Senin, 22 Agustus 2016

Renungan Part 68 (Hidup Yang Terjamin?)

www.lifehack.org

Ingatan beberapa tahun yang lalu itu seakan masih baru, ribuan orang berjejalan dalam antrian yang meliuk bak seekor ular raksasa. Peluh bergelantung di dagu dan sesekali diusap oleh tisu, pegal memaksa beberapa orang menggerakan kaki, tak lupa untuk tetap memegang erat map yang dibawa. Beberapa mengobrol dan bercanda, tertawa lepas, menandakan mereka adalah teman akrab, mungkin mereka berasal dari sekolah yang sama, dan sama-sama mencoba peruntungan untuk kehidupan yang terjamin. Seperti diriku.... Sekolah milik pemerintah itu memang terkenal karena memiliki ikatan dinas, menjamin lulusannya pasti bekerja di instansi pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Bisa masuk ke sekolah itu adalah kunci menuju hidup yang terjamin, tidak perlu khawatir mencari pekerjaan, takut gaji kecil, dan takut tak mendapat uang pensiunan. Bahkan salah satu kenalanku, mendapat lebih dari sekedar hidup terjamin, ia bisa membeli mobil hanya setelah setahun lulus dari sana. Sungguh menggiurkan.
 
Kita hidup dihantui oleh kecemasan akan masa depan, membuat kita berusaha sekuat mungkin mencari penjamin hidup kita agar tetap bahagia. Jika dulu kita merasa terjamin ketika besok kita sudah tahu pasti bisa makan, zaman sekarang kita merasa terjamin ketika besok sudah tahu pasti bisa makan, punya calon pasangan, punya uang tabungan untuk berlibur, membiayai sekolah anak, dan biaya pengobatan kala sakit. Semakin hari, daftar syarat hidup terjamin sepertinya semakin bertambah, dan bertambah pula daftar hal yang harus dicemaskan tiap harinya. 
 
Aku teringat dua bulan lalu, di sebuah reuni, temanku berkomentar bahwa aku sangat gemuk berbeda dengan dulu yang kurus. Kujawab dengan bercanda bahwa aku bahagia menikmati hidup, makanya aku gemuk. Lalu teman lainnya berkomentar "memangnya nanti tua sudah pasti terjamin hidupnya? berani sekali bilang bahagia dan menikmati hidup." aku hanya tersenyum kepadanya. Kenapa kita harus menunggu hidup terjamin untuk bahagia? hatiku bertanya. Apakah benar hidup kita sekarang belum terjamin? dan apakah yang hidupnya terjamin pasti bahagia?
 
Masalah kebahagiaan sepertinya sudah kuputuskan bahwa ia adalah sesuatu yang datang dari dalam diri kita, bukan keadaan di luar yang mampu membuat kita bahagia, namun bagaimana respon kita terhadap dunialah yang membuat kita bahagia. Bahagia itu pilihan. Lalu bagaimana kekhawatiran akan hidup di masa depan? Sungguh aku malu... sebagai orang muslim yang mengakunya percaya pada Allah dan Al-Quran, aku merasa kekhawatiran apakah besok hidupku terjamin atau tidak adalah sebuah kemusyrikan. Gus Mus dengan lembut mengingatkanku, bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah telah menjamin rezeki setiap makhluknya. Lalu kenapa aku masih takut dan khawatir, ketika Allah sudah menjanjikan itu di al-Quran?      

“…… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya” (Surah Hud, ayat 6). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar