Jumat, 18 September 2015

Renungan Part 49 (Menjadi Manusia)

karengately.files.wordpress.com

Sewaktu kecil, aku pernah mendengar ibuku berkata padaku dengan penuh harap "sing jadi jelema". Sebuah doa yang berarti semoga nanti menjadi orang (manusia). Jujur saja, saat itu aku kurang mengerti apa maksudnya menjadi orang dalam doanya, tapi menurut lingkunganku menjadi orang artinya menggapai kesuksesan, harta, tahta, dan mungkin juga wanita, menggapai kejayaan. Aku sempat berkelakar, kalau begitu apa aku saat itu? setengah orang? atau mungkin makhluk lain, dedemit, atau mungkin binatangkah? 

Hal ini, secara tidak langsung membawaku pada sebuah pertanyaan filsafat, yang menjadi salah satu pertanyaan sophie dalam novel dunia sophie, siapa aku? pertanyaan singkat yang jika direnungi sangat dalam maknanya. Ketika kita ditanya siapa kita, umumnya kita menghubungkan pertanyaan itu dengan identitas kita. aku Toni, aku orang sunda, aku muslim, aku orang indonesia, aku mahasiswa, aku guru, aku laki-laki, dan banyak embel-embel identitas yang bisa kita tempelkan pada diri kita untuk memahami siapa aku. Tapi, sepertinya itu bukan jawaban tepat dari pertanyaan siapa aku karena setiap identitas itu bisa berubah dan tidak tetap. Nama dapat diganti, agama dan pekerjaan dapat berubah, status sosial tidaklah kekal, bahkan di zaman sekarang jenis kelamin pun bisa dirubah. Jika aku lahir di tanah pasundan, apakah itu membuatku tidak bisa menjadi orang jawa? jika aku lahir di indonesia, bukankah aku bisa mengganti kewarganegaraanku? 

Jadi siapa aku? jika embel-embel identitas tidaklah pasti, jika mereka semua itu adalah ilusi. Ya, identitas adalah ilusi, dan bahkan dapat membawa petaka jika kita percaya ilusi itu nyata. Seorang budha myanmar melukai Muslim rohingya hanya karena mereka berbeda agama. Seorang laki-laki memperkosa wanita dengan dalih si wanita memakai pakaian seksi dan menyulut nafsu kelaki-lakiannya. Orang indonesia dan Malaysia saling menghina karena berbeda kewarganegaraan. Laki-laki jawa jangan menikahi Wanita sunda hanya karena watak bawaan suku. Padahal jika kita tarik satu benang lurus dari semua itu, apalah bedanya muslim dan budha, kedua-duanya sama-sama makhluk biologis yang memliki ciri fisik sama, organ tubuh yang sama, memiliki kerinduan yang sama akan hidup damai dan penuh kasih. Yang membedakan hanyalah konsep identitas yang kita anut. Padahal sejatinya kita semua makhluk ciptaan Allah.

Menjadi manusia bagiku adalah melepas identitas. Seperti seorang sufi yang diceritakan dalam novel tentang Syekh Siti Jenar. Sang sufi selalu bergaul dengan pelacur, dan dianggap sebagai seorang pendosa oleh masyarakat umum. Syekh Siti Jenar berkata dia adalah kekasih Allah, tapi bagaimana mungkin orang yang setiap hari bergaul dengan pelacur itu kekasih Allah? dia pastinya hanya seorang lelaki pengumbar nafsu, tanya muridnya. Jenis kelamin itu tidak relevan baginya, sehingga kalaupun dia berada dalam satu ruangan dengan beberapa wanita cantik jelita yang telanjang, kesuciannya tidak akan pernah ternoda, jawab Syekh Siti Jenar. Sang sufi adalah manusia yang telah melepas identitasnya sebagai lelaki, berikut embel-embel kelaki-lakiannya. Oleh karena itu Cak Nun pernah mengajak jemaah maiyahan untuk menjadi manusia dulu sebelum menjadi laki-laki atau perempuan. Sehingga tidaklah perlu hijab yang memisahkan laki-laki dan perempuan, karena sang lelaki tidak melihat wanita dalam balutan nafsu kelaki-lakiannya, tapi melihat mereka sebagai sesama manusia, sama seperti dirinya. Kelebihan manusia adalah akal dan nurani, seorang manusia tidak akan menyakiti orang lain karena itu berlawanan dengan nurani yang memiliki percikan Ilahi. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang menyadari kemanusiaannya tidak akan berbuat buruk pada wanita lain sekalipun wanita itu memakai pakaian seksi, karena ia sadar, perbuatan buruk itu berlawanan dengan  nuraninya. 

Jadi siapa aku? aku hanyalah seorang hamba Allah, dari milyaran hamba lainnya. Tugasku adalah mendekati-Nya, menggapai kemanusiaan yang hakiki. Dalam tradisi Zen, hal ini disebut dengan menyadari jati diri sejati kita. Oleh karena itu, mari sama-sama berusaha menjadi manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar