Senin, 17 Agustus 2015

Renungan Part 45 (Sarjana)

gerardusseptiankalis.files.wordpress.com

Gelar sarjana merupakan sesuatu yang cukup wah, karena mendapatkannya tidaklah mudah, oleh karena itu ada orang yang bisa marah jika gelarnya tidak ditulis dalam kartu undangan atau dalam acara-acara tertentu. Titel Sarjana adalah tanda intelektualitas, karena hanya orang-orang yang memang pintar yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus. Di samping itu, Sarjana adalah simbol kebijkasanaan, seorang sarjana adalah orang yang pintar dan mengerti banyak hal, tak aneh dia dianggap sebagai seorang bijak. Mungkin yang paling beken saat ini adalah sarjana menjadi kunci perubahan nasib. Sebagaimana slogan yang sering kudengar dari barat, bahwa kita bisa memperbaiki nasib (keadaan ekonomi) dari masyarakat kelas bawah (miskin) menjadi masyarakat kelas atas (kaya) dengan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi. 

Mari kita merefleksi diri sejenak. Ketika SMA, aku mulai diperkenalkan dengan pilihan akan universitas yang ingin kuambil, selain itu lingkunganku mulai memberikan contoh dan nasihat tentang bagaimana pentingnya kuliah demi masa depan. Kesimpulan dari semua itu adalah sukses bisa dicapai dengan pendidikan tinggi dan menjadi pintar tentunya. Sukses dalam pikiranku berarti aku punya pekerjaan bonafit dengan gaji besar sehingga aku bisa memperbaiki hidup. Loh... memangnya aku miskin? tidak, cuma kurang bersyukur. Rasanya tidak salah kan kita ingin hidup sejahtera.... hidup lebih dari cukup. Intinya dalam kepalaku (atau mungkin kita semua) kita semangat kuliah demi mendapat kesuksesan itu. Kuliah demi mendapatkan kerja dengan penghasilan tinggi setelah lulus nanti. Memang banyak kasus seperti itu, from zero to hero karena pendidikan, mereka banyak diekspos di media, dan menjadi inspirasi. 

Karena kuliah dapat membuat kita sukses, maka permintaan masyarakat untuk bisa kuliah menjadi sangat tinggi. Dalam kacamata kapitalisme, ini adalah pasar yang sangat menguntungkan, oleh karena itulah kenapa biaya kuliah di Amerika itu mahal. Dia kan negara kapitalis... apa-apa di lihat dalam sudut pandang untung rugi. Jadilah pendidikan sebagai bisnis. Untuk membantu masyarakat yang kurang mampu maka dihadirkanlah pinjaman mahasiswa, kita dibayari uang kuliah yang nantinya harus kita bayar, dengan bunga sepertinya. Tak apa-apa.... pendidikan itu kan investasi masa depan, kita berhutang sekarang nanti kita bisa mendapat penghasilan lebih dari cukup untuk membayarnya. 

Atas dasar asumsi itu pula, bahwa sarjana memberikan pekerjaan berpenghasilan besar, banyak yang merasa miris membaca berita tentang banyaknya sarjana melamar jadi driver gojek beberapa waktu lalu. Menjadi tukang gojek tak perlu sekolah tinggi, cukup punya motor dan modal. bahkan lulusan SMA pun dapat melakukannya. Buat apa kuliah kalau akhir-akhirnya jadi tukang ojek juga, buat apa ilmu yang selama ini dipelajari dengan susah payah? ah... rasanya tak relevan... banyak temanku, dan mungkin juga temanmu yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Seorang lulusan Sastra bekerja sebagai teller bank misalnya. Lalu banyak pula perusahaan yang mencamtukan "lulusan S1 semua jurusan". Apa artinya itu? jadi kelimuanmu tak penting, dan yang penting adalah titelmu, begitu?

Dalam sudut pandang ekonomi, Titel Sarjana adalah nilai plus yang membuat kita memiliki nilai lebih sehingga kerja kita pantas dibayar lebih tinggi dari yang bukan sarjana. Jika non sarjana adalah kuli biasa, maka sarjana adalah kuli bersertifikat yang memiliki beberapa skill yang lebih baik dari kuli biasa. Tak aneh beberapa rekan guru yang pastinya sarjana kesal dengan tuntutan buruh yang umumnya bukan sarjana untuk menaikan gaji mereka. Masalahnya, gaji buruh itu sudah lebih besar dari gaji beberapa kalangan guru, seperti guru honorer dan guru di sekolah kecil atau sekolah pedalaman.      

Salah satu adik temanku pernah bertanya, "buat apa mahal-mahal kuliah ternyata dapet gajinya cuma segitu?"  Hm.... sedih... terutama ketika kita meniatkan kuliah demi pekerjaan dan penghasilan tinggi. Pada akhirnya para sarjana berkualitas akan berkumpul di tempat yang memberikan gaji besar. Dan yang tidak berkualitas, tahulah pada kemana... Sekolah di kampung sulit berkembang karena tidak mampu menggaji sarjana berkualitas. Sekolah di kota besar makin maju karena ada modal. Akhirnya.... yang miskin makin miskin, yang kaya tambah kaya. Dasar kapitalis!

Tak pentinglah... kaya miskin... Tuhan hanya melihat ketakwaan kan?

Lalu apa sebenarnya makna hakiki menjadi sarjana? Bagiku, sarjana adalah tanda bertambahnya pengetahuan akal dan kebijaksanaan hati. Seorang sarjana tidak hanya tahu dasar-dasar ilmu untuk menjadi kuli, atau menciptakan lapangan kuli, tapi juga untuk memahami hakikat diri dan dunia. Lebay memang, bisakah itu tercapai dalam lima tahun? batas masa studi mahasiswa sekarang? sepertinya tidak. Jadi yang besok mau diwisuda, sebenarnya belajarnya belum tuntas ya......


Tidak ada komentar:

Posting Komentar