Senin, 10 Agustus 2015

Renungan Part 44 (Mencintai yang Mahacinta)

Beberapa saat yang lalu aku menonton drama korea yang sangat menarik yang berjudul "School: 2015 Who Are You?". Drama yang cukup berbeda dari drama yang pernah kutonton ini menceritakan kehidupan remaja korea dalam menggapai kebahagiaan dalam menjalani hidup, dan dalam menggapai kebahagiaan itu cinta lah hal yang terpenting. Bukan cinta antar lawan jenis seperti drama korea yang pernah kutonton umumnya, tapi cinta dalam arti umum. Cinta orang tua pada anak, cinta guru pada murid, cinta antar teman, cinta antar manusia.

Menurut para ahli sufi, cinta dalam arti umum adalah sumber kebahagiaan. Sementara Harta hanyalah sarana mencapai Kebahagiaan itu, akan tetapi manusia sering salah memahami yang mana tujuan dan yang mana sarana. Banyak dari kita berpikir bahwa kita tidak bisa bahagia tanpa uang, karena tanpa uang kita tidak dapat mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita menaruh kebahagiaan kita dalam kegiatan mengkonsumsi, pada apa yang kita dapat (yang di zaman ini umumnya harus dibeli). Mana yang lebih membahagiakan? sebuah rumah sederhana tapi diisi dengan keluarga yang rukun, istri, suami, dan anak yang saling mencintai, ataukah sebuah rumah mewah yang besar tapi tak ada cinta di dalamnya, suami dan istri selalu bertengkar, si anak frustasi dan kurang kasih sayang. (Kalau dalam hati anda memilih opsi tiga, menurut saya anda masih berpikir bahwa uang yang membawa kebahagiaan LoL)

Tapi... kita sering  kecewa karena cinta. Ketika mencintai secara tulus, tapi orang lain ternyata mengkhianati? kita melakukan banyak hal demi suami, istri, sahabat, dan keluarga, tetapi mereka tidak membantu kita ketika kita dalam kesulitan. Atau seperti salah satu temanku yang bertanya tentang ketulusan cinta, Siapakah yang memiliki ketulusan cinta? jika teman berbuat baik karena ingin dibalas kebaikannya ketika butuh, jika suami berhenti mencintai karena istri tidak bisa menjadi yang dia mau, dan jika orang tua menuntut anak untuk membalas semua yang telah mereka berikan untuk membesarkannya. Pada akhirnya, kita terpuruk dan kecewa dengan semua balasan yang kita tidak dapatkan atas cinta yang kita berikan.

Kurasa disinilah masalahnya, Lagi-lagi kita berfokus pada apa yang kita dapat. Itu bukanlah cinta sejati, itu artinya kita hanya mementingkan diri kita sendiri. Cinta sejati tidaklah seperti itu, Jalaludin Rumi pernah berkata: "Cinta itu tak berhitung, bukan nalar. Nalar mengejar untung. Setelah pamrih tiada, cinta pertaruhkan semua, dan tak tuntut sesuatu apa." Mungkin yang selama ini kita rasakan bukanlah cinta, tapi nalar. Kita menghitung untung rugi dalam sesuatu yang kita sebut cinta. Oleh karena itu, rasanya benar pula Sujiwo Tejo ketika ia berkata bahwa cinta tak butuh pengorbanan, ketika kita merasa berkorban maka lunturlah esensi cinta itu, karena rasa pengorbanan adalah hasil kalkulasi untung rugi, bukan cinta.  

Mungkin dalam lubuk hati, kita bertanya adakah sesuatu yang begitu sempurna yang berhak mendapatkan cinta sejati itu? karena manusia penuh kerapuhan dan kelemahan, ketika kita memberikan cinta sejati kepadanya, rasanya hanya kekecewaan yang akan didapatkan. Maka dari itu para sufi mengajarkan untuk mencintai yang Mahacinta, yaitu zat yang memiliki cinta itu, Tuhan. Dia lah soulmate sejati manusia, yang tidak akan memberikan kekecewaan.

Dulu, aku tidak percaya dengan slogan "Mencintaimu karena Allah", tapi sekarang, aku melihat bahwa itulah jalan terbaik mencintai manusia. Apa yang akan anda lakukan pada benda milik orang yang anda cintai? menjaganya atau mungkin juga menyayanginya kan? Manusia adalah salah satu ciptaan-Nya, jika kita mencintai-Nya maka kita pun mencintai ciptaan-Nya. Disamping itu, Dengan mencintai karena Allah, kita terlepas dari pamrih. Kita tidak meminta balasan atas perbuatan baik kita pada orang lain, karena tujuan kita adalah Allah, bukan balasan. Itulah kenapa kita disunahkan mengawali segala sesuatu dengan bismillah, untuk meneguhkan hati kita bahwa yang akan kita lakukan adalah semata-mata untuk Allah, bukan yang lainnya. Tapi sayang... selama ini aku selalu berpikir bahwa bismillah adalah sarana untuk menggapai keberhasilan dalam mengerjakan sesuatu. Aku berfokus pada apa yang kudapat dan basmallah dapat membantuku, sungguh miris.

Aku berpikir, jika kita mampu mencintai karena Allah apa yang akan terjadi? Kita bisa menebar kebaikan, mencintai manusia tanpa pandang bulu, entah ia baik atau buruk. Karena seperti konsep yin dan yang, dalam kebaikan bisa saja ada keburukan dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang murni putih dan hitam. Bukankah setiap manusia itu memiliki percikan ilahi dalam hati mereka? Lalu, kita pun mencintai lingkungan kita, karena esensinya semua hal di dunia adalah ciptaan-Nya.

Dapatkah kita melakukannya? mencintai karena Allah? mungkin pertanyaannya bukan "dapatkah" tapi maukah kita berusaha mencapai tingkat itu? 
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar