Senin, 22 Agustus 2016

Renungan Part 67 (Sudah Merdeka kah Kita?)

http://67.media.tumblr.com

Menjelang 17 Agustus, hampir semua bangunan semarak dengan umbul-umbul dan atribut bernuansa merah putih. Semua orang menyambut hari kemerdekaan bangsa Indonesia, hari dimana bangsa ini terbebas dari belenggu penjajah yang menyengsarakan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Setelah puluhan tahun mengecap kemerdekaan, apa yang kita pahami tentang kemerdekaan ini? apakah kita memang sudah benar-benar terbebas dari belenggu yang menyengsarakan hidup kita?

Kata merdeka sangat identik dengan kebebasan, dan negara Amerika adalah kiblat dari negara bebas, demokrasi dan merdeka. Tapi sayang, kita biasanya terjebak dengan makna kebebasan impor yang semu ini. Kita berpikir bebas adalah tidak banyak aturan yang menjengkelkan, bebas adalah kita bisa melakukan semua yang diinginkan, dan mendapatkan semua yang diinginkan; seperti halnya "American Dream". Tapi sayang, kebebasan tidak ditandai oleh hilangnya sekat aturan yang mengekang, juga bukan oleh runtuhnya dinding pembatas di sekitar kita.

Biksu terkenal Ajahn Brahm, dalam bukunya cacing dan kotoran kesayangannya bercerita tentang makna kebebasan. Suatu waktu ia menjadi penasihat spiritual bagi narapidana di sebuah penjara, lalu ia terlibat percakapan dengan beberapa narapidana yang mengeluhkan betapa tidak enaknya hidup di penjara. Kemudian Ajahn bertanya. "berapa kali kalian makan di sini?" para narapidana menjawab 3 kali, ajahn lalu bertanya kembali "apakah kalian tidur memakai kasur?" para narapidana mengangguk. Kemudian Ajahn berkata "kalian tahu... para biksu di biara kami, hanya makan sekali sehari, dan tidur hanya beralaskan tikar." seorang narapidana pun menyahut. "wah kalau begitu kamu tinggal saja dengan kami di sini, di penjara lebih baik." Ajahn menjawab "Itulah perbedaannya, walau penjara lebih enak dari biara, tapi tidak ada biksu yang mengeluh dan ingin segera keluar dari biara, tidak seperti kalian."

Nilai yang tersirat dari pengalaman Ajahn adalah kebebasan itu soal hati dan pikiran, bukan tempatnya yang membuat kita merasa terkurung, tapi karena hati dan pikiran kita tidak ingin berada di situ karena merasa kita tidak bisa melakukan apa yang kita mau. Kebebasan bukanlah terwujudnya keadaan di mana kita bisa melakukan semua yang diinginkan. Seorang teman bercerita padaku bahwa menurut Heidegger, seorang filsuf asal Jerman, kebebasan itu adalah keadaan dimana seseorang tidak lagi diperbudak oleh keinginan. Penjajah manusia yang paling utama dan tak pernah pergi adalah hawa nafsunya sendiri, bukan Belanda atau negara-negara imperialis lainnya, itulah kenapa ketika kembali dari peperangan Nabi Muhammad berkata bahwa kita pulang dari perang kecil ke perang yang besar; perang melawan hawa nafsu. Sebagai muslim, sepatutnya kita sadar bahwa ibadah wajib tahunan kita, yaitu Puasa Ramadhan, pun sebenarnya adalah pelatihan untuk mampu mengendalikan hawa nafsu. Sayangnya memang kita seringkali tidak memaknainya seperti itu. 

Peringatan 17 Agustus akan lebih baik dimaknai dengan tafakkur, apakah kita sudah terbebas dari penjajah ini? Jajahan hawa nafsu kita sendiri? ataukah justru kita tidak sadar bahwa hawa nafsu adalah penjajah yang sebenarnya?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar