Kamis, 08 Januari 2015

Renungan Part 28 (Max Havelaar: ke-aku-an seorang Multatuli)

Semenjak aku SD, aku telah mengenal nama Douwes Dekker. Hal ini disebabkan nama itu muncul di buku pelajaran sejarah, dan dia pun muncul di pertanyaan ujian mata pelajaran sejarah. Ketika aku SMP, nama itu muncul kembali, bahkan ketika SMA, aku tetap masih melihat nama itu di buku pelajaran atau di salah satu option pilihan ganda di soal pelajaran Sejarah. Sebegitu pentingnya kah jasa orang Belanda ini bagi bangsa Indonesia sehingga selalu ada di  buku sejarah di tiap tingkat pendidikan? 

Sebenarnya ada dua orang berbeda dalam buku mata pelajaran sejarahku yang memiliki nama belakang sama, Douwes Dekker. Yang pertama adalah Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Seorang keturunan Belanda yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan Pahlawan Nasional kita. Dia adalah salah satu dari tiga serangkai pejuang kemerdekaan yang terkenal. Ternyata, tokoh kita yang pertama ini adalah cucu dari adik tokoh berikutnya, yaitu Eduard Douwes Dekker. Dia terkenal dengan nama pena Multatuli, sang penulis buku Max Havelaar yang fenomenal, sebuah buku yang katanya membuka mata pemerintahan Belanda akan penderitaan rakyat pribumi di Hindia Belanda (Indonesia). Dari kecil aku menganggap bahwa Multatuli adalah orang yang sangat berjasa pada Indonesia lewat bukunya itu. 

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan buku Max Havelaar itu di rak sebuah toko buku, tanpa ragu akupun segera membelinya. Dipenuhi rasa penasaran dan antusiasme tinggi, aku membaca lembar demi lembar buku yang ternyata sebuah novel itu. Ekspektasiku adalah Multatuli akan membeberkan kebejatan Belanda dalam mengeksploitasi kekayaan negeri ini, tapi  kesan pertama yang kudapat setelah menyelesaikannya adalah Orang Pribumi yang mendapatkan jabatan sebagai bupati di Indonesia, lebih kejam dari Pemerintah Kolonial Belanda itu sendiri. Oke, ini cukup mengejutkan, dan sulit dipercaya. Maksudku, novel itu menceritakan bagaimana tokoh Max Havelaar, seorang asisten residen Lebak, yang berjuang melawan kesewenang-wenangan Bupati Lebak, yang merupakan orang pribumi dan seorang raja di banten, terhadap rakyat Lebak. Satu-satunya kesalahan Belanda dalam Novel itu adalah membiarkan kelakuan Bupati tersebut karena menyenangkannya akan menguntungkan Pemerintahan Belanda. Sementara itu Max Havelaar digambarkan sebagai pejuang keadilan yang begitu idealis, bahkan sampai lebih memilih dipecat daripada mengikuti perintah atasannya yang tidak percaya dengan semua laporan Havelaar akan kebejatan bupati.

Oke, itu hanya sebuah novel, cerita fiktif. Tapi sejak buku itu diterbitkan, sudah banyak polemik akan kebenaran isi cerita tersebut. Apakah Havelaar adalah Douwes Dekker sendiri, dan cerita itu adalah pengalaman pribadi si penulis selama menjabat sebagai asisten residen Lebak? Jika anda menonton film adaptasi novel tersebut (film itu ada) anda akan melihat bahwa bupati lebak digambarkan sebagai orang yang sangat buruk, orang yang senang memeras rakyat, berpesta pora, dan menyalahgunakan kekuasaan.

Menurut Prof. Veth, guru besar di Leiden, sebagaimana yang dikutip oleh D.A. Peransi dalam tulisannya, buku itu bukan roman karena nilai sastranya hanya embel-embel, bukan pula biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah. Bahkan Prof. Buys menandaskan bahwa Multatuli hanya mengagungkan dirinya daripada "berkaitan" dengan orang jawa. J. Saks dalam karangannya, Lebak, menekankan bahwa buku Max Havelaar bukan sejarah akan tetapi sebuah pembelaan, bahkan suatu pembelaan untuk diri sendiri. Kenapa Douwes Dekker begitu membenci Bupati lebak? Swath Abrahamsz kemenakannya sendiri yang seorang dokter, menulis bahwa Douwes Dekker itu mengidap “neuruasthenie”, yakni sebuah gangguan kejiwaan yang ditandai oleh perasaan keakuan yang kuat dan ketidakmampuan mengendalikan emosi. Di daerah Lebak dimana bupati dianggap raja oleh rakyatnya, ke-aku-an Douwes Dekker terusik, karena seharusnya hanya ada satu aku di Lebak, yaitu Douwes Dekker.

Egonya yang begitu besar membuatnya naik pitam ketika Kern, seorang ahli linguistik dan Quack, seorang ekonom, setelah Max Havelaar terbit menghimbau orang Belanda untuk lebih memperhatikan nasib orang Jawa. Kern dan Quack dibencinya karena mereka menitikberatkan pada “nasib orang Jawa” dan bukan pada “pembela orang Jawa”, yaitu Douwes Dekker (Multatuli) sendiri.

Aku tidak ingin berkata bahwa tiap pejabat pribumi pasti baik dan tidak ada yang menyalahgunakan wewenangnya, tapi aku pun tidak menerima penggambaran Multatuli dalam novelnya tentang pejabat pribumi dan dosa orang Belanda yang sepertinya disamarkan, dan akupun tidak mempermasalahkan kemungkinan bahwa cerita novel itu adalah curahan hati kesal penulis yang ke-aku-annya terluka. Terlepas dari polemik kebenaran isi cerita buku tersebut, aku menganggap itu hanya sebuah cerita yang memiliki nilai yang bisa dipelajari. 

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar