Rabu, 21 Januari 2015

Renungan Part 30 (Geography of Bliss: Swiss)

Eric Weiner

Eric Weiner sepertinya tidak senang dengan sebab kebahagiaan orang Belanda, tidak juga aku. Tapi kurasa perlu digarisbawahi bahwa dalam penelitian kebahagiaan yang mengunakan cara wawancara tatap muka langsung, orang terkadang melebih-lebihkan keadaan mereka. Manusia cenderung mengatakan dirinya bahagia, walau sebenarnya tidak, kita senang berbohong untuk membuat orang lain terkesan, iya kan? atau mungkin pikiran kita menipu, kita pikir kita bahagia padahal tidak. Jadi seberapa akurat hasil wawancara itu? jadi ada kemungkinan orang Belanda pun hanya melebih-lebihkan keadaan mereka setelah mereka bermalam bersama pelacur dan teler dengan ganja.

Swiss
Tujuan berikutnya Weiner adalah negara Swiss, negara ini termasuk negara yang paling tinggi tingkat kebahagiaannya, menurut World Database of Happiness. Swiss termasuk negara yang kaya, dan warganya sejahtera, kurasa itu modal yang cukup untuk menjadi bahagia. Toilet umum mereka bersih, sangat bersih, kurasa aku bisa menghabiskan sarapanku di toilet Swiss, dan jadwal kereta mereka adalah satu-satunya di dunia yang dapat membuat kereta Jerman, yang terkenal tepat waktu, kedodoran. Oke, itu lebih dari cukup untuk menjadi Bahagia kan? 

Tapi di samping itu, Orang Swiss merupakan orang yang tidak pandai berterus terang, mereka pendiam. Bahkan mungkin jika baju anda terbakar, dan anda tidak mengetahuinya, mereka tidak akan menegur anda untuk memberitahu itu, mengatakannya akan dianggap menghina, seperti secara tidak langsung mengatakan anda bodoh. Mereka tidak suka itu. "iya saya tahu baju saya terbakar, terimakasih saya bisa merasakannya kok, kau lihat ini, namanya kulit, berfungsi untuk merasa dari yang halus sampai yang panas, terutama api, kau pikir aku bodoh?" kurasa seperti itu jawaban yang dipikirkan oleh orang swiss jika ingin menegur seseorang. 

Menurut seorang warga Swiss, mereka tidak punya selera humor. Berarti mereka adalah sekumpulan orang berwajah serius. Dan ada banyak peraturan di sana. Contohnya, anda tidak boleh memotong rumput halaman atau mengibaskan karpet pada hari minggu. Tidak boleh menggantung cucian anda di balkon pada hari apa saja. Atau anda tidak boleh menyiram toilet setelah jam 10 malam, apa? lalu apa yang harus kulakukan dengan tinjaku jika aku buang air tengah malam? aku sepertinya tidak akan betah di sana. 

Oke, jadi apa yang sebenarnya membuat orang Swiss bahagia? Weiner mengajukan pertanyaan yang dijawab seorang warga Swiss dengan "Rasa iri". Orang Swiss selalu berusaha untuk tidak menimbulkan rasa iri. Orang swiss tidak suka berbicara masalah uang, mereka lebih senang membicarakan kutil di kemaluan mereka daripada membicarakan berapa banyak penghasilan mereka. Aneh, mengetahui bahwa mereka terkenal dengan banknya, yang tak lain tempat menyimpan uang. Gaya orang amerika, menurut Weiner, adalah: anda punya, pamerkan. Sementara bagi orang Swiss: anda punya, sembunyikan. Bagaimana dengan gaya indonesia? kurasa melihat facebook bisa jadi salah satu jawabannya karena negara kita termasuk pengguna facebook yang terbesar, berapa persen orang yang senang pamer di statusnya? pamer makanan, pamer tamasya, pamer pekerjaan, pamer pasangan, pamer apalagi? pantas jika berlama lama membuka facebook serasa sedih rasanya. Aku iri dengan mereka yang dalam status Facebook mengatakan semoga sehat jabang bayi dalam perut istrinya, atau betapa bersyukurnya telah melewati hari yang sibuk dengan pekerjaan, atau betapa luar biasanya perasaan menjadi penerima beasiswa. Aku iri dengan foto orang lain yang melancong ke tempat A atau B, yang pastinya tidak murah. Ah.... aku sedih memikirkan hal-hal yang tak kumiliki itu.  

Hal lain yang membuat orang Swiss bahagia adalah karena mereka dekat dengan alam. Pantas kota-kota di Swiss begitu hijau dan indah, tak percaya? coba cek di internet jika anda tidak punya uang untuk mengunjunginya langsung. Semua orang pun pasti tidak menyangkal bahwa pemandangan alam yang indah dapat menenangkan hati, tak aneh jika mereka bahagia. Mari kita bandingkan dua foto ini.


Apa yang anda rasakan ketika melihat gambar di atas? sungai yang jernih, bangunan yang rapi, serta ruang hijau yang indah bukan? itu salah satu sudut di kota Bern, ibukota Swiss. 



Bagaimana dengan yang ini? ini adalah kali ciliwung di jakarta, ibukota Indonesia. Kubayangkan diriku tinggal di salah satu rumah itu, sore hari setelah bekerja keras dari pagi dan pulang dengan uang yang hanya pas untuk makan, aku menuju balkon belakang rumahku, jika memang itu bisa disebut balkon. ingin kurebahkan tubuh dan menikmati sungai ciliwung, tapi sampah dan segala kekumuhan itu membuat kopiku semakin pahit, rokokku semakin sepet, hidupku semakin merana. Berbeda dengan kota-kota di swiss.

Ah... aku sedih memikirkan hal-hal yang tak dimiliki negara ini....

Satu hal yang menarik dari Swiss, meskipun mereka cenderung pendiam, ternyata mereka saling percaya. anda dapat memesan kamar hotel tanpa memberi nomor kartu kredit. anda dapat memompa bensin tanpa membayar terlebih dahulu. anda dapat makan makanan yang di sediakan di penginapan-penginapan di pegunungan Alpen, dan meninggalkan uang disana. mereka percaya anda tidak akan DARMAJI (dahar lima mayar hiji: makannya lima bayarnya satu). menurut seorang peneliti, kepercayaan merupakan dasar utama hubungan yang bahagia. Pantas mereka semua mengaku bahagia, tak ada alasan untuk tidak. 

still to be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar