Kamis, 06 Maret 2014

Renungan part 14 (Mayoritas vs Minoritas)

Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita yang cukup heboh, yaitu pelarangan jilbab bagi siswi di beberapa sekolah negeri di Bali. Banyak pihak yang angkat bicara, terutama para tokoh-tokoh islam, bahkan sampai komnas HAM angkat bicara. Semua itu menjadi berita dari berbagai berita di media masa online.Intinya, tindakan pelarangan (yang terselubung) itu sungguh tidak dapat diterima, karena memakai jilbab itu hak asasi manusia dalam mempraktekan ajaran agamanya. oleh karena itu, menurutku, sebagai negeri yang majemuk tidaklah bijaksana bagi otoritas apapun yang menyangkut kehidupan khalayak ramai untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan satu golongan masyarakat, walaupun golongan itu minoritas (Islam di Bali itu minoritas). Pihak-pihak seperti itu adalah bukti dari masyarakat yang tidak toleran.

Lain Bali lain pula yang terjadi di Padang, di Padang ada peraturan bahwa setiap siswi muslim di sekolah negeri wajib memakai baju yang menutup aurat (jilbab tentunya termasuk), jika diperhatikan sepintas kebijakan ini memang tidak salah, bahkan sangat bagus, karena dapat membiasakan siswi-siswi untuk menggunakan jilbab dan pakaian yang menutup aurat. Terlebih lagi, tidak ada media massa yang memberitakan penolakan akan kebijakan ini. Tapi menurutku, hal ini pun bisa bermasalah, mari kita perhatikan lagi, tentunya ada sebagian kecil (minoritas) siswi yang non muslim bersekolah di sekolah negeri karena sekolah itu terbuka untuk semua siswa-siswi tanpa memandang latar belakang agama. Bagaimanakah dengan mereka? jawabannya sederhana, mereka tidak dikenai peraturan itu, tapi dampak psikologisnya menurutku tidak sederhana, coba anda bayangkan anda bersekolah dimana siswanya mayoritas beragama kristen, lalu setiap hari siswinya memakai pakaian khas suster-suster kristen, belum lagi tiap sabtu mungkin ada misa yang diadakan sekolah, dan perayaan hari-hari besar agama kristen karena mayoritas guru dan kepala sekolahnya kristen, tapi itu bukan sekolah kristen. Jujur, saya sebagai orang muslim, pasti tidak betah, dan orang tuaku pun pasti tidak betah karena takut saya akan terpengaruh. Atau mungkin jadinya pemaksaan terselubung pada non muslim untuk memakai jilbab, seperti yang terjadi di Bali (sepertinya).

Sebenarnya kebijakan itu pun ada di Kabupaten tempatku dilahirkan, sejak munculnya Instruksi Bupati Sukabumi Nomor 4 Tahun 2004 tentang pemakaian Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi, banyak sekolah yang mewajibkan pakaian yang menutup aurat dan jilbab tentunya, ketika pertama kali melihat fenomena ini, saya sempat berpikir kira-kira nasib orang-orang kristen seperti apa ya? Sepertinya harus ada penelitian mendalam akan dampak perda ini pada penduduk non muslim di Sukabumi.

Menyikapi hal ini, aku teringat dengan salah satu cerita dalam ceramah almarhum Ustadz Zainuddin M.Z. yang selalu diputar teman kosanku di laptopnya menjelang tidur (kebiasaan yang aneh).

Suatu waktu di zaman khalifah Umar bin Khattab, ada seorang Yahudi yang rumahnya digusur oleh gubernur Mesir Amr bin Ash. Rencananya, tanah dimana rumah itu berdiri akan menjadi bagian dari pembangunan mesjid, tapi setelah Amr bin Ash menawar untuk membelinya bahkan dengan harga berkali-kali lipat,  si yahudi tetap menolak. Maka digusurlah rumahnya oleh Amr bin Ash. merasa tidak terima, si yahudi pun mengadu pada khalifah Umar bin Khattab. Dari khalifah, si yahudi hanya disuruh memberikan sebuah tulang yang digoresi huruf alif dengan pedang khalifah. Dengan ragu si yahudi pun kembali dan menyerahkan tulang itu pada Amr bin Ash. Mendapat pesan tersebut, bergetarlah Amr bin Ash dan segera memerintahkan pekerja untuk meruntuhkan bangunan masjid yang hampir jadi itu, dan membangun kembali rumah si yahudi.
Merasa heran, si yahudi pun bertanya-tanya, apa sebenarnya makna tulang yang diberikan khalifah itu. dia berkata "Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan Gubernur berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”

Amr bin Ash memegang pundak si yahudi, “tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”

“Tapi…..” sela si yahudi.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti. Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

Sungguh indah ajaran agamaku, hanya seringkali kita tidak menyadarinya dan kita terlalu sering terjebak dengan ritual ibadah tanpa memahami maknanya. Maka kesimpulanku adalah setiap kebijakan pemerintah harus dipikirkan baik buruknya untuk semua masyarakat tanpa memandang golongan. Walaupun mereka berbeda kulit dengan kita, walaupun mereka berbeda suku dengan kita, dan walaupun mereka berbeda agama dengan kita.  
   




    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar