, sekarang bagaimana aku minum?” santi mengagetkan bayu. Dia kini berdiri tepat di belakangnya.

“kau bisa memasak air dari sumur...”

“air sumur kotor... aku tidak mau meminumnya.”

“dalam keadaan seperti ini, pilihan apa yang kau punya?”

Santi membuka laci tempat dimana persediaan mie instan biasa ditaruh. Hanya dua mie soto yang tersisa, di kulkas tersisa lima butir telur, dan empat helai roti tawar. Sisanya hanyalah bahan-bahan pelengkap seperti mentega, susu, gula, kopi, dan beberapa butir bawang putih. Santi berpikir sejenak, dia menggumamkan sesuatu.

“kita harus mencari persediaan makanan.”

Kini gading, bayu, dan santi berkumpul di ruang utama, mayat sandi telah dibuang keluar lewat balkon. Bayu lega, walaupun bau amis darahnya masih kuat tercium, setidaknya mayat itu telah tidak ada.

“mungkin para orang gila itu tidak dapat melukai kita di sini, tapi tanpa makanan dan minuman kita akan mati juga. Yang kita lakukan sekarang adalah menunggu... menunggu pemerintah melakukan sesuatu, selama menunggu kita sangat membutuhkan persediaan makanan, dan itu tidak jatuh dari langit.” Santi berpidato.

“lalu apa idemu?”

“kita keluar dan mencari persediaan makanan, kalian pasti tahu, ada indomart di dekat gerbang komplek, kita bisa mengambil persediaan kita disana.”

“aku tidak mau... aku tidak mau keluar...” Gading merengek.

“apa kau mau mati kelaparan di sini?” Tidak ada yang mau mati, gading takut mati, bayu belum ingin mati, santi tentu saja sang pencetus ide itu tidak berniat mati.   

“tapi di luar sana, kemungkinan untuk mati pun besar...” Bayu berkomentar.

“ya... tapi aku lebih memilih mati memperjuangkan hidup daripada hidup menunggu mati.”

***

Membunuh atau dibunuh, adalah pilihan bayu jika menghadapi para manusia rabies itu karena mereka tidak bisa diajak berbicara, satu - satunya jawaban yang kau dapat dari mereka saat kau mencoba mengajaknya bicara adalah erangan dan teriakan. Tapi tindakan tidak semudah kata-kata yang terucap. Membunuh adalah perkara yang besar bagi bayu yang lemah lembut dan sedikit penakut. Dia orang yang penuh dengan kasih, melihat seorang anak kecil mengemis di jalanan, dia akan merasa kasihan, melihat seorang bapak tua di pinggir jalan mendorong gerobak sampah, dia akan merasa kasihan, melihat seorang yang memiliki kekurangan fisik diejek, dia akan merasa kasihan. Perasaannya akan tersentuh jika melihat semua itu, dia selalu membatin ingin melakukan sesuatu, walaupun dia tidak pernah benar-benar melakukan apapun untuk mereka.

Suatu waktu, saat dia berumur sekitar 9 tahun, bayu sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, merasa terganggu dengan suara anak-anak ayam yang bergerombol mengikuti induknya, bayu segera mengambil parang dan melemparkannya ke gerombolan anak ayam tersebut, satu anak ayam terkapar mati, sementara induk dan anak ayam lainnya berhamburan lari dari halaman rumah bayu. Ada perasaan menyesal ketika melihat anak ayam tersebut menggelepar menyambut ajal, bayu menatap bangkai anak ayam itu, dan hatinya sakit. Untuk menghilangkan rasa sakitnya bayu menguburkan si anak ayam dan berdoa untuknya, sambil terus bergumam bahwa dia menyesal. Seperti halnya ketika tanpa sengaja dia menendang kemaluan temannya ketika mereka bertengkar waktu kelas 5 SD. Bayu tidak ingat apa permasalahannya sehingga mereka berkelahi, reflek bayu menendang benda yang ada di selangkangannya itu, alhasil dia pun menangis sejadi-jadinya, bayu dimarahi kepala sekolah, perasaan sakit itu kembali hadir.

Kini rasa sakit itu kembali muncul, walau perasaan itu bercampur aduk dengan rasa takut, hal itu menjadi lebih sakit. Tangan kanan bayu menggengam erat pemukul basebal yang kini berlumuran darah, tubuhnya bergetar hebat, masih terekam dengan jelas beberapa menit lalu wajah manusia rabies yang kepalanya bayu hantam dengan pemukul basebal itu. Aku tidak bisa melakukan ini... batin bayu. Sementara itu santi dan gading sibuk memasukan berbagai benda ke dalam ransel dan koper yang mereka bawa. Gading mengambil mie instan sebanyak mungkin, makanan kaleng, dan segala jenis benda yang dapat dimakan. Santi mengumpulkan air minum dan segala jenis minuman yang ada. Bayu bertugas menjaga pintu masuk.

“Ada empat manusia rabies mendekat!”

“Tahan mereka! sebentar lagi kita selesai!”

Bayu memasang kuda-kuda, tidak ada pilihan lain, “aku belum ingin mati, maafkan aku” batin bayu. Sambil menutup mata, dia mengayunkan sekuat mungkin pemukul basebal itu ke arah manusia rabies terdepan. Beruntung, serangan bayu tepat sasaran dan berhasil menghancurkan rahang manusia rabies itu, dia terlempar beberapa meter dan mendarat di selokan pinggir jalan. Bayu tidak sempat menyerang yang kedua, jadi dia menghindar. Dia menendang perut manusia rabies yang ketiga untuk membuat jarak lalu menghantam batok kepalanya. Walau mereka bodoh, kekuatan dan kecepatan mereka sungguh luar biasa, dua manusia rabies yang tersisa dapat dengan mudah menjatuhkan bayu, pemukul basebal yang menjadi senjatanya terlempar jauh, kini dia ditindih dua makhluk yang lapar akan dagingnya, tenaga bayu telah habis. Kemudian, sebuah tendangan melemparkan satu manusia rabies dari atas tubuh bayu, dan satu lagi terkapar dengan golok menancap di kepalanya. Darah mengucur ke badan bayu.

“ayo bangun!” santi menarik tangannya. “kau digigit?”

“tidak!” jawab bayu tegas. Santi memeriksa badan bayu, dan tidak mendapati satu pun luka gigitan.

“bagus..”

“memangnya apa yang akan kau lakukan jika aku digigit?”

“aku tidak punya pilihan lain...” santi tidak meneruskan kata-katanya, bayu termenung memikirkan kemungkinan kelanjutan kata-kata santi, dan tersentak dengan kesimpulannya sendiri. “kau pun harus melakukan hal yang sama jika itu terjadi padaku.” Santi menebas kepala manusia rabies yang tadi ditendangnya.

Sejauh ini mereka berhasil tidak menarik perhatian banyak manusia rabies, walau gading dan bayu harus terengah-engah mengikuti instruksi santi melompati pagar berbagai rumah. Keduanya mulai berpikir bahwa tubuh fit sangat diperlukan dalam situasi ini. Gading yang seorang desaigner grafis, menghabiskan hampir sembilan jam duduk di depan komputer, tidak pernah sedikitpun dia berolahraga. Bayu pun tak berbeda, sudah beberapa bulan ini dia ikut pelatihan dari pagi sampai sore, pelatihan cukup menguras otak dan membuatnya letih secara mental dan fisik.

“santi, aku tidak kuat lagi...” gading yang membawa dua ransel menjatuhkan dirinya di atas aspal. Keringat bercucuran, nafasnya memburu tak beraturan. Sementara itu di belakang mereka nampak lima manusia rabies mengejar.

“santi...” bayu menunjuk ke arah depan. Rupanya ada empat manusia rabies lain di depan yang juga sadar akan keberadaan mereka. Santi melihat sekeliling, dia melihat pagar rumah yang terbuat dari tembok setinggi dua meter di samping kanan mereka. sebuah sungai selebar satu meter memisahkan jalan komplek dan pagar tersebut. Santi yakin dia dapat melompati sungai dan memanjat pagar tersebut dengan mudah, tapi tidak dengan bayu dan gading, terutama sambil membawa ransel yang sangat berat.

Santi melirik ke kiri, sebuah lapangan basket dikelilingi pagar kawat yang sangat tinggi, tapi ada sebuah celah cukup untuk mereka masuk, namun itu bukan ide bagus karena ada sektiar tujuh manusia rabies di lapangan tersebut, mereka terjebak.

“sepertinya kita harus menghajar mereka..”

“tenagaku sudah habis...”

“aku tidak kuat lagi...”

Santi menghunus golok, ransel dan koper dia letakkan di jalan, kedua barang itu hanya akan mengganggu pergerakannya. Bayu tidak lagi mampu memegang erat pemukul basebal, telapak tangannya terasa sakit, paling banyak dia hanya bisa melakukan dua atau tiga serangan lagi. Gading yang memang tidak memegang senjata apapun memegang erat kedua ranselnya, setidaknya ransel itu dapat dia jadikan tameng untuk pertahanan diri.

Mereka semakin dekat, jantung bayu dan gading berdetak semakin cepat, keringat membanjiri tubuh mereka. bayangan kematian menghantui keduanya dan mengganggu konsentrasi mereka, bayu bahkan tidak mencium bau pesing dari celana gading yang sudah dari tadi terkencing-kencing ketakutan.

“apa yang ada setelah kematian?” santi tiba-tiba bertanya.

“apa?” bayu terkejut.

“apakah surga dan neraka itu benar-benar ada?”

“apa yang kau bicarakan dalam keadaan seperti ini?”

“hanya memastikan... mungkin kita tidak akan selamat.”

“sial...” bayu mendengus. Pertanyaan santi hanya membuat pikirannya makin kacau, dia tidak ingin hidupnya berakhir di sini, oh tuhan... tolong berikan aku kekuatan!

CRASS... sebuah belati yang dilempar santi menancap di wajah salah satu manusia rabies dan membuatnya ambruk. Santi sangat terampil menggunakan senjata, gerakannya dalam mengayunkan golok begitu indah, terlihat seperti seorang wanita yang sedang menari, tapi sangat mematikan, dua manusia rabies lainnya rubuh dengan leher hampir putus. Bayu segera bergabung dan menghantam batok kepala manusia rabies terakhir. Telapak tangannya berdenyut makin keras, tangannya sudah mencapai batas.

Kini tinggal lima manusia rabies yang tersisa, Santi mungkin bisa menghabisi tiga, dan bayu masih bisa menghajar dua. Santi menerjang dua manusia rabies terdepan, ayunan goloknya menebas leher satu manusia rabies, tapi tebasannya kurang dalam dan tidak cukup untuk membunuhnya, manusia rabies tersebut berhasil mendorong santi hingga ia terperosok ke sungai di pinggir jalan. Bayu segera menghantam salah satunya dari belakang, menghancurkan batok kepalanya dan gading menusukan belati yang dilenpar santi tadi ke leher manusia rabies yang satunya. Namun kini mereka terpojok, tiga manusia rabies mengurung bayu, Gading dan santi yang masih berada di sungai.

“Santi ayo bangun!” Santi mencoba bangkit tapi dia terjatuh kembali.

“Kakiku terkilir!” Matilah kita, pekik bayu. Dia tidak bisa menghadapi tiga sekaligus, sementara itu tangannya sudah sangat terasa sakit. dia melihat mata gading, keputusasaan juga terlihat di matanya, wajahnya seakan-akan berkata “kita akan benar-benar mati!”

Dari kejauhan, deru mesin mobil terdengar nyaring mendatangi mereka, sebuah mobil kijang berwarna silver melaju kencang lurus ke arah gading dan bayu sambil membunyikan klakson senyaring-nyaringnya. Bayu segera menarik gading untuk melompat ke sungai, mobil tersebut menabrak ketiga manusia rabies yang mengurung mereka, dan menyeretnya sampai mobil tersebut menabrak tiang listrik. Dentuman terdengar membahana di sekitar komplek, suara klakson mobil tersebut terus berbunyi tanpa henti. Tak selang beberapa saat kemudian seorang laki-laki paruh baya berbadan tegap keluar dari mobil tersebut, sambil membawa sebuah ransel di punggungnya. Dia melambaikan tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar